DIINDUKSI STRES OPERASI
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural memiliki efek menguntungkan pada reaksi imunitas dan respon terhadap stres akibat pembedahan.6,7,8 Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa anestesi epidural mempertahankan aktivitas sel NK dan mengurangi respon stres pada pasien yang menjalani histerektomi.9 Blok epidural dari segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan, mencegah peningkatan konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi.10 Teknik
45
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
anestesi regional untuk operasi besar dapat mengurangi pelepasan kortisol, adrenalin (epinefrin) dan hormon lain, namun memiliki pengaruh kecil pada respon sitokin.3
Anestesi lokal dapat mengurangi respon inflamasi pascaoperasi melalui dua cara:
memblokir transmisi sarafpada
lokasikerusakan jaringan dan mengurangi inflamasi neurogenik (Coderre et al, 1993); anestesi lokal juga memiliki sifat anti-inflamasi sistemik sendiri (Hollmann danDurieux, 2000).Tampaknya hanya teknik anestesi regional saja yang dapat menurunkan respon stres jangka panjang.2 Terdapat perbedaan produksi IL-6 yang signifikan antara pasien yang mendapat analgetik terkontrol (patient controlled analgesia-PCA), pasien yang mendapat analgetik epidural terkontrol (patient-controlled epidural analgesia-PCEA) dan pasien yang mendapat rejimen opiat intermiten(intermittent opioates-IOR) selama 72 jam. Kadar IL-6tidak terlalu meningkat pada kelompok PCEA, hampir kembali ke nilai preoperatif setelah 72 jam. Sebaliknya, IL-6 paling banyak meningkat pada kelompok IOR dan masih meningkat setelah 72 jam, sedangkan kadar IL-6 di kelompok PCA naik secara intermediet (Beilin et al., 2003).2,11
Hole dkk,Menunjukkan bahwa fungsi limfosit dan monositakan tersupresi di bawah anestesi umum, namun bisa dipertahankan di bawah anestesi epidural pada pasien yang menjalani penggantian panggul total. Selain itu, mereka juga
menunjukkan bahwa anestesi epidural menekan peningkatan konsentrasi kortisol serum selama pembedahan.Sebaliknya, pada pasien yang menjalani operasi perut bagian atas, ada beberapa laporan bahwa anestesi epidural tidak memperbaiki penekanan sistem imun atau respon terhadap stres. Tonnesen dkk, Melaporkan bahwa aktivitas sel NK selama operasi perut bagian atas menurun secara signifikan selama anestesi umum dan anestesi umum yang digabung dengan anestesi epidural.6
Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007) menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh bawaan, misalnya fagositosis, ditekan oleh stres akibat pembedahan dan bahwa anestesi epidural tidak mampu mencegah penurunan respon kekebalan tubuh ini selama operasi perut bagian atas.6
RINGKASAN
Operasi besar berhubungan dengan disfungsi sistem kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru ini, dibuktikan bahwa stres akibat pembedahan dapat dengan cepat menginduksi penurunan respon sementara dari darah terhadap endotoksin sejak 2 jam setelah insisi dan bahwa IL-10
plasmayang meningkat selama
pembedahan, berperan dalam penurunan respon ini.
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural memiliki efek menguntungkan pada reaksi imunitas dan respon terhadap stres akibat
46 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 pembedahan.Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa anestesi epidural mempertahankan aktivitas sel NK dan mengurangi respon stres pada pasien yang menjalani histerektomi. Blok epidural dari segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai
sebelum pembedahan, mencegah
peningkatan konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi. Teknik anestesi regional untuk operasi besar dapat mengurangi pelepasan kortisol, adrenalin (epinefrin) dan hormon lain, namun memiliki pengaruh kecil pada respon sitokin.
Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007) menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh bawaan, misalnya fagositosis, ditekan oleh stres akibat pembedahan dan bahwa anestesi epidural tidak mampu mencegah penurunan respon kekebalan tubuh ini selama operasi perut bagian atas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Choileain N N, Redmond H P. Cell response to surgery [homepage on the Internet]. c2006
[cited 2010 Okt 5]. Avalaible from:
http://archsurg.ama-assn.org/cgi/reprint/ 141/11/1132.pdf
2. Goluovska I, Vanags I. Anaesthesia and stress response to surgery [homepage on the Internet]. c2008 [cited 2010 Okt 26]. Available from: http://versita.metapress.com/content/17101800 28u232l2/fulltext.pdf
3. Walsh T S. The metabolic response to injury [homepage on the Internet]. c2007 [cited 2010 Sep 26]. Available from:
http://www.medicaltextbooksrevealed.com/file s/11217-53.pdf
4. Kato M, Honda I, Hitoshi Suzuki H, Murakami M, Matsukawa S, Hashimoto Y. Interleukin-10
production during and after upper abdominal surgery [homepage on the Internet]. c2005 [update 2005 Okt 21; cited 2010 Jan 26]. Available from:
http://xa.yimg.com/kq/groups/1864568/287187 149/name/Interleukin10+Production.pdf 5. Hermawan A G. Sitokin yang berperan dalam
SIRS dan sepsis. SIRS, sepsis dansyok septik. Surakarta: UNS press, 2008; 23.
6. Kawasaki T, Ogata M, Kawasaki C, Okamoto K, Sata T. Effects of epidural anaesthesia on surgical stress-induced immunosuppression during upper abdominal surgery [homepage on the Internet]. c2006 [update 2007 Jan 11; cited 2010 Sep 26]. Available from:
http://bja.oxfordjournals.org/content/98/2/196.f ull.pdf
7. Sendasgupta C, Makhija N, Kiran U, Choudhary S K, Lakshmy R, Das S N. Caudal epidural sufentanil and bupivacaine decreases stress response in paediatric cardiac surgery [homepage on the Internet]. c2008 [update 2010 Apr 6; cited 2010 Sep 26]. Available from:
http://www.anestesiadolor.org/repositorio/Anes
tesia-en-pediatria/regional/Sufenta-bupi%20caudal%20en%20ninos.pdf
8. Willmore DW, Kehlet H. Management of patients in fast track surgerty {homepage on the Internet}.c2001{cited 2010 Sep 26}. Available from ;
http://www.bmj/content/322/7284/473.full.pdf. 9. Gottschalk A, Ford J G, Regelin C C, You J,
Mascha E J, Sessler D I, et al. Association between epidural analgesia and cancer recurrence after colorectal cancer surgery {homepage on the internet}.c2010{cited 2010 Sep 26}. Available from :
http://www.mendeley.com/reserch/association- between-epidural-analgesia-and-cancer-recurrence-after-colorectal-cancer-surgery/ 10. Desborogh J P. The stress response to trauma
and surgery {Homepage on the Internet}.c2000 {cited 2010 Sept}. Available from :
http://bja.oxfordjournals.org/content/85/1/109.f ull.pdf.
47
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
11. Yokoyama M, Itano Y, Katayama H, Morimatsu H, Takeda Y, Takahashi T, et al. The effects of continuous epidural anesthesia and analgesia on stress response and immune function in patients undergoing radical
esophagectomy [homepage on the Internet]. c2005 [cited 2010 Sep 26]. Available from:
48 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Ratno Samodro*, Doso Sutiyono*, Hari Hendriarto Satoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Regional anesthesia is growing and expanding its use, given the variety of benefits offered, such as relatively cheap, minimal systemic effects, produce adequate analgesia and the ability to prevent the stress response is more perfect.
Local anesthetic drug is chemically divided into two major categories, namely the class of Amide and ester groups. These chemical differences are reflected in differences in the metabolism of the place, where the ester group is mainly metabolized by the enzyme pseudo-cholinesterase in the plasma while the Amide groups mainly through enzymatic degradation in the liver. This difference is also related to the magnitude of the possibility of allergies, in which the ester group derived from p-amino-benzoic acid has a greater frequency of allergic tendencies. Local anesthetic commonly used in our country for the class of esters are procaine, whereas the Amide groups are lidocaine and bupivacaine. Mechanism of action of local anesthetic drugs to prevent transmission of nerve impulses (conduction blockade) by inhibiting the delivery of sodium ions through selective sodium ion gates in neuronal membranes. Failure of the sodium ion permeability of the gate to increase the speed of depolarization of the slowdown as a potential threshold was not reached so that action potentials are not propagated. Local anesthetic did not alter the resting potential or transmembrane potential threshold.
