• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANGKATAN WALI HAKIM

DALAM UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

A. Pengangkatan dan Fungsi Wali Hakim

Para wali adalah mereka yang terdiri dari kerabat dekat calon mempelai perempuan yang disebut dengan wali nasab mempunyai wewenang untuk mengawinkan calon mempelai perempuan sepanjang tidak terdapat hal-hal yang mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut hukum.

Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah

`ammah (penguasa umum), sebagaimana kekuasaaanya yang berkaitan dengan

pengurusan harta kekayaan orang yang tidak mempunyai wali, demikian pula kekuasaannya yang berhubungan dengan pernikahan.

Alasan yang menyatakan bahwa penguasa (sulthan) boleh memangku jabatan perwalian dalam pernikahan (wilayah al-tazwij) adalah hadits nabi SAW dari Aisyah:

.

.

)

(

Artinya: Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.27

Yang dimaksud dengan sulthan disini ialah Imam (pemimpin, kepala Negara) atau hakim atau yang ditugaskan untuk itu.28 Hadits di atas merupakan dalil bahwa ijab akad nikah tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini juga sebagai alasan menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya mengharuskan pembayaran mahar. Selanjutnya menurutnya, yang dimaksud dengan 'pertengkaran' di sini adalah yang disebabkan oleh larangan menikah dan bukan pertengkaran karena saling mendahului antar wali. Jadi, apabila si wali melarang menikah perempuan yang berada di bawah perwaliannya, maka pernikahannya diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada wali ab`ad. Demikian juga apabila wali aqrab ghaib (tidak ada di tempat) atau sedang ihram, atau si calon mempelai sama sekali tidak mempunyai wali, hakim boleh menikahkannya.29

Menyangkut wali hakim ialah: "Kepala Negara yang beragama Islam yang mempunyai kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk menikahkan seseorang perempuan yang berwali hakim".30

27

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, (Bandung: 1976), hlm. 117.

28

Ibn Qudamah, 1367 H. Al-Mughni, Juz VI, (Mesir: Dâr al-Manar), hlm. 461.

29

Hasan Ayyub, Op. Cit., hal. 57.

30

Hasballah Thaib, 1983, Hukum Keluarga Dalam Syari`at Islam, (Medan: Universitas Dharmawangsa), hlm. 53.

Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan tentang wali hakim. Namun demikian KHI memberi rumusan wali hakim sebagaimana termaktub pada pasal 1 huruf (b) "Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah".

Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 tentang wali hakim, menyatakan:

Pasal 1 huruf (b), wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.

Pasal 2 ayat (1), bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra – teritoria Indonesia ternyata tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan wali hakim.

Melihat rumusan-rumusan wali hakim di atas, dapat dimengerti bahwa, wali hakim memperoleh kewenangan menjadi wali nikah atas dasar penunjukan berdasarkan jabatan yang ia pangku. Hal mana dinyatakan kata 'pejabat' pada bunyi pasal 1 huruf (b) di atas.

Pejabat yang dimaksudkan adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apabila

ternyata Ka KUA berhalangan atau tidak ada, dan pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Pada pasal 4 dan 5 PMA Nomor: 2 tahun 1987 tersebut menyatakan demikian:

Ayat (1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

Ayat (2) apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya. Pasal 5: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana yag dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

Dalam hukum Islam wali itu terbagi 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Wali Nasab, 2. Wali Hakim, dan 3. Wali Tahkim, maka dari tiga macam wali tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ad.1. Wali Nasab, secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang terdekat dengan seorang perempuan, menurut Muhammad bin Ismail dalam kitabnya sebagai berikut:

Maksudnya: "Wali yaitu saudara yang terdekat dengan si perempuan tentang

ashabahnya bukan zawil arhâm atau orang yang berhak

menikahkanya, karena suatu pernikahan tidak bisa dilakukan tanpa ada walinya".31

Sedangkan fungsi yang dimiliki wali hakim berdasarkan hukum Islam dan Undang-undang pada akhirnya adalah sama, yaitu sama-sama sebagai pengganti wali nasab atau wali aqrab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya disebabkan oleh halangan-halangan yang bersifat pribadi dari wali-wali tersebut, seperti `adhal

(enggan untuk menikahkan calon mempelai perempuan), ataupun disebabkan oleh kondisi eksternal yang melekat pada wali-wali itu seperti mafqud (tidak diketahui keberadaannya), sakit, wafat, jauh dari lokasi pernikahan, belum memenuhi syarat yang ditetapkan hukum seperti belum baligh, atau gila sebagaimana yang terdapat dalam UU perkawinan atau mayoritas ulama yang mensyaratkan wali dalam perkawinan.

