• Tidak ada hasil yang ditemukan

. Keterkaitan Perawatan Metode Kanguru (Pmk) Terhadap Tingkat Stres Ibu, Konsumsi Asi, Dan Pertumbuhan Fisik Bayi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan ". Keterkaitan Perawatan Metode Kanguru (Pmk) Terhadap Tingkat Stres Ibu, Konsumsi Asi, Dan Pertumbuhan Fisik Bayi."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN PERAWATAN METODE KANGURU (PMK)

TERHADAP TINGKAT STRES IBU, KONSUMSI ASI, DAN

PERTUMBUHAN FISIK BAYI

HEPTI MULIYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keterkaitan Perawatan Metode Kanguru (PMK) terhadap Tingkat Stres Ibu, Konsumsi ASI, dan Pertumbuhan Fisik Bayi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

(4)

RINGKASAN

HEPTI MULIYATI. Keterkaitan Perawatan Metode Kanguru (PMK) terhadap Tingkat Stres Ibu, Konsumsi ASI, dan Pertumbuhan Fisik Bayi. Dibimbing oleh RIZAL DAMANIK dan KATRIN ROOSITA.

Perawatan Metode Kanguru (PMK) merupakan kontak kulit langsung ibu dan bayinya baik dilakukan secara intermiten maupun kontinu yang dapat memenuhi kebutuhan dasar bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) meliputi perhatian, kehangatan, kenyamanan, dan gizi yang cukup (Suradi et al. 2008; Dandekar & Shafee 2013). Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan pedoman penanggulangan bayi BBLR salah satu diantaranya penerapan PMK (Suradi et al. 2008). Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) prevalensi bayi BBLR di Indonesia mengalami penurunan dari 11.5% tahun 2007, 11.1% (2010), hingga 10.2% (2013) (Kemenkes 2013). Namun, angka tersebut masih jauh dari target BBLR yang ditetapkan yakni <5% (Depkes 2008). Sementara itu, prevalensi bayi BBLR di Kabupaten Bogor selama 3 tahun terakhir masih mengalami fluktuasi yakni 1.5% (2011), 1.6% (2012), dan 1.3% (2013) (Dinkes Kabupaten Bogor 2013). Meskipun prevalensi bayi BBLR di Kabupaten Bogor telah mengalami penurunan, namun bayi BBLR harus tetap mendapatkan penanggulangan yang baik karena masalah gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya (integenerational impact) (Kemenkes 2010).

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menjelaskan keterkaitan PMK terhadap tingkat stres ibu, konsumsi ASI, dan pertumbuhan fisik bayi BBLR. Tujuan khususnya meliputi: (1) Mengidentifikasi karakteristik ibu (usia, paritas, jenis persalinan, pendidikan, dan pekerjaan) dan karakteristik bayi BBLR (jenis kelamin, usia gestasi, berat badan lahir, panjang badan lahir, lingkar kepala lahir, dan lingkar dada lahir); (2) Menganalisis konsumsi pangan ibu; (3) Menganalisis tingkat stres ibu baik pada kelompok PMK maupun kelompok perawatan metode konvensional (PMKv); (4) Menganalisis konsumsi Air Susu Ibu (ASI) bayi BBLR baik kelompok PMK maupun kelompok PMKv; (5) Menganalisis pertumbuhan fisik (berat badan, panjang badan, lingkar kepala dan lingkar dada) bayi BBLR baik kelompok PMK maupun kelompok PMKv; (6) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ASI dan pertumbuhan fisik bayi BBLR.

(5)

dilakukan meliputi analisis deskriptif dan inferensia (uji Independent Sample t-Test, Mann-Whitney, Chi-square, dan regresi linear berganda).

Secara keseluruhan, karakteristik contoh baik pada kelompok PMK maupun PMKv tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05). Hasil uji Independent Sampe t-Test menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi dan seluruh zat gizi pada minggu pertama, kedua, dan keempat adalah tidak berbeda signifikan antar kedua kelompok. Namun, untuk tingkat kecukupan karbohidrat dan tingkat kecukupan zink pada minggu keempat adalah signifikan lebih tinggi (p<0.05) pada kelompok PMK dibandingkan dengan kelompok PMKv.

Pada minggu pertama meskipun tidak signifikan, terdapat kecenderungan bahwa praktik PMK menurunkan tingkat stres ibu yang memiliki BBLR. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya stres berat pada kelompok PMK sedangkan ibu yang tidak melakukan PMK masih mengalami stres berat (10%). Sedangkan pada minggu keempat, terdapat hubungan yang signifikan (p<0.005) antara praktik PMK dengan tingkat stres ibu.

Rata-rata konsumsi ASI dari minggu pertama hingga keempat pada kelompok PMK jumlahnya signifikan lebih banyak (p>0.05) dibandingkan kelompok PMKv. Hal ini juga sejalan dengan peningkatan pertumbuhan fisik bayi BBLR kelompok PMK yang signifikan lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok PMKv.

Hasil uji regresi linear berganda menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi ASI bayi BBLR secara signifikan (p<0.05) dipengaruhi oleh praktik PMK, pendidikan ibu, dan tingkat kecukupan vitamin A. Peningkatan pertumbuhan fisik dipengaruhi secara signifikan (p<0.05) oleh praktik PMK, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan karbohidrat, dan tingkat kecukupan kalsium.

Dalam penanggulangan masalah BBLR, PMK sangat direkomendasikan untuk mempercepat peningkatan pertumbuhan fisik (berat badan, panjang badan, lingkar kepala, dan lingkar dada)yang normal. Selain itu, ibu yang melakukan praktik PMK dan memberikan ASI kepada bayinya harus mengonsumsi pangan yang seimbang selama menyusui agar terpenuhi kecukupan zat gizi yang penting untuk produksi ASI.

(6)
(7)

SUMMARY

HEPTI MULIYATI. Association of Kangaroo Mother Care on Maternal Stress Level, BreastMilk Consumption, and Physical Growth of Infants. Supervised by RIZAL DAMANIK and KATRIN ROOSITA.

Kangaroo Mother Care (KMC) is a direct skin contact between the mother and her baby, either intermittently or continuously, which can meet the basic needs of Low Birth Weight (LBW) infants which includes attention, warmth, comfort, and adequate nutrition. Therefore, Ministry of Health, Republic of Indonesia has issued the guidelines for the prevention of LBW infants, one of them is the implementation ofKMC. Based on Basic Health Research data, the prevalence ofLBW infants decreased from 11.5% in 2007 to 11.1% in 2010 and 10.2% in 2013. However, the figure is still far from the targets set out for LBW infants, i.e. less than 5%. Meanwhile, the prevalence of LBW infants in Bogor Regency during the last three years is still fluctuating, namely 1.5% (2011), 1.6% (2012), and 1.3% (2013). Although the prevalence of LBW infants in Bogor Regency has decreased, LBW infants should still get good countermeasures because nutrition problems at a particular age group will affect the nutritional status in the next life cycle period (intergenerational impact).

The general objective of this study was to analyze and describe the association between KMC and maternal stress level, breast milk consumption, as well as physical growth of LBW infants. The specific objectives of this study were to: 1) identify maternal characteristics (age, parity, type of childbirth, education, and occupation) and LBW infants characteristics (infant gender, gestational age, birth weight, birth length, birth head circumference, birth chest circumference); 2) analyze maternal food consumption; 3) analyze maternal stress level, either in KMC group or Conventional Methods of Care (CMC) group; 4) analyze breast milk consumption of LBW infants, either in KMC group or CMC group; 5) analyze the physical growth (body weight, body length, head circumference, and chest circumference) of LBW infants, either in KMC group or CMC group; 6) analyze the factors affecting breast milk consumption and physical growth of LBW infants.

(8)

Overall, there were no significant differences in subjects’ characteristics,

either in KMC or CMC groups (p<0.05). The results of independent sample t-test showed that there were no significant differences in energy and all nutrients adequacy levels in the first, second and fourth week in both groups. However, carbohydrates and zinc adequacy levels in KMC group were significantly higher (p<0.05) than CMC group in the fourth week of study.

Although not significant, there was a tendency that KMC reduced the stress level of the mothers with LBW infants in the first week of practice. This was indicated by the absence of severe stress in KMC group whereas mothers who did not perform KMC were still experiencing severe stress (10%). Meanwhile, there was significant association (p<0.05) between KMC practice and maternal stress level in the fourth week.

Mean breast milk consumption from the first to the fourth week in KMC group was significantly higher (p<0.05) than CMC group. It was in line with the increase in physical growth of LBW infants in KMC group which was significantly higher (p<0.05) than CMC group.

The results of multiple linear regression showed that the increase in breast milk consumption of LBW infants was significantly affected (p<0.05) by KMC practice, maternal education level, and vitamin A adequacy level. The improvement of physical growth was significantly affected (p<0.05) by KMC practice, protein adequacy level, carbohydrates adequacy level and calcium adequacy level.

