BAB II GAMBARAN UMUM
A. Pengamen Anak di Lingkungan Wisata Kota Tua Jakarta
serta perilaku sosial pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta.
A. PENGAMEN ANAK DI LINGKUNGAN WISATA KOTA TUA JAKARTA
Pada dasarnya tidak ada definisi khusus mengenai pengamen anak, seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Baruddin (2006), Yuliarti (2012), Riyadi (2011), Fitriadi (2011), dan Sumartono (2013) terkait dengan definisi anak jalanan. Namun secara umum anak jalanan atau pengamen anak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut yaitu; berada di tempat umum seperti jalanan, pertokoan, tempat hiburan atau wisata selama 4 sampai 24 jam; berpendidikan rendah kebanyakan putus sekolah dan sedikit sekali yang menamatkan SD berasal dari keluarga yang tidak mampu kebanyakan kaum urban, beberapa diantaranya tidak diketahui jelas keluarganya dan melakukan aktifitas ekonomi melakukan pekerjaan pada sektor informal (Nusa putra, 1996: 112).
Pada kasus ini, pengamen anak memiliki ciri aktivitas mengamen yang berada di tempat wisata Kota Tua Jakarta. Seperti pada ciri umumnya pengamen anak, waktu atau lamanya pengamen anak di Kota Tua Jakarta terbilang sangat lama, hampir separuh waktu hari mereka habiskan di tempat
29
wisata Kota Tua Jakarta untuk mengamen, seperti apa yang diungkapkan oleh IR:
‘’Sendirian berdua sama ade saya, sekitar 4-15 jam saya ngamen disini
karena saya gak sekolah’’ (hasil wawancara tanggal 14 Maret 2015).
Hal senada juga dipertegas oleh AD:
‘’Mengamen kadang berdua, kadang sendiri, kadang berama-ramai, sekitar 12 jam bang gue ngamen disini, kadang gue pindah-pindah ketempat lain sampe gue tidur di jalanan, yach bisa 24 jam lah bang gue di jalanan, gue jadi pengamen karena mengamen karena keluarga gue kurang mampu, sekolah aja
gak sampe lulus SD’’. (hasil wawancara tanggal 14 Maret 2015).
Biasanya para pengamen mulai turun ke jalan sejak pagi hingga malam hari, merupakan bukti waktu yang digunakan oleh para pengamen anak dalam menjalankan rutinitas kegiatan mengamen di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta, Selain itu, yang menjadikan alasan para pengamen anak di Kota Tua Jakarta melakukan tindakan mengamen yang cukup lama karena para
pengamen anak ini “gak sekolah.”
Dengan sebab tidak bersekolah ini, menjadi sebuah pilihan para pengamen anak untuk menghabiskan waktu di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta sebagai seorang pengamen anak, karena secara naluriah tindakan perorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan ini ditentukan oleh nilai atau pilihan (George Ritzer. 2007:110). Meskipun ada dorongan-dorongan tertentu yang mengarahkan perseorangan bertindak, namun perilaku pengamen anak ini berbeda dengan anak-anak pada umumnya yang banyak menghabiskan
30
waktunya di tempat sekolah, tempat hiburan, dan sebagainya (Didin Saripudin. 2010:41).
Realitas yang ada di lapangan, pengamen anak di lingkungan wisata Kota Tua Jakarta memiliki keunikan tersendiri dalam menjalankan aktivitas mengamen-nya, hal ini ditunjukkan dengan ragam alat dan cara yang digunakan para pengamen anak sebagai salah satu pendukung dalam menjalankan aksi mengamen. Seperti yang diungkapkan oleh informan yang bernama IN:
‘’Saya mengamen kemauan sendiri memakai alat musik yaitu salon supaya
simple dan gampang untuk mengamen, kadang saya mengamen berdua sama
teman saya bang’’. (hasil wawancara dengan Indah tanggal 14 Maret 2015).
Adanya ragam cara yang dilakukan para pengamen anak dalam mengamen
dengan menggunakan “salon, gitar, dan radio tipe” merupakan strategi yang
dilakukan para pengamen anak agar dapat menarik perhatian dan minat para pengunjung wisata Kota Tua Jakarta untuk bersimpati mendengarakan dan memberikan uang yang sesuai dengan harapan para pengamen anak tersebut. Strategi yang dilakukan para pengamen anak ini merupakan pilihan rasionalitas dalam pertukaran ekonomi, dimana para pengamen anak yang lebih suka mengamen dengan strategi menggunakan “gitar” lebih banyak mendapatkan uang dari pada dengan strategi menggunakan “salon atau radio tape”.
Selanjutnya, pengamen yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja di jalan atau disebut juga dengan children on the street, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian
31
penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya dengan cara bekerja sebagai pengamen di jalanan yang dikategorikan kepada jenis pengamen jalanan.
