• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Tinjauan Teoritis

2. Penganggaran Daerah dan APBD

Menurut Yuwono (2005 : 27) “anggaran adalah suatu rencana terinci yang dinyatakan secara formal dalam ukuran kuantitatif, biasanya dalam satuan uang (perencanaan keuangan) untuk menunjukkan perolehan dan penggunaan sumber-sumber suatu organisasi.”

Suatu anggaran harus terorganisasi secara rapi, jelas, rinci dan komprehensif. Proses penganggaran harus dilakukan secara jujur dan terbuka serta dilaporkan dalam suatu struktur yang mudah dipahami dan relevan dalam proses operasional dan pengendalian organisasi. Untuk menyusun suatu anggaran, organisasi harus mengembangkan lebih dahulu perencanaan strategis. Melalui perencanaan strategis tersebut, anggaran mendapatkan kerangka acuan strategis. Disini, anggaran menjadi bermakna sebagai alokasi sumber daya (keuangan) untuk mendanai berbagai program dan kegiatan.

Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan anggaran daerah adalah sebagai berikut :

1) transparansi, adalah keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan

dan pelaksanaan anggaran daerah. Transparansi memberikan arti bahwa anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat ;

2) akuntabilitas, adalah pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa

proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut, tetapi juga berhak menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut ;

3) value for money, yakni diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran daerah yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti

bahwa penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut

menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik.

Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan

untuk mengantarkan pemerintahan daerah mencapai good governance.

Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya

pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value

for money diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintahan daerah memiliki sistem akuntansi yang baik.

b. Pengertian APBD

Menurut Yuwono (2005 : 92), APBD didefinisikan sebagai “ suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Dalam satu tahun anggaran, APBD meliputi :

1) hak pemerintahan daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan

2) kewajiban pemerintahan daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih ;

3) penerimaan yang perlu dibayar kembali, dan atau pengeluaran yang akan

diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

c. Klasifikasi APBD

Klasifikasi APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13/ 2006 pasal 22 ayat (1) terdiri atas 3 bagian, yaitu : “pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah.”

Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah. (Permendagri 13/ 2006)

Oleh karena penelitian ini menggunakan laporan APBD yang memakai format Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002, maka APBD yang berdasarkan format tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu : “pendapatan, belanja, dan pembiayaan.”

Pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Belanja digolongkan menjadi 4 yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasi menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan yaitu : sumber penerimaan daerah dan sumber pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah adalah : sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dan transfer dari dana cadangan. Sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas : pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun sekarang. (Halim, 2004 : 18).

d. Konsep Pertanggungjawaban APBD

Pengelolaan keuangan daerah berkaitan dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban APBD yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas. Penjelasan mengenai konsep pertanggungjawaban

APBD memiliki hubungan dengan assymetry information theory dan commander

theory.

1) Assymetri Information Theory

Mohamad dkk. (2004) dalam Mulyana (2006 : 65) berpendapat bahwa assymetri information theory beranggapan bahwa banyak terjadi kesenjangan informasi antara pihak manajemen yang mempunyai akses langsung terhadap informasi dengan pihak konstituen atau masyarakat yang berada di luar manajemen.

Dalam hal ini pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara bertindak sebagai manajemen yang mempunyai tanggung jawab berkenaan

dengan pengelolaan keuangan daerah kepada publik secara terbuka dan jujur melalui media berupa penyajian laporan APBD yang dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan anggapan bahwa publik berhak mengetahui informasi tersebut.

Pada kenyataannya, publikasi laporan APBD oleh pemerintahan daerah melalui surat kabar, internet atau dengan cara lain belum menjadi hal yang umum. Kebijakan penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel.

2) Commander Theory

Commander theory mengungkapkan bahwa yang perlu dijadikan sebagai pusat perhatian atau sebagai pemilik perusahaan adalah commandernya atau mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk melakukan kontrol ekonomi atas resorsis yang efektif terhadap suatu perusahaan. Penekanan informasi menurut teori ini adalah pertanggungjawaban bagaimana mereka yang dipercayai mengelola kekayaan yang diamanahkan kepadanya.