Pharmacokinetics of the drug include absorption, distribution, metabolism and excretion. Complications of local anesthetic is a local side effects can occur at the injection site hematoma and abscess while systemic side effects such as neurological in the central nervous, respiratory, cardiovascular, immunological, musculoskeletal, and hematologic Some local anesthetic drug interactions include coadministration may increase the potency of each drug. decreased metabolism of local anesthetics as well as increase the potential for intoxication.
ABSTRAK
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna.
49
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan dari p-amino-benzoic acid memiliki frekwensi kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain.
Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial.
Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul hematom dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada Susunan Saraf Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi
Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal serta meningkatkan potensi intoksikasi.
PENDAHULUAN
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna. Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan anestesi lokal tidak ada bahayanya. Hasil yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal seperti halnya anestesi umum juga disertai
pengetahuan tentang farmakologi obat anestesi lokal.1
SEJARAH
Carl Koller (1884), seorang ahli mata telah memperkenalkan untuk yang pertama kali penggunaan kokain secara topikal pada operasi mata. Gaedicke (1885) mendapatkan kokain dalam bentuk ester asam benzoat yang diisolasi dari tumbuhan koka (erythroxylon coca) yang
50 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 banyak tumbuh di pegunungan Andes.
Kemudian olah Albert Naiman (1860) dalam bentuk ekstrak. William Halsted (1884), seorang ahli bedah telah menggunakan kokain intradermal dan blok saraf fasialis, pudendal, tibialis posterior dan plexus brachialis. Selanjutnya August Bier (1898), menggunakan 3 ml kokain 0,5% intratekal untuk anestesi spinal dan pada 1908 memperkenalkan anestesi regional intravena (Bier Block). Alfred Einhorn (1904) mensintesa prokain dan pada tahun yang sama digunakan untuk anestesi lokal oleh Heinrich Braun. Penambahan epinefrin untuk memperpanjang aksi anestetik lokal dilakukan pertama kali oleh Heinrich Braun. 1,2,3
Ferdinand Cathelin dan Jean Sicard (1901) memperkenalkan anestesi epidural kaudal dan Frigel Pages (1921) memperkenalkan anestesi epidural lumbal yang diikuti oleh Achille Doglioti (1931). Selanjutnya Lofgren (1943) mensintesa anestesi lokal amide, yaitu lidokain yang menghasilkan blokade konduksi lebih kuat
daripada Prokain dan menjadi
pembanding semua anestesi lokal. Penggunaan klinis lidokain sejak 1947. Sebelumnya dibukain (1930), tetrakain (1932) dan sesudah itu kloroprokain (1955), mepivakain (1957), prilokain (1960), bupivakain (1963), etidokain (1972).