In response to the problem of LBW infants, KMC is strongly recommended to accelerate the enhancement of normal physical growth (body weight, body length, head and chest circumferences). Besides that, mothers who practice KMC and breastfeeding should consume a balanced food during lactation so that the adequacy of essential nutrients for breast milk production can be fulfilled.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

KETERKAITAN PERAWATANMETODE KANGURU (PMK)

TERHADAP TINGKAT STRES IBU, KONSUMSI ASI, DAN

PERTUMBUHAN FISIK BAYI

HEPTI MULIYATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Mayarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Keterkaitan Perawatan Metode Kanguru (PMK) terhadap Tingkat Stres Ibu, Konsumsi ASI, dan Pertumbuhan Fisik Bayi

Nama : Hepti Muliyati NIM : I151130241

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Ujian: 26 Agustus 2015 Tanggal Lulus: Prof Drh Muh Rizal M Damanik, MRepSc, PhD

Ketua

Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul “Keterkaitan Perawatan Metode Kanguru (PMK) terhadap Tingkat Stes Ibu, Konsumsi ASI, dan Pertumbuhan Fisik Bayi”yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar magister sains (MSi) pada program magister Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof drh Muh Rizal Martua Damanik,MRepSc, PhD dan Ibu Dr Katrin Roosita, SP, MSi selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan, motivasi, saran, dan kritik yang membangun bagi penulis. Terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Ali Khomsan, MSselaku dosen penguji luar komisi dalam ujian tertutup yang telah memberikan banyak masukan dan kritik dalam penyempurnaan tesis ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Direktur beserta Staf Perinatologi RS Sehat Terpadu Dompet Duafa, RSIB Medika Dramaga, dan RSUD Leuwiliang, atas penerimaan yang sangat baik dan kooperatif pada saat pengambilan data penelitian. Terima kasih juga kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas bantuan beasiswa BPPDN selama menjalani studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta (Bapak Jamhur Malla, SPd dan Ibu Nurhayati) yang telah menghantarkan penulis hingga ke jenjang magister dengan segala doa, kasih sayang dan motivasi yang diberikan, serta kepada adikku tersanyang (Muhammad Hidayat, SKep) atas doa dan motivasinya.Terima kasih kepada kakakku tercinta (Opyn Mananta, SKM,MEpid) yang selalu memberikan semangat, masukan, dan setia mendengar segala keluh dan kesah penulis selama menjalani studi dan penyelesaian tesis.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kak Sanya, Lutfi, dan Risti yangtelah banyak membantu dan selalu setia menemani selama proses penelitian.Teman-teman GMS angkatan 2013, terima kasih atas doa dan dukungan semangat kepada penulis. Tidak lupa juga ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh pengajar dan staf di Departemen Gizi Masyarakat yang secara tidak langsung telah mendukung proses studi penulis serta kepada pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dalam membatu penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Oktober 2015

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 5

Perawatan Metode Kanguru (PMK) 5

Definisi Perawatan Metode Kanguru 5

Waktu Memulai Perawatan Metode Kanguru 5

Lama dan Kesinambungan Perawatan Metode Kanguru 6

Komponen Perawatan Metode Kanguru 7

Manfaat Perawatan Metode Kanguru 8

Tingkat Stres Ibu 9

Produksi ASI 10

Konsumsi Air Susu Ibu (ASI) Bayi BBLR 12

Pertumbuhan Fisik Bayi BBLR 13

Pertambahan Berat Badan 13

Pertambahan Panjang Badan 15

Pertambahan Lingkar Kepala 15

Pertambahan Lingkar Dada 16

Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Berat Normal Bayi BBLR 16

Faktor Ibu 16

Usia Ibu 17

Paritas 17

Pendidikan 17

Pekerjaan 17

Faktor Bayi 17

Jenis Kelamin Bayi 18

Umur Kehamilan (Gestasi) 18

Gangguan Menyusu 18

Faktor Pelayanan Kesehatan 19

3 KERANGKA PEMIKIRAN 20

4 METODE 22

Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian 22

(16)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 23

Pengolahan dan Analisis Data 25

Definisi Operasional 29

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31

Karakteristik Contoh 31

Konsumsi Pangan Ibu 33

Praktik Perawatan Metode Kanguru (PMK) 38

Praktik Pemberian Air Susu Ibu (ASI) 38

Frekuensi Menyusui 39

Lama Menyusui 39

Tingkat Stres Ibu 39

Konsumsi ASI 40

Pertumbuhan Fisik 42

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi ASI Bayi BBLR 44 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fisik (Berat Badan, Panjang Badan, Lingkar Kepala, dan Lingkar Dada) Bayi BBLR 45

6 SIMPULAN DAN SARAN 48

Simpulan 48

Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49

(17)

iii

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 24

2 Jenis dan kategori peubah 27

3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik (usia, pendidikan, pekerjaan, jenis persalinan, jenis kelamin) dan metode perawatan bayi BBLR 31 4 Sebaran contoh berdasarkan riwayat kelahiran (paritas), gestasi dan

karakteristik bayi serta metode perawatan bayi BBLR 32 5 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada minggu 1 berdasarkan

metode perawatan bayi BBLR 33

6 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan zat gizi makro pada

minggu 1 dan metode perawatan bayi BBLR 34

7 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan zat gizi mikro pada

minggu 1 dan metode perawatan bayi BBLR 34

8 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada minggu 2 berdasarkan

metode perawatan bayi BBLR 35

9 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan zat gizi makro pada

minggu 2 dan metode perawatan bayi BBLR 35

10 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan zat gizi mikro pada

minggu 2 dan metode perawatan bayi BBLR 36

11 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada minggu 4 berdasarkan

metode perawatan bayi BBLR 36

12 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan zat gizi makro pada

minggu 3 dan metode perawatan bayi BBLR 37

13 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan zat gizi mikro pada

minggu 3 dan metode perawatan bayi BBLR 38

14 Sebaran contoh berdasarkan praktik PMK 38

15 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menyusui dan metode perawatan bayi

BBLR 39

16 Sebaran contoh berdasarkan lama setiap kali menyusui dan metode perawatan

bayi BBLR 39

17 Tabulasi silang tingkat stres ibu dan metode perawatan bayi BBLR pada

minggu 1 40

18 Tabulasi silang tingkat stres ibu dan metode perawatan bayi BBLR pada

minggu 4 40

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Posisi bayi saat pelaksanaan PMK 7

2 Refleks pelepasan Air Susu (milk let down reflex) 12 3 Monitoring berat badan menurut umur bayi muda laki-laki 14 4 Monitoring berat badan menurut umur bayi muda perempuan 15

5 Kerangka Pemikiran 21

6 Tahapan pelaksanaan pengumpulan data 25

7 Peningkatan rata-rata konsumsi ASI pada bayi BBLR berdasarkan metode perawatan mulai minggu 1 sampai minggu 4. 41 8 Peningkatan rata-rata berat badan bayi BBLR berdasarkan metode perawatan mulai minggu 1 sampai minggu 4. 42 9 Peningkatan rata-rata panjang badan bayi BBLR berdasarkan metode

perawatan mulai minggu 1 sampai minggu 4. 43 10 Peningkatan rata-rata lingkar kepala bayi BBLR berdasarkan metode

perawatan mulai minggu 1 sampai minggu 4. . 44 11 Peningkatan rata-rata lingkar dada bayi BBLR berdasarkan metode perawatan

mulai minggu 1 sampai minggu 4. 44

DAFTAR LAMPIRAN

1 Surat keterangan lolos kaji etik 56

2 Hasil uji validitas kuesioner Parental Stress Scale (PSS) 57

3 Dokumentasi pelaksanaan penelitian 58

4 Model summary variabel dependen konsumsi ASI 58

5 Coefficients variabel dependen konsumsi ASI 59

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perawatan metode kanguru (PMK) merupakan kontak kulit langsung ibu dan bayinya baik yang dilakukan secara intermiten maupun kontinu serta dapat memenuhi kebutuhan dasar bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mencakup perhatian, kehangatan, kenyamanan, dan gizi yang cukup (ASI eksklusif) (Suradi et al. 2008; Dandekar & Shafee 2013). Oleh karena itu,Kementrian Kesehatan RI melalui Direktorat Bina Pelayanan Medik dalam rangka penatalaksanaan bayi baru lahir khususnya BBLR, telah mengeluarkan pedoman penanggulangan. Salah satu diantaranya penerapan perawatan metode kanguru (Suradi et al. 2008). Penatalaksanaan bayi BBLR bertujuan untuk mencegah terjadinya penyulit dan sesegera mungkin tercapainya peningkatan berat bayi normal agar tidak timbul gangguan pertumbuhan, perkembangan, dan menurunkan resiko terjadinya gizi kurang dan gizi buruk dikemudian hari (Charpak et al. 2005; Artawan 2012).

