• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR HIBAH DOSEN MUDA PENGENTASAN FAKIR MISKIN DAN ANAK-ANAK TERLANTAR MELALUI PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR HIBAH DOSEN MUDA PENGENTASAN FAKIR MISKIN DAN ANAK-ANAK TERLANTAR MELALUI PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Bidang Unggulan :Sosial,Ekonomi Dan Bahasa Kode/Bidang Ilmu : 596 / Ilmu Hukum

LAPORAN AKHIR HIBAH DOSEN MUDA

PENGENTASAN FAKIR MISKIN DAN ANAK-ANAK TERLANTAR MELALUI PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM

Ketua/Anggota Tim

I NYOMAN MUDANA SH.,MH (Anggota) NIP. 19561231198601001 DR. MARWANTO .SH., M.Hum (Ketua) NIP. 19600101198602001

Dibiayai oleh

DIPA PNPB Universitas Udayana TA-2017

Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Pendidikan Nomor:673-78/UN14.4.A/LT/2017,12 Juli 2017

(2)
(3)

--"

s

RAT

CATATA

'

CIPTAAN

, , Dalam rangka pelindungan ciptaan dl bld.!mg. lImu pengetahuan, seni ,dan ssstra berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hm.c C~de, all:-in+-fMnerangkan: '. '

~ :~ .. ' - ~. - -:: ." _. . - ".

••: ~ - - . , I

NomoI' an tanggal permQhQtlart

/~:..~~

::,:.--. : Ecd

~1820920,-1Z'Jun

20t

~:"~

'.

Penclpta , ' : . , .. i, . .~:~_-=~_

..__

~.

::,.

:~ ~;,,~

".

~ ~. ~

Nama Afamat

(4)
(5)

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mencari solusi yang tepat apa yang dapat dilakukan dalam rangka program pengentasan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar, dalam perspektif hukum islam. Metodenya adalah metode penelitian hukum normatif/doktriner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip pengangkatan anak dalam perspektif hukum islam tidak menyebabkan putusnya hubungan kekerabatan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya hanyalah sebatas hubungan dalam rangka pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua kandung kepada orang tua angkatnya berdasarkan Putusan Pengadilan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Hukum Islam memandang pengangkatan anak sebagai upaya pengentasan kemiskinan dari keluarga yang tidak mampu dan atau anak-anak yang terlantar agar kehidupan di masa mendatang mejadi lebih baik. Prinsip-prinsip pengangkatan anak dalam hukum islam dapat membantu Pemerintah berkaitan dengan tanggungjawab konstitusionalnya dalam memelihara dan mengentaskan fakir miskin serta anak-anak yang terlantar.

(6)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya, karena Laporan Penelitian yang berjudul “Pengentasan Fakir Miskin dan Anak Terlatar Melalui Pengangkatan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam”, akhirnya dapat diseleaikan tepat pada waktunya sesuai dengan skedul pelaksanaan penelitian. Penelitian ini dapat terselenggara, karena LPPM Universitas Udayana telah menyetujui proposal yang diajukan oleh Tim peneliti, dengan demikian dibiayai oleh DIPA PNPB Universitas Udayana TA-2017, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Pendidikan Nomor: 673-78/UN14.4.A/LT/2017, 12 Juli Tahun 2017.

Dalam kesempatan ini tidak berlebihan jika tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Udayana, sebagai Pimpinan Lembaga yang telah memberi kesempatan kepada para dosen untuk melakukan penelitian.

2. Ketua LPPM Universitas Udayana, sebagai penyelenggara dan pengelola dana anggaran penelitian;

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberi kesempatan kepada para dosen untuk berpartisipasi dalam salah satu Tridarma Perguruan Tinggi;

4. Ketua LPPM Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telaah mengelola dan mengkoordinir para peneliti di Fakultas Hukum Unud;

5. Seluruh sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana, dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

(7)

Tiada Gading yang tak retak, maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca akan diterima dengan senang hati.

Denpasar, 19 Nopember 2017

(8)

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN ... i PRAKATA... ii DAFTAR ISI ... iv DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I. PENDAHULUAN ... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...4

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...9

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 11

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKIUTNYA ... 33

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Instrumen

Personalia Tenaga peneliti HKI dan Publikasi

(9)

BAB I PENDAHULUAN

Fakir miskin dan anak yang terlantar di Indonesia dapat dengan mudah dijumpai, terutama di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Di kota-kota besar tersebut sangat mudah dijumpai para pengemis dengan bermacam-macam istilah. Ada yang menyebut gelandangan, pengemis, pengamen dan anak jalanan. Keberadaan mereka merupakan cerimnan dari kehidupan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar. Jumlah mereka cenderung semakin meningkat dan terus bertambah banyak, terutama pada bulan-bulan puasa dan hal itu akan meningkat drastis pada hari-hari mendekati lebaran. Mereka akan memadati tempat-tempat strategis di kota-kota besar seperti di perempatan jalan terutama pada lampu Traficlight, serta tempat-tempat keramaian, misalnya tempat perbelanjaan/ mall, dan sebagainya.

Keberadaan para pengemis, gelandangan dan pengamen yang berdatangan ke kota-kota tersebut belum mendapat perhatian yang khusus dari pemerintah, selain hanya melakukan penangkapan dan pembinaan di Depsos. Namun akhirnya mereka kembali lagi beroperasi seperti semula. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menentukan: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara Negara. Bertolak dari ketentuan tersebut jumlah fakir miskin dan anak terlantar yang terus bertambah dapat merupakan indiksasi bahwa Negara belum dapat memberikan penghidupan yang layak bagi mereka.

Fenomena fakir miskin dan anak yang terlantar tersebut saat ini keadaannya sangat memprihatinkan. Keprihatinan ini antara lain disebabkan karena Negara belum mampu hadir sepenuhnya dalam penanganan masalah-masalah sosial, juga disebabkan oleh adanya penyimpangan-penyimpangan dari peran panti-panti asuhan yang disalahgunakan dengan menghimpun dana untuk kepentingan pribadi, akibatnya fakir miskin dan anak terlantar semakin

(10)

terlantar. Hal tersebut dapat diketahui baik dari media-media cetak maupun media elektronik yang hampir setiap hari ada pemberitaan tentang kondisi anak-anak yang ada di panti asuhan.