Demikian juga dalam pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan, "Untuk melangsungkan Perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua".

31

Pasal yang sama ayat (4) menyebutkan: "Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali…".

B. Kedudukan Wali Hakim Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam 1. Wali Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Kedudukan sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban merupakan peranan.

Seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazim disebut pemegang peranan. Hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.32 Jadi yang dimaksud dengan kedudukan wali disini adalah hak dan atau peranan yang dimiliki oleh wali dalam suatu perkawinan. Lebih khusus lagi adalah hak dan peran wali dalam pelaksanaan perkawinan.

Wali dalam suatu perkawinan merupakan unsur yang sangat penting, keberadaannya menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

Dalam UU Perkawinan, mengadopsi mazhab Syafi`i, menyatakan bahwa wali nikah merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan. Perkawinan tanpa wali akan menyebabkan tidak sahnya perkawinan. Ketentuan ini dimuat secara implisit

32

Muhammad Syarbaini Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Mesir: Dâr al-Fikr, Jus III, 1978), hlm. 153.

dalam pasal 2 ayat (1), yaitu "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu".

Dengan demikian tidak ada perkawinan dalam Islam apabila tidak dianggap sah menurut hukum Islam. Dalam hukum Islam wali merupakan rukun nikah, dimana keberadaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pernikahan itu sendiri, sehingga ketiadaan wali, baik wali nasab atau wali hakim, menyebabkan pernikahan atau perkawinan tidak dianggap sah secara hukum Islam.

Mengenai kedudukan wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah tidak begitu jelas dalam UU Perkawinan. Ia hanya sebatas memberikan izin dan izinnya itu merupakan syarat sahnya untuk melakukan perkawinan bagi orang yang dibawah kewaliannya, itupun bagi orang belum dewasa. Namun demikian untuk pengaturan kehidupan keluarga, dalam hal ini perkawinan, diatur menurut perundang-undangan, yaitu UU Nomor 1 tahun 1974. Undang-undang tersebut melegalisasi pemakaian hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, khususnya hukum perkawinan. Oleh karena itu tentang kedudukan wali dalam pelaksanaan perkawinan merujuk kepada hukum Islam. Hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Wali dalam perkawinan menurut KHI menjadi salah satu rukun dan sebagai pelaksana ijab akad nikah sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 19. "Wali nikah

dalam perkawinan adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya".

Jadi, oleh karena hukum Islam (KHI) mensyaratkan adanya wali dan ia juga sebagai pelaksana ijab akad nikah dalam perkawinan, maka demikian pulalah UU Perkawinan di Indonesia, karena UU Perkawinan menganggap sah perkawinan apabila telah dianggap sah hukum agama yang bersangkutan.

Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menjelaskan, apakah calon mempelai wanita dimaksud belum dewasa atau sudah, ataukah masih gadis atau sudah janda. Dengan demikian, UU perkawinan berlaku umum dan menganggap sah perkawinan jika ada wali dan ia yang melaksanakan ijab akad nikah itu. Sedang wali yang dimaksud dalam ayat tersebut meliputi wali nasab dan wali hakim. Dengan demikian, maka setiap perkawinan harus ada wali, keberadaan wali menentukan akan sah atau tidaknya perkawinan itu. Jadi, UU perkawinan lebih cenderung kepada mazhab Syafi`i atau mayoritas ulama yang mensyaratkan wali dalam perkawinan.

Sementara dalam Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan, "Untuk melangsungkan Perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua".

Pasal 6 ayat (4) menyebutkan: "Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali…".

Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan menentukan, bagi Perkawinan yang belum dewasa harus mendapat izin dari orang tua atau wali. Lalu bagaimana kalau si calon mempelai sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Tidak ada penjelasan untuk itu. Oleh karena itu, berarti UU Perkawinan menganggap boleh dilangsungkan perkawinan tanpa wali?