Bayi BBLR dianggap sebagai indeks status kesehatan masyarakat pada umumnya serta kesehatan dan gizi ibu pada khususnya (Valenkar 2009). Sebagian besar kasus BBLR dipengaruhi oleh keadaan selama proses mengandung baik dari ibu maupun janin itu sendiri (Sharma & Mishra 2013). Ibu yang tidak mendapat pelayanan kesehatan dan asupan gizi yang baik selama mengandung (antenatal) akan sangat beresiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (Lothian 2009). Bayi mengalami BBLR jika berat saat lahir kurang dari 2500 gram (WHO 2003). Berdasarkan penyebabnya BBLR dibedakan menjadi dua, yaitu BBLR karena prematur dan BBLR karena Intra Uterine Growth Retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup bulan tetapi berat badan kurang (Bernstein & Divon 2011). IUGR merupakan penyebab utama BBLR di negara-negara berkembang (Muthayya 2009).

Rata-rata prevalensi bayi BBLR di dunia mencapai 15% dan prevalensi tersebut bisa mencapai 28% di negara-negara berkembang seperti India, Pakistan, Nigeria, Philipina dan Indonesia (UNICEF 2013). BBLR di Asia Tenggara merupakan penyebab dari 15% kematian neonatal (WHO 2013). Angka kematian neonatal di Indonesia tahun 2012 sebesar 19% (SDKI 2012) dan 34% dari kematian neonatal tersebut disebabkan oleh BBLR yang prematur (Depkes 2007).Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) prevalensi bayi BBLR di Indonesia mengalami penurunan dari 11.5% tahun 2007, 11.1% (2010), hingga 10.2% (2013) (Kemenkes 2013). Namun, angka tersebut masih jauh dari target BBLR yang ditetapkan yakni < 5% (Depkes 2008). Sementara itu, prevalensi bayi BBLR di Kabupaten Bogor selama 3 tahun terakhir masih mengalami fluktuasi yakni 1.5% (2011), 1.6% (2012) dan 1.3% (2013) (Dinkes Kabupaten Bogor 2013).

(20)

Beberapa penelitian Randomized Controlled Trial(RCT)menemukan bahwa PMK dapat meningkatkan angka keberhasilan menyusui (Flackinget al. 2011; Heidarzadeh et al. 2013), menurunkan lama perawatan bayi BBLR di rumah sakit (Charpak et al. 2001; Thukral et al. 2008), meningkatkan perkembangan kognitif dan motorik bayi BBLR (Feldman et al. 2002), menurunkan morbiditas seperti hipotermi, hipoglikemia dan sepsis (Raoet al.2008), meningkatkan produksi ASI (Hurst et al. 1997; Tessier et al. 1998), meningkatkan pemberian ASI eksklusif (Rodriguez et al. 2007), meningkatkan berat badan bayi BBLR (Klaus& Fanaroff1993; Ramanathan et al. 2001; Arifah &Wahyuni 2010), dan meningkatkan pertumbuhan secara keseluruhan (Lusmilasariet al. 2004; Gathwalaet al. 2010).

Selama lebih dari 30 tahun diterapkannya PMK di dunia dan lebih dari 20 tahun sejak mulai diperkenalkan di Indonesia (Tahun 1993) telah banyak penelitian yang mempelajari keunggulan penerapan PMK pada bayi BBLR, namun masih sedikit penelitian yang mengaitkan PMK terhadap tingkat stres ibu. Selain itu, beberapa penelitian terdahulu juga tidak memperhatikan pengaruh konsumsi ibu dalam peningkatan konsumsi ASI pada bayi BBLR yang mendapatkan PMK. Berangkat dari hal itulah peneliti tertarik untuk melihat keterkaitan PMK terhadap tingkat stres ibu, konsumsi ASI dan pertumbuhan fisik bayi BBLR (berat badan, panjang badan, lingkar kepala dan lingkar dada) dengan memperhatikan aspek konsumsi ibu.

Perumusan Masalah

PMK merupakan pilihan pertama dalam memberikan lingkungan yang hangat untuk mempertahankan suhu tubuh dan ASI yang tidak terbatas kepada bayi BBLR (Suradi et al. 2008). Oleh karena itu, salah satu perawatan yang saat ini dianjurkan untuk penatalaksanaan BBLR adalah perawatan metode kanguru (PMK).

Bayi BBLRsangat beresiko mengalami berbagai penyulit (gangguan bernafas, ikterus, hipotermia), kecacatan dan kurang gizi di masa depan bahkan bisa mengalami kematian sehingga perlu mendapat penanganan yang baik. Pada prinsipnya penatalaksanaan BBLR bertujuan untuk mencegah terjadinya penyulit dan segera mencapai peningkatan berat normal sesuai umurnya. Penanganan difokuskan pada periode bayi muda atau 2 bulan pertama kehidupan (8 minggu). Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana keterkaitan antara perawatan metode kanguru (PMK) dengan tingkat stres ibu?

2. Bagaimana keterkaitan antara perawatan metode kanguru (PMK) dengan konsumsi ASI bayi BBLR?

(21)

3

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk menganalisis dan menjelaskan keterkaitan perawatan metode kanguru (PMK) terhadap tingkat stres ibu, konsumsi ASI, dan pertumbuhan fisik bayi BBLR.

Tujuan khusus dari penelitian tentang keterkaitan perawatan metode kanguru (PMK) terhadap tingkat stres ibu, konsumsi ASI, dan pertumbuhan fisik bayi BBLR, yaitu :

1. Mengidentifikasi karakteristik ibu (usia, paritas, jenis persalinan, tingkat pendidikan, dan pekerjaan) dan karakteristik bayi BBLR (berat badan lahir, panjang badan lahir, lingkar kepala lahir, lingkar dada lahir, usia gestasi, dan jenis kelamin).

2. Menganalisis konsumsi pangan ibu, praktik pemberian ASI dan PMK.

3. Menganalisis tingkat stres ibu baik pada kelompok PMK maupunkelompok perawatan metode konvensional (PMKv).

4. Menganalisis konsumsi Air Susu Ibu (ASI) bayi BBLR baik kelompok PMK maupunkelompok PMKv.

5. Menganalisis pertumbuhan fisik (berat badan, panjang badan, lingkar kepala dan lingkar dada) bayi BBLR baik kelompok PMK maupunkelompok PMKv. 6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ASI dan

pertumbuhan fisik bayi BBLR.

Hipotesis Penelitian

1. Terdapat keterkaitan antara perawatan metode kanguru (PMK) dengan tingkat stres ibu.

2. Terdapat keterkaitan antara perawatan metode kanguru (PMK) dengan konsumsi ASIbayi BBLR.

3. Terdapat keterkaitan antara perawatan metode kanguru (PMK) dengan pertumbuhan fisik (berat badan, panjang badan, lingkar kepala dan lingkar dada)bayi BBLR.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang keterkaitan penerapan PMK terhadap tingkat stres ibu, konsumsi ASI, dan pertumbuhan fisik bayi BBLR sehingga dapat menjadi landasan dalam upaya meningkatkan status kesehatan bayi yang lahir dengan riwayat BBLR.

Bagi pelayanan kesehatan yang belum menerapkan PMK dalam menangani kasus bayi BBLR, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan untuk pelaksanaan perawatan bayi BBLR sekaligus menjalankan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No:203/Menkes/SK/III/2008 dalam rangka memperkenalkan PMK sebagai salah satu cara tepat guna untuk menurunkan kematian neonatus.

(22)
(23)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Bayi BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram dan diukur pada saat lahir atau sampai hari ke tujuh setelah lahir (Suradi et al.2008).BBLR dikelompokkan sesuai dengan derajat danpenyebabnya. Berdasarkan derajatnya, BBLR dibagi menjadi 3 kelompok (Saifuddin 2010): 1. Berat badan lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2499 gram

2. Berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-1499 gram 3. Berat badan lahir ekstrem rendah (BBLER) dengan berat lahir <1000 gram.

Berdasarkan penyebabnya, BBLR dibedakan menjadi dua yaitu BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 38 minggu) yang dikenal dengan BBLR sesuai masa kehamilan, dan BBLR karena intra uterine growth retardation (IUGR) atau dikenal dengan istilah kecil masa kehamilan (Manuaba 2008).

Perawatan Metode Kanguru (PMK)

Definisi Perawatan Metode Kanguru

Perawatan Metode Kanguru(PMK) adalah perawatan untuk bayi BBLR dengan melakukan kontak kulit (skin to skin) antara ibu dan bayinya. PMK memberikan manfaat yang sangat besar, dengan metode yang mudah untuk mendukung kesehatan dan kondisi optimal bayi BBLR agar tercapai kondisi seperti bayi cukup bulan (WHO 2003).

Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Rey dan Martinez pada tahun 1978 di Maternal and Child Institute (Bogota), sebagai solusi keterbatasan jumlah inkubator dan salah satu alternatif bagi perawatan bayi BBLR yang telah melewati masa krisis tetapi masih memerlukan perawatan khusus dalam pemberian makanan untuk pertumbuhannya (Guptaet al. 2007; Suradi et al. 2008). Cara ini meniru binatang kanguru yang lahirnya sangat imatur karena tidak memiliki plasenta sehingga setelah lahir bayi kanguru disimpan di kantung perut ibunya untuk mencegah kedinginan (hipotermi). Dengan demikian, terjadi aliran panas dari tubuh induk kepada bayi kanguru sehingga bayi kanguru dapat tetap hidup terhindar dari bahaya hipotermi. Karena salah satu penyebab kematian BBLR adalah masalah hipotermi, maka prinsip tersebut digunakan dalam masalah ini(Suradi et al. 2008).

