• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengangguran Perkotaan dan Pedesaan

B. Persamaan Upah Riil Sektoral Pedesaan

5.4.7. Pengangguran Perkotaan dan Pedesaan

Masalah pengangguran adalah salah satu masalah makro ekonomi, yang oleh banyak pihak senangtiasa dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Karena

pengangguran yang tinggi tidak hanya mencirikan pendapatan rata-rata masyarakat menjadi rendah, tetapi juga dapat berdampak buruk pada stabilitas sosial, keamanan bahkan dapat mempengaruhi kondisi perekonomian.

Pengangguran, tentu saja sangat terkait dengan dinamika pasar tenaga kerja itu sendiri, baik dari sisi permintaan tenaga kerja, maupun dari sisi penawarannya. Karena pengangguran, tidak lain adalah excess supply dari pasar tenaga kerja. Ketika pertumbuhan kesempatan kerja tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja, maka jumlah pengangguran akan semakin meningkat. Kesempatan kerja terkait dengan berbagai sumbe-sumber pertumbuhan ekonomi, sedangkan angkatan kerja, selain dipengaruhi oleh transisi masuk angkatan kerja (penduduk usia kerja yang masuk ke angkatan kerja) juga tentunya terkait dengan migrasi masuk. Karena itu model persamaan pengangguran yang dirumuskan adalah dimana pengangguran merupakan fungsi dari permintaan tenaga kerja, angkatan kerja, migrasi dan pertumbuhan ekonomi. Persamaan ini didisagregasi berdasarkan wilayah perkotaan dan pedesaan.

Berdasarkan hasil pendugaan, maka persamaan pengangguran ini menghasilkan nilai koefisien detereminasi (R2) sebesar 97.78 persen untuk persamaan pengangguran perkotaan dan sekitar 99.79 persen untuk persamaan pengangguran pedesaan. Sedangkan nilai uji F-Statistik, menunjukkan bahwa variabel yang dimasukkan dalam model, secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel endogennya pada tingkat kesalahan (a) = 0.01. Gambaran ini menunjukkan bahwa perilaku variabel endogen dari masing- masing persamaan dapat dijelaskan secara baik oleh peubah penjelas. Hasil uji korelasi serial juga menunjukkan bahwa kedua persamaan pengangguran yang dirumuskan tidak mengandung masala korelasi serial. Hasil estimasi dari persamaan pengangguran ini dapat dilihat pada tabel 16.

Tabel 16 Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran perkotaan dan pedesaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004

Elastisitas

PEUBAH Dugaan

Parameter

Probability

t-Statistik JK Pendek JK Panjang

UK Pengangguran Perkotaan

Intersept 7.136124 0.0000 a)

A.Kerja Perkotaan (AKK) 0.0000964 0.0000 a) 5.8108 n.a

K.Kerja Perkotaan (KK) -0.000104 0.0000 a) -5.4315 n.a

Migrasi Masuk (MM) 4.36E-06 0.9230 0.0082 n.a

Pertumbuhan Ekonomi (PE) -0.012016 0.8608 -0.0059 n.a

R2 = 0.9778; F-Hitung = 143.3178 a); DW = 1.1650

UD Pengangguran Pedesaan

Intersept 1.879203 0.2114

A.Kerja Pedesaan (AKD) 0.000038 0.0000 a) 18.0129 n.a

K.Kerja Pedesaan (KD) -0.0000387 0.0000 a) -17.4013 n.a

Migrasi Masuk (MM) -0.0000122 0.1844 -0.0567 n.a

Pertumbuhan Ekonomi (PE) -0.019486 0.3671 -0.0239 n.a

R2 = 0.9979; F-Hitung = 1534.496 a); DW = 1.6237 Sumber : Diolah dari Berbagai Data BPS, 1985-2004

Hasil pendugaan parameter peubah penjelas pada persamaan pengangguran perkotaan dan pedesaan, menunjukkan bahwa, variabel kesempatan kerja dan angkatan kerja secara konsisten berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran perkotaan dan pengangguran pedesaan pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.01. Sedangkan variabel migrasi masuk hanya berpengaruh pada pengangguran pedesaan pada tingkat a = 0.20 dengan korelasi yang bersifat negatif terhadap pengangguran. Sementara variabel pertumbuhan ekonomi konsisten tidak berpengaruh terhadap pengangguran perkotaan dan pedesaan.