Pada pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah bagian keempat tentang belanja daerah ayat 1 dinyatakan bahwa ,“kekayaan yang dimiliki daerah seharusnya digunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.”

Pada kenyataan dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan, kategori

pengeluaran kebutuhan non esensial atau kebutuhan luxury seperti taman dan

rekreasi, kebudayaan dan pelayanan pendidikan adalah lebih kuat daripada

kebutuhan esensial seperti keamanan (police), pelayanan dasar, kesehatan dan

proteksi terhadap kebakaran yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

3. Dana Alokasi Umum

a. Pengertian Dana Alokasi Umum

Menurut Halim (2004 : 141), Dana Alokasi Umum adalah “dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.”

b. Tujuan Dana Alokasi Umum

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2000, Mardiasmo

(2002 : 157) mengungkapkan bahwa “tujuan DAU adalah untuk horizontal equity

dan sufficiency. Tujuan horizontal equity merupakan kepentingan pemerintah pusat dalam rangka melakukan distribusi pendapatan secara adil dan merta agar tidak terjadi kesenjangan yang lebar antar daerah. Sementara itu yang menjadi

kepentingan daerah adalah kecukupan (sufficiency), terutama adalah untuk

menutup fiscal gap.”

Fiscal gap terjadi karena karakteristik daerah di Indonesia sangat beraneka ragam. Ada daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah. Ada

juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan alam yang besar namun karena stuktur perekonomian mereka telah tertata dengan baik maka potensi pajak dapat dioptimalkan sehingga daerah tersebut menjadi kaya. Namun, banyak juga daerah yang secara alamiah maupun struktur ekonomi masih sangat tertinggal. Untuk itulah maka transfer dari Pemerintahan Pusat dalam bentuk DAU masih

diberikan untuk mengatasi kesenjangan antar daerah (fiscal gap).

4. Pendapatan Asli Daerah

a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah adalah “pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Disamping Dana Perimbangan yang berasal dari Pemerintahan Pusat, daerah juga dapat membiayai pelaksanaan pembangunan daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah. PAD inilah yang sebenarnya menjadi barometer utama suksesnya pelaksanaan otonomi daerah. Diharapkan dengan adanya otonomi, kemandirian daerah dapat diwujudkan yang dimanifestasikan lewat struktur PAD yang kuat.

b. Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah

Sebagaimana dinyatakan Halim (2004 : 67), PAD merupakan sumber murni daerah yang terdiri dari :

a. pajak daerah

c. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan

d. lain-lain PAD yang sah

Klasifikasi PAD yang dinyatakan oleh Halim (2004 : 67) adalah sesuai dengan klasifikasi PAD berdasarkan Kepmendagri 29/ 2002.

Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang dimaksud dengan “pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”

Jenis pajak Kabupaten/Kota menurut Undang-Undang No. 34 tahun 2000 antara lain :

1) Pajak hotel

2) Pajak restoran

3) Pajak hiburan

4) Pajak reklame

5) Pajak penerangan jalan

6) Pajak pengambilan bahan galian golongan C

7) Pajak parkir

Retribusi Daerah

Yang dimaksud dengan retribusi menurut Saragih (2003 : 65) adalah “pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang

khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan.”

Macam retribusi untuk kabupaten/ kota meliputi objek pendapatan sebagai berikut :

a. Retribusi Jasa Umum, terdiri dari :

1) Pelayanan kesehatan

2) Pelayanan kebersihan dan persampahan

3) Penggantian biaya cetak KTP dan akta catatan sipil

4) Pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat

5) Pelayanan parkir di tepi jalan umum

6) Pelayanan Pasar

7) Pelayanan air bersih

8) Pengujian kendaraan bermotor

9) Pemeriksaan alat pemadam kebakaran

10) Penggantian biaya cetak peta

11) Pengujian terhadap kapal perikanan

b. Retribusi Jasa Usaha

2) Pasar grosir atau pertokoan

3) Pelayanan terminal

4) Pelayanan tempat khusus parkir

5) Pelayanan tempat penitipan anak

6) Penginapan/pesanggrahan/ vila

7) Penyedotan kakus

8) Rumah potong hewan

9) Tempat pendaratan kapal

10) Tempat rekreasi dan olahraga

11) Penyeberangan di atas air

12) Pengelolaan air limbah

13) Penjualan usaha produksi daerah

c. Retribusi Perijinan Tertentu

1) Ijin penggunaan tanah

2) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)