Waktu Memulai Perawatan Metode Kanguru

(24)

2003).Berdasarkan kriteria tersebut, Anderson (1991)membagi waktu memulai PMK menjadi 4 kategori:

1. Late kangaroo care, dimulai setelah bayi melalui fase perawatan intensif. Pernafasan sudah stabil dan bernafas spontan. Perawatan dimulai beberapa hari atau minggu setelah lahir.

2. Intermediate kangaroo care, dimulai setelah bayi melalui perawatan intensif sekitar 7 hari setelah lahir. Bayi-bayi ini dapat tetap mendapat terapi oksigen karena kadang-kadang apne dan bradikardi. Bayi dengan ventilator yang belum stabil juga termasuk dalam kategori ini.

3. Early kangaroo care, dilakukan pada bayi yang sudah stabil dan PMK dimulai sesegera mungkin setelah kondisi bayi stabil. Metode kanguru dapat dilakukan pada hari pertama ataupun 1 sampai 6 jam pertama setelah lahir.

4. Very early kangaroo care, dimulai saat bayi diberikan pada ibunya pada menit pertama sampai 90 menit pertama setelah lahir. Jika rumah sakittidak memiliki perlengkapan perawatan bayi BBLR untuk periode stabilisasi awal, maka ibu yang melahirkan dengan posisi semi jongkok yang disokong, didudukkan dengan kaki yang menyilang, angkat bayinya dan pelukkan. Jika ibu melahirkan dengan posisi berbaring, maka bayi ditempatkan telungkup dekat dengan payudaranya.

Lama dan Kesinambungan Perawatan Metode Kanguru

Pemberian PMK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu intermiten dan kontinu. PMK secara intermiten yaitu PMK tidak diberikan sepanjang waktu tetapi hanya dilakukan jika ibu mengunjungi bayinya yang masih berada dalam perawatan di inkubator dengan durasi minimal satu jam secara terus-menerus dalam satu hari. Metode ini dilakukan pada bayi yang dirawat di neonatal intensive care unit (NICU) atau bayi yang masih memerlukan pengobatan medis (misalnya infus, tambahan oksigen dengan konsentrasi rendah). PMK kontinu yaitu PMK yang diberikan selama 24 jam secara terus menerus dan dapat dilakukan di unit rawat gabung atau ruangan yang dipergunakan untuk perawatan metode kanguru. Untuk PMK yang kontinu, kondisi bayi harus dalam keadaan stabil dan dapat bernapas secara alami tanpa bantuan oksigen. Kemampuan untuk minum (seperti menghisap dan menelan) bukan merupakan persyaratan utama, karena PMK sudah dapat dimulai meskipun pemberian minumnya dengan menggunakan pipa lambung (Suradi et al. 2008). Apabila ibu tidak sempat, pelaksanaan PMK bisa dilakukan oleh orang lain (suami, nenek, bibi, dan anggota keluarga lainnya) secara berkelanjutan (Suradi et al. 2008).

PMK sebaiknya dimulai secara bertahap misalnya selama satu jam (agar tidak mengganggu waktu istirahat bayi) sebelum terus menerus selama 24 jam (WHO 2003; Suradi et al. 2008). PMK yang berlangsung kurang dari 60 menit sebaiknya dihindari, karena perubahan yang sering akan membuat bayi menjadi stres (Thukral et al.2008). Menurut Suradiet al. (2008) pada pemberian PMK, ibu bisa tidur dengan bayi yang diletakkan dengan posisi kanguru yang benar dan bayi hanya dapat dilepaskan dari kegiatan PMK, saat :

(25)

7

Komponen Perawatan Metode Kanguru

Pelaksanaan PMK yang harus diperhatikan adalah pemenuhan empat komponen, sebagai berikut:

1. Kangaroo Position

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas PMK adalah posisi yang benar saat melakukan PMK. Posisi pada PMK ada dua yaitu posisi prone dan lateral dekubitus (Alasiry 2012). Berikut langkah-langkah dalam PMK dengan posisi yang benar (Suradi et al. 2008) :

a. Letakkan bayi diantara payudara ibu dengan posisi tegak

b. Kulit bayi harus melekat ke dada ibu (kontak kulit dengan kulit) dengan kepala bayi dipalingkan ke satu sisi (kiri atau kanan) dengan posisi sedikit tengadah. Posisi kepala seperti ini bertujuan untuk menjaga agar saluran napas tetap terbuka dan memberi peluang agar terjadi kontak mata antara ibu dan bayi. Hindari posisi kepala terlalu fleksi atau ekstensi

c. Gunakan baju kanguru untuk membungkus dengan nyaman ibu dan bayi d. Letakkan bagian tengah dari kain menutupi bayi di dada ibu

e. Bungkus dengan kedua ujung kain mengelilingi ibu di bawah lengannya ke punggung ibu

f. Silangkan ujung kain di belakang ibu, bawa kembali ujung kain ke depan g. Ikat ujung kain untuk mengunci di bawah bayi

h. Topang kepala bayi dengan menarik pembungkus ke atas hanya sampai telinga bayi

i. Perut bayi jangan sampai tertekan dan sebainya berada di sekitar epigastrium ibu. Dengan cara ini bayi dapat melakukan pernapasan perut. Napas ibu akan merangsang bayi.

Menurut WHO (2003) dan Suradi et al. (2008), beberapa cara memasukkan dan mengeluarkan bayi dari baju kanguru yaitu:

a. Pegang bayi dengan satu tangan diletakkan di belakang leher sampai punggung bayi

b. Topang bagian bawah rahang bayi dengan ibu jari dan jari-jaring lainnya agar kepala bayi tidak tertekuk dan menutupi saluran napas ketika bayi berada pada posisi tegak

c. Tempatkan tangan lainnya di bawah pantat bayi.

(26)

2. Kangaroo Nutrition

Pelaksanaan PMK menyebabkan proses menyusui menjadi lebih berhasil dan menyusui lebih lama, serta meningkatkan volume ASI yang dihasilkan ibu. Waktu yang optimal bagi bayi untuk memulai menyusu adalah dua jam setelah lahir. Dimana saat itu bayi bersifat sangat responsif terhadap rangsangan taktil, suhu dan bau ibunya. Pada bayi yang kecil diperlukan menyusu lebih sering, yaitu sekitar 2-3 jam. Usahakan ibu tetap mencoba menyusui, walaupun bayi belum dapat menghisap dengan baik (Alasiry 2012).

3. KangarooSupport

Dukungan untuk ibu melakukan PMK bisa diperoleh dari berbagai pihak, yaitu suami, anggota keluarga lain, petugas kesehatan dan masyarakat. Dukungan yang dibutuhkan berupa dukungan emosional, dukungan fisik, dukungan edukasi (WHO 2003).

4. Kangaroo Discharge

PMK bisa tetap diteruskan di rumah setelah pasien pulang dari rumah sakit. Perawat perlu mengevaluasi kemampuan ibu untuk melakukan PMK dan perlu dilakukan pemantauan secara teratur untuk melakukan follow-up terhadap pelaksanaan PMK (WHO 2003).

Bayi yang dipulangkan dengan berat badan kurang dari 1800 gram dipantau setiap minggu dan bayi dengan berat badan lebih dari 1800 gram setiap dua minggu. Tujuan pemantauanyaitu memotivasi ibu agar tetap melanjutkan PMK dan untuk mempromosikan pemberian ASI eksklusif (Suradi et al. 2008). Beberapa hal yang hendaknya diperhatikan pada saat kunjungan, antara lain: pelaksanaan PMK, pemberian ASI, pertumbuhan dan perkembangan bayi, penyakit, obat-obatan serta imunisasi (WHO 2003).

Manfaat Perawatan Metode Kanguru

PMK memiliki beberapa manfaat diantaranya: a. Bagi Bayi

Manfaat PMK pada bayi adalah keefektifan termoregulasi, frekuensi denyut jantung yang stabil, pola nafas teratur, menurunkan kejadian apnea, meningkatkan saturasi O2(Christenssonet al. 1998), meningkatkan frekuensi

menyusu (Hurst et al. 1997), mempercepat perkembangan otak (Priya 2004), mempercepat bayi keluar dari inkubator, memperpendek hari rawat (Charpak et al. 2005), meningkatkan kemampuan untuk bertahan hidup(Thukral et al. 2008) serta peningkatan berat badan (Klaus& Fanaroff 1993; Ramanathan et al. 2001; Arifah &Wahyuni 2010).

b. Bagi Ibu

(27)

9

Tingkat Stres Ibu

Stresadalah suatu tekanan atau sesuatu yang terasa menekan dalam diri individu. Sesuatu tersebut dapat terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan yang dinginkan oleh individu, baik keinginan yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah (Weinberg &Gould 2003; Sukadiyanto 2010). Namun, belum tentu semua individu yang mengalami ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan tersebut akan menjadikannya stres. Suatu stimulus yang sama akan direspons secara berlainan oleh individu yang berbeda (Sukadiyanto 2010).

