• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan Sampel Jeruk

Dalam dokumen WITA KHAIRIA /PSL (Halaman 35-0)

III. METODE PENELITIAN

3.5. Pengambilan Sampel Jeruk

Pengambilan sampel jeruk dilakukan di kebun petani baik yang mengikuti pelatihan maupun yang tidak.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara diagonal yaitu area sampel di lapangan ditarik garis diagonalnya, dari titik-titik diagonal tersebut diambil sampel.

Sampel diambil dari kebun yang siap panen sebanyak 5 kg per kebun/lokasi sampel.

Sampel dibungkus alumunium foil agar tidak terkontaminasi dan diberi label yang memberikan informasi tentang lokasi pengambilan, kode dan tanggal pengambilan.

Sampel tersebut kemudian dimasukkan dalam plastik untuk dibawa ke laboratorium.

3.6. Prosedur Analisis Residu Pestisida

Berdasarkan survei pendahuluan pada Bulan Maret 2008, telah diperoleh data (informasi) tentang jenis pestisida yang banyak digunakan di Kecamatan Tiga Panah yaitu dari golongan organofosfat dan piretroid. Untuk menghemat tenaga, waktu dan biaya, analisis residu pestisida yang dilakukan hanya pada kedua golongan tersebut saja.

a. Metode Pengujian Analisis Residu Pestisida Organofosfat Prinsip

Pestisida diekstraksi dengan aseton, diklorometana dan petroleum eter 400- 600. Ekstrak diuapkan sampai hampir kering dan residu dilarutkan dalam iso oktana/toluena. Umumnya tidak diperlukan pembersihan (clean up), dan ditetapkan dengan kromatograf gas menggunakan detektor

spesifik untuk senyawa yang mengandung unsur fosfor, yaitu detektor fotometri nyala (FPD) dengan filter P (526 nm) atau detektor ionisasi nyala alkali (AFID).

Pereaksi: aseton, diklorometana, petroleum eter 400- 600, iso oktana, toluena.

Peralatan: pencincang, blender atau ultra turaks, kromatograf gas, dilengkapi dengan detektor spesifik untuk senyawa yang mengandung unsur fosfor (FPD dan NPD).

Prosedur Ekstraksi

1. Contoh analitik yang telah dicincang, ditimbang seberat 15 gram.

2. Lumatkan dengan ultra turaks (blender) dengan 30 ml aseton selama 30 detik.

3. Tambahkan 30 ml diklorometan dan 30 ml petroleum eter 400- 600. 4. Campuran dilumatkan selama 30 detik.

5. Sentrifugasi selama 2 menit pada 4.000 rpm (bila larutan keruh).

6. Tuangkan fase organik.

7. Pipet 25 ml fase organik ke dalam labu bulat.

8. Pekatkan dalam rotavapor pada suhu tangas air 400C, sampai hampir kering, kemudian keringkan dengan mengalirkan gas nitrogen sampai kering.

9. Larutkan residu dalam 5 ml iso oktana: toluena (90 : 10, v/v).

Pembersihan (Clean Up)

Umumnya tidak diperlukan pembersihan.

Penetapan

Suntikkan 1-2 μl ekstrak ke dalam kromatograf gas.

Penghitungan

Bandingkan waktu lambat dan tinggi atau luas puncak kromatogram yang diperoleh dari larutan cuplikan dan larutan baku pembanding.

b. Metode Pengujian Analisis Residu Pestisida Piretroid Prinsip

Pestisida diekstraksi dengan aseton, diklorometana dan petroleum eter 400- 600. Ekstrak diuapkan sampai hampir kering dan residu dilarutkan dalam iso oktana/toluena. Umumnya tidak diperlukan pembersihan (clean up). Bila ada gangguan pembersihan dilakukan dengan kolom silika gel

dan ditetapkan dengan kromatograf gas menggunakan detektor penangkap elektron (ECD).

Pereaksi: aseton, diklorometana, petroleum eter 400-600, iso oktana, toluena, etil asetat, n-Heksana, n-Dekana, silika gel 60, ukuran partikel 70-230 mesh, Merek art.no.7754, Eluen A: campuran etil asetat dan n-Heksana (0,2 : 99,8 v/v), Eluen B: campuran etil asetat dan n-n-Heksana (10 : 90 v/v), Baku internal (internal standar) dekaklorobifenil (DCB), larutan dekaklorobifenil 1 μg DCB/ml n-Heksana.