Manakala dihadapkan pada bunyi Pasal 14 dan 19 KHI, yang menghendaki adanya wali nikah, baik perkawinan gadis, janda, dewasa ataupun belum dewasa, dan ia (wali) yang melaksanakan ijab akad nikah, dengan bunyi Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU Perkawinan, yang menyatakan izin kedua orang tua atau wali, diperlukan jika umur calon mempelai wanita belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun. Ini berarti bahwa perkawinan bagi yang belum dewasa harus mendapat izin dari orang tua atau walinya. Sedangkan Perkawinan yang dilakukan oleh wanita yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih atau yang sudah janda tidak memerlukan adanya izin dari orang tua atau wali?

Kalau demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi yang sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tidak dapat melangsungkan perkawinan

meskipun tidak ada izin dari orang tua atau wali. Demikian juga tidak ada alasan bagi mereka untuk kawin lari dengan alasan serupa.

Secara lahir kedua peraturan perundang-undangan itu tampaknya memunculkan pertentangan, di satu pihak membolehkan melakukan perkawinan tanpa ada izin wali bagi yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih dan di lain pihak menyatakan semua calon mempelai wanita harus mempunyai wali apabila ingin menikah. Namun sebenarnya bila dicermati lebih dalam, pada dasarnya kedua peraturan perundang-undangan tersebut saling mendukung dan mengisi kekosongan satu sama lain, dengan demikian kedudukan atau peran wali dalam perkawinan menurut UU Perkawinan bukan hanya memberi izin saja, namun berperan sebagai pelaksana ijab akad nikah, baik bagi yang masih gadis ataupun bagi yang berstatus janda, dewasa maupun yang belum dewasa. Wali nikah boleh saja wali nasab atau wali hakim.

2. Wali Menurut Hukum Islam

Seorang muslim mempunyai dua kategori kemampuan (Ahliyat) dalam tinjauan ilmu Ushul al-Fiqh, yaitu Ahliyat al-Wujud dan Ahliyat al-Adâ'.33 Ahliyat al-

Wujud adalah kemampuan menerima hak dan kewajiban.34 Yang dimaksud dengan

33

A. Hanafi, MA., Usul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Wijaya, Cet. VI, 1975), hlm. 25.

34

Kemampuan menerima hak dan kewajiban itu dibagi kepada dua kelompok, yaitu kemampuan menerima tidak penuh, seperti bayi yang belum dilahirkan mengingat tidak mempunyai wujud tersendiri. Ia dapat menerima hak-hak yang tidak memerlukan penerimaan (qabul), seperti

kemampuan ini adalah kepatuhan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban. Dasar dari kemampuan ini adalah kemanusiaan, selama kemanusiaan itu ada, yaitu masih hidup, maka kemampuan tersebut tetap dimiliki.35

Ahliyat al-Adâ' adalah kemampuan berbuat, yaitu kepatutan seseorang

untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut pandang hukum, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia.36

Dasar dari kemampuan berbuat adalah berakal, artinya karena seseorang sudah berakal maka ia diberi "kemampuan berbuat". Tetapi karena "berakal" adalah sesuatu yang abstrak, maka kedewasaan (bulûgh) yang dijadikan ukurannya, yang dapat diketahui dari tanda-tanda yang biasa dikenal atau dari umurnya, kurang lebih 15 (lima belas) tahun.37 Kemampuan berbuat ini dibagi kepada 2 (dua), yaitu: Kemampuan berbuat tidak penuh, yaitu bagi anak-anak yang sudah tamyîz38, yang menerima waris, nasab dan lain-lain. Tetapi ia tidak mempunyai kewajiban terhadap orang lain. Kalau walinya membelikan sesuatu untuknya maka yang terakhir ini tidak diwajibkan membayar dari hartanya, tetapi wali sendiri yang membayarnya.

Sedangkan yang kedua adalah kelompok yang mempunyai kemampuan menerima penuh, yaitu yang dimiliki seseorang yang sudah dilahirkan. Ia dapat menerima hak-hak dan kewajiban sepenuhnya. Kemampuan ini dimiliki selkama hidupnya. Meskipun ia kehilangan akal ataupun gila terus menerus. Yang dimaksud dengan kewajiban yang dikenakan terhadap harta bendanya. Karena belum sempurna akal dan badannya maka walinya yang melaksanakannya.