Acevedo & Ekkekakis (2006) menyatakan bahwa stresdapat ditimbulkanoleh dua hal. Pertama,oleh karakteristik bawaan yang merupakan predisposisi keturunan dan keterbatasan psikologis individu. Kedua, dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi dan situasi tempat tinggal serta pengalaman masa lalu individu. Dengan demikian, munculnyastresdapat disebabkan oleh faktor dari dalam diri individu maupun faktor dari luar diri individu.

Pada umumnya, individu yang mengalami stres akan mengalami kesulitan dalam memanajemen kehidupannya, karenastresakan memunculkan kecemasan (anxiety) dan sistem syaraf menjadi kurang terkendali. Pusat syaraf otak akan mengaktifkan saraf simpatis, sehingga mendorong sekresi hormon adrenalin dan kortisol yang akhirnya akan memobilisir hormon-hormon lainnya (Waitz et al. 1983).

Ibu yang melahirkan bayi BBLR akan mengalami stres terkait dengan kondisi persalinan dan perawatan bayinya (Danerek &Dykes 2006; Lindberg & Ohrling 2008; Sitohang 2009), perilaku menyimpang dari bayi (Brazelton & Nugent 1995), bahaya yang mengancam kehidupan bayinya (Surami 2003) serta produksi ASI yang tidak adekuat (Whilhelm 2005). Oleh karena itu, orang tua perlu mendapat pengetahuan tentang perbedaan kebutuhan khusus bayi BBLR dan pola pertumbuhannya (Bobak et al. 2005). Kurangnya informasi pada orang tua tentang bayi BBLR dan perawatannya dapat menimbulkan perasaan takut dan cemas sehingga terkadang ibu tidak mau untuk berpartisipasi dalam perawatan bayi (Sitohang 2009).

Pengukuran tingkat stres ibu yang memiliki bayi BBLR dapat menggunakan instrumen Parental Stres Scale : Neonatal Intensive Care Unit (PSS:NICU). Instrumen ini dikembangkan oleh Margaret S. Miles dengan pengembangan dari Parental Stresor Scale : Pediatric Intensive Care Unit (PSS:PICU). PSS:NICU dikembangkan untuk mengukur persepsi orang tua terhadap stresor yang meningkat yang berasal dari lingkungan fisik dan psikis di NICU. PSS:NICU terdiri dari 34 pernyataan tentang pengalaman atau situasi yang bisa terjadi terkait lingkungan NICU dan kondisi bayi. Pengalaman atau situasi ini dikelompokkan menjadi 3 klasifikasi yaitu pemandangan dan suara di ruang NICU, kondisi klinis dan perilaku bayi, serta hubungan orang tua dengan bayinya dan peran orang tua (Miles 2002).

(28)

dialami tidak menimbulkan stres sama sekali, tidak menimbulkan gangguan, kondisi tegang maupun kecemasan. Skor 2 diberikan jika pengalaman atau situasi yang ditanyakan menimbulkan sedikit stres, skor 3 diberikan jika menimbulkan stres berat, skor 4 diberikan jika menimbulkan stres yang sangat berat dan skor 5 diberikan jika menimbulkan stres ekstrim (Miles 2002).

Penilaian hasil akhir tingkat stres ibu dari skor yang di dapat pada PSS dapat dilakukan dengan menggunakan metrik 1 atau metrik 2. Metrik 1 merupakan tingkat kejadian stres yang disebabkan oleh terjadinya pengalaman atau situasi tertentu. Metrik 2 meupakan tingkat stres secara keseluruhan. Pada penilaian dengan metrik 1, skor penilaian hanya diberikan pada pengalaman atau situasi yang dialami responden, sedangkan pengalaman atau situasi yang tidak dialami tidak diberikan penilaian (diberi kode missing). Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai rata-rata dengan pembagi sesuai jumlah pengalaman atau situasi yang terjadi. Sedangkan penilaian menggunakan metrik 2, skor diberikan pada seluruh pengalaman atau situasi yang ditanyakan dalam PSS:NICU. Pengalaman atau situasi yang tidak dialami responden dianggap situasi yang tidak menimbulkan stres sehingga diberikan skor 1 dan tidak ada yang kosong. Penghitungan nilai rata-rata dengan pembagi sejumlah pernyataan pada PSS:NICU yaitu 34 (Miles 2002).

Menurut Miles (2002), adanya metrik 1 dan metrik 2 memungkinkan seseorang memilih penilaian yang dirasa paling sesuai. Rekomendasi yang dianjurkan sesuai dengan fokus penelitian. Jika penelitian berfokus pada orang tua, penggunaan metrik 2 lebih dianjurkan untuk menggambarkan tingkat stres yang dialami terkait kondisi mempunyai bayi di NICU. Namun jika penelitian berfokus pada lingkungan NICU yang menjadi stresor, maka penggunaan metrik 1 lebih dianjurkan.

Produksi ASI

Sejak dimulainya kehamilan, payudara pun mulai mengalami serangkaian proses perubahan. Perubahan ini merupakan proses persiapan dari payudara untuk memproduksi ASI. Proses pembentukan ASI (laktogenesis) dirangsang oleh hormon prolaktin yang diproduksi oleh kelenjar hipofise anterior. Kadar hormon prolaktin ini terus meningkat sesuai dengan usia kehamilan. Laktogenesis selama kehamilan juga dipengaruhi oleh hormon yang dihasilkan oleh plasenta yaitu human chorionic somatomammotropin. Meskipun hormon-hormon tersebut sudah bekerja sejak kehamilan tetapi sekresinya ditekan oleh hormon estrogen dan progesteron sehingga selama kehamilan payudara hanya mensekresikan beberapa mililiter cairan setiap harinya (Guyton & Hall 2007).

(29)

11

dengan volume yang semakin meningkat sesuai dengan kebutuhan bayi (Siregar 2004; Roesli 2005). Pada akhir minggu pertama atau kedua ASI matur disekresikan dengan komposisi yang relatif konstan dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan bayi sampai dengan usia enam bulan (Farrer 2001; Soetjiningsih 2005). Produksi ASI pada 6 bulan pertama usia bayi berkisar 500-700 ml, 400-600 ml pada 6 bulan kedua dan 300-500 ml pada tahun kedua usia anak (Nasoetion & Madaniyah 1993).

Produksi ASI akan berlangsung terus selama beberapa tahun bila anak terus menghisap puting susu, walaupun kecepatan pembentukan ASI normalnya berkurang setelah 7 bulan. Apabila kadar prolaktin tidak meningkat atau dihambat, misalnya karena kerusakan hypothalamus atau hipofisis atau bila laktasi tidak dilakukan terus menerus maka payudara akan kehilangan kemampuannya untuk memproduksi ASI dalam waktu satu minggu atau lebih (Guyton & Hall 2007).

Refleks sangat penting dalam proses laktasi yaitu refleks prolaktin dan refleks aliran (let-down refleks) yang timbul akibat dari perangsangan puting susu oleh hisapan bayi (Bobak et al. 2005; Roesli 2005).

a. Refleks prolaktin

Hisapan bayi pada puting susu akan merangsang ujung-ujung saraf sensori yang berfungsi sebagai reseptor mekanik. Rangsangan tersebut akan dilanjutkan ke hypothalamus melalui medulla spinalis dan mesensephalon kemudian menuju ke hipofisis anterior sehingga kelenjar ini mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon ini akan merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi memproduksi ASI. Semakin banyak ASI dikeluarkan dari payudara, semakin banyak produksi ASI. Semakin sering menyusu, semakin banyak produksi ASI. Jumlah prolaktin yang disekresi dan jumlah ASI yang diproduksi berkaitan dengan stimulus isapan, yaitu frekuensi, intensitas dan lamanya bayi menghisap.

b. Let-down refleks

Rangsangan pada puting susu tidak hanya diteruskan ke kelenjar adenohipofisis tetapi juga diteruskan ke hipofisis posterior yang mengeluarkan hormon oksitosin. Hormon ini berfungsi untuk memacu kontraksi otot polos pada dinding alveolus dan dinding duktus laktiferus, sehingga ASI dipompa keluar dan masuk ke mulut bayi. Makin sering menyusui, maka pengosongan alveolus makin baik sehingga kemungkinan terjadinya bendungan ASI semakin kecil dan menyusui semakin lancar. Refleks pengeluaran ASI lebih rumit dibandingkan refleks pembentukan ASI. Pikiran maupun perasaan ibu akan sangat mempengaruhi refleks ini. Dengan melihat dan memikirkan bayinya dengan perasaan penuh kasih dan sayang, mendengar tangisan bayi, mencium bayi serta perasaan ibu yang tenang dan bahagia, semua ini dapat meningkatkan refleks pengeluaran ASI. Sebaliknya stres merupakan hal yang dapat menghambat refleks oksitosin. Seorang ibu yang sedang menyusui dan mengalami stres, akan membuat bayinya merasa tidak nyaman dengan suasana hati ibu. Seringkali bayi menolak menyusu sehingga perangsangan payudara tidak terjadi, dan ASI yang diproduksi tidak bisa keluar dengan cukup, yang lama kelamaan akan terhenti produksinya.