Peralatan: pencincang, blender atau ultra turaks, rotavapor, kolom kromatograf gas 250 mm x 6 mm yang dilengkapi dengan kran teflon dan tempat cadangan pelarut, kapas atau wol kaca yang telah dibersihkan dengan campuran petroleum eter dan aseton (4 : 1, v/v) selama 8 jam dalam soxhlet, kromatograf gas yang dilengkapi dengan detektor penangkap elektron (ECD), alat sentrifus.

Prosedur Ekstraksi

1. Contoh analitik yang telah dicincang, ditimbang seberat 15 gram.

2. Lumatkan dengan ultra turaks (blender) dengan 30 ml aseton selama 30 detik.

3. Tambahkan 30 ml diklorometan dan 30 ml petroleum eter 400- 600. 4. Campuran dilumatkan selama 30 detik.

5. Sentrifugasi selama 2 menit pada 4.000 rpm (bila larutan keruh).

6. Tuangkan fase organik.

7. Pipet 25 ml fase organik ke dalam labu bulat.

8. Pekatkan dalam rotavapor pada suhu tangas air 400C, sampai hampir kering, kemudian keringkan dengan mengalirkan gas nitrogen sampai kering.

9. Larutkan residu dalam 5 ml iso oktana : toluena (90 : 10, v/v).

10. Suntikkan 1-2μl ekstrak ke dalam kromatograf gas.

Pembersihan (Clean Up)

Umumnya tidak diperlukan pembersihan. Bila ada gangguan, pembersihan dilakukan dengan cara:

1. Uapkan 5,8 ml ekstrak sampai kering dengan rotapor pada suhu tangas air 400C.

2. Larutkan residu dalam 2 ml n-Heksana sehingga mengandung 1 gr cuplikan analitik.

3. Masukkan berturut-turut wol kaca, 5 ml n-Heksana dan 1 gr silika gel yang telah diaktifkan, campur dan aduk dengan batang pengaduk sampai rata.

4. Bilas dinding kolom bagian dalam dengan 2 ml n-Heksana, alirkan cairan sampai minikusnya tepat di atas silika gel.

5. Elusi dengan 20 ml eluen campuran A, ambil 10 ml eluat pertama (mangandung baku internal) dan buang sisa eluat.

6. Elusi piretroid dengan 35 ml eluen B dan tampung eluat dalam labu beralas bulat. Kemudian masukkan 10 ml eluat pertama yang mengandung baku internal.

7. Uapkan dengan hati-hati sampai hampir kering. Larutkan residu dengan n-dekana hingga volumenya tepat 1 ml.

Penetapan

Suntikkan 1-2 μl ekstrak ke dalam kromatograf gas.

Penghitungan

Bandingkan waktu lambat dan tinggi atau luas puncak kromatogram yang diperoleh dari larutan cuplikan dan larutan baku pembanding, berupa cara perhitungan dengan internal standard DCB.

3.7. Variabel yang Diteliti

Untuk menjelaskan hipotesis penelitian dilakukan penghitungan:

1. Untuk keragaman arthropoda dilakukan penghitungan indeks keragaman arthropoda tanah pada kebun petani yang mengikuti pelatihan dan yang tidak mengikuti pelatihan.

2. Analisis residu pestisida pada sampel untuk membedakan residu yang terdapat pada sampel jeruk pada lokasi kebun petani yang mengikuti pelatihan dan yang tidak mengikuti pelatihan.

3. Untuk mengetahui faktor fisik dan kimia pada lokasi percobaan dilakukan pengukuran variabel: suhu udara, pH tanah dan kandungan mineral utama tanah.

4. Data-data lain yang perlu diketahui adalah: 1) vegetasi tanaman yang ditumpangsarikan (jenis klon tanaman jeruk, jenis tanaman pelindung bila ada, umur tanaman, dan tanaman lain yang tumbuh di areal pertanaman tersebut), 2) teknik budidaya dan pemeliharaan tanaman (asal bibit, penyiapan lahan, jarak tanam, jarak tanam tanaman pelindung, pemupukan,

pemangkasan, jadwal panen, sanitasi kebun dan lain-lain), 3) Cara pengelolaan hama dan penyakit di lokasi kebun.

