• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FUNGSI WALI HAKIM DALAM PERKAWINAN

B. Perpindahan Hak Perwalian

Pada bab terdahulu telah dijelaskan urutan perwalian dan merupakan urutan prioritas, yaitu prioritas pertama untuk menjadi wali adalah mereka yang berada dalam kelompok wali aqrob. Namun demikian bagaimana apabila seorang wanita dinikahkan oleh wali yang jauh (wali ab`ad) sedangkan wali aqrob-nya ada, para

fuqaha berbeda pendapat tentang hal ini.

Menurut Imam al-Syafi`i, wali ab`ad tidak boleh mengawinkan perempuan selma adsa wali aqrob-nya yang memenuhi syarat untuk menjadi wali.114 Menurut mazhab Hanafi, jikawali ab`ad mengawinkan seorang anak perempuan padahal wali

aqrob-nya masih ada, maka perkawinan itu sah jika disetujui oleh wali aqrob itu.

Kalau tidak disetujui maka perkawinan itu tidak sah.115

Mazhab Malik berpendapat tertib antara wali-wali itu bukan merupakan syarat. Oleh karena itu wali ab`ad bleh mengawinkan perempuan, walaupun wali

113

Ibrahim Hosen, op. cit., hlm. 102.

114

Ibn Rusyd, op. cit., hlm. 13.

115

Abd al-Rahman Al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh `Ala Mazahib al-Arba`ah, (Kairo: Dâr al- Nahdhah, Juz IV, 1986), hlm. 40.

aqrob-nya masih ada, kecuali wali mujbir, wâshi, dan tuan. Misalnya antara saudara

(aqrob) dengan paman (ab`ad), lalu paman bertindak menjadi wali.116

Menurut ibn Rusyd, silang pendapat ini disebabkan apakah urutan wali tersebut merupakan hukum syara`, yaitu ditetapkan oleh syara` untuk urusan perwalian, ataukah bukan hukum syara`, lalu apakah perwalian itu merupakan hak wali dekat (aqrob) ataukah hak Allah. Dikalangan fuqaha yang tidak menganggap tertib wali itu sebagai hukum syara` mereka berpendapat wali jauh (ab`ad) boleh mengawinkan walaupun ada wali aqrob. Sementara bagi fuqha yang berpandangan bahwa tertib wali tersebut sebagai hukum syara`, disamping menganggapnya sebagai hak wali (aqrob), mereka mengatakan apabila wali aqrob membolehkan, maka akad nikah sah dan boleh diteruskan. Akan tetapi jika wali aqrob tidak membolehkan, maka perkawinan itu dibatalkan. Fuqaha yang berpandangan bahwa perwalian itu hak Allah maka perkawinan itu tidak terjadi.117

Selanjutnya, mengenai perpindahan perwalian dapat terjadi disebabkn kematian dan tidak terpenuhi syarat menjadi wali. Para ulama sependapat bahwa hak perwalian dapat berpindah dari wali aqrob kepada wali ab`ad disebabkan wali aqrob- nya tidak ada (meninggal dunia), atau tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali.

116

Ibid., hlm. 37.

117

Misalnya sakit keras, gila, idiot, atau masih anak-anak pada saat dilaksanakannya pernikahan.

Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai penyebab lainnya, antara lain:

a. Ghaibnya wali (wali tidak berada di tempat)

Pengikut mazhab Hanafi berpendirian bahwa, jika wali aqrob ghaib, maka perwalian itu berpindah kepada wali ab`ad.118 Menurut mereka ghaib yang jauh itu tidak diukur dengan masafah qashar shalat yang biasa disebut dalam kitab fikih dua

marhalah, yaitu sejauh perjalanan unta sehari semalam, seperti pendapat mazhab al-

Syafi`iyyah, atau dengan perjalanan empat bulan seperti pendapat mazhab Maliki, melainkan mengingat sulitnya perhubungan. Kalau sekiranya ditunggu kedatangan wali yang ghaib itu atau diminta pertimbangannya, kemungkinan besar akan menggagalkan pernikahan tersebut, maka yang demikian itu dikategorikan ghaib juga. Katika itu, hak perwalian tidak berpindah kepada wali hakim melainkan kepada wali ab`ad.119

Selanjutnya menurut mazhab Maliki, jika wali mujbir ghaib jauh, perwalian berpindah kepada hakim. Hanya saja – menurut mazhab ini – ghaib jauh itu sama

118

Hasan Ayyub, op. cit., hlm. 51.

