• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM MENGENAI DISIPLIN PADA MASYARAKAT JEPANG

2.2 Sejarah dan Perkembangan Shitsuke (disiplin) pada Masyarakat Jepang

2.2.1 Pengaruh Ajaran Konfusius

Budaya disiplin masyarakat Jepang saat ini tidak terbentuk begitu saja, tetapi merupakan warisan dari leluhur yang sudah berakar sangat kuat dan mempengaruhi pola pikir dan pandangan hidup masyarakat Jepang dalam perjuangan hidupnya dari dahulu sampai sekarang. Budaya disiplin menjadi salah satu kunci keberhasilan Jepang menjadi negara maju menyaingi negara-negara Amerika dan Eropa.

Budaya disiplin masyarakat Jepang diyakini berasal dari ajaran konfusius yang

masuk ke Jepang pada masa pemerintahan kaisar Shotoku pada tahun 293 (periode Yamato). Ajaran konfusius mengatur harmonisasi hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan mahluk lain yang ada di dunia dan hubungan manusia dengan dengan alam. Selain itu ajaran konfusius menekankan hubungan yang harmonis antara sisi fisik dan batin manusia. Prinsip keseimbangan ini berlaku dari jaman dahulu sampai sekarang, karena orang-orang Jepang menyadari bahwa kehidupan fisik dan spiritual memiliki peran yang sama-sama penting. Perlakuan yang bertujuan untuk memisahkan keduanya atau membiarkan ketidakharmonisan keduanya berpotensi menimbulkan bencana dan kerusakan ( Boye de Mente, 2009: 27 ).

Pada mulanya ajaran konfusius yang menjadi cikal bakal disiplin saat ini hanya dipelajari oleh sejumlah kecil masyarakat, seperti golongan bangsawan dan pendeta Budha. Tetapi pada zaman Edo (1603-1868), Tokugawa Ieyasu bermaksud memperkuat rasa kesetiaan samurai terhadap penguasa, untuk itu ia mewajibkan para samurai untuk mempelajari ajaran konfusius yang dianggap dapat memupuk kekuatan samurai terhadap pemerintah. Ajaran konfusius dianggap sesuai dengan kebutuhan pada masa isolasi karena ajaran ini

konfusius ini memegang peranan yang lebih luas lagi, yaitu sebagai disiplin pendidikan yang dipelajari oleh berbagai lapisan masyarakat.

Dasar dari ajaran konfusius berpusat pada jisei yang berarti pengendalian terhadap diri sendiri. Dalam ajaran tersebut dikemukakan 5 hubungan moral terhadap masyarakat yang disebut gorin yaitu : kun-shu, hubungan antara majikan dan pelayan, oya-ko, hubungan antara ayah dan anak-anak, fu-fu, hubungan antara suami dan istri, ani-ototo, hubungan antara saudara yang lebih tua dengan yang muda, dan nakama, hubungan antara sesame teman. Selain 5 hubungan tersebut konfusius juga mengemukakan 4 hubungan moral terhadap pemerintah yang disebut gojo yaitu : jin, kebaikan, gi, kebenaran, rei, kewajaran, chi, kebijaksanaan, dan shi, keyakinan (Theodore, 1981:365).

Pengaruh kebudayaan Cina terhadap Jepang selain dalam perkembangan bahasa dan agama, juga terhadap sikap hidup. Meskipun ajaran Konfusius masuk ke Jepang lama sebelumnya, namun perkembangan pengaruhnya sangat besar selama masa isolasi Tokugawa (1616-1868) karena ajaran ini menekankan pentingnya keteraturan atau kestabilan yang sesuai dengan keperluan masa isolasi Jepang.

Ajaran Konfusianisme menekankan 5 prinsip hubungan moral yaitu : 1. Rakyat patuh kepada kaisar/atasan

2. Anak patuh kepada ayah 3. Adik patuh kepada abang

4. Istri patuh kepada suami 5. Kawan setia kepada kawan

Kelima prinsip di atas mempengaruhi pembentukan budaya masyarakat. Pengaruh hubungan moral yang pertama, menumbuh-kembangkan sikap patriotik dan semangat loyalitas terhadap negara dan membuat masyarakat Jepang taat kepada kaisar atau atasan mereka. Hal ini dapat dilihat pada kehidupan para samurai, yaitu kesetiaan seorang samurai kepada Kaisar dan tuannya atau Daimyo, tidak dapat ditandingi, mereka rela mati untuk membela kehormatan tuannya.

Pengaruh hubungan moral yang kedua dan ketiga, nampak pada kehidupan masyarakat pada masa pemerintahan Tokugawa, yaitu sikap dan perilaku yang sangat menghormati orang tua mereka, juga terhadap orang yang lebih tua.