Untuk menghitung masing-masing variabel yang akan diteliti dijelaskan sebagai berikut:

Indeks Keanekaragaman

Untuk mengetahui perbedaan spesies arthropoda tanah dilakukan penghitungan indeks keanekaragaman arthropoda pada kebun petani yang mengikuti pelatihan dan yang tidak mengikuti pelatihan sebelum dan setelah pelatihan dan membandingkannya. Indeks keanekaragaman dihitung dengan rumus Shannon-Wiener (H) (Odum, 1971).

H = - ∑ Pi2 ln Pi2

Di mana : H = indeks keanekaragaman

Pi= Jumlah individu ke I dibagi total individu semua jenis

3.8. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Tanah

1. Pengukuran udara dilakukan pada kebun petani yang mengikuti pelatihan dan yang tidak mengikuti pelatihan dengan menggunakan termometer.

2. Pengukuran pH tanah dan analisis kandungan mineral utama tanah dilakukan di Laboratorium Central Universitas Sumatera Utara. Tanah diambil dari dua lokasi, yaitu dari kebun petani yang mengikuti pelatihan dan yang tidak

mengikuti pelatihan. Unsur yang diteliti kandungannya adalah Nitrogen (N), Phospor (P) dan Kalium (K).

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

Lokasi penelitian di Kecamatan Tiga Panah (Desa Tiga Panah, Seberaya, Bunuraya dan Bertah). Kecamatan Tiga Panah terletak pada ketinggian 1.192 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Kecamatan Tiga Panah sebesar 18,684 Km2.

Secara geografis Kecamatan Tiga Panah terletak di sebelah Utara dengan Kecamatan Dolat Rakyat, sebelah Selatan dengan Kecamatan Merek, sebelah Barat dengan Kecamatan Juhar, Munte dan Kabanjahe, serta sebelah Timur dengan Kecamatan Barusjahe dan Kecamatan Merek.

Berdasarkan data dari Kantor Kecamatan Tiga Panah memiliki curah hujan rata-rata 2.500 mm/tahun.

Jumlah penduduk di Kecamatan Tiga Panah sebanyak 29.626 orang, yang terdiri dari 14.753 orang laki-laki dan 14.873 perempuan. Jumlah penduduk daerah penelitian adalah sebagai berikut: Desa Tiga Panah sebanyak 2.569 orang, Desa Bunuraya 2.596 orang, Desa Seberaya sebanyak 2.796 orang dan Desa Bertah sebanyak 302 orang.

Luas wilayah Kecamatan Tiga Panah sebesar 18.684 Ha (Lampiran 4). Luas wilayah daerah penelitian untuk masing masing desa adalah sebagai berikut: Desa Bunuraya seluas 1.300 Ha, Desa Seberaya seluas 2.000 Ha, Desa Bertah seluas 500 Ha dan Desa Tiga Panah seluas 300 Ha.

Hampir seluruh desa di Kecamatan Tiga Panah produsen buah jeruk. Data mengenai produksi rata-rata per desa di Kecamatan Tiga Panah belum tercatat dengan lengkap.

Informasi hasil survei pendahuluan dari PHP setempat tentang hama dan penyakit yang dominan menyerang tanaman jeruk di empat desa daerah penelitian adalah: Aphis sp., Thrips, peliang daun Phylocnistis citrella, vektor CPVD Diaphorina citri, kutu daun Toxoptera aurantii, tungau Tetranychus sp., dan lalat

buah. Penyakit yang dominan adalah: penyakit busuk pangkal batang dan akar Phytophthora sp., penyakit Diplodia sp., penyakit embun tepung Oidium tingitanium, dan embun jelaga.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Jumlah Jenis Arthropoda Tanah pada Ekosistem Pertanaman Jeruk

Rata-rata jumlah jenis arthropoda tanah masing-masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Jumlah Jenis Arthropoda Tanah pada Pertanaman Jeruk Jumlah Jenis

No. Lokasi kebun Pengamatan

1 Pengamatan

Jumlah jenis arthropoda tanah lebih banyak di kebun petani yang dilatih dibandingkan dengan di kebun petani yang tidak mengikuti pelatihan. Hal ini menunjukkan faktor makanan, habitat yang sesuai dan tekanan lingkungan khususnya pencemaran pestisida yang rendah di kebun petani yang dilatih dibandingkan dengan kebun petani yang tidak dilatih.