(30)

yang telah diketahui sejak lama mempengaruhi produksi ASI. Gangguan emosional dan kelelahan yang mempengaruhi refleks pelepasan atau pengeluaran air susu dapat menurunkan produksi ASI. Faktor fisiologis meliputi kemampuan ibu untuk memproduksi ASI, kemampuan untuk mensekresikan produksi ASI dan kemampuan bayi untuk mengonsumsi ASI. Faktor sosial antara lain kebiasaan menyusui pada ibu bekerja yang bekerja di luar rumah (WHO 1985). Mekanisme refleks pengeluaran air susu diperlihatkan pada Gambar 2.

Konsumsi Air Susu Ibu (ASI) Bayi BBLR

Bila bayi BBLR pada awalnya tidak memungkinkan untuk menyusu langsung ke payudara ibu, dapat dilakukan dengan pemberian ASI perah menggunakan cangkir (cup feeding) atau dengan orogastric tube terlebih dahulu.Segera setelah bayi menunjukkan tanda kesiapan menyusu yang ditandai dengan menggerakkan lidah dan mulut serta keinginan menghisap (menghisap jari atau kulit ibu), maka ibu dapat mulai mencoba untuk menyusui bayinya secara langsung (Endyarnie 2013).

Bayi dengan usia kehamilan antara 30-32 minggu, pemberian minum biasanya masih memerlukan penggunaan orogastric tube. Ibu dapat memberikan ASI perah secara teratur melalui orogastric tube, dan ibu juga dapat melatih bayi menghisap dengan membiarkan jari tangan ibu yang bersih berada dalam mulut

(31)

13

bayisaat diberi ASI melalui orogastric tube. Selain itu, dapat dicoba pemberian melalui cup feeding satu atau dua kali sehari terlebih dahulu (Endyarnie 2013).

Bila bayi BBLR sudah mulai menghisap dengan efektif, mungkin sesekali akan berhenti saat menyusu dengan jeda yang agak lama. Hal ini dapat terjadi karena bayi BBLR mudah lelah, menghisap agak lemah pada awalnya, dan memerlukan waktu istrahat yang agak lama setelah menghisap. Biarkan bayi menempal di dada ibu dan biarkan menghisap kembali bila sudah siap.

Pemberian ASI pada bayi BBLR dilakukan on demand (sesering mungkin setiap bayi mau disusui) atau paling lambat setiap 2 jam (Suradi et al. 2008). Pada awalnya, mungkin bayi tidak bangun untuk minum sehingga harus dibangunkan terlebih dahulu agar bayi mau minum (Endyarnie 2013). Setelah bayi berusia lebih dari 7 hari pemberian ASI ditingkatkan 20 ml/kg/hari sampai tercapai jumlah sebanyak 180 ml/kg/hari. Apabila kenaikan berat tidak sesuai maka pemberian ASI dapat ditingkatkan sampai 200 ml/kg/hari (Suradi et al. 2008).

Tanda-tanda keadekuatan pemberian ASI meliputi: buang air kecil minimal 6 kali dalam 24 jam; bayi tidur lelap setelah pemberian ASI; peningkatan berat badan setelah 7 hari pertama minimal 20 gram setiap hari; dan pada saat ibu menyusui, ASI akan menetes dari payudara yang lain apabila pada satu payudara dihisap (Suradi et al. 2008).

Pertumbuhan Fisik Bayi BBLR

Pertumbuhan fisik merupakan hal yang kuantitatif, yang dapat diukur. Seseorang dikatakan mengalami pertumbuhan bila terjadi perubahan ukuran dalam hal bertambahnya ukuran fisik, seperti berat badan, panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan dan lingkar dada (Hidayat &Alimul 2008).

Pertambahan Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Proses peningkatan berat badan bayi tidak terjadi segera dan otomatis melainkan terjadi secara bertahap sesuai dengan umur bayi. Peningkatan berat yang adekuat akan sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan bayi secara normal dimasa depan sehingga akan sama dengan perkembangan bayi yang tidak BBLR (Artawan 2012).

Dalam keadaan normal (tidak ada penyulit dan faktor penghambat),bayi BBLR akan mencapai berat lahir normal pada akhir bulan pertama kehidupan. Peningkatan berat badan yang baik pada bayi BBLR tidak hanya dinilai dari pencapaian berat lahir normal tetapi juga peningkatan sesuai umur dalam minggu terutama dalam periode bayi muda (1 hari sampai 2 bulan) (Kemenkes 2011).

Pemantauan peningkatan berat bayi muda khususnya yang lahir dengan BBLR dapat mengikuti grafik monitoring berat badan menurut umur yang terdapat dalam buku manajemen terpadu bayi muda (MTBM). Pada grafik tersebut peningkatan berat badan dipantau per minggu selama 10 minggu. Seperti pada grafik pertumbuhan pada KMS, grafik monitoring pada bayi muda juga dibedakan beradasarkan jenis kelamin (Kemenkes 2010).

(32)

dapat kehilangan berat sampai 10%, itu berarti beratnya bisa turun 150 sampai 250 gram. Penurunan berat pada minggu pertama kehidupan masih dianggap normal karena penyesuaian lingkungan dan asupan bayi dari dalam keluar kandungan. Di dalam kandungan, asupan makanan bayi tercukupi melalui plasma akan tetapi setelah lahir bayi akan mendapat asupan dari ASI dan biasanya pada minggu pertama belum mencukupi sehingga cadangan makanan bayi akan terpakai yang menyebabkan penurunan berat badan bayi. Setelah mengalami penurunan, maka akan diikuti dengan peningkatan. Pada tahap ini asupan makanan dari ASI sudah terpenuhi. Bayi dengan berat lahir >1500 gram setelah 7 hari akan mengalami peningkatan berat sebesar 30-35 gram per hari atau minimal sebesar 250 gram per minggu pada bayi BBLR laki-laki dan perempuan minimal sebesar 200 gram per minggu (Suradi et al. 2008).

Menurut Suradi et al. (2009) pertambahan berat badan pada bayi PMK dapat diperkirakan berdasarkan HPHT (haid pertama haid terakhir) adalah : 1) 20 gram/hari dari 30 sampai dengan 32 minggu dari HPHT, diperkirakan akan

mencapai 150-200 g/minggu.

2) 25 gram/hari dari 35 sampai 36 minggu dari HPHT, diperkirakan akan mencapai 200-250 g/minggu.

3) 30 gram/hari dari 37 sampai 40 minggu dari HPHT, diperkirakan akan mencapai 250-300 g/minggu.

Pemberian ASI yang adekuat merupakan dasar tercapainya peningkatan berat badan. Selain pemantauan terhadap tanda-tanda keadekuatan konsumsi ASI, harus diukur juga peningkatan berat badan per minggu dengan acuan grafik monitoring pada gambar 3 dan 4 di bawah ini.

(33)

15

Pertambahan Panjang Badan

Pengukuran panjang badan menurut umur akan didapatkan gambaran keadaan gizi yang diderita pada waktu lampau. Hal ini penting bagi bayi BBLR dan bayi BBLSR(Kemenkes 2010). Panjang badan lahir bayi BBLR yaitu kurang dari 45 cm (Proverawati & Ismawati 2010). Bayi yang mendapatkan PMK diharapkan tidak akan mengalami kekurangan asupan zat gizi pada awal kehidupannya dan berdampak pada pertumbuhan linear seperti pertumbuhan panjang badan (Lusmilasari et al. 2004).

Cara mengukur panjang badan bayi, sebagai berikut (Supariasa et al. 2001): a. Alat pengukur diletakkan di atas meja atau tempat yang datar

b. Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur, kepala diletakkan hati-hati sampai menyinggung bagian atas alat pengukur

c. Bagian bawah alat pengukur, digeser sehingga tepat menyinggung telapak kaki bayi dan skala pada sisi alat pengukur dapat dibaca.

Pertambahan Lingkar Kepala

Tiga bulan pertama, pertumbuhan lingkar kepala tidak dapat diabaikan begitu saja karena waktu tersebut merupakan fase pertumbuhan cepat dimulai.Pertumbuhan pertama yang harus diperhatikan adalah kepala bayi karena proporsi tubuh akan mengikuti pola yang teratur yaitu cephalokaudal sehingga saat lahir kepala dan badan bayi relatif lebih besar dibandingkan tungkai (Lusmilasari et al. 2004). Ukuran lingkar kepala bayi BBLR saat lahir yaitu kurang dari 33 cm (Proverawati & Ismawati 2010).

(34)

Cara mengukur pertumbuhan selain peningkatan berat badan juga adanya peningkatan lingkar kepala setiap minggu, saat berat bayi mulai meningkat, lingkar kepala akan naik antara 0.5 cm dan 1 cm per minggu (Indrasanto et al. 2008). Pertumbuhan lingkar kepala pada bayi aterm antara 0-6 bulan yaitu bertambah 1.32 cm per bulan atau 0.33 cm per minggu hingga ukuran rata-rata 37.4 cm (Muscari 2005).