35

Ibid.

36

Sebagai contoh adalah apabila ia berpuasa (perbuatan) , puasa itu sah, Kalau ia menjual sesuatu (perkataan), transaksi itu sah, dan ia terikat dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dariperbuata tersebut. Lihat: M. Hasballah Thaib, MA., Al-Ushûl fî Ilm al-Ushûl, Penerbit Dâr al- Arafah, 1999, hlm. 26-30.

37

Ibid.

38

Tamyîz masa transisi dimana kondisi anak yang sudah melewati fase kanak-kanak tetapi belum mencapai usia baligh.

dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, berguna atau tidak, tetapi pengetahuan tersebut belum kuat. Kedua adalah kemampuan berbuat yang penuh, yaitu bagi orang-orang yang sudah dewasa.39

Dalam masalah perwalian dalam perkawinan, ulama fiqh sependapat bahwa ijab dan qabul adalah termasuk rukun dalam pernikahan. Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah ijab dalam nikah itu apakah dapat dianggap sah suatu perkawinan apabila diucapkan langsung oleh calon istri, atau perempuan lain sebagai wakilnya. Tegasnya sahkah ijab akad nikah jika diucapkan langsung oleh calon istri (tanpa wali) atau ijab diucapkan oleh perempuan lain sebagai wakilnya (wanita lain menjadi wali nikahnya).

Mengenai hal tersebut paling tidak ada tiga pendapat di kalangan ulama fikih.

a. Wali haruslah seorang laki-laki, tidak sah perempuan menjadi wali. Pendapat ini diperpegangi oleh Mazhab Syafi`I, Maliki dan Hambali.40

b. Apabila seorang perempuan dewasa melakukan akad nikah, nikahnya tanpa wali, sedangkan calon suaminya se-kufu' (sebanding) dengannya, nikahnya itu

39

Ibid.

40

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), hlm. 64-66.

sah/boleh. Jika tidak sebanding, walinya berhak mem-fasakh-kan perkawinan itu. Demikian pendapat Imam Abu Hnifah, Zufar, Al-Sya`biy dan al-Zuhriy.41 c. Disyaratkan adanya wali pada perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan

janda. Demikian menurut Abu Daud.42

Menurut ibn Rusyd, perbedaan pendapat ini terjadi karena alasan landasan hukum (dalil) yang dipakai oleh pihak yang mensyaratkan wali untuk melaksanakan akad nikah hanya memuat kemungkinan demikian. Begitu juga alasan yang diperpegangi oleh yang tidak mensyaratkan wali juga hanya bersifat kemungkinan demikian. Ringkasnya, dalil-dalil yang dipakai oleh para pihak, boleh jadi memang menunjukkan disyaratkan adanya wali dan wali harus yang melakukan ijab akad nikah itu, namun tidak juga tertutup kemungkinannya bukan demikian.43

Adapun dalil-dalil pendapat pertama, mazhab yang mengatakan bahwa wali itu harus laki-laki dan ia yang melakukan ijab akad nikah, mengungkapkan alasan dengan dalil al-Qur'an:

a. Q.S. an-Nur ayat (32): (

...

)

artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu…44

41

Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: terj, Maskur AB., Lentera, 2001), hlm. 345.

42

Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (Mesir: Juz II,Dâr al-Kutub al-Arabiyah, tt.), hlm. 7.

43

Ibd.

44

Departemen Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 549.

b. Q.S. al-Baqarah ayat (221): (

), artinya: "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'minah) sehingga mereka beriman".45

c. Q. S. al-Baqarah ayat (232):

(

)

artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan calon suaminya".46

Ayat pertama ditujukan kepada wali agar mereka menikahkan orang-orang yang tidak bersuami. Oleh sebab itu urusan pernikahan menjadi wewenang wali, bukan wewenang si calon mempelai wanita.47

Ayat kedua juga ditujukan kepada wali agar mereka tidak menikahkan perempuan muslimah dengan non muslim. Andaikata perempuan mempunyai hak untuk menikahkan dirinya, tentu tidak ada artinya ayat itu ditujukan kepada para wali, sebab ia sendiri boleh melaksanakan akad nikah itu. Lagi pula kalau sekiranya ada hak perwalian bagi perempuan, sudah pasti ayat itu ditujukan kepada perempuan. 45 Ibid., hl. 53. 46 Ibid., hlm. 56. 47

Mahmud Syaltût dan Ali al-Sâyis, Muqâranah al-Mazâhib fî al-Fiqh, (Al-Azhar: Mathba`ah Muhammad Ali Shabih, 1953), hlm. 58.

