• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan Spesimen Ektoparasit A. Koleksi

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

III. METODE PENELITIAN

3.3.1 Pengambilan Spesimen Ektoparasit A. Koleksi

Metode yang digunakan adalah koleksi ektoparasit pada tubuh biawak. Pengambilan ektoparasit dilakukan secara manual, dan diambil dari beberapa bagian tubuh (daerah pengambilan spesimen) yang dibagi menjadi empat regio, yaitu kepala (leher hingga kepala) pada regio I, kaki (sepasang kaki depan dan kaki belakang) pada regio II, badan bagian punggung (dorsal) dan perut (ventral) pada regio III dan ekor pada regio IV. Ilustrasi pada Gambar 9.

17

Ektoparasit yang telah tertangkap dimasukkan ke dalam tabung spesimen yang telah diisi dengan alkohol 70% dan di beri label sesuai dengan regio tubuhnya untuk diawetkan.

Keterangan : I = regio kepala, II = regio kaki, III = regio badan (punggung dan perut), IV = ekor

Gambar 9 Pembagian tubuh biawak (regio) dalam koleksi ektoparasit.

B. Pengawetan Spesimen

Spesimen ektoparasit yang telah didapat selanjutnya dilakukan pengawetan dengan dua cara yaitu pengawetan basah dan kering. Tata cara pengawetan tercantum dalam Hadi et al. (2008). Untuk pengawetan basah dilakukan dengan cara menyimpan spesimen ektoparasit dalam tabung yang berisi alkohol 70%. Untuk pengawetan kering dilakukan dengan menyimpan spesimen ektoparasit dalam keadaan kering di dalam kaca preparat. Tata cara pembuatan slide preparat untuk spesimen kutu dan tungau hampir sama, perbedaannya hanya terletak pada lapisan penipis kitinnya.

Spesimen diawetkan dengan cara dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70%, kemudian spesimen dimasukkan ke dalam kalium hidroksida (KOH) 10% agar lapisan kitinnya menipis. Proses tersebut dipercepat dengan pemanasan, tetapi tidak sampai mendidih. Setelah itu, spesimen dibilas dengan air sampai bersih. Apabila ada bagian yang menggembung, dapat ditusuk dengan jarum supaya isinya keluar. Spesimen didehidrasi bertingkat mulai dari alkohol 70%, 80%, 90% selama 10 menit pada masing-masing tingkatan. Lalu spesimen dicuci dengan xylol sampai bersih. Untuk tungau, spesimen dibunuh dengan alkohol 70%. Spesimen direndam dalam larutan laktofenol agar lapisan kitinnya menipis dan jaringan internal menjadi lembek. Selanjutnya, spesimen dimasukkan kaca

I

II III

preparat dengan media balsam canada untuk caplak, dan larutan hoyer untuk tungau.

C. Identifikasi Spesimen

Spesimen untuk kepentingan identifikasi harus berada dalam kondisi utuh, artinya karakteristik morfologi yang dibutuhkan untuk proses identifikasi dalam kondisi baik dan lengkap. Identifikasi dilakukan dengan pemberian identitas pada spesimen sesuai urutan taksonominya, kemudian dilakukan penentuan pengelompokan berdasarkan subordo, famili, genus dan spesies. Kunci identifikasi yang digunakan adalah buku panduan praktikum Hadi (2008), Elbl dan Anastos (1966a, 1966b), dan Levine (1990). Identifikasi ektoparasit dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.3.2 Pengamatan Habitat Ektoparasit

Metode yang digunakan adalah dengan mengamati tempat-tempat di dalam kandang seperti lantai kandang dan batang pohon, yang berpotensi menjadi tempat berkembang biak ektoparasit.Di dalam penangkaran PT. Mega Citrindo terdapat kandang biawak kuning yang berisi beberapa biawak , dan di dalamnya terdapat batang-batang pohon besar dan beberapa jenis tumbuhan.