Koefisien korelasi dari variabel angkatan kerja dan kesempatan kerja konsisten untuk wilayah perkotaan dengan di wilayah pedesaan, dimana angkatan kerja berkorelasi positif, sedangkan kesempatan kerja berkorelasi negatif. Sedangkan migrasi masuk memberi pengaruh berbeda terhadap pengangguran di perkotaan dengan pengangguran di pedesaan. Di wilayah perkotaan, meningkatnya migrasi akan mendorong peningkatan pengangguran, sedangkan di pedesaan justru pengangguran cenderung menurun dengan meningkatnya migrasi masuk. Hal ini tentu terkait dengan sifat data migrasi masuk yang dianalisis, yang merupakan migrasi masuk pada setiap kabupaten/kota yang telah diagregasikan, sehingga tentunya data tersebut sekaligus mencirikan migrasi antar kabupaten dan antar desa dengan kota. Karena itu semakin banyak jumlah migrasi, maka semakin banyak pula pencari kerja di perkotaan dan sebaliknya akan mengurangi jumlah

pencari kerja di pedesaan. Selanjutnya koefisien korelasi pertumbuhan ekonomi juga konsisten bersifat negatif dengan tingkat pengangguran, yang berarti ada kecenderungan pengangguran menurun dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, namun kecenderungan ini tidak bersifat nyata secara statistik.

Hasil perhitungan nilai elastisitas masing- masing variabel, menunjukkan bahwa variabel angkatan kerja dan kesempatan kerja di pedesaan dan perkotaan bersifat elastis terhadap tingkat pengangguran baik dalam jangka pendek, maupun dalam jangka panjang. Namun jika dilihat dari besaran nilai elastisitasnya, maka respon pengangguran terhadap perubahan angkatan kerja dan kesempatan kerja di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan respon pengangguran perkotaan terhadap perubahan variabel serupa di perkotaan. Hal ini disebabkan karena lebih dari 70 persen angkatan kerja, maupun penduduk bekerja yang ada di Sulawesi Selatan, terkonsentrasi di wilayah pedesaan. Sehingga peningkatan angkatan kerja atau pengurangan kesempatan kerja di pedesaan (cateris paribus) akan berdampak besar terhadap pengangguran, paling tidak dampaknya lebih besar dibandingkan terhadap pengangguran perkotaan.

Tidak signifikannya pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di Sulawesi Selatan di sebabkan oleh sifat pertumbuhan ekonomi daerah ini tidak berbasis pada pertumbuhan sektor padat karya. Hal ini di indikasikan pada persamaan sebelumnya dimana pertumbuhan ekonomi tidak responsif terhadap pertumbuhan tenaga kerja, bahkan tenaga kerja di sektor padat karya (pertanian) tidak mampu memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan nilai tambah sektor pertanian. Dengan kata lain peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah ini tidak di ikuti peningkatan jumlah tenaga kerja secara signifikan sehingga tidak mampu menekan laju pengangguran.

Hasil pendugaan pada persamaan ini menunjukkan bahwa meskipun angkatan kerja dan kesempatan kerja berpengaruh siginfikan terhadap pengangguran, namun tampaknya angkatan kerja memberi tekanan yang lebih besar, yang terlihat dari nilai elastsitasnya yang lebih besar di bandingkan elastisitas kesempatan kerja. Kondisi ini dapat dipahami bahwa apabila tidak ada upaya untuk mengreasi perluasan kesempatan kerja, maka pengangguran akan terus meningkat. Karena itu, guna mengatasi pengangguran ini, maka kebijakan

pemerintah sangat diperlukan untuk mengkreasi atau mendorong perluasan kesempatan kerja baru, sehingga pertambahan angkatana kerja baru yang lebih cepat dapat terserap. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah ini terutama kaitannya dengan kebijakan fiskal baik dari sisi penerimaan, maupun dari sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan, perda-perda yang mengatur pajak dan retribusi yang bersifat ”menghambat” perkembangan sektor riil seyogyanya diminimalkan. Sedangkan dari sisi pengeluaran, diharapkan dapat lebih fokus untuk perbaikan infrastruktur serta peningkatan pelayanan publik. Sehingga dengan strategi ini diharapkan sektor riil dapat lebih berkembang dan lebih mampu untuk menciptakan lapangan kerja baru.

5.5. Analisis Kekakuan Upah dan Kelambanan Respon Permintaan Tenaga