3) Ijin tempat penjualan minuman beralkohol

5) Ijin trayek

6) Ijin pengambilan hasil hutan

Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan

Menurut Halim (2004 : 68), jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut “1) bagian laba perusahaan milik daerah, 2) bagian laba lembaga keuangan bank, 3) bagian laba lembaga keuangan nonbank, 4) bagian laba atas penyertaan modal/ investasi.”

Lain-lain PAD yang sah

Menurut Halim (2004 : 69), jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut “1) hasil penjualan asset daerah yang tidak dipisahkan, 2) penerimaan jasa giro, 3) penerimaan bunga deposito, 4) denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, 5) penerimaan ganti rugi atas kerugian/ kehilangan kekayaan daerah.”

5. Belanja Daerah

a. Pengertian Belanja Daerah

Menurut Kepmendagri No. 29 tahun 2002, belanja daerah adalah “semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.”

Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa belanja daerah dilaksanakan untk mendanai urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah, sedangkan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat didanai dari dan atas beban APBN.

b. Klasifikasi Belanja Daerah

Berdasarkan Kepmendagri 29/2002, belanja daerah terdiri dari : a. Belanja aparatur daerah, terdiri dari :

1) Belanja administrasi umum 2) Belanja operasi dan pemeliharaan 3) Belanja modal/ pembangunan b. Belanja pelayanan publik

1) Belanja administrasi umum 2) Belanja operasi dan pemeliharaan

3) Belanja modal

c. Bagi Hasil

d. Bantuan Keuangan

Belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri 13/ 2006 terbagi atas :

a. belanja tidak langsung yaitu belanja yang anggarannya tidak terkait

secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Contohnya adalah belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga ;

b. belanja langsung yaitu belanja yang dianggarkan terkait secara

langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan seperti belanja pegawai honorarium/ upah, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

6. Flypaper Effect

Istilah flypaper effect diperkenalkan pertama kali oleh Courant, Gramlich,

dan Rubinfeld (1979) untuk mengartikulasikan pemikiran Arthur Okun (1930)

flypaper effect dalam bahasa indonesia sehingga kata ini dituliskan sebagaimana

adanya tanpa diterjemahkan. Fenomena flypaper effect membawa implikasi lebih

luas bahwa transfer dari pemerintah pusat akan meningkatkan belanja pemerintahan daerah yang lebih besar daripada penerimaan transfer itu sendiri (Turnbull, 1998).

Dalam khasanah ekonomi, telaah mengenai flypaper effect dapat

dikelompokkan menjadi 2 aliran pemikiran, yaitu model birokratik (bureaucratic

model) dan ilusi fiskal (fiscalillusion model). Model birokratik menelaah flypaper effect dari sudut pandang birokrat, sedangkan model ilusi fiskal mendasarkan kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang mengalami keterbatasan informasi terhadap anggaran pemerintahan daerahnya. Aliran pemikiran birokratik diawali oleh Niskanen (1968). Dalam pandangannya, posisi birokrat lebih kuat dalam pengambilan keputusan publik. Ia mengasumsikan birokrat berperilaku memaksimisasi anggaran sebagai proksi kekuasaannya. Secara implisit, model

birokratik menegaskan flypaper effect sebagai akibat dari perilaku birokrat yang

lebih leluasa membelanjakan transfer daripada menaikkan pajak sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah. McGuire (1973) mengistilahkan hal ini sebagai

ketamakan politisi (a greedy politiciansmodel). Dengan demikian, flypaper effect

terjadi karena superioritas pengetahuan birokrat mengenai transfer. Informasi lebih yang dimiliki birokrat memungkinkannya memberikan pengeluaran yang berlebih.