Biawak ekor biru terdiri dari tujuh kandang. Di setiap kandang terdapat batang-batang pohon besar, tempat berendam sekaligus tempat untuk minum, dan ukuran kandang tidak sebesar kandang biawak kuning karena di dalam kandang hanya terdapat dari dua sampai tiga ekor biawak.

Biawak dumeril terdiri dari dua kandang. Berbeda dengan biawak kuning dan ekor biru, kandang biawak dumeril hanya terdapat batang pohon dan tempat berendam. Jumlah biawak dumeril ini sebanyak dua ekor, jantan dan betina. Masing-masing dipisah dalam satu kandang.

3.3.3 Pengamatan Sistem Manajemen Penangkaran

Metode yang digunakan adalah dengan mengolah data sekunder. Data yang diolah meliputi beberapa aspek yaitu pengelolaan kandang, pemeliharaan

19

biawak, dan pemberian pakan. Selain pengamatan juga dilakukan wawancara informal. Wawancara informal dilakukan kepada pihak pengelola, diantaranya pemilik PT. Mega Citrindo, dan animal keeper di kandang biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril.

3.3.4 Pengamatan Perilaku Harian

Pengamatan perilaku menggunakan ad libitum sampling, yaitu pengamat mencatat setiap perilaku yang dilihat untuk mendapat gambaran perilaku (Peebles 1994). Pencatatan mengenai perilaku ini dilakukan menggunakan metode Time Sampling dengan interval 10 menit mengamati kondisi fisik dan perilaku harian. Tahap pertama dilakukan dari pukul 08.00-09.00 WIB dan tahap kedua dilakukan dari pukul 14.00-15.00 WIB.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis deskriptif

Penjelasan mengenai fenomena-fenomena yang terjadi pada aspek penangkaran biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril di lokasi penangkaran.

3.4.2 Analisis kuantitatif

Berupa perhitungan dari hasil pengambilan data spesimen ektoparasit ektoparasit dengan membuat pengelompokan jumlah dari tiap regio-regio pada setiap jenis biawak. Data ditabulasikan dengan Derajat Infestasi ektoparasit secara destriptif, yaitu negatif (-) menunjukkan tidak ada ektoparasit yang menginfeksi; positif satu (+) adalah satu sampai lima ektoparasit (infestasi ringan); positif dua (++), enam sampai sepuluh ektoparasit (infestasi sedang); dan positif tiga (+++), lebih dari sebelas ektoparasit (infestasi tinggi).

IV. KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Lokasi

PT. Mega Citrindo berada di jalan Mutiara VII/31 Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas total 2860 m³. PT. Mega Citrindo terletak pada ketinggian 1100 mdpl dan terdiri dari bangunan kandang permanen, semi permanen dan kolam penampungan.

4.2 Topografi

Lahan disekitarnya umumnya agak miring dengan rata-rata kelerengan antara 0-11%.

4.3. Sejarah

Perusahaan ini umumnya bergerak pada bidang penampungan dan ekonomi sehingga hanya bertindak sebagai pengumpul satwa reptil saja dan ditampung yang kemudian akan diekspor keluar negeri. Untuk memenuhi permintaan pasar konsumen, reptil diambil langsung dari daerah-daerah atau ditempat-tempat penampungan lainnya. Untuk menghindari kematian satwa pada penampungan biasanya pihak pengelola menerapkan aturan bahwa satwa yang akan dikirim selalu disesuaikan dengan pemesanan atau permintaan.

PT. Mega Citrindo ini pada umumnya bergerak dalam bidang perdagangan reptil yang dilindungi undang ataupun yang tidak dilindungi undang-undang. Orientasi kegiatan eksport reptil ini berdasarkan peraturan pemerintah, yaitu Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No 100/KPTS/DJ-IV/2001 tentang penangkaran.

Maksud dan tujuan dari perusahaan ini adalah untuk pemanfaatan sumberdaya alam hayati dengan keperluan ekonomi, karena perusahaan ini pada awalnya hanya mengekspor satwa yang diambil dari alam atau dari pihak suplier. Namun saat ini ada jenis-jenis satwa tertentu seperti biawak, tokek, kura-kura dan jenis ular tertentu serta jenis satwa lainnya yang dikembangbiakan di lokasi tersebut.