Dalam penelitian ini pengamen anak jalanan Kota Tua memiliki usia yang bervariasi mulai dari yang terkecil yaitu 9 tahun sampai yang paling tua yaitu berumur 14 tahun. Namun demikian, pengamen yang menjadi informan dalam penelitian ini berusia lebih kurang dari 8 tahun. Pendidikan terakhir dari pengamen jalanan yang ada di Kota Tua Jakarta, mayoritas belum tamat SD. Beberapa Pengamen jalanan yang ada di Kota Tua Jakarta, terutama yang peneliti temukan bahwa sebagian besar sudah lebih dari 4 tahun hidup di jalan melakukan aktivitas ngamennya, dari data yang didapatkan dari informan di lapangan, bahkan ada yang selama 5 tahun menjadi seorang pengamen jalanan di Kota Tua Jakarta.
Dengan melihat kecenderungan pengalaman selama “5 tahun” menjadi
pengamen di Kota Tua Jakarta, mengidentifikasikan bahwa pengamen anak di lingkungan Kota Tua Jakarta merasa sangat akrab dan menciptakan budaya kebiasan menjadi seorang anak pengamen, demikian dengan apa yang diungkapkan oleh Pardon (1990) bahwa perilaku seseorang dalam melakukan tindakan ekonomi sebagai sebuah pilihan sang aktor disebabkan oleh faktor
32
budaya (Mulyadi, 2008:23). Di mana kata budaya itu terlihat pada lamanya seorang pengamen anak melakukan aktivitas kegiatan mengamen.
Oleh karena itu, anak jalanan merupakan permasalahan yang kompleks, di mana setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Kerena banyak faktor yang menyebabkan anak-anak terjerumus dalam kehidupan jalanan, seperti: rendahnya ekonomi keluarga atau tekanan kemiskinan, ketidak harmonisan rumah tangga orang tua, dan masalah khusus menyangkut hubungan anak dengan orang tua (Suyanto, 2010: 196). Tidak bisa dipungkiri lagi anak jalanan atau pengamen telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian dari semua pihak khususnya Dinas Sosial. Mereka memerlukan perhatian khusus untuk diberikan pengarahan, pelatihan, dan pembinaan terhadap perilaku mereka agar kehidupan ekonomi mereka lebih baik dari pada jadi pengamen yang selama ini mereka jalanin sehari-hari.
Kehadiran pengamen terkadang sangat mengganggu kenyamanan apalagi banyak dari mereka yang memaksa untuk diberi imbalan, ada juga yang menolak jika diberi sejumlah uang yang nilainya terlalu kecil misalnya Rp.1000,- dan meminta jumlah yang lebih besar. Sebagaimana yang YA ungkapkan sebagai pengunjung Kota Tua Jakarta:
‘’Adanya pengamen anak dirasa kurang nyaman dik karena menganggu kenyamanan saya disini dan saya merasa terganggu’’. (Hasil wawancara
tanggal 15 Maret 2015).
Keberadaan pengamen di Kota Tua merupakan fenomena yang harus mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya
33
permasalahan sosial, ekonomi dan budaya yang mereka hadapi. Salah satu permasalahan sosial yang ada di Indonesia yaitu semakin meningkatnya jumlah masyarakat miskin di negara ini. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya jumlah pengemis atau pengamen jalanan, terutama di Ibu Kota Jakarta. Pengamen jalanan timbul akibat adanya kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di kota ini.
Bahkan ada yang menganggap keberadaan pengamen jalanan sering kali dianggap sebagai sampah masyarakat, karena baik pemerintah maupun masyarakat merasa terganggu oleh kehadiran mereka yang lalu lalang di kawasan Kota Tua, perempatan lalu lintas, di pinggir jalan, dan banyak tempat-tempat lain yang seringkali dijadikan tempat-tempat beroperasi. Belakangan ini baik pengamen, pengemis, dan gelandangan semakin banyak berkeliaran di jalanan, terutama di Kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Pemuda, remaja, pasangan suami-istri, anak-anak, dan perempuan renta semakin menyesaki ruang publik kita. Itulah yang menyebabkan sebagian besar dari kita merasa sangat terganggu dengan keberadaan mereka yang hampir ada dimana-mana membuat kita merasa tidak nyaman.Banyaknya kriminalitas juga sering kali dikaitkan terutama dengan anak-anak jalanan, karena mereka dibeberapa kesempatan terlihat melakukan tindak-tindak kriminalitas seperti pencopetan, perampasan, melakukan tindak kekerasan, penodongan, pelecehan seksual, perkelahian, dan masih banyak kejahatan-kejahatan lain yang rentan dilakukan oleh anak-anak jalanan. Mungkin hal-hal tersebut yang akhirnya membuat pemerintah dan masyarakat menganggap mereka sebagai sampah masyarakat.
34
Jadi tidak bisa dipungkiri lagi anak jalanan yang melakukan tindakan sebagai pengamen karena semata-semata hanya untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarganya yang didasari atas kemauan sendiri (motif instristik) dan juga atas dorongan orang lain yang seperti disuruh orang tuanya dan preman jalanan yang disebut motif ekstrinstik.
B. FAKTOR EKONOMI PENGAMEN ANAK DI WISATA KOTA TUA