Holtz-Eakin et al (1985) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pemerintahan Pusat dengan belanja Pemerintahan Daerah. Secara spesifik mereka menegaskan bahwa variabel-variabel kebijakan

Pemerintahan Daerah dalam jangka pendek disesuaikan (adjusted) dengan transfer

yang diterima, sehingga memungkinkan tejadinya respon yang non-linier dan

assymetric. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Sukriy dan Halim (2004) bahwa daya prediksi DAU terhadap Belanja Daerah adalah lebih kuat pada regresi

dengan lag (DAU tahun 2001 terhadap Belanja Daerah 2002).

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Abdullah dan Halim (2004) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah di Indonesia dengan menggunakan sampel sebanyak 70 kabupaten dan 20 kota di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Bali. Data yang dianalisis dalam

penelitian ini adalah data cross section yakni data tahun 2001 dan 2002 dari

laporan APBD Pemda yang diperoleh dari situs Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan. Statistik yang digunakan dalam penelitian Abdullah dan

Halim (2004) ini adalah regresi sederhana (simple regression) dan regresi

berganda (multiple regression). Regresi sederhana dipakai untuk melihat pengaruh

jumlah DAU, pajak daerah dan PAD secara terpisah terhadap jumlah belanja. Regresi berganda digunakan dengan tujuan untuk memprediksi apakah komponen-komponen pendapatan daerah tersebut secara serentak mempengaruhi belanja daerah. Hasil penelitian Abdullah dan Halim (2003) menunjukkan bahwa

secara terpisah dan atau secara bersama-sama DAU dan PAD berpengaruh signifikan positif terhadap belanja daerah.

Haryo Kuncoro (2007) melakukan penelitian dengan mengangkat judul

Fenomena Flypaper effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota dan

Kabupaten Di Indonesia. Studi ini berbeda dengan studi-studi sebelumnya setidaknya dalam tiga hal. Pertama, studi ini mengklarifikasi keterkaitan langsung antara penerimaan transfer dengan upaya pemerintah daerah dalam menggali PAD. Hal ini ditujukan agar transfer mampu menciptakan kinerja fiskal yang lebih baik dalam mengurangi ketidakseimbangan fiskal secara vertikal. Kedua, dari sisi belanja adalah dengan mengamati sensitivitas belanja pemerintahan daerah dalam merespon perolehan transfer. Hal ini merupakan prasyarat penting yang harus dikaji agar transfer yang didistribusikan mampu mengurangi ketidakseimbangan fiskal secara horizontal. Ketiga, kedua aspek tersebut di atas dirangkum ke dalam satu kerangka kerja dengan memperhatikan eksternalitas

fiskal (budget spillover), baik sisi penerimaan dan belanja, yang muncul secara

timbal balik antardaerah. Data utama yang dikumpulkan meliputi pos-pos PAD, transfer antar pemerintah, Pengeluaran Rutin (Belanja Operasional), dan Pengeluaran Pembangunan (Belanja Modal) pemerintah daerah, serta PDRB. Di samping itu, penelitian ini memerlukan pula data pendukung lainnya seperti tingkat luas wilayah, tingkat harga (inflasi), dan jumlah penduduk di tiap kota dan kabupaten. Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang diperoleh dari BPS

dan DitjenPKPD Departemen Keuangan. Data yang diteliti merupakan data

mencakup periode tahun 1988 hingga 2003. Cakupan spasial studi adalah kota dan kabupaten. Atas dasar pertimbangan ini terkumpul 280 kota dan kabupaten. Sampel ini mencapai 75 persen atas jumlah populasi pada tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alokasi transfer dari pemerintahan pusat diikuti dengan pertumbuhan belanja pemerintahan daerah yang lebih tinggi. Gejala ini memperlihatkan bahwa birokrat pemerintahan daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat. Ada indikasi peningkatan belanja yang tinggi tersebut disebabkan karena inefisiensi belanja pemerintahan daerah terutama belanja operasional.