21

Manfaat dari usaha ini adalah untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari dan berkesinambungan sebagai wujud peningkatan ekspor di luar migas dalam jenis ekspor komoditi khusus yaitu satwa. Jenis penampungan ini dilakukan secara intensif karena dari segi pengelolaannya, semua disediakan oleh pihak pengelola dengan satwa yang didatangkan dari alam atau penampungan lain dengan berbagai ukuran dan rata-rata masih bersifat liar. Berikut adalah gambar struktur organisasi perusahaan PT. Mega Citrindo (Gambar 10).

Gambar 10 Struktur organisasi PT. Mega Citrindo. Kepala Administrasi Direktur Bagian Kandang Bagian Kebersihan Penjaga kandang Ular Penjaga kandang Biawak Penjaga kandang Kura-kura Penjaga kandang kadal,bunglon dan tokek

5.1Ragam Jenis Ektoparasit pada Biawak. 5.1.1 Biawak Kuning (Varanus melinus)

Jumlah biawak kuning di dalam kandang kurang lebih terdapat 13 ekor, namun koleksi ektoparasit dilakukan terhadap empat ekor biawak sebagai sampel. Pada biawak kuning tidak ditemukan caplak, namun satu dari empat biawak yang diambil ditemukan tungau di sekitar kloaka. Berdasarkan hasil identifikasi, jenis tungau yang ditemukan berasal dari famili Macrochelidae. Struktur tubuh tungau seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.

Keterangan : perbesaran 250x

Gambar 11 Tungau Macrochelidae yang ditemukan pada biawak kuning.

Tungau dari famili Macrochelidae ini umum ditemukan pada setiap feses hewan. Menurut Krantz (1998) Macrochelidae merupakan tungau kosmopolitan, banyak yang ditemukan di habitat yang spesifik, sering juga ditemukan di habitat yang tidak stabil. Famili ini berasosiasi dengan kumbang feses. Menurut Hartini dan Takaku (2003), terdapat dua belas jenis tungau Macrochelidae dari genus

Macrocheles yang ditemukan di Indonesia, diantaranya adalah Macrocheles jabarensis, M. sukabumiensis, dan M. jonggolensis. Menurut Levine (1990) secara umum siklus hidup tungau terdiri dari telur, lalu berubah menjadi larva. Larva akan berganti kulit menjadi protonimfa, selang beberapa hari akan berubah menjadi deutonimfa hingga akhirnya mencapai stadium dewasa.

23

Penelitian Katiaho dan Simmons (2000) mengatakan tungau jenis

Marchoceles merdarius dari famili Macrochelidae yang berasosiasi dengan kumbang feses Onthophagus binodis, menyebabkan kumbang jantan yang terinfestasi Macrocheles merdarius mati rata-rata 15 hari lebih cepat dibandingkan dengan kumbang jantan yang tidak terinfestasi.

5.1.2 Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus)

Jumlah populasi biawak ekor biru kurang lebih 18 ekor yang dipelihara dalam tujuh kandang. Berdasarkan hasil pengambilan sampel biawak ekor biru didapatkan ektoparasit jenis caplak dari genus Aponomma dan genus Amblyomma. Berikut adalah jumlah caplak per regionya yang ditujukkan di Tabel 4.