Masyarakat Jepang percaya bahwa ayah dan ibu adalah dewa-dewa keluarga.

Kewajiban anak kepada orang tuanya , lebih tinggi dari langit dan lebih dalam dari lautan, kewajiban seperti ini tidak terbayar.

Pengaruh hubungan moral yang keempat, memberi pemahaman yang mendalam

wanita lebih rendah dari kedudukan kaum pria. Sebelum kedatangan ajaran konfusian ke Jepang, wanita mempunyai status yang lebih tinggi dalam pandangan masyarakat Jepang. Ajaran Konfusius mempengaruhi pikiran wanita Jepang bahwa mereka dilahirkan semata-mata hanya untuk memberi topangan kepada kaum lelaki dengan ikhlas, jujur dan setia.

Pengaruh hubungan moral yang kelima, masyarakat Jepang mempunyai rasa setia kawan yang sangat tinggi, jika mereka telah berjanji kepada kawan maka janji itu akan dipegang teguh. Bagi kaum samurai, kata-kata mereka dapat dipercaya, jujur dan mereka akan melakukan apa saja untuk menunjukkan kesetiaannya.

2.2.2 Pengaruh Ajaran Shinto

Alimansyar dalam bukunya berjudul Shinto; Agama Asli Orang Jepang (2017:6) mengatakan bahwa karakteristik bangsa Jepang didasarkan pada kesadaran dan hubungan interpersonal yang dibentuk oleh Shinto. Terutama, kejujuran, kesucian, dan ketulusan dianggap sebagai nilai moral dasar dalam Shinto .

Dalam ajaran Shinto, kesucian adalah syarat mutlak agar bisa dekat dengan Kami (Tuhan). Kami dalam ajaran Shinto yang berjumlah delapan juta

(yaoyorozu) sangat membenci kekotoran. oleh karena itu, setiap orang Jepang yang berkunjung ke jinja (kuil tempat ibadah ajaran Shinto), harus bersuci terlebih dahulu menggunakan air yang terdapat di temizusha (tempat penampungan air untuk bersuci) yang berada di halaman jinja. Tujuan dari bersuci ini adalah untuk menghilangkan kekotoran di dalam diri manusia, sehingga mereka layak untuk memanjakan doa dan pengharapan kepada Kami (Tuhan).

Salah satu implementasi dari nilai moral dasar kesucian Shinto dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang dapat dilihat di sekolah. Menurut Weedy Koshino dalam bukunya berjudul Amazing Japan (2018:65-66) menceritakan pengalamannya dalam mendidik anak-anaknya tentang kebersihan.

Di rumah ia memberi tugas kepada anak-anak setiap hari. Anak sulung diberi tugas mengambil koran dan memeriksa pintu rumah untuk memastikan dalam keadaan terkunci sebelum berangkat tidur. Sementara anak bungsu diberi tugas menyiram tanaman di balkon setiap bangun tidur dan menyikat WC. Tugas menyikat WC adalah inisiatif dari anak yang bungsu. Hal tersebut berawal ketika suatu hari Weedy Koshino sedang membersihkan toilet, tiba-tiba anak bungsu yang masih TK menawarkan diri kalua tugas menyikat WC selanjutnya akan

bungsunya ingin mengerjakan pekerjaan menyikat WC, jawabanya sangat menarik. Alasannya adalah, karena guru di TK dan teman-temanya mengatakan bahwa di WC tersebut ada Toire no Kamisama (dewi toilet). Dewi ini akan menjadikan anak kecil yang suka membersihkan WC sampai mengkilat menjadi anak yang sangat cantik.

Pengalaman Weedy Koshino di atas mengingatkan penulis akan sebuah lagu Jepang yang berjudul Toire no Kamisama yang dinyanyikan oleh Uemura Kana. Lagu tersebut berkisah tentang seorang anak kecil yang tinggal bersama neneknya. Dia mendapat tugas membersihkan toilet, tetapi enggan melakukannya karena jijik. Namun, neneknya mengatakan kalua di toilet itu ada dewinya. Jadi, kalua bisa membersihkan toilet sampai mengkilat, setelah dewasa akan berubah menjadi wanita cantic. Akhirnya anak tersebut terbiasa hingga dewasa. Sampai neneknya meninggal, pesan tersebut selalu ia ingat dan lakukan (syair lagu dapat dilihat pada lampiran).

BAB III

BUDAYA DISIPLIN DAN PERAN PEMERINTAH, SEKOLAH,

Dokumen terkait