Monika Siagian (2008) melakukan penelitian untuk meguji Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan lain-lain yang Dianggap Sah Terhadap Belanja Pemerintah Daerah : Studi Kasus Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara. Data dalam penelitian Monika Siagian diperoleh dari situs Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan (www.djpkpd.go.id). Adapun periode waktu

yang digunakan terdiri dari data time series mulai tahun 2004 hingga 2006 yang

dikombinasikan dengan data cross section pada 8 kabupaten dan 4 kota di

Propinsi Sumatera Utara yang dipilih sebagai daerah sampel. Pengolahan data adalah dengan menggunakan metode analisis regresi berganda, uji F dan uji t. Hasil analisis yang dilakukan Monika Siagian menunjukkan bahwa DAU, PAD dan Pendapatan Lain-lain Yang Dianggap Sah secara simultan dan parsial

Tabel 2.

TINJAUAN PENELITIAN TERDAHULU No Peneliti (Tahun Penelitian) Judul Variabel Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 1. Sukriy Abdullah dan Abdul Halim (2004) Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah : Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali Variabel Independen : DAU dan PAD Variabel dependen : Belanja Pemerintahan Daerah Analisis regresi sederhana (simple regression) dan regresi berganda (multiple regression) Hasil penelitian Sukriy dan Abdul Halim menunjukkan bahwa bahwa ketika tidak digunakan tanpa lag, pengaruh PAD terhadap Belanja daerah lebih kuat daripada DAU, tetapi dengan digunakan lag, pengaruh DAU terhadap Belanja daerah justru lebih kuat dari pada PAD 2. Haryo Kuncoro (2007) Fenomena Flypaper effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Variabel Independen : DAU dan PAD Variabel Analisis ekonometrika spasial melalui pendekatan Alokasi transfer diikuti dengan pertumbuhan belanja yang lebih tinggi. Gejala ini

Daerah Kota dan Kabupaten Di Indonesia dependen : Belanja Pemerintahan Daerah sistem persamaan simultan. memperlihatkan bahwa birokrat pemerintahan daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat. Ada indikasi peningkatan belanja yang tinggi tersebut disebabkan karena inefisiensi belanja pemerintahan daerah terutama belanja operasional. 3. Monika Siagian (2008) Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan lain-lain yang Dianggap Sah Terhadap Belanja Pemerintah Daerah : Variabel Independen : DAU, PAD dan Pendapatan Lain-lain yang dianggap sah Variabel dependen : Setelah dilakukan pengujian hipotesis dapat diambil kesimpulan bahwa secara parsial DAU, PAD dan pendapatan lain-lain yang dianggap sah mempunyai pengaruh

Studi Kasus Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara. Belanja Pemerintahan Daerah terhadap belanja daerah.

DAU, PAD dan pendapatan lain-lain yang dianggap sah secara simultan (bersama-sama) mempunyai pengaruh signifikan terhadap belanja daerah.

BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain kausal. “Desain kausal berguna untuk mengukur hubungan antara variabel X dengan variabel Y dimana variabel dependen ( sebut: variabel Y) dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen tertentu (sebut: variabel X), maka dapat dinyatakan bahwa variabel X menyebabkan variabel Y.” ( Indriantoro dan Supomo, 2002 : 90)

B. Populasi dan Sampel Penelitian

“Populasi adalah sekelompok orang, kejadian, suatu yang mempunyai karakteristik tertentu” (Erlina dan Mulyani, 2007 : 73).

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara, dalam hal ini seluruh Kabupaten/Kota yang telah membuat dan mempublikasikan laporan APBDnya. Populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 25 Kabupaten dan 8 Kota.

“Sampel adalah bagian populasi yang digunakan untuk memperkirakan karakteristik populasi” (Erlina dan Mulyani, 2007 : 74). Pengambilan sampel

dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling dengan cara

purposive sampling yaitu “teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.” (Arikunto, 1990 : 128). Sampel tersebut adalah data dari 13 Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.

1. Kabupaten/ kota di Propinsi Sumatera Utara yang mempublikasikan laporan APBD dalam situs Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dokumen terkait