Dalam perspektif pembaharuan hukum islam, konsep untuk mengentaskan fakir miskin dan anak yang terlantar pada hakikatnya telah mendapat pengaturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu dalam bentuk pengangkatan anak. Konsep tersebut tersirat dalam Pasal 171 huruf (h) yang menentukan: anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua anak kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Ketentuan tersebut jika dikaji lebih mendalam mengandung makna bahwa pengangkatan anak dalam perspektif hukum islam dapat dilakukan hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk pemeliharaan hidupnya sehari-hari serta mengenai biaya pendidikan yang ditanggung oleh orang tua angkatnya. Jadi dalam hal ini pengangkatan anak tidak dimaksudkan untuk menjadikan anak angkat sama dengan anak kandung, sehingga tidak memutuskan hubungan kekerabatan dengan orang tua kandungnya. Larangan terssebut sangat erat hubungannya dengan masalah waris-mewaris.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkatnya sudah seperti anak kandung sendiri, bahkan tidak jarang terjadi bahwa cinta kasih orang tua angkat bahkan melebihi dari cinta kasih terhadap anak kandungnya sendiri. Kesejahteraan anak angkat menjadi harapan juga bagi orang tua angkatnya. Oleh karena itu tidak jarang orang tua angkatnya juga ingin membekali biaya kehidupan anak angkatnya, jika anak angkatnya mulai berkeluarga. Satu hal yang pasti apabila orang tua angkatnya meninggal dunia, maka anak angkat bukanlah sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya. Oleh karena itu, jika orang tua angkat ada keinginan untuk memberikan sebagaian dari harta kekayaannya kepada anak

(11)

angkatnya agar dapat dinikmati dan tidak dihadapkan pada masalah hukum di kemudian hari, perlu dicarikan solusi yang dapat menjamin kepastian hukumnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, sangat penting untuk dilakukan penelitian terhadap pengentasan kemiskinan dan anak terlantar dalam perspektif hukum islam. Adapun judul selengkapnya adalah: Pengentasan Fakir Miskin dan Anak-anak yang Terlantar Melalui Peangkatan Anak DalamPerspektif Hukum Islam.

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ditentukan: fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui, bahwa pada dasarnya masalah pengetasan kemiskinan merupakan taggungjawab Negara. Walaupun keterlibatan masyarakat sangat diharapkan, sehingga program pengentasan kemiskinan lebih cepat dapat terrealisir.

Dalam rangka pelaksanakan program pengentasan kemiskinan, Pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan holistik yang mencakup bantuan sosial , pemberdayaan masyarakat, dan meningkatkan mata pencaharian. Beranjak dari hal tersebut pengangkatan anak menurut hukum islam tidak dibolehkan dengan tujuan menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung.

Hukum kewarisan, menurut Amir Syarifudin, adalah hukum yang mengatur harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan berbagai nama, antara lain Faro’id, Fikih Mawaris dan Hukum Waris.1

Menurut hukum kewarisan islam, yang diatur dalam Kompilasi hukum islam, dalam Pasal 174 ayat (1) ahli waris dibedakan:

a. Menurut hubungan darah:

- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, paman dan kakek

- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

(13)

b.Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : - duda atau

- janda

Berdasarkan ketentuan tersebut anak angkat bukanlah sebagai ahli waris. “Anak angkat dalam hal ini adalah anak kandung orang lain yang “diambil ( dijadikan ) anak” oleh seseorang. Perkataan “diambil (dijadikan) anak” di sini bermakna dipelihara, dididik dan dibiayai kehidupannya.2 Seorang anak angkat merupakan anak kandung orang lain yang diperlakukan seperti anak kandungnya sendiri oleh seseorang. Seseorang di sisni lizimnya sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak kendung sendiri. Profesor Hilman Hadikusuma menegaskan, bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan bertujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan dan atau pemeliharaan atas harta keayaan rumah tangga.3

Sementara itu Suroyo Wignjodipuro, memberikan arti anak angkat sebagai suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.4

Tindakan atau perbuatan mengambil anak kandung orang lain untuk dijadikan anak sendiri oleh seseorang itu lazim disebut pengangkatan anak. Istilah pengangkatan anak ini sering dipadankan dengan istilah “Adopsi”. Kata “Adopsi” itu sendiri berasal dari kata Bahasa Belanda, “Adoption” dalam bahasa Inggris. Dalam Bahasa Arab pengangkatan

2 Rachmad Budiono, 2010, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam, Pen. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.114.

3 Hilman Hadikusuma, 20011, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, hal.188.

(14)

anak sepadan maknanya dengan istilah “tabanni” , adanya beberapa ahli hukum yang membedakan makna “Pengangkatan anak” dan “Adopsi”, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan akibat hukum pengambilan anak kandung orang lain untuk dijadikan anak sendiri antara hukum yang satu dengan hukum yang lain, atau karena adanya perbedaan akibat hukum pengambilan anak kandung orang lain untuk dijadikan anak sendiri antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, misalnya akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat berlainan (berbeda) dengan akibat hukum dengan akibat hukum adopsi, menurut Staatblad Tahun 1917 Nomor 129. Pada hematnya, tanpa bermaksud menyamakan sesuatu yang berbeda, istilah pengangkatan anak dapat dipadankan dengan istilah adopsi.

Dalam hukum adat, meskipun hukum adat di daerah yang satu dengan di daerah yang lain berbeda, tetapi dapat dikatakan bahwa seluruh hukum adat di berbagai daerah di Indonesia mengenal pengangkatan anak. Sangat mungkin berlainan adalah akibat-akibat hukum pengangkatan anak di satu daerah dengan daerah lainnya. Hukum adat Minangkabau menegaskan bahwa walaupun pengangkatan anak merupakan perbuatan yang diperbolehkan, tetapi perbuatan itu tidak menimbulkan hubungan kewarisan antara orang tua angkat dengan anak angkat. Sementara di daerah-daerah yang dianut kekerabatan bilateral (parental, keibu-bapakan), misalnya di Jawa, Sulawesi dan sebagian Kalimantan, pengangkatan anak menimbulkan hubungan kewarisan. Hukum adat Jawa mengenal “ngangsu sumur loro” untuk kewarisan anak angkat. Perkataan ngangsu berarti mencari atau memperoleh , “sumur” berarti tempat mengambil air atau perigi, loro berarti dua. Jadi lengkapnya asas itu bermakna bahwa seorang anak angkat memperoleh warisan dari dua sumber, yaitu dari (a) orang tua kandung, dan (b) orang tua angkat.