Jumlah dan tipe organisme yang ada bervariasi tergantung pada praktek-praktek pengelolaan tanah pertanian. Hubungan umum jumlah jenis dan jumlah individu per jenis berbanding terbalik. Semakin tinggi jumlah jenis semakin kecil jumlah individu per jenis. Tekanan (pencemaran pestisida) menyebabkan jumlah jenis turun dan populasi jenis yang tahan terhadap tekanan meningkat (Odum, 1971).

5.2. Keanekaragaman Arthropoda Tanah pada Ekosistem Pertanaman Jeruk Identifikasi dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi Fakultas MIFA Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan buku identifikasi Soil Biology Guide dan Fresh Water Invertebrate of The United Stated (Dindal, (2004)

dan Pennak, (1990)).

Keanekaragaman arthropoda tanah pada ekosistem pertanaman jeruk pada kebun petani yang dilatih dan yang tidak dilatih masing-masing tertera pada Tabel 5.2 dan 5.3.

Tabel 5.2. Keanekaragaman Jenis Arthropoda Tanah pada Pertanaman Jeruk Petani yang Dilatih

No Ordo Famili Genus/species Pengama tan 1

Pengama tan 2

Pengama tan 3

1. Collembola Entomobryidae Entomobrya 52 11 35 2. Orthoptera Gryllidae Gryllus bimaculatus 1 1 2 Blattodea Blatella sp. 1 - 1

Gryllotalpidae Gryllotalpa sp. 1 2 2

Tettigoniidae Neoconocephalus. 1 - 1 3. Hemiptera Coreidae - 2 1

4. Hymenoptera Formicidae Camponotus 6 8 2

Cardiocondila. 5 2 7

Brachymyrmex 7 6 9

5. Coleoptera Nitinulidae Carpophilus 7 6 3 Cucurlionidae Graphognathus - 1 1

Tabel 5.3. Keanekaragaman Jenis Arthropoda Tanah pada Pertanaman Jeruk Petani yang Tidak Dilatih

No Ordo Famili Genus Pengamatan 1

Pengamatan 2

Pengamatan 3

1. Collembola Entomobryidae Entomobrya 583 1093 581 2. Orthoptera Gryllidae Gryllus 1 1 - Blattodea Blatella sp. 1 2 1 Gryllotalpidae Gryllotalpa 1 2 2 Tettigoniidae Neoconocephalus 1 - - 3. Hemiptera Coreidae - 1 - -

4. Hymenoptera Formicidae Camponotus 2 7 9 5. Coleoptera Nitinulidae Carpophilus 6 3 3 6. Diptera Spheroseridae Leptocera 1 1 - Drosophilidae Drosophila 4 2 - 7. Arachnida Lycosidae - - 1 -

Jumlah 601 1112 596

Tabel 5.4. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H) pada Kebun Petani yang Dilatih dan yang Tidak Dilatih

No Lokasi Kebun Pengamatan 1 1. Kebun petani yang dilatih 0.50582 0.45171 0.48413 0,48055 2. Kebun petani yang tidak

dilatih

0.05893 0.03394 0.05079 0,04788

Indeks keanekaragaman pada kebun petani yang dilatih lebih tinggi daripada indeks keanekaragaman pada kebun petani yang tidak dilatih (Tabel 5.4). Tingginya indeks keanekaragaman pada kebun petani yang dilatih disebabkan jumlah jenis di kebun petani yang dilatih lebih banyak dan jumlah populasi tiap jenis lebih merata (equitibilitas lebih tinggi). Perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H) pada kebun petani yang dilatih dan kebun petani yang tidak dilatih dapat dilihat pada Lampiran 3.

Ordo yang terbanyak pada kebun petani yang dilatih maupun pada kebun petani yang tidak dilatih adalah ordo Collembola. Hal ini disebabkan karena Collembola mempunyai habitat yang luas. Adianto (1993) menyatakan Collembola membutuhkan habitat yang kelembabannya tinggi dan banyak sisa-sisa tanaman.