Cara mengukur lingkar kepala bayi yaitu lingkarkan pita pengukur pada kepala melewati dahi, diatas kedua telinga dan bagian belakang kepala yang menonjol (tulang oksiput) tarik agak kencang sampai kedua ujung meteran bertemu di angka 0 (Supariasa et al. 2001).

Pertambahan Lingkar Dada

Pengukuran lingkar dada bayi segera setelah dilahirkan dapat dipakai sebagai pengganti penimbangan berat lahir untuk deteksi dini bayi BBLR. Pengukuran lingkar dada lebih sederhana, murah dan efektif. Dengan deteksi bayi BBLR dan intervensi segera akan menjamin kelangsungan hidup bayi (Depkes 1997). Ukuran lingkar dada bayi BBLR saat lahir yaitu ≤ 30 cm (Proverawati & Ismawati 2010).

Pengukuran lingkar dada dilakukan dengan menggunakan pita pengukur lingkar dada. Disepanjang pita, ditengahnya terdapat garis mendatar disertai ukuran dikiri dan kanannya. Cara mengukur lingkar dada sebagai berikut (Depkes 1997):

1. Letakkan pita lingkar dada ditempat yang rata

2. Setelah bayi dibersihkan dari darah dan lendir, baringkan bayi di tengah-tengah pita. Upayakan bayi dalam keadaan tenang

3. Pastikan bahwa garis mendatar disepanjang tengah pita, jatuh di kedua puting susu bayi

4. Lingkarkan ujung pita dan selipkan ke dalam celah yang ada, sampai pita melingkari tubuh bayi dengan lembut dan rata disepanjang garis puting susu 5. Baca dan catat ukuran lingkar dada pada pita (pada tanda panah).

Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Berat Normal Bayi BBLR

Pencapaian berat normal pada bayi BBLR merupakan suatu proses yang terjadi secara bertahap dan ada berbagai faktor yang mempengaruhi pencapaian tersebut. Dari berbagai literatur dan penelitian, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian berat badan normal yaitu faktor ibu, faktor bayi dan faktor pelayanan kesehatan.

Faktor Ibu

(35)

17

Usia Ibu

Usia ibu memiliki pengaruh yang penting dalam kemampuan mengasuh bayi. Ibu yang terlalu muda akan kurang siap secara mental, pengetahuan dan pengalaman dalam merawat bayi. Selain itu, efek dari belum matangnya organ reproduksi seperti payudara sangat berpengaruh terhadap kecukupan produksi ASI. Bayi yang lahir dari ibu dengan usia lebih muda (kurang dari 20 tahun) cenderung memiliki ketahanan lebih rendah dibandingkan bayi yang lahir dari ibu dengan umur lebih tua (lebih atau sama dengan 20 tahun) (Artawan 2012).

Paritas

Paritas merupakan jumlah bayi yang pernah dilahirkan dalam keadaan hidup. Paritas telah terbukti memiliki pengaruh yang konsisten terhadap pertumbuhan bayi BBLR terutama dalam pencapaian berat normal menurut umur. Selain mempengaruhi pencapaian berat normal, paritas juga mempengaruhi kemampuan ibu dalam melaksanakan PMK. Ibu dengan paritas 1 dan 2 akan lebih mempunyai banyak waktu dalam menerapkan PMK sehingga dapat mempengaruhi kualitas penerapannya (Charpak et al. 1997).

Pendidikan

Tingkat pendidikan ibu hamil sangat mempengaruhi kemampuan mereka dalam belajar untuk merawat bayi yang baru dilahirkan. Pendidikan sangat menentukan keberhasilan penyampaian informasi kesehatan yang disampaikan oleh petugas kesehatan. Pada ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah (tidak sekolah, tidak tamat atau hanya tamat SD) akan lebih sulit mengerti informasi kesehatan dan lebih sulit untuk menerapkan apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Bila bayi dengan BBLR lahir dari ibu dengan tingat pendidikan yang kurang, maka ada kemungkinan pertumbuhan bayi untuk mencapai berat normal akan lebih lambat. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi persepsi dan perilaku dalam perawatan kehamilan serta mempengaruhi keputusan ibu untuk merawat bayinya (Ronoatmojo & Sudarto 1996).

Pekerjaan

Seorang ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga akan mempunyai waktu lebih banyak untuk merawat, menyusui dan mencurahkan kasih sayang terhadap bayi yang baru dilahirkan. Bila bayi dengan BBLR yang lahir dari ibu rumah tangga, maka pertumbuhannya akan lebih baik dan peningkatan berat badannya untuk mencapai berat normal akan sesuai seperti yang diharapkan karena mendapat perhatian penuh dari ibu. Sedangkan bila bayi BBLR lahir dari ibu yang bekerja di luar rumah, maka banyak waktu akan tersita ke pekerjaan tersebut. Bayi akan terlantar dan pencapaian berat normal pun akan terhambat (Ronoatmojo& Sudarto 1996).

Faktor Bayi

(36)

asfiksia, ikterus, infeksi bakteri dan diare juga termasuk dalam faktor bayi. Beberapa faktor bayi yang diidentifikasi mempengaruhi pencapaian berat normal pada bayi BBLR adalah sebagai berikut:

Jenis Kelamin Bayi

Jenis kelamin juga mempengaruhi peningkatan berat badan bayi baru lahir termasuk probabilitas pencapaian berat normal, jika bayi lahir dengan BBLR(Soetjiningsih 1995).

Umur Kehamilan (Gestasi)

Umur kehamilan akan menetukan klasifikasi BBLR sesuai dengan penyebabnya. Berdasarkan umur kehamilan, BBLR dibagi menjadi dua yaitu BBLR sesuai masa kehamilan (SMK) adalah bayi saat lahir beratnya kurang dari 2500 gram yang disebabkan karena lahir prematur atau belum mencapai usia kehamilan 38 minggu. BBLR tipe ini disebut sesuai masa kehamilan karena pertumbuhan berat bayi dengan umur kehamilan sesuai (normal), tidak terjadi distres atau ganguan pertumbuhan. Hanya saja pada umur kehamilan tersebut berat bayi belum mencapai 2500 gram, organ penting seperti paru-paru belum matang sehingga meningkatkan risiko kematian, kelainan dan kesakitan terutama pada tahun pertama kehidupannya. Klasifikasi BBLR lainnya adalah BBLR kecil masa kehamilan (KMK). BBLR kecil masa kehamilan adalah bayi saat lahir beratnya kurang dari 2500 gram untuk masa gestasi yang disebakan karena gangguan pertumbuhan intrauterin atau perkembangan janin terhambat (PJT) (Manuaba 2008).

Gangguan Menyusu

Pemberian ASI merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi terutama bayi dengan BBLR (Artawan 2012). Berdasarkan penelitian Kristina (2009), ditemukan adanya perbedaan nilai rerata peningkatan berat badan bayi BBLR yang sangat bermakna pada 2 minggu pertama kehidupan antara yang diberi ASI dengan susu formula. Rerata peningkatan berat bayi yang mendapat ASI pada umur 0-2 minggu sebesar 255 gram sedangkan yang diberikan susu formula hanya 71 gram.

Ibu yang segera menyusui bayinya dalam 30 menit setelah lahir dan memberikan ASI secara eksklusif sampai bayi umur 6 bulan mempunyai ikatan batin yang erat dengan bayinya. Bayi yang lahir dalam keadaan prematur, terutama pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu, sering mengalami kesulitan dalam pemberian ASI karena belum adanya refleks hisap dan ukuran mulut bayi yang lebih kecil dibandingkan papila mamae. Gangguan ini dapat menghambat pencapaian berat normal (Kemenkes 2010).

Klasifikasi kemungkinan berat badan rendah dan masalah pemberian ASI dibagi menjadi 3 yaitu (Kemenkes 2010):

1. Berat badan sangat rendah (BBSR) dan / atau masalah pemberian ASI bila bayi dengan berat lahir <2000 gram atau berat badan menurut umur dibawah garis merah (BGM) atau tidak bisa minum ASI atau tidak melekat sama sekali atau tidak mengisap sama sekali atau ada celah bibir/langit-langit

(37)

19

melekat dengan baik atau tidak mengisap dengan efektif atau terdapat luka atau bercak putih di mulut

3. Berat badan tidak rendah dan tidak ada masalah pemberian ASI.

Faktor Pelayanan Kesehatan

(38)

3KERANGKA PEMIKIRAN

Berangkat dari buku acuan manajemen BBLR yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Kementrian Kesehatan RI bahwa pilihan pertama dalam memenuhi kebutuhan dasar BBLR yang meliputi perhatian, kehangatan, kenyamanan, gizi yang cukup, dan hubungan emosional adalah penerapan perawatan metode kanguru (PMK) (Suradi et al. 2008; Dandekar & Shafee 2013).

Penerapan PMK dapat dipengaruhi oleh karakteristik ibu dan karakteristik bayi BBLR. Selain itu, karakteristik ibu dan bayi BBLR juga dapat mempengaruhi tingkat stres ibu, produksi ASI, dan pertumbuhan fisik.