Tabel 4 Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak ekor biru Jenis Biawak Regio Individu 1 2 3 4 5 6 7 V. doreanus Kepala - - - - - - - Kaki depan - - - - - - - Kaki belakang + - - - - - - Ekor - - + - - - - Punggung - +++ - + - - - Perut - - + - + + ++

Keterangan : - = tidak ada, + = 1-5 , ++ = 6-10 , +++ = >11

Ektoparasit diambil dari tujuh ekor biawak. Masing-masing pengambilan sampel dilakukan sebanyak satu kali ulangan. Tabel hasil menunjukkan letak caplak yang paling sering dijumpai adalah di regio perut (Gambar 12b), ditemui pada individu 3, 5, 6 dan 7. Selain ditemukan di perut caplak juga ditemukan di kaki belakang (Gambar 12c) , ekor, dan punggung. Pada kaki belakang, caplak ditemukan di daerah sekitar ketiak sedangkan pada ekor dan punggung, caplak ditemukan di lipatan-lipatan kulit dan diantara sisik-sisik kulit biawak. Beberapa jenis caplak ada yang menyerupai sisik biawak.

Pada tabel 4 terlihat bahwa derajat infestasi yang beragam di setiap regio pada beberapa individu. Derajat infestasi tinggi pada individu kedua di punggung, (gambar 12b). Caplak pada regio tubuh ini relatif masih kecil-kecil dibandingkan

dengan regio lainnya. Derajat infestasi sedang pada individu ketujuh di regio perut. Sedangkan untuk beberapa regio lainnya pada setiap individu masih dalam derajat infestasi ringan.

Gambar 12 Letak caplak yang ditemukan pada biawak : (a) punggung (b) perut (c) kaki belakang.

Caplak yang ditemukan pada biawak ekor biru adalah genus Aponomma

dan genus Amblyomma :

Keterangan : perbesaran 25x

Gambar 13 Caplak yang ditemukan pada biawak ekor biru : (a) Amblyomma sp ♀. (b) Aponomma sp ♀, (c) Aponomma sp. ♂

(a) (b)

a b

c

25

Caplak Aponomma sp. hampir ditemukan diseluruh regio biawak ekor biru. Dibandingkan dengan genus Amblyomma sp. yang terbatas pada biawak ekor biru. Oleh karena itu untuk memudahkan dalam proses identifikasi maka caplak-caplak yang sudah didapat dibuat preparat, agar tubuhnya dapat terlihat.

5.1.3 Biawak Dumeril (Varanus dumerilii)

Biawak dumeril yang ada di penangkaran PT. Mega Citrindo berjumlah dua ekor yang berjenis kelamin jantan dan betina. Dibandingkan dengan biawak ekor biru, jumlah caplak pada biawak dumeril lebih sedikit. Dari data hasil ditemukan caplak di kaki depan dan badan atas. Tabel 5 menunjukkan jumlah caplak yang ditemukan di biawak dumeril.

Tabel 5 Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak dumerili.

Jenis Biawak Regio Individu

1 2 V. dumerilii Kepala - - Kaki depan - ++ Kaki belakang - - Ekor - - Punggung + - Perut - -

Keterangan : - = tidak ada, + = 1-5 , ++ = 6-10 , +++ = >11

Berdasarkan dari tabel di atas, sampel yang diambil sebanyak dua ekor biawak dumeril dengan masing-masing pengambilan sebanyak satu kali. Tabel 5 menunjukkan bahwa pada biawak individu pertama caplak hanya ditemukan di punggung dengan derajat infestasi ringan, sedangkan pada biawak kedua ditemukan di bagian kaki depan dengan derajat infestasi sedang. Caplak yang ditemukan pada biawak dumeril hanya dari genus Aponomma (Gambar 13b dan 13c).

Pada reptil, caplak yang umumnya ditemukan adalah dari genus

Aponomma dan Amblyomma. Perbedaan secara morfologi yang menjadi dasar kunci identifikasi antara Aponomma sp. dengan Amblyomma sp. adalah adanya mata. Aponomma sp. tidak memiliki mata sedangkan Amblyomma sp. memiliki

mata. Aponomma sp. dan Amblyomma sp. sama-sama memiliki palpus yang panjang. (Levine 1990). Menurut Levine (1990) genus Amblyomma biasanya ornata (memiliki hiasan skutum), memiliki palpus panjang, terutama segmen kedua. Sedangkan genus Aponomma memiliki bentuk oval, termasuk ke dalam caplak ornata dan inornata, parasit terhadap ular-ular besar dan biawak, dan memiliki spesifikasi inang sehingga apabila ditemukan bukan pada inang definitifnya maka itu suatu kebetulan / accidental (Elbl dan Anastos 1966). Beberapa jenis caplak yang juga ditemukan pada reptil yaitu pada ular besar famili Boidae yaitu caplak jenis Aponomma latum dan Aponomma transversale. Pada ular beracun famili Viperidae dan Elabidae ditemukan caplak jenis

Aponomma latum (Tandon 1991).