(15)

Dalam Al-qur‟an, surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 menegaskan hal ini, yang terjemahannya adalah sebagai berikut :

“…Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar.

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara-saudara seagama, dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

Dalam kaitan ini Profesor Masjfuk mengatakan bahwa (a) Adopsi seperti praktek dan tradisi di zaman Jahilliyah, yang memberi status kepada anak angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak diakui oleh Islam, (b) hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan.5

Menyantuni orang miskin, memelihara anak yatim-piatu dan anak-anak terlantar, merupakan beberapa bidang ajaran utama dalam agama islam, akan tetapi garis tegas dalam hukum kekeluargaan (kekerabatan) tidak dapat diabaikan oleh perbuatan manusia. Mengangkat anak disesuaikan dengan tujuan-tujuan ajaran agama islam, tentu saja diperkenankan. Kebolehan ini tidak sampai pada derajat yang bersinggungan, apalagi bertentangan dengan ajaran-ajaran agama islam, khususnya di bidang hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan. Memberikan hubungan hukum kepada anak angkat

(16)

sama dengan anak kandung merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum islam. Contohnya seorang anak laki-laki yang mengangkat anak perempuan, tetap tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak angkatnya itu. Demikian juga dalam bidang kewarisan. Tidak ada hubungan kewarisan antara orang tua angkat dengan anak angkat. Apabila orang tua angkat meninggal dunia, maka anak angkatnya tidak tampil sebagai ahli waris, demikian pula sebaliknya.

Menurut Muderis Zaini, ia mengatakan bahwa menurut hukum islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketetuan-ketetuan sebagai berikut.

1. Tidak memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologisnya

2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya

3. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung, kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/alamat

4. Orang tua angkat tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.6

(17)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.Tujuan Penelitian

3.1. Tujuan Umum

a. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi, memahami, dan menganalisis tentang fakir miskin dan anak-anak yang terlantar.

b. Mencari solusi yang tepat apa yang dapat dilakukan dalam rangka program pengentasan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar, dalam perspektif hukum islam.

3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh solusi dan dasar hukum pemberian harta kekayaan orang tua angkat kepada anak angkat tanpa menimbulkan masalah dikemudian hari.

4.Manfaat Penelitian

4.1. Manfaat Teoritis

a. Secara teoritis hasil penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dalam pembaharuan hukum islam .

b. Menambah bahan pustaka tentang pola pengentasan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dalam perspektif hukum islam.

(18)

c. Membantu pemerintah dalam pola pelaksanaan program pengentasan kemiskinan dan anak-anak yang terlantar.

4.2. Manfaaat Praktis

a. Menjamin kepastian hukum terhadap anak terlantar dan fakir miskin yang diangkat oleh orang tua angkatnya.

b. Meningkatkan taraf hidup fakir miskin dan anak yang terlantar.

(19)

BAB IV

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang jenisnya adalah penelitian Yuridis Normatif menggunakan data sekunder, yang bersumber dari penelitian kepustakaan ( Library

Research). Data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan sekunder, dan bahan hukum

tertier. Bahan hukum- bahan hukum tersebut diperoleh di Perpustakaan. Sementara itu, karena penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis bahan hukum tentang Pengentasan Fakir miskin dan anak terlantar melalui pengangkatan anak dalam perspektif hukum, maka bahan hukum primer yang paling utama adalah Kompilasi Hukum Islam, UUD 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, dan di samping itu, juga bahan hukum sekunder yaitu berupa buku-buku dan karya ilmiah para ahli yang terkait dengan materi yang diteliti. Bahan hukum tertsie , meliputi ensiklopedi dan Kamus Hukum. Penelitian Yuridis Normatif yaitu, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berasal dari berbagai literatur.7

Cara pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode studi dokumen, yaitu merujuk pada bahan-bahan yang didokumentasikan, sedangkan alat pengumpul data yang digunakan adalah kartu catatan, yaitu studi dengan cara mempelajari/mengkaji dokumen-dokumen baik berupa dokumen pembahasan rancangan Kompilasi Hukum Islam, buku, laporan hasil penelitian, makalah dalam seminar, tulisan para ahli dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan materi penelitian, dan mencatat dalam kartu-kartu yang sudah dipersiapkan. Bahan hukum-bahan

7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Press., Jakarta. hlm. 13

(20)

hukum yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan content analysis (analisis isi) dan

(21)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaturan Fakir Miskin dan Anak Anak-anak Terlantar

Dasar hukum pengaturan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar tersurat dalam Pasal 34 UUD 1945, menentukan:

(1) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.

(2) Negara mengembangkan system jaminan socsal bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak

(4) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar adalah menjadi tanggungjawab Negara. Artinya kebutuhan-bebutuhan mereka itu harus dipenuhi oleh Negara, sehingga mereka minimal dapat memperoleh penghidupan dan pendidikan yang layak bagi kemanusiaan. Di samping itu, Pembukaan UUD 1945 telah menegaskan, bahwa tujuan nasional yang ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta ikut melaksnakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

“Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini sebenarnya telah memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan, karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.8 “Masalah kemiskinan sampai saat ini terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan, dan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, karena dalam

8 Ali Khomsan, dkk, 2015: Indikator Kemiskinan, dan Misklasifikasi Orang Miskin, Yayasan Pustaka

(22)

menanggulanginya masalah yang dihadapi bukan saja terbatas pada hal-hal yang menyangkut hubungan sebab akibat timbulnya kemiskinan, tetapi melibatkan juga prefensi nilai dan politik”9. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau mempunyai sumber mata pencaharian, tetapi tidak mempunyai kemampuan memenihi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan atau keluarganya. (Pasal 1 anga 1 UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir miskin). Penanganan fakir miskin berasaskan: kemanusiaan, keadilan sosial, non-diskriminasi, kesejahteraan, kesetiakawanan, dan pemberdayaaan. Anak terlantar adalah anak karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak terpenhuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani dan soasial. Pada hakikatnya yang dimaksud anak terlantar adalah anak yang tinggal dalam keluarga miskin usia sampai dengan 18 tahun.10

Ciri-ciri anak terlantarr adalah:

a. Laki-laki atau perempuan berusia 5 s/d 18 tahun b. Anak yatim piatu

c. Tidak terpenuhi kebutuhan dasar

d. Anak yang terlahir dari pemerkosaan, tidak ada yang mengurus dan tidak mendapatkan pendidikan.11

Faktor-faktor yang menyebabkan mengapa si anak menjadi terlantar antara lain adalah: 1. Faktor keluarga

9

Sholeh, 2010: Kemiskinan: Telaah dan Beberapa Strategi Penanggulangannya”, dalam Ali Khohsan dkk.

