• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam Sebagai Program Pengentasan Kemiskinan dan Anak-Anak yang Terlantar

Kata “mengentaskan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: mengangkat (dari suatu tempat ke tempat lain), mengentaskan untuk orang lain, menyadarkan, memperbaiki, (menjadikan, mengangkat) nasib atau keadaan yang kurang baik kepada yang (lebih) baik).50 Berdasarkan makna tersebut, dapat diketahui bahwa yang dientaskan adalah nasib, objek yang dilanda keadaan kurang baik untuk dijadikan lebih baik. Sementara dalam konteks mengentaskan kemiskinan bertujuan untuk merubaah keadaan yang kurang baik menjadi keadaan yang lebih baik.

Peganngkatan anak dalam perspektif pengentasan kemiskinan, diartikan sebagai mengangkat anak dari keadaan yang kurang baik untuk menjadi lebih baik, sehingga keadaan anak tersebut di masa mendatang menjadi baik sebaagaimana keadaan anak-anak yang berada di lingkungan keluarga yang baik (dibaca mampu).

Islam telah lama mengenal istilah adopsi yang dikenal dengan istilah : “Tabbani” yang di era modern sekarang ini disebut Adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW , bahkan mempraktekkan langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya. Tabbani secara harafiah diartikan seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan lainnya, karena secara hukum anak itu bukan anaknya.

Pengangkatan anak dinilai pantas sebagai perbuatan yang pantas dilalkukan oleh pasangan suami isteri yang luas rejekinya, namun belum dikaruniai anak, oleh karena itu sangat baik apabila mengambil anak orang lain yang kurang mampu agar, mandapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim-piatu) atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.

Di Indonesia peraturan terkait dengan pengangkatan anak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam juga memperhatikan tentang aspek ini. Pasal 171 KHI menentukan bahwa,” anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal ke orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengharapkan supaya pengangkatan anak dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial, untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri, dan ini merupakan perbuatan yang terpuji, dan termasuk amal saleh. Demikian tidak diragukan lagi bahwa usaha melakukan pengangkatan anak (adopsi) itu merupakan perbuatan yang

terpuji dan dianjurkan oleh agama dan diberi pahala. Seorang ayah angkat diperbolehkan mewasiatkan sebagian dari harta peninggalannya untuk anak angkatnya, sebagai persiapan masa depannya, agar ia dapat merasakan ketenangan hidup. Para ulama di Indonesia telah memfatwakan bahwa pengangkatan anak warga Negara Indonesia oleh orang asing, selain bertentangan dengan Pasal 34, UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa Indonesia. Pengangkatan anak oleh warga Negara Indonesia, terhadap anak-anak kurang mampu dan anak-anak yang terlantar dari aspek agama islam merupakan suatu kewajibann bagi yang memenuhi syarat.

Bertolak dari paparan di atas diketahui, ada 3 ( tiga) dasar prinsip pengangkatan anak, yaitu:

6. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

7. Pengangkatan anak yang dilakukan tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung;

8. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, apabila calon orang tua angkat berbeda agama antara suami dan isteri , maka calon orang tua angkat tersebut tidak bisa melakukan pengangkatan anak.

Berdasarkan pembahasan tentang konsep pengangkatan anak dalam hukum islam sebagaimana dipaparkan di atas, akhirnya dapat dimengerti bahwa pengangkatan anak terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar pada hakikatnya dapat dijadikan upaya pemerintah dalam program pengentasan fakir miskin dan anak terlantar, demi kepentingan masa depan anak-anak tersebut.

BAB VI

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Penelitian ini pertama kali mencarikan dasar-dasar atau landasan hukum yang kuat pengentasan kemiskinan melalui pengengkatan anak, tanpa menimbulkan masalah social, hukum dan agama.

Selanjutnya untuk tahap penelitian berikutnya mengupayakan akan mencari makna pengangkatan anak menurut hukum islam berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Untuk tahun ke tiga dapat dilakukan rencana aksi berkaitan dengan mediasi antara yang memenuhi syarat untuk pengangkatan anak dengan pihak fakir miskin dan anak terlantar.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang telah diuraikan dalam-Bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hukum Islam memandang pengangkatan anak sebagai upaya pengentasan kemiskinan dari keluarga yang tidak mampu dan atau anak-anak yang terlantar agar keadaan anak tersebut menjadi lebih baik sebagaimana keadaan anak-anak dari lingkungan keluarga yang mampu. Hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberian kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan-keperluan lainnya.

2. Prinsip-prinsip pengangkatan anak dalam hukum islam dapat membantu Pemerintah berkaitan dengan tanggungjawab konstitusionalnya dalam memelihara dan mengentaskan fakir miskin serta anak-anak yang terlantar di Indonesia.

6.2. Saran-Saran

1. Dalam rangka mempercepat tercapainya tujuan Negara Republik Indonesia untuk mensejahterakan masyarakat, hendaknya Pemerintah mengintensifkan sosialisasi pengangkatan anak sebagai solusi kepada masyarakat yang mampu yang belum punya keturunan menggunakan pengangkatan anak sebagai perbuatan yang dapat menambah amal soleh.

2. Demi kepastian hukum terhadap pelaksanaan pengentasan fakir miskin dan ana-anak yang terlatar melalui pengangkatan anak, dan meminimalisir penyalahgunaan lembaga pengangkatan anak, perlu adanya kebijakan

regulasi mengenai baik pengawasan prosedur maupun

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, 2010, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan anak di

Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta

Ali Khomsan, dkk, 2015: Indikator Kemiskinan, dan Misklasifikasi Orang Miskin, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta

Antaranews.com ”Pengentasan Kemiskinan Menjanjadi Tanggung jawab Bersama” Amir Syarifudin, 2005, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta

Budiono, Rahmad, 2010, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam, Pen. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bushar Muhammad, 20010, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta Pradnya Paramita, Jakarta

Balai Pustaka, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia, Jakarta

Hilman Hadikusuma, 20011, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Masjfuk Zuhdi, 2010, Masail Fiqhiyah, CV. Haji Mas Agung, Jakarta.

Muderis Zaini, 2010, Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem HUkum, Sinar Grafika, Jakarta Peksos Room: Definisi anak Terlantar: Kurniawan-ramsen .blogspot.com.

Sholeh, 2010: Kemiskinan: “Telaah dan Beberapa Strategi Penanggulangannya”, dalam Ali Khohsan dkk.

Simorangkir, JCT, 1996, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta

Soepomo, 2010, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pustaka Gramedia, Jakarta

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), Rajawali Press., Jakarta.

Surojo Wigjodipuro, 2011, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Dokumen terkait