Menurut Tandon (1991) genus Aponomma sp. yang ditemukan pada biawak adalah jenis Aponomma exornatum dan untuk genus Amblyomma sp. menurut Theiler (1962) dalam Tandon (1991) jenis Amblyomma marmoreum baik pada stadium dewasa dan larva. Sedangkan menurut Elbl dan Anastos (1966a) jenis caplak yang ditemukan pada Varanus sp. adalah Amblyomma nuttali. Aponomma exornatum, Amblyomma marmoreum dan Amblyomma nuttali

penyebarannya meliputi Negara Republik Afrika Selatan dan sekitarnya

Kolonin (2009) mengatakan caplak yang terdapat pada famili Varanidae di Indonesia antara lain Amblyomma robinsori, Amblyomma helvolum, Aponomma soembawensis, Aponomma trimaculatum, Aponomma fibriatum, dan Aponomma varenense. Amblyomma robinsori wilayah penyebarannya di Pulau Komodo.

Amblyomma helvolum wilayah penyebarannya di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Pulau Komodo, Flores, dan Tanimbar. Aponomma soembawensis

penyebarannya di Pulau Sumba, Sumbawa, Semau, Timor, dan Sabu. Aponomma

trimaculatum wilayah penyebarannya di Sulawesi, Tornate, Liki, Aru, Seram, dan Pulau Simelue. Aponomma fibriatum wilayah penyebarannya di Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Dan Aponomma varenense wilayah penyebarannya di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.

Aponomma sp. dan Amblyomma sp. termasuk famili Ixodidae yaitu golongan caplak keras, dan ordo Acarina. Baik genus Aponomma maupun

27

Kolonin 2009). Menurut Levine (1990) Amblyomma sp. memiliki inang yang sama untuk setiap stadium. Menurut Elbl dan Anastos (1996b) stadium nimfa dan larva pada Aponomma sp kadang-kadang berada pada inang yang sama, bersama dengan yang dewasa. Caplak Amblyomma americanum dapat bertelur 1.000 hingga 8.000 butir. Secara umum caplak memiliki ukuran tubuh 0,3-1 cm, dan dapat bertambah besar apabila sudah menghisap darah (Levine 1990).

Di alam caplak memiliki variasi inang yang lebih banyak dibandingkan di dalam penangkaran, sehingga terdapat kemungkinan adanya perbedaan inang di setiap stadium. Menurut Kolonin (2009) Amblyomma javanense hampir seluruh stadiumnya ditemukan pada trenggiling, dan kadang-kadang juga ditemukan pada inang yang lain yaitu ular, biawak, dan mamalia.

Infestasi caplak pada satwa memberikan dampak negatif untuk kesehatan satwa. Akibat dari infestasi ektoparasit antara lain kekurangan darah (anemia), kerusakan kulit atau iritasi, alergi sehingga menyakiti diri sendiri atau self wounding dengan mencakar atau pun menggigit bagian tubuh yang terasa gatal akibat ektoparasit (Wall & Shearer 2001). Menurut Hoogstraal (1956a) caplak

Aponomma exornatum sebagai vektor penyakit demam Q (Q fever) yang disebabkan oleh bakteri patogen intraseluler Coxiella burnetii, A. exornatum juga

transmitter bermacam-macam hemogregarines (Elbl dan Anastos 1996b) yakni organisme uniselular bersifat parasit pada sel darah merah, dan menyerang vertebrata berdarah dingin (Merino et al 2008).

5.2Manajemen Penangkaran