10Peksos Room: Definisi anak Terlantar: Kurniawan-ramsen .blogspot.com. diakses hari sabtu, tgl 21

Oktober 2017, jam 13.29 wita.

11

(23)

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU No. 10 tahun 1992) dimana keluarga ini merupakan faktor yang paling penting yang sangat berperan dalam pola dasar anak, kelalaian orang tua terhadap anak sehingga anak merasa ditelantarkan. Anak-anak sebetulnya tidak hanya membutuhkan perlindungan, tetapi juga perlindungan orang tuanya untuk tumbuh berkembang secara wajar.

2. Faktor pendidikan

Di lingkungan masyarakat miskin, pendidikan cenderung ditelantarkan karena krisis kepercayaan pendidikan dan ketiadaan biaya untuk memperoleh pendidikan.

3. Faktor ekonomi

Akibat situasi krisis ekonomi yang tidak kunjung usaipemerintah mau tidak mau memang harus menyisihkan anggaran untuk membayar utang dan memperbaiki kinerja perekonomian jauh lebih banyak daripada anggaran yang disediakan untuk fasilitas kesehatan, pendidikan, dan perlindungan soasial anak.

4. Kelahiran di luar nikah

Seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki pada umumnya sangat rawan untuk ditelantarkan dan bahkan diperlakukan salah. Pada tingkat yang ekstrim perilaku penelantaran anak bisa berupa tindakan pembuangan anak untuk menutupi aib atau karena ketidaksanggupan orang tua untuk melahirkan dan memelihara anaknya secara wajar. 12

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara memberikan perlindungan

12

(24)

terhadap anak. Meskipun demikian dipandang masih sangat diperlukan suatu uandang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan dan tanggung jawab tersebut. Pada hematnya pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, dan masyarakat untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, telah menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan, dan terarah guna menjamin pertumbuhan, dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual, maupun 22ocial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkankehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas ) tahun. Hal ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan

(25)

komprehensif. Undang-undang perlindungan anak juga harus meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas non-diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangasungan hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak, diperlukan peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi 23ocial, dunia usaha atau lembaga pendidikan.

Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai adat istiadat dan motivasi yang berbeda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing daerah, walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri.

5.2. Tanggung jawab Pengentasan Fakir Miskin dan Anak-Anak yang Terlantar

Bedasarkan Pasal 34, dan Pembukaan UUD 1945 sebagaimana yang telah dibahas di atas, pada hakikatnya Negara harus bertanggung jawab terhadap keadaan kemiskinan dan kondisi anak-anak yang terlantar. Jadi pada hakikatnya yang harus bertanggungjawab adalah Negara, tetapi mengingat keterbatasan kemampuan Negara, maka sudah barang tentu Negara belum dapat sepenuhnya melaksanakan kewajibannya tersebut. Terkait dengan program pemerintah tentang pengentasan kemiskinan dan anak yang terlantar ini, kepala Bapenas Bambang Brodjonegoro mengatakan: maslah pengentasan kemiskinan di Indonesia adalah

(26)

menjadi tanggung jawab bersama.13 Selanjutnya dikatakan, bahwa Pemerintah terus berkomiten mengatasi kemiskinan di masyarakat, dan untuk itu diperlukan peran aktif dari berbagai pihak seperti: swasta, LSM, dan Akademisi, karena masalah kemiskinan dan ketimpangan serta pemeliharaan anak yang terlantar adalah masalah bersama.14 Pemerintah saat ini berfokus memperbaiki taraf hidup 40 % penduduk terbawah dalam struktur ekonomi. Indonesia sudah baik polanya dalam mengurangi kemiskinan, tetapi belum cukup agresif, sehingga masih banyak area yang harus diperbaiki.15

Dalam 24ocial24logy hukum islam telah dikatakan dalam Hadist Nabi bahwa:

“setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai tangyung jawab terhadap yang dipimpinnya, seorang imam adalam pemimpin dan akan ditanya tentang rakyat yang dipimpinnya…”.16 Hadits tersebut mengandung makna bahwa Negara tidak hanya bertanggung jawab terhadap masalah keamanan saja, akan tetapi juga bertanggung jawab atas pemeliharaan terhadap orang-orang lemah, dan orang-orang yang membutuhkan serta menjamin kehidupan yang layak untuk mereka. Berdasarkan Hadist tersebut memang pada hakikatnya Negara harus bertanggung jawab, tetapi dalam konteks pengentasan kemiskinan dan anak-anak yang terlantar “pemimpin” tidak harus diinterpretasikan sebagai pemimpin Negara, melainkan dapat diinterpretasikan setiap fungsionaris komunitas, sehingga dapat memperoleh justifikasi bahwa pengentasan fakir miskin dan anak yang terlantar menjadi tanggung jawab bersama. Hasil penelitian ini dapat dijadikan “policy paper” sebagai bentuk tanggung jawab akademisi dalam program pengentasan kemiskinan dan anak-anak yang terlantar, yang dapat menunjang program pemerintah.