Perbedaan kepadatan Collembola di setiap kebun diduga dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan faktor makanan yang berbeda pada setiap kebun. Collembola yang banyak ditemukan berasal dari famili Entomobryidae.

Pada kebun petani yang tidak dilatih dengan banyaknya tanaman tumpang sari dan pohon pelindung, kelembabannya lebih tinggi dari kebun petani yang dilatih. Hal ini menyebabkan pada kebun petani yang tidak dilatih jumlah Collembola yang terperangkap jauh lebih banyak dari kebun petani yang dilatih.

Odum (1971) menyatakan keanaekaragaman jenis itu mempunyai komponen yang dapat memberi reaksi secara berbeda terhadap faktor-faktor geografi, perkembangan atau fisik. Komponen utama pertama adalah kekayaan jenis dan komponen utama kedua adalah equitibilitas yaitu kesamarataan jumlah populasi tiap jenis. Indeks keanekaragaman berhubungan langsung dengan jumlah jenis (kekayaan jenis). Semakin tinggi jumlah jenis semakin tinggi indeks keanekaragaman. Pada lingkungan yang keras keanekaragaman berubah menurut kelimpahan relatifnya sedang pada lingkungan yang tidak keras (yang dikendalikan secara biologi) akan merupakan fungsi dari jumlah jenis.

Pada keanekaragaman tinggi terdapat rantai makanan lebih panjang dan kompleks dan banyak simbiosis terjadi (mutualisme, parasitisme, komensalisme, dan

sebagainya). Keanekaragaman tinggi menyebabkan kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya kendali umpan balik negatif dalam jaringan makanan yang mengurangi ketidakstabilan. Pada keadaan keanekaragaman jenis tinggi banyak berlangsung proses makan memakan atau saling mengendalikan yang menyebabkan tidak ada fluktuasi populasi tertentu yang sangat menonjol atau ledakan populasi suatu jenis (Odum, 1971).

5.3. Faktor Fisik dan Kimia pada Ekosistem Pertanaman Jeruk

Faktor sifat fisik dan kimia tanah (pH, suhu kebun, kandungan N, P dan K) pada kebun petani yang dilatih dan kebun petani yang tidak dilatih ditampilkan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Faktor Fisik dan Kimia Tanah

No. Parameter Petani yang

Dilatih

Pada kebun petani yang dilatih suhu kebun lebih tinggi daripada kebun petani yang tidak dilatih. Hal ini disebabkan pada kebun petani yang tidak dilatih ditanam pohon kelapa dan beberapa jenis tanaman buah sebagai tanaman pelindung. Pohon kelapa sebagai tanaman pelindung telah setinggi 4-5 meter pada saat pengambilan

data dan kanopinya telah berfungsi sebagai pelindung, sehingga suhu udara di kebun petani yang dilatih lebih tinggi dari kebun petani yang tidak dilatih.

Pada kebun petani yang dilatih pH tanahnya lebih rendah dari pH tanah kebun petani yang tidak dilatih. Hal ini diduga berhubungan dengan jenis tanah bukan akibat dari faktor pengelolaan tanaman jeruk.

Hasil analisis hara tanah menunjukkan bahwa kandungan hara N pada kebun petani yang dilatih kelihatan lebih rendah dibandingkan dengan N kebun petani yang tidak dilatih. Hal ini disebabkan karena pada kebun petani yang tidak dilatih ditanam juga tanaman sawi sebagai tanaman tumpang sari. Sayuran sawi juga dilakukan pemupukan, sehingga N nya lebih tinggi.

5.4. Aplikasi Pestisida

Dari hasil wawancara dan informasi petani sangat dominan menggunakan pestisida dari golongan piretroid, organoposfat dan karbamat. Bahkan akhir-akhir ini pihak formulator banyak memformulasikan insektisida dari golongan Piretroid untuk mengatasi berbagai masalah di lapangan pada berbagai komoditi. Hal ini terkait dengan sifat kimia dari golongan Piretroid yang lebih persisten dibandingkan dengan golongan organoposfat dan karbamat yang sebelumnya lebih dahulu populer di kalangan petani (Kelompok Kerja Penyusun Revisi Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil Pertanian, 2004).