PMK merupakan perawatan yang melibatkan orang tua dan bayinya dimana terjadi kontak kulit yang dekat antara ibu dan bayi yang akan mempengaruhi kondisi psikologis ibu selanjutnya akan mempengaruhi perubahan tingkat stres ibu (Saidah 2010).

Pelaksanaan PMK juga dapat meningkatkan produksi ASI. Peningkatan produksi ASI dapat terjadi karena menguatnya ikatan emosi ibu-bayi sehingga terjadi letdown refleks yang penting bagi pengeluaran ASI dan berpengaruh positif terhadap produksi ASI (Hurst et al. 1997). Namun, Produksi ASI juga dapat dipengaruhi oleh tingkat stres ibu. Ketika ibu mengalami stres, akan membuat bayinya merasa tidak nyaman dengan suasana hati ibu. Seringkali bayi menolak menyusu sehingga perangsangan payudara tidak terjadi, dan ASI yang diproduksi tidak bisa keluar dengan cukup, yang lama kelamaan akan terhenti produksinya (Whilhem 2005; Danerek & Dykes 2006).Pada saat ibu mengalami stres, terjadi pengeluaran hormon adrenalin yang dapat menghambat sampainya oksitosin ke mioepitelium sehingga menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah alveoli. Kondisi ini menyebabkan tidak dapat dikeluarkannya air susu (Kari 1997). Selain itu, konsumsi ibu juga dapat berkotribusi terhadap jumlah produksi ASI. Produksi ASI yang cukup akan mempengaruhi konsumsi ASI pada bayi.

(39)

21

Karakteristik Bayi

- Jenis kelamin - Usia

- Masa Gestasi - BBL, PBL, LK, LD

Karakteristik Ibu

- Usia - Paritas - Pendidikan - Pekerjaan - Jenis persalinan

Konsumsi Ibu

Produksi ASI Tingkat Stres

Ibu

Perawatan Metode Kangguru (PMK)

Pertumbuhan Fisik Bayi BBLR

- Peningkatan berat badan - Peningkatan panjang badan - Peningkatan lingkar kepala - Peningkatan lingkar dada

Konsumsi ASI Bayi BBLR

Keterangan:

= Variabel yang diteliti = Hubungan variabel diteliti

= Variabel yang tidak diteliti = Hubungan variabel tidak diteliti

(40)

4METODE

Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dan dilaksanakan selama tigabulan mulai Desember 2014 sampai Maret2015di Kabupaten Bogor. Penelitian ini telah dikaji dan mendapatkan persetujuan etik dari FK UI No.134/UN2.F1/ETIK/2015 (Lampiran 1).

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh

Contohdalam penelitianini adalah ibu dan bayi BBLR yang pernah mendapatkan perawatan di rumah sakit. Contoh dikelompokkan menjadi kelompok PMK dan kelompok PMKv. Contoh untuk kelompok PMK diambil dari RS Sehat Terpadu Dompet Duafa dan RSIB Medika Dramaga. Sedangkan kelompok PMKv diambil dari rumah sakit yang tidak menerapkan PMK dan memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok PMK. Rumus yang digunakan untuk menghitung besar contoh adalah sebagai berikut (Sastroasmoro & Ismael 2007):

n1= n2=

=

= =18

Keterangan :

n = jumlah sampel tiap kelompok Zα = nilai Z (untuk α=0.05 adalah 1.96) Zβ =nilai Z (untuk power 80% adalah 0.842) P = ½ (P1+P2)

P1 = Proporsi pencapaian pertumbuhan BBLR pada kelompok PMK

(RR x P2; RR= 2)

P2 = Proporsi pencapaian pertumbuhanBBLR pada kelompok tidak PMK

(mengacu hasil penelitian Lusmilasari et al. 2004)

Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus di atas, diperoleh jumlah contohminimal untuk setiap kelompok yaitu18 pasang ibu dan bayi BBLR sertauntuk mengantisipasi adanya drop out maka ditambah 10%, sehingga jumlah contohuntuk setiap kelompok menjadi 20 pasang.

(41)

23

Untuk Bayi

1. Berat badan lahir 1500-2499 gram

2. BBLR berumur 2 minggu dan telah mencapai kondisi stabil 3. Memiliki kemampuan mengisap

4. Memiliki kemampuan menelan dengan baik Untuk Ibu

1. Bisa membaca dan menulis 2. Memberikan ASI Ekslusif

3. Berdomisili di Kabupaten Bogor berdasarkan KTP atau surat keterangan dari pemerintah setempat

Kriteria Eksklusi Untuk Bayi

1. Mengalami kelainan kongenital (cheiloschisis, palatochisis, atresia ani, kelainan saluran kemih)

2. Bayi-bayi yang ibunya sedang sakit ataupun tidak ada yang menggantikan posisi ibu.

Untuk Ibu

1. Tidak dapat berkomunikasi dengan baik 2. Tidak bersedia menjadi responden.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi secara langsung, wawancara terstruktur menggunakan kuesioner, dan catatan rekam medik serta pengukuran antropometri. Data primer meliputi praktik PMK, tingkat stres ibu,konsumsi ASI (skor persepsi ibu dan record konsumsi ASI bayi BBLR), konsumsi pangan ibuserta pertumbuhan fisik (berat badan, panjang badan, lingkar kepala, dan lingkar dada) bayi BBLR.

Pengumpulan data praktik PMK dilakukan mengggunakan lembar pencatatan, dimana setiap ibu diberikan lembar pencatatankemudian mencatat pelaksanaan praktik PMK setiap sesi selama 24 jam.Untuk memonitoring kepatuhan ibu dalam pelaksanaanpraktik PMK, peneliti melakukan home visitbersama dengan beberapa kader yang bertempat tinggal dan menetap di lokasi yang sama dengan rumah contoh.Data konsumsi pangan ibu dikumpulkan dengan menggunakan metode food recall2x24 jam, food recall dilakukan pada dua hari yang berbeda dan tidak berurutan yaitu satu hari weekend (sabtu atau minggu) dan satu hari weekday (senin, selasa, rabu atau kamis).

(42)

Tabel1Jenis dan cara pengumpulan data

No. Peubah Jenis data Cara pengumpulan data

1. Karakteristik Ibu

Sekunder Catatatan rekam medik

2 Karakteristik Bayi - Jenis kelamin

- Usia kehamilan/gestasi - Berat badan lahir - Panjang badan lahir - Lingkar kepala lahir - Lingkar dada lahir

Sekunder Catatan rekam medik

3 Konsumsi Ibu Primer Wawancara menggunakan

kuesioner food recall2x24 jam 4 Praktik Perawatan Metode

Kanguru (PMK)

Primer Observasi langsungmeng-gunakan lembar pencatatan

5 Tingkat stres ibu Primer Wawancaramenggunakan

instrumen modifikasi Parental Stresor Neonatal Intensive Care Unit (PSS:NICU) kuesioner berdasarkan skor persepi ibu

Primer Pengukuran langsung

(antropometri) menggunakan timbangan bayi digital dengan ketelitian 10 gram (BB), Baby length board dengan ketelitian 0.1 cm (PB), dan pita pengukur LD dan LK dengan ketelitian 0.1 cm.

Adapun beberapa tahapan penelitian yang dilakukan sebagai berikut : Tahapan Persiapan

a. Tahap ini diawali dengan mencari data yang diperlukan dan studi literatur yang mendukung penyusunan proposal penelitian

b. Peneliti mengurus perizinan untuk melakukan penelitian

Gambar

Gambar 2Refleks pelepasan Air Susu (Konsumsi Air Susu Ibu (ASI) Bayi BBLR milk let down reflex)
Gambar3 Monitoring berat badan menurut umur bayi muda laki-
Gambar 5Kerangka Pemikiran Keterkaitan Perawatan Metode Kanguru (PMK)
Tabel1Jenis dan cara pengumpulan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data primer meliputi karakteristik keluarga (besar keluarga dan pendapatan orangtua), karakteristik contoh (jenis kelamin dan usia), karakteristik orangtua (usia, pendidikan,

Adapun tujuan khususnya meliputi: (1) mengidentifikasi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, uang saku, status gizi, dan pengetahuan gizi) dan karakteristik orangtua

Hal tersebut senada dengan penelitian PMK yang dilakukan di Yogyakarta oleh Lusmilasari, Surjono, Haksari (2004) tentang pengaruh perawatan bayi lekat terhadap pertumbuhan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor ibu (usia kehamilan, jenis persalinan, dan golongan darah ibu) dan faktor bayi (berat badan lahir, dan

Oleh karena itu, penting untuk peneliti mengkaji secara mendalam mengenai pengalaman ibu dengan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) tentang pelaksanaan Perawatan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor ibu (usia kehamilan, jenis persalinan, dan golongan darah ibu) dan faktor bayi (berat badan lahir, dan

Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melihat apakah terdapat keterkaitan antara usia ibu, tingkat pendidikan ibu, dan paritas dengan risiko BBLR di RSUP Moehammad

Beberapa faktor yang mempunyai pengaruh terhadap kejadian bayi lahir khususnya bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dilihat dari karakteristik sosial ekonomi (pendidikan