13 Antaranews.com ”,Pengentasan Kemiskinan Menjanjadi Tanggung jawab Bersama”, Jum‟at. 11 Agustus

2017, diakses, sabtu 11 Nopember 2017 jam 11.15. wita

14Ibid 15Ibid

(27)

5.3. Konsep Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat dan Hukum Islam

5.3.1. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat

“…bahwa dengan jalan suatu perbuatan hukum, dapatlah orang memengaruhi pergaulan-pergaulan yang berlaku sebagai ikatan biologis, dan tertentu dalam kedudukan sosialnya ; sebagai cotoh dapat disebutkan: kawin ambil anak, atau “inlijfhuwelijk”. Kedukan yang dimaksud membawa dua kemungkinan, yaitu: a. sebagai anak, sebagai anggota keluarga melanjutkannketurunan, sebagain ahli waris. b. sebagai anggota masyarakat (sosial) dan menurut tata cara adat, perbuatan pengangkatan anak itu pasti dilakukan dengan terang dan tunai.17

Berdasarkan pendapat Ter Haar tersebut di atas, dapat diketahui bahwa seorang anak yang telah diangkat sebagai anak angkat, melahirkaan hak-hak yuridis dan 25ocial, baik dalam aspek hukum kewarisan, kewajiban nafkah dan perlindungan anak, perkawinan dan 25ocial kemasyarakatan. Dalam hukum waris adat anak angkat menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli waris layaknya anak kandung baik materiil, maupun immatreriil. Benda-benda meteriil mslnya, rumah, sawah, kebon, sapi, atau ternak lainnya, dsn benda-benda lainnya, sedangkan yang termasuk benda-benda-benda-benda immaterial, misalnya: gelar adat, kedudukan adat, dan martabat keturunan. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, anak angkat adat mempunyai hak-hakk sosial , seperti menghadiri upacara adat, cara berpakian tertentu pada upacara-upacara tertentu, menempati tempat-tempat adat tertentu seperti, di kursi paling depan, dan lain-lain.

Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang dan tunai.18 Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan hukum itu dilakukaan di

17 “Ter Haar”, dalam Bushar Muhammad, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta Pradnya Paramita ,

hlm. 29

(28)

hadapan dan diumumkan di depan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Tunai, artinya perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.19 Ter Haar menyatakan:

Pertama-tama harus dikemukakan mengambil anak dari luar lingkungan keluarga ke dalam lingkungn suatu klan atau kerabat tertentu, anak ini dilepaskan dari lingkungan yang lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantinya berupa benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak yang dipungut itu masuk ke dalam lingkungan kerabat yang mengambilnya sebagai anak, inilah mengambil anak sebagai suatu perbuatan tunai.20

Surojo Wignjodipuro, menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus terang, artimya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Kedudukan hukum anak yang diangkat demikian ini adalah sama denga anak kandung dari suami isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi putus, seperti yang terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan Kalimantan.21

Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut hukum adat tersebut, memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya anak angkat ke dalam keluarga orangtua yang mengangkaatnya, dan terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orang tua kandung anak angkat. Perbedaanya dalam hukum adat dipersyaratkannya suatuimbalan sebagai pengganti kepadaa orang tua kandung anak angkat, biasanya berupa benda-benda yang dikeramaatkan atau dupandang memiliki keuatan magis.

Di lihat dari segi motivasi pengangkatan anak, berbeda dengan motivasi pengangkatan anak yang terdapat dalam undang-undang perlindungan anak yang

19 Ibid hlm. 30 20 Ibid 21 Ibid

(29)

menekankan bahwa perbuatan hukum pengangkatan anak harus didorong oleh motivasi semata-mata untuk kepentingan yang terbaik untuk anak yang akan diangkat. Dalam hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orangb tua angkat) akan kepunahan, maka calon orang tua angkat (keluarga yang tidak punya anak) mengambil/mupon anak dari lungkungan kekuasaan kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkatb itu kemudian mendudukiseluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya, dan ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula. Pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan upacara-upacara dengan bantuan pemuka-pemuka rakyat atau penghulu-penghulu yang dilakukan secara terang karena dihadiri dan disaksikan oleh hadirin undangan dan khalayak ramai.22

Bushar Muhammad membagi pengangkatan anak dalam dua macam, yaitu: adopsi langsung (mengangkat anak), adopsi tidak langsung (melalui perkawinan).23 Nyentana yang merupakan bentuk adopsi langsung (mengangkat anak) di Bali, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dengan cara mengambil anak dari lingkungn klan besar , dari kaum keluarga, bahkan akhir-akhir ini tidak jarang terjadi dari luar lingkungan keluarga. Apabila isteritua tidak mempunyai anak, dan bini selir mempunyai anak, maka anak-anak tersebut dijadikan sebagai anak angkat isteri tua. Apabila tidak ada anak laki-laki yang dapat diambil anak, dapat juga anak perempuan yang dipungut menjadi Santana, yang diangkat dengan fungsi rangkap, yaitu yang pertama dipisahkan dari kerabatnya sendiri, dan dilepas dari ibu kandungnya sendiri dengan jalan pembayaran adat berupa “seribu kepeng” serta “seperangkat pakaian perempuan” kemudian ia baru dihubungkan dengan

22

Ibid hlm. 30

23

(30)

kerabat yang mengangkat (diperas).24 Suami yang mengambil anak bertindak dengan persetujuan kerabatnya, lalu diumumkan dalam desa “siar” dan dari pihak raja sebagai kepala adat dikeluarkan izin yang disusun dalam suatu penetapan raja, berupa akta yang disebut Surat Peras.alasan dari pengangkatan semacam ini, ialah suatu kehawatiran akan kepunahan, malahan sesudah meninggalnya suami iteripun dapat mengangkat anak dengan mengangkat keris atas nama suami sebagai wakilnya.25 Adopsi tidak langsung, yaitu apabila seseorang kawin atau mengawinkan dan sesudah itu ia mengangkat seorang anak tirinya atau anak mantunyasebagai anak sendiri yang akan melanjutkan keturunan, kadang-kadang sebagai ahli waris sepenuhnya.26

Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan adopsi dan batas usianya, kepatutan batas usia anak yang patut untuk diangkat, antara daerah yang satu dengan daerah lainnya berbeda. Di Banjarmasin perbedaan usia antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat dipandang patut jika ada selisih usia 15 Tahun.27

Mengenai hakiki suatu pengangkatan anak secara adat dipandang telah terjadi, yurisprudensi Mahkamah Agung menyatakan bahwa “menurut hukum adat di daerah Jawa Barat. Seseorang dianggap sebagai anak angkat bila telah diurus, dikhitan, disekolahkan, dikawinkan, oleh orang tua angkatnya.28

Di daerah Kecamatan Singaraja Kabupaten Darut seorang perempuan yang belum pernah kawin tidak boleh melakukan adopsi, tetapi janda/duda diperbolehkan. Di

24Ibid hal. 30 25Ibid hal 30 26

Ibid hal 33

27Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin oleh Mudernis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem

Hukum , 1999, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.42

(31)

kecamatan Leuwidamar (Bandung) baik belum atau sudah kawin boleh saja, begitu pula di Kecamatan Banjarharjo, Brebes (Semarang). Kemudian di Daerah Parindu Kalimantan Barat (SukuDayak), juga dibolehkan, tapi dalam hubungan keponakan saja. Begitu juga di Kecamatan Sambas Kalimantan Barat, kecuali di Kecamatan Mmanyuke, mempawah, maka seorang yang belum kawin hanya boleh memelihara seorang anak yang disebut “Nganahain”, bukan dalam pengertian mengangkat anak.29

Di daerah Kendari Sulawesi Tenggara lain lagi, di sana tidak ditemukan orang yang belum kawin mengangkat anak, begitu pula di daerah Kolaka, kecuali janda/duada. Di daerah Lombok Tengah belum diketahui atau belum pernah seorang bujangan mengangkat anak. Kalau di daerah Klungkung umumnya yang mengangkat anak adalah suami-isteri, tapi ada juga wanita belum kawin mengangkat anak, demikian pula di daerah Gianyar. Di daerah Palembang tidak terdapat orang yang belum kawin mengangkat anak , hanya kebiasaan suami-isteri yang tidak punya anak, kecuali suku Meapur, Kecamatan Belinyu (Bangka) juga tergadap orang yang belum kawin/tidak kawin yang mengangkat anak adalah yang sudah tua.30

Umumnya di Indonesia tidak membeda-bedakaan anak laki-laki atau perempuan yang dapat diangkat sebagai anak angkat. Di daerah-aerah tertentu tidak membolehkan pengangkatan anak perempuan, sebab memang daerah tersebut menganut sistem kekeluargaan Patrilenial, misalnya: di Kabupaten Kupang, Alor, Lampung Peminggiran Kecamatan Kedondong.31 Mengenai batas usia anak yang dapat dijadikan anak angkat,

29Mudernis Zaini,Op. Cit. hlm.43

30Mudernis Zaini Loc. Cit

(32)

berbeda-beda di tiap daerah, tetapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa usia anak adalah 1 sampai dengan 17 tahun dan belum pernah menikah.

Perlu dipahami, bahwa pengangkatan anak yang dilakukan secara adat sesuai dengan adat masing-masing daerah di Indonesia, belum memiliki kekuatan hukum sepanjang belum disahkan oleh Pengadilan. itulah sebabnya beberapa kasus perdata yang sifatnya sengketa (contentiosa) gugatan waris, biasanya ada petitum permohonan pengesahan pengangkatan anak yang telah berlangsung lama dan dilakukan berdasarkan hukum adat, guna untuk mendapatkan bagian warisan dari harta peninggalan orang tua angkatanya.32

Kedudukan anak angkat berbeda-beda di tiap-tiap daerah, di daerah yang sistem sosial kekeluargaanya menganut Patrilenial atau garis keturunan laki-laki, misalnya di Bali dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dengan memasukkan anak angkat tersebut ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak angkat itu berkedudukan sebagai anak kandung, untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.33 Sataus anak angkat di Bali seperti disebutkan di atas, ada kemiripan dengan pengertian anak angkat dalam hukum barat yang juga memutuskan, dan memasukkan anak angkat ke dalam keluarga orang tua angkatnya sebagai anak kandung yang diberi hak-hak yang sama dengan status anak sah atau anak kandung.34 Berbeda dengan di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan pertalian darah dengan orang tua kandung anak angkat itu, hanya anak angkat didudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya, dan sama sekali tidak memutuskan hak-haknya dengan orang tua kandungnya,

32

Lihat Putusan Mahkamah Agung No.05/Pdt./1971, tanggal 25 Februari 1971.

33Soepomo, 2010, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pustaka Gramedia, Jakarta, hlm. 118

34Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, 2010, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan anak di Indonesia,

(33)

sehingga hukum adat jawa memberikan pepatah bagi anak angkat dalam hal hak waris dikemudian hari dengan istilah “anak angkat memperoleh warisan dari dua sumber air sumur”. Maksudnya anak angkat tetap memperoleh Harta warisan dari orang tua kandung, juga dari orang tua angkatnya.35

Muderis Zaini, meyakini bahwa sebetulnya banyak daerah di Indonesia yang hukum adatnya menyatakan bahwa anak angkat bukanlah sebagai ahli waris, di sini dapat disebutkan antara lain misalnya: di daerah Lahat (Palembang), Pasemah, Kabupaten Batanghari, Kecamatan Bontomarumu, kabupaten Goa daerah kepulauan Tidore (Ambon)., daerah Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut, Kecamatan Sambas Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya.36

Secara adat kebiasaan masyarakat yang mengakui adanya hukum adat anak angkat, bagi mereka aadalah suatu hal yang termasuk tidak etis, dan akan mendapat celaan dari masyarakat apabila anak angkat yang telah diketahui oleh masyarakat tersebut kemudian dibatalkan oleh anak atau keluarga orang tua angkat. Kecuali anak angkat tersebut nyata-nyata telah melakukan pengkhianatan, pembunuhan, percobaan pembunuhan terhadap orang tua angkatnya. Beberapa daerah tersebut secara umum menyatakan bahwa, anak angkat bukanlah ahli waris dari orang tua angkatnya, anak angkat merupakan ahli waris dari orang tuanya sendiri. Anak angkat memperoleh harta warisan dari peninggalan orang tua angkatnya melalui hibah atau melalui pemberian wasiat (sebelum orang tua angkatnya meninggal dunia).

35Ibid. hlm. 45

(34)

5.3.3. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam

Istilah”Pengangkatan Anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “adoption”.37

Mengangkat seorang anak, berarti mengangkat seorang anak orang lain dijadikan anak sendiri, dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.38 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut dengan istilah “Adopsi” yang berarti pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri.39 Anak yang diadopsi disebut anak angkat, peristiwa hukumnya disebut pengangkatan anak.

Secara historis pengangkatan anak sudah dikenal Bangsa Arab sejak zaman Jahilliah (zaman sebelum Islam) dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.40 Pengangkatan anak tidak mempengaruhi kemahraman antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu unsur kemahraman, sehingga antara kedua belah pihak tidak ada larangan untuk saling mengawini, dan tetap tidak boleh saling mewarisi.41 Menurut ulama fikih, mengangkat anak atas dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut dapat mandiri di masa datang.42 Secara hukum tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya, ia tetap

37Jonathan Crowther, (ed.), 1996, Oxford Adnenced Leaner Dictionery, Oxford hlm. 16

38Simorangkir, JCT, 1996, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, hlm.4

39

Kemendikbud, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balaim Pustaka, Jakarta, hlm.7

40Mudernis Zaini, Op.Cit. hlm.53

41Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, Op. Cit. hlm.100

(35)

menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya, dalam arti berlaku larangan kawin dan tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia melangsungkan perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya.

Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa dalam lembaga pengangkatan anak yang bertentangan dengan ajaran islam adalah pengangkatan anak yang dengan sengaja menjadikan anak angkat sebagai anaknya sendiri dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang disamakan dengan anak kandung, diberikan hak waris sama dengan hak waris anak kandung, dan orang tua angkatnya menjadi orang tua kandung anak yang diangkatnya. Pengangkatan anak dalam hukum islam pengertiannya terbatas dengan menekankan aspek kecintaan , perlindungan, dan pertolongan terhadap hak pendidikan anak, nafkah sehari-hari, kesehatan, dan lain-lain. Alloh telah berfirman: tolonglah kamu dalam hal kebajikan dan takwa, tetapi jangan bertolong-tolongan dalam hal kemaksiatan dan permusuhan.43

Anak angkat harus tetap dipanggil dengan nasab ayah kandungnya. Alloh telah berfirman:

Alloh tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu, yang demikian itu hanya perkataan di mulutmu saja, dan Alloh mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang lurus. Paggilah mereka (anak-anak angkt itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil disisi Alloh, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka) ebagai saudara-saudaramu seagama, dan tidak ada dosa atasmu terhadap aoa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu, dan adalah Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.44

Berdasrkan Firman Alloh tersebut dapat diketahui bahwa pengangkatan anak dalam hukum islam tidak dimaksudkan untuk memutuskan hubungan kemahraman

43

Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2

44

(36)

dengan orang tua kandungnya, melainkan hanya sebatas membiayai kehidupan anak tersebut agar kehidupannya dimasa mendatang menjadi lebih baik.

Mengangkat anak sama dengan memberi harapan hidup bagi masa depan anak. Hal ini sesuai dengan Firman Alloh: .. Dan barang siapa yang memelihara kehidupn seorang manusia, maka ia seolah-olah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.45 Mengangkat anak bagian dari bertolong-tolongan dalam hal kebajikan. Firmal Alloh: …Dan bertolong-tolonglah kami dalam hal kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam kemaksiatan dan permusuhan.”46 Anjuran memberikan makan kepada anak terlantar dan anak yatim. Firman Alloh:… Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan.47 Dalam hal warisan kerabat dekat tidak boleh diabaikan karena ada anak angkat. Firman Alloh:…Orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat itu, sebagiannya lebih berhak terhadap sesamnya daripada yang bukan kerabatnya di dalam Kitab Alloh sesungguhnya Alloh mengetahui segala sesuatu.48 Islam melarang menasabkan anak angkat dengan ayah angkatnya. Dari Abu Dzar r.a. Bahwasannya ia mendengar Rasulullah saw. bersabda “Tidak seorangpun yang mengaku (membanggakan diri) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur, dan barang siapa yang telah melakukan hal-hal itu maka bukan dari golongan

45

Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 32

46Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2

47

Al-Qur’an Surat Al-Insan ayat 8

48

(37)

kami (kalangan kaum muslimin) dan hendaklah ia menyiapkan diri tempatnya dalam api neraka. (HR. Riwayat Bukhori dan Muslim).49

Berdasarkan paparan tersebut di atas, diketahui bahwa hukum islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang bertujuan untuk melepaskan seorang anak angkat dari kerabat orang tua kandungnya dan memasukkan ia ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum islam hanya mengakui bahkan menganjurkan pengangkatan anak dan pemeliharaan anak , dalam arti status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya, dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa memungut, memelihara, mengsuh, dan mendidik anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan nasab orangtua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran islam, bahkan dalamm kondisi tertentu dimana tidak ada orang lain yang memeliharanya, maka bagi si-mampu yang menemukan anak terlantar tersebut hukumnya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.

Berdasarkan UU. No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mulai berlaku mulai tanggal 21 Maret 2006, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memerikasa, dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam, sebagaimana produk hukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak yang berbentuk “Penetapan”, maka produk Pengadilan Agama

49

(38)

tetang pengangkatan anak yang dilakukan berdasarkan hukum islam juga berbentuk “Penetapan”. Penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam oleh Pengadilan Agama tidak memutuskan hubungan hukum atau nasab dengan orang tua kandungnya. Anak angkat secara hukum tetap diakui sebagai anak kandung orang tua kandungnya. Adanya justifikasi terhadap anak angkat dalam hukum islam tidak menjadikan anak angkat itu sebagai anak kandung atau anak yang dipersamakan hak-hak dan kewajibannya seperti anak kandung dari orang tua angkatnya, hubungan anak angkat dengan orang tua angkatnya seperti hubungan antara anak asuh dengan orang tua asuh yang diperluas.

5.4.Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam Sebagai Program Pengentasan Kemiskinan dan Anak-Anak yang Terlantar

Kata “mengentaskan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: mengangkat (dari suatu tempat ke tempat lain), mengentaskan untuk orang lain, menyadarkan, memperbaiki, (menjadikan, mengangkat) nasib atau keadaan yang kurang baik kepada yang (lebih) baik).50 Berdasarkan makna tersebut, dapat diketahui bahwa yang dientaskan adalah nasib, objek yang dilanda keadaan kurang baik untuk dijadikan lebih baik. Sementara dalam konteks mengentaskan kemiskinan bertujuan untuk merubaah keadaan yang kurang baik menjadi keadaan yang lebih baik.

Peganngkatan anak dalam perspektif pengentasan kemiskinan, diartikan sebagai mengangkat anak dari keadaan yang kurang baik untuk menjadi lebih baik, sehingga keadaan anak tersebut di masa mendatang menjadi baik sebaagaimana keadaan anak-anak yang berada di lingkungan keluarga yang baik (dibaca mampu).

(39)

Islam telah lama mengenal istilah adopsi yang dikenal dengan istilah : “Tabbani” yang di era modern sekarang ini disebut Adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW , bahkan mempraktekkan langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya. Tabbani secara harafiah diartikan seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan lainnya, karena secara hukum anak itu bukan anaknya.

Pengangkatan anak dinilai pantas sebagai perbuatan yang pantas dilalkukan oleh pasangan suami isteri yang luas rejekinya, namun belum dikaruniai anak, oleh karena itu sangat baik apabila mengambil anak orang lain yang kurang mampu agar, mandapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim-piatu) atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.