Juga dapat diketahui informasi dari hasil wawancara bahwa semua pestisida yang digunakan petani berstatus terdaftar pada Komisi Pestisida. Semua pestisida dari

golongan organoklor yang telah dilarang pemakaiannya seperti DDT, Aldrin, Dieldrin, Endrin, Heptaklor, Klordan, BHC, Mireks, dan Toksafen sudah tidak terdapat di toko-toko pestisida lagi.

Pada daerah penelitian (Desa Tiga Panah, Seberaya, Bunuraya dan Bertah) telah dilakukan Pelatihan Penggunaan Pestisida yang Bijaksana yang merupakan program Dinas Pertanian UPT. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura.

Program ini diarahkan agar petani merubah pola pikir dalam penggunaan dan pemakaian pestisida dari sistem kalender menjadi pengendalian terpadu dengan menerapkan terlebih dahulu sistem monitoring OPT serta mengutamakan pengendalian hayati. Pengendalian terpadu memiliki konsep bahwa pestisida merupakan alternatif terakhir dalam pengendalian OPT pada saat populasinya berada pada ambang ekonomi (pada tingkat yang merugikan). Adapun pestisida yang digunakan diharapkan bersifat selektif terhadap OPT dan tidak berspektrum luas dalam arti bahwa tidak akan membunuh musuh alami, predator atau organisme berguna lainnya.

a. Frekuensi Penyemprotan Pestisida

Data tentang frekuensi penggunaan pestisida yang digunakan petani yang dilatih dan petani yang tidak dilatih dapt dilihat pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6. Frekuensi Penyemprotan Pestisida Petani yang Dilatih dan yang Tidak Dilatih

Petani yang Dilatih Petani yang Tidak Dilatih No. Frekuensi

Persentase Frekuensi Aplikasi Pestisida Petani yang Dilatih

Gambar 5.1. Aplikasi Pestisida pada Petani yang Dilatih

2-3 minggu

1 minggu

1-2 minggu 1 bulan

0 20 40 60

Persentase Jumlah

Petani

Persentase Aplikasi Pestisida Petani yang Tidak Dilatih

Gambar 5.2. Aplikasi Pestisida pada Petani yang Tidak Dilatih

Dari Tabel 5.6 diketahui bahwa petani yang telah dilatih cenderung melakukan penyemprotan setiap sebulan sekali, tetapi ada beberapa petani yang masih mengikuti sistem kalender karena takut akan kehilangan hasil panen. Petani yang tidak dilatih cenderung melakukan penyemprotan setiap 16 hari sekali (2-3 minggu sekali). Hasil wawancara diketahui bahwa walaupun petani tersebut tidak memiliki dana namun karena takut tanamannya akan terserang OPT bila tidak disemprot mereka rela untuk meminjam uang.

b. Dosis Pemakaian Pestisida yang Digunakan Petani

Hasil pengumpulan data tentang dosis pemakaian pestisida yang digunakan petani yang dilatih dan yang tidak dilatih dapat dilihat pada Tabel 5.7.

Tabel 5.7. Penentuan Dosis Aplikasi Pestisida

Petani Dilatih Petani Tidak Dilatih No. Penentuan

Dosis Pestisida Frekuensi petani

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa petani yang telah dilatih sebanyak 78%

melakukan penyemprotan sesuai dengan dosis anjuran yang tertera pada label pestisida yang digunakan. Sedangkan petani yang tidak dilatih 38% melakukan penyemprotan sesuai dengan dosis anjuran dan 58% melakukan penyemprotan lebih dari dosis anjuran.

Pada petani yang telah dilatih masih ada 18% petani yang melakukan penyemprotan lebih dari dosis anjuran. Hal ini disebabkan karena pada saat membeli pestisida tidak diberi sendok takar, sehingga petani menuangkan pestisida tanpa menggunakan takaran.

c. Hasil Analisis Residu Pestisida pada Buah Jeruk

Hasil analisis residu pestisida pada buah jeruk kedua kelompok petani ditampilkan pada Tabel 5.8.