Ayat ketiga menyatakan bahwa larangan dalam ayat tersebut ditujukan kepada wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah larangan dalam ayat tersebut tidak ada artinya dan tidak ada gunanya melarang para wali berlaku `adhal. Untuk menguatkan pendapat ini, ayat ini diturunkan berkenaan dengan `adhal-nya Ma`qil ibn Yasar, untuk menikahkan saudaranya yang telah diceraikan suaminya. Lalu keduanya ingin bersama kembali, akan tetapi Ma`qil ibn Yasar tidak mau menikahkan saudara perempuannya tersebut.48

Jadi andai kata saudara perempuan Ma`qil ibn Yasar berhak menikahkan dirinya, tentu tidak turun ayat yang mencela tindakan Ma`qil, bahkan mestinya turun ayat agar langsung menikahkan dirinya tanpa wali. Dari sisi lain, andaikata tidak ada wewenang wali, tentunya Rasul tidak menyuruh Ma`qil untuk menikahkan saudaranya itu.

Adapun dalil-dalil dari sunnah/hadis Rasul diantaranya:

a. Hadis dari Abu Hurayrah yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal, Dâr Quthniy dan ibn Mâjah:

49

48

Al-Qurthubiy, Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur'ân, (Kairo: Juz III, Dâr al-Kutub al-Arabiyah, 1987), hlm. 158.

49

Al-Syawkâniy, Nail al-Awthâr, (Mesir: Maktabah al-Bâbiy al-`Arabiy Juz VI, tt.), hlm. 134.

Artinya: Janganlah seorang perempuan itu menikahkan perempuan lain dan janganlah perempuan itu meikahkan dirinya sendiri, bahwasanya ciri perempuan zina itu adalah yang menikahkan dirinya sendiri.

Hadits di atas melarang perempuan mengucapkan ijab akad nikah, baik untuk orang lain ataupun untuk dirinya sendiri. Larangan menunjukkan batalnya pekerjaan yang dilarang.50 Selain itu, bahwa pernikahan yang langsung dilakukan oleh perempuan calon mempelai sama dengan perzinahan atau pelacuran.51

b. Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh ibn Mâjah:

52

Artinya: Perempuan mana saja jika menikah dengan tidak seizin walinya maka nikahnya batal. Dan jika laki-laki (yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar.

Para sahabat Nabi mengamalkan hadis ini, yakni tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.53

c. Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal dari Abu Burdah ibn Abi Musa, bahwa nabi pernah bersabda: "

"

tidak sah nikah tanpa adanya wali.

50

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), hlm. 107.

51

Al-Syawkâniy, loc. cit.

52Al-Kahlâniy, Subul al-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan,Juz III, tt.), hlm. 117.

53

Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Terj, M. Abdul Ghaffar E.M., Pustaka al- Kautsar, 2001), hlm. 50.

Hadis ini menunjukkan tidak sah nikah tanpa adanya wali, sebab pada dasarnya pe-nafi-an (mentidakkan) adalah pernyataan tidak sah bukan pernyataan tidak sempurna. Dengan kata lain akad pernikahan tidak sah tanpa adanya wali.54

Disamping kedua dasar hukum tersebut di atas, masih ada pertimbangan ratio yang dapat dikemukakan, yaitu bahwa pada umumnya tujuan perkawinan adalah untuk membentuk masyarakat rumah tangga. Masyarakat rumah tangga tidak dapat dibina sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak suami dengan keluarga pihak istri. Perempuan dengan segala kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih karena perempuan itu cepat merasa dan sering terpengaruh dengan perasaan (emosional), tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kamaslahatan. Dan supaya jangan terjadi demikian, maka dilaranglah perempuan mencampuri langsung akad nikah, menikahkan dirinya.55

Demikianlah pendapat mazhab al-Syafi`i dan yang sependapat dengannya mengenai masalah ijab akad nikah tanpa wali, atau ijab yang dilakukan oleh perempuan.

Dokumen terkait