Di Indonesia peraturan terkait dengan pengangkatan anak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam juga memperhatikan tentang aspek ini. Pasal 171 KHI menentukan bahwa,” anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal ke orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengharapkan supaya pengangkatan anak dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial, untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri, dan ini merupakan perbuatan yang terpuji, dan termasuk amal saleh. Demikian tidak diragukan lagi bahwa usaha melakukan pengangkatan anak (adopsi) itu merupakan perbuatan yang

(40)

terpuji dan dianjurkan oleh agama dan diberi pahala. Seorang ayah angkat diperbolehkan mewasiatkan sebagian dari harta peninggalannya untuk anak angkatnya, sebagai persiapan masa depannya, agar ia dapat merasakan ketenangan hidup. Para ulama di Indonesia telah memfatwakan bahwa pengangkatan anak warga Negara Indonesia oleh orang asing, selain bertentangan dengan Pasal 34, UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa Indonesia. Pengangkatan anak oleh warga Negara Indonesia, terhadap anak-anak kurang mampu dan anak-anak yang terlantar dari aspek agama islam merupakan suatu kewajibann bagi yang memenuhi syarat.

Bertolak dari paparan di atas diketahui, ada 3 ( tiga) dasar prinsip pengangkatan anak, yaitu:

6. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

7. Pengangkatan anak yang dilakukan tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung;

8. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, apabila calon orang tua angkat berbeda agama antara suami dan isteri , maka calon orang tua angkat tersebut tidak bisa melakukan pengangkatan anak.

Berdasarkan pembahasan tentang konsep pengangkatan anak dalam hukum islam sebagaimana dipaparkan di atas, akhirnya dapat dimengerti bahwa pengangkatan anak terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar pada hakikatnya dapat dijadikan upaya pemerintah dalam program pengentasan fakir miskin dan anak terlantar, demi kepentingan masa depan anak-anak tersebut.

(41)

BAB VI

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Penelitian ini pertama kali mencarikan dasar-dasar atau landasan hukum yang kuat pengentasan kemiskinan melalui pengengkatan anak, tanpa menimbulkan masalah social, hukum dan agama.

Selanjutnya untuk tahap penelitian berikutnya mengupayakan akan mencari makna pengangkatan anak menurut hukum islam berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Untuk tahun ke tiga dapat dilakukan rencana aksi berkaitan dengan mediasi antara yang memenuhi syarat untuk pengangkatan anak dengan pihak fakir miskin dan anak terlantar.

(42)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang telah diuraikan dalam-Bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hukum Islam memandang pengangkatan anak sebagai upaya pengentasan kemiskinan dari keluarga yang tidak mampu dan atau anak-anak yang terlantar agar keadaan anak tersebut menjadi lebih baik sebagaimana keadaan anak-anak dari lingkungan keluarga yang mampu. Hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberian kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan-keperluan lainnya.

2. Prinsip-prinsip pengangkatan anak dalam hukum islam dapat membantu Pemerintah berkaitan dengan tanggungjawab konstitusionalnya dalam memelihara dan mengentaskan fakir miskin serta anak-anak yang terlantar di Indonesia.

6.2. Saran-Saran

1. Dalam rangka mempercepat tercapainya tujuan Negara Republik Indonesia untuk mensejahterakan masyarakat, hendaknya Pemerintah mengintensifkan sosialisasi pengangkatan anak sebagai solusi kepada masyarakat yang mampu yang belum punya keturunan menggunakan pengangkatan anak sebagai perbuatan yang dapat menambah amal soleh.

(43)

2. Demi kepastian hukum terhadap pelaksanaan pengentasan fakir miskin dan ana-anak yang terlatar melalui pengangkatan anak, dan meminimalisir penyalahgunaan lembaga pengangkatan anak, perlu adanya kebijakan

regulasi mengenai baik pengawasan prosedur maupun

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, 2010, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan anak di

Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta

Ali Khomsan, dkk, 2015: Indikator Kemiskinan, dan Misklasifikasi Orang Miskin, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta

Antaranews.com ”Pengentasan Kemiskinan Menjanjadi Tanggung jawab Bersama” Amir Syarifudin, 2005, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta

Budiono, Rahmad, 2010, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam, Pen. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bushar Muhammad, 20010, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta Pradnya Paramita, Jakarta

Balai Pustaka, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia, Jakarta

Hilman Hadikusuma, 20011, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Masjfuk Zuhdi, 2010, Masail Fiqhiyah, CV. Haji Mas Agung, Jakarta.

Muderis Zaini, 2010, Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem HUkum, Sinar Grafika, Jakarta Peksos Room: Definisi anak Terlantar: Kurniawan-ramsen .blogspot.com.

Sholeh, 2010: Kemiskinan: “Telaah dan Beberapa Strategi Penanggulangannya”, dalam Ali Khohsan dkk.

Simorangkir, JCT, 1996, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta

Soepomo, 2010, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pustaka Gramedia, Jakarta

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), Rajawali Press., Jakarta.

Surojo Wigjodipuro, 2011, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi merek adalah tanda yang dapat digunakan untuk membedakan antara barang atau jasa yang satu dengan yang lain. Sehingga konsumen akan dapat membedakan

Osteoarthritis merupakan gangguan pada satu sendi atau lebih, bersifat lokal, progresif dan degeneratif yang ditandai dengan perubahan patologis pada struktur sendi

Diskusi kelompok, Berbasis masalah, Metode lainnya daring File PPT, PPT bernarasi, Guided discussion forum Observasi, Tes Tertulis. Rubrik 5 Menulis catatan

Pada tujuan Banjarmasin, selisih biaya perjalanan antara pesawat dari Malang dan pesawat dari Surabaya di bawah angka Rp 190.000, selisih ketepatan jadwal dibawah 57

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan model LCM (Learning Cycle Model) dengan Inkuiri Terbimbing (IT) dan Inkuiri Bebas Termodifikasi (IBT),

Praktik mengajar yang dimaksud adalah praktik mengajar di lapangan maupun di dalam kelas dan mengajar siswa secara langsung. Praktik mengajar dilapangan dan didalam

Dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar fisika peserta didik kelas VIII2 SMP Negeri 2 Sungguminasa Kabupaten Gowa

[r]