Tabel 5.8. Hasil Analisis Residu Pestisida terhadap Buah Jeruk Sumber Sampel

Petani yang Tidak Dilatih Petani yang Dilatih Residu Pestisida

BMR yg ditetapkan

Pemerintah Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Dimetoat 2,00 ttd ttd ttd ttd Profenofos - ttd ttd ttd ttd

Sifultrin - ttd ttd ttd ttd

Fenvalerat 2,00 0,0928 ttd ttd ttd

Keterangan : ttd : tidak terdeteksi

Sampel 1 dan 3 : pemakaian pestisida tinggi Sampel 2 dan 4 : pemakaian pestisida rendah

Dari hasil analisis residu pestisida dengan menggunakan alat gas chromatografi dapat diketahui bahwa pada sampel 1 (petani yang tidak terlatih) terdapat residu pestisida dari golongan piretroid dengan bahan aktif Fenvalerat dan nama dagang Fenval sebesar 0,0928 mg/kg. Namun masih di bawah BMR yang telah ditetapkan pemerintah (2,00 mg/kg). Pada sampel 2 (petani yang tidak dilatih) kandungan residunya tidak terdeteksi baik dari golongan organofosfat maupun dari golongan piretroid. Hal ini disebabkan karena naiknya harga pestisida, sehingga petani yang tidak dilatih memperkecil pemakaian pestisida.

Pada sampel 3 dan sampel 4 (petani yang dilatih) kandungan residunya tidak terdeteksi baik dari golongan organofosfat maupun dari golongan piretroid.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Indeks keanekaragaman arthropoda tanah pada kebun petani yang dilatih lebih tinggi daripada kebun petani yang tidak dilatih.

2. Jumlah jenis arthropoda tanah pada kebun petani yang dilatih lebih tinggi dari kebun petani yang tidak dilatih.

3. Ordo Collembola merupakan ordo dominan yang terdapat pada seluruh kebun, baik kebun petani yang dilatih maupun kebun petani yang tidak dilatih.

4. Petani yang telah dilatih cenderung melakukan penyemprotan pestisida sebulan sekali, petani yang tidak dilatih melakukan penyemprotan pestisida setiap 2 minggu sekali.

5. Masih terdapatnya residu pestisida dari golongan piretroid pada buah jeruk petani yang tidak dilatih (0.0928), namun hasil analisis tersebut masih di bawah BMR.

6.2. Saran

1. Penelitian ini memiliki banyak keterbatasan dan belum merupakan penelitian yang komprehensif, tapi masih merupakan penelitian awal yang perlu ditidaklanjuti. Hasil penelitian ini belum merupakan jawaban yang

membenarkan bahwa isu residu pestisida pada hasil pertanian di Tanah Karo telah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.

2. Komisi Pestisida agar lebih meningkatkan pemantauan peredaran, pemalsuan, dan pemakaian pestisida yang terkontrol di kalangan petani.

3. Potensi arthropoda tanah yang menguntungkan perlu diberdayakan secara optimal sehingga memberikan kontribusi yang cukup berarti pada penerapan PHT dan produksi jeruk.

DAFTAR PUSTAKA

Adianto. 1993. Biologi Pertanian Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati dan Insektisida. Alumni. Bandung

Arifin, K dan Lahmuddin Lubis. 2003. Teknik PHT pada Tanaman Cabai. Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.

Bethlee, J. A and Raymond, A. C. 2000. Pest Management. http://proquest. umi.

com/pq dweb.

Borror, D. J., I. C. A. Triplehrorn and N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi keenam Gadjah mada University Press. Yogyakarta.

Dindal, D. L. 1990. Soil Biology Guide. John Willey & Sons. Canada.

David, J. A. 2007. Standar Prosedur Operasional (SPO) Jeruk Siam Madu Karo.

USAID From the American People. Agribusiness Market and Support Activity.

Direktorat Perlindungan Hortikultura. 1996. Pengenalan dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Hortikultura. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Perlindungan Tanaman. Jakarta.

Deshmukh, I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Graham, E. B. 1996. The Orgin and Evolution of Arthropods. http://proquest. umi.

com/pq dweb.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Kalshoven, L. G. E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hove.

Jakarta.

Kelompok Kerja Penyusun Revisi Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. 2004. Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil Pertanian.

Kelompok Kerja Penyusun Revisi Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. 2004. Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil Pertanian.

Dalam dokumen WITA KHAIRIA /PSL (Halaman 35-0)

Dokumen terkait