119

dengan empat bulan perjalanan unta. Pendapat ini juga mempertimbangkan kondisi calon mempelai itu. Jika dikhawatirkan ia tidak akan dapat menjaga diri, atau berkenan dengan keinginan orang tersebut untuk menikah, karena biaya hidup misalnya, meskipun wali itu dekat, tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya, maka sama dengan wlai ghaib jauh, hakim dapat mengawinkannya. Namun jika wali mujbir itu ditahan atau berpenyakit gila temporal maka tidak boleh mengawinkannya tanpa seizinnya. Jika gilanya permanen, perwalian berpindah kepada wali ab`ad, demikian juga jika wali itu masih kecil, pikun dan atau seorang hamba.120

Mazhab Syafi`i berpandangan bahwa jika wali aqrob ghaib maka hak perwalian itu diserahkan kepada hakim, sedang wali ab`ad tidak berhak mengawinkannya.121 Sedangkan ghaib yang dikatakan jauh adalah sesuai dengan

masafah al-qashar122 menurut mazhab Hambali, wali aqrob ghaib jauh, masafah

qashar, atau tidak diketahui keberadaannya, maka perwalian berpindah kepada wali ab`ad.123

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Mazhab Syafi`i dan Maliki berpendapat tidak hadirnya wali disebabkan ghaib jauh tidak menggugurkan

120

Ibid., hlm. 38.

121

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj: Mahyuddin Shaf, jld. VII, PT. Al-Maarif, Bandung: 1998, hlm. 25.

122

Mahmud Yunsu, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hidakarya Agung, Jakarta: 1981, hlm. 61.

123

perwalian. Wali tetap berhak, namun karena sukar melaksanakan tugasnya maka kedudukannya diganti oleh hakim. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Hambali yang memendang bahwa ghaib jauhnya wali disamakan dengan wal tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali. Tidak hadirnya wali aqrob dipandang sama sebagai wali tidak ada. Sedang kedua hal ini menyebabkan beralihnya perwalian kepada wali ab`ad.

b. Enggannya wali untuk menikahkan (`Adhal)

Yang dimaksud dengan enggan disini ialah keengganan wali dalam mengawinkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Yaitu mereka yang mempunyai wewenang yang sangat jelas menjadi wali tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah.

Terdapat dua pendapat yang mencuat dalam masalah ini, yaitu kelompok pertama dari Mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa apabila wali aqrab enggan untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya (`adhal), perwalian akan jatuh kepada wali ab`ad bukan kepada hakim. Karena masih terdapatnya urutan wali setelah wali aqrab dalam susunan keluarga, tetapi bila wali ab`ad adhal juga maka hakimlah yang akan menjadi wali.

Kelompok kedua adalah Mazhab Syafi`i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa dalam kasus ini perwalian berpindah kepada Sulthan/Hakim, berdasarkan hadits Nabi SAW:

)

(

124

Artinya: Perempuan mana saja jika menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal. Jika (laki-laki yang menikahinya) mencampurinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang telah ia peroleh dari kehormatannya. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka hakim adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibn Hibban dari `Aisyah).

Pengertian pertengkaran pada penggalan hadits di atas adalah larangan untuk menikah. Jika wali aqrob sebagai wali yang utama melarang perempuan yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah dan ia tidak meu untuk menikahkannya maka perkawinan diserahkan kepada hakim, bukan kepada wali ab`ad.

Dari redaksi hadits tersebut di atas dapat juga diambil pengertian bahwa pertengkaran di antara wali membatalkan perwalian mereka dan menjadikan mereka

124

tidak berfungsi. Artinya perpindahan perwalian dalam hal ini didasarkan karena masih adanya wali aqrob yang menghalangi hak perwalian bagi wali ab`ad. Terhalangnya wali ab`ad dan menolaknya wali aqrob untuk menikahkan menyebabkan perwalian jatuh kepada wali hakim.

Dokumen terkait