Ropivakain dan levobupivakain adalah obat baru dengan aksi durasi hampir sama seperti bupivacain tetapi kardio dan neurotoksisitasnya lebih kecil.1-4
Penggolongan Obat Anestesi Lokal Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati.1,2,3,4 Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan dari p-amino-benzoic acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih besar.3
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan lama kerjanya menjadi 3 group. Group I meliputi prokain dan kloroprokain yang memiliki potensi lemah dengan lama kerja singkat. Group II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang. Group III meliputi tetrakain, bupivakain dan etidokain yang memiliki potensi kuat dengan lama kerja panjang.2,3 Anestesi lokal juga dibedakan berdasar pada mula kerjanya. Kloroprokain, lidokain, mepevakain, prilokain dan etidokain memiliki mula kerja yang relatif cepat. Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat.3
Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah
51
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain. Secara garis besar ketiga obat ini dapat dibedakan sebagai berikut : 1-4
Tabel 1. Jenis anestesi lokal
Prokain Lidokain Bupivakai
n
Golongan Ester Amide Amide
Mula Kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama Kerja 30 – 45 menit 45 – 90 menit 2 – 4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis maksimal (mg/kgBB) 12 6 2 Potensi 1 3 15 Toksisitas 1 2 10
HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS
Anestesi lokal terdiri dari kelompok lipofilik—biasanya dengan cincin bezene—dibedakan dari kelompok hidrofilik—biasanya amin tersier— berdasarkan rantai intermediat yang memiliki cabang ester atau amida. ). Kelompok hidrofilik biasanya amine tersier, seperti dietilamine, dimana bagian lipofilik biasanya merupakan cincin aromatic tak jenuh, seperti asam paraaminobenzoat. Bagian lipofilik penting untuk aktivitas obat anestesi, dan secara terapeutik sangat berguna untuk obat anestesi local yang membutuhkan keseimbangan yang bagus antara kelarutan lipid dan kelarutan air. Pada hampir semua contoh, ikatan ester (-CO-) atau amide (-NHC-) menghubungkan rantai hidrokarbon dengan rantai aromatic lipofilik. Sifat dasar ikatan ini adalah dasar untuk mengklasifikasikan obat yang
menghasilkan blockade konduksi impuls saraf seperti obat anestesi local ester atau obat anestesi amide (Gambar 2). Perbedaan penting antara obat anestesi lokal ester dan amide berkaitan dengan tempat metabolisme dan kemapuan menyebabkan reaksi alergi.2-7
Gambar 1. Obat anestesi local terdiri dari bagian lipofilik dan hidrofilik yang dihubungkan dengan
ikaran rantai hidrokarbon.
Gambar 2. Obat anestesi local ester dan amide. Mepivacaine, bupivacaine dan ropivacaine adalah
obat khiral karena molekulnya memiliki atom karbon asimetris.
52 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 Potensi berkorelasi dengan kelarutan
lemak, karena itu merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran, lingkungan yang hidrofobik. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul. Onset dari kerja obat bergantung dari banyak faktor, termasuk kelarutan lemak dan konsentrasi relatif bentuk larut-lemak tidak-terionisasi (B) dan bentuk larut-air terionisasi (BH+), diekspresikan oleh pKa. Pengukurannya adalah pH dimana jumlah obat yang terionisasi dan yang tidak terionisasi sama. Obat dengan kelarutan lemak yang lebih rendah biasanya memiliki onset yang lebih cepat.2,3
Anestesi lokal dengan pKa yang mendekati pH fisiologis akan memiliki konsentrasi basa tak-terionisasi lebih tinggi yang dapat melewati membran sel saraf, dan umumnya memiliki onset yang lebih cepat. Onset dari kerja anestesi lokal dalam serat saraf yang terisolasi secara langsung berkorelasi dengan pKa. Onset klinis dari kerja anestesi lokal dengan pKa yang sama tidak identik. Faktor-faktor lain, seperti kemudahan berdifusi melalui jaringan ikat, dapat mempengaruhi onset kerja in vivo. Lebih lagi, tidak semua anestesi lokal berubah menjadi bentuk terionisasi (contoh: benzocaine) anestesi ini kemungkinan beraksi dengan mekanisme yang bergantian (contoh: memperlebar membran lipid).2,4
Hal yang penting dari bentuk ionisasi dan tak-terionisasi adalah implikasi klinisnya.
Larutan anestesi lokal dipersiapkan secara
komersial dalam bentuk garam
hidroklorida yang larut-air (pH 6-7). Karena epinefrin tidak stabil dalam suasana alkali, maka larutan anestesi lokal yang tersedia, yang mengandung epinefrin, dibuat dalam suasana asam (pH 4-5). Sebagai konsekuensi langsung, sediaan ini memiliki konsentrasi basa bebas yang lebih rendah dan onset yang lebih lambat dibanding dengan epinefrin yang ditambahkan oleh klinisi saat akan digunakan. Hal yang sama, rasio basa-kation ekstraselular diturunkan dan onset dihambat sewaktu anestesi lokal diinjeksi ke dalam jaringan yang bersifat asam (misal: jaringan yang terinfeksi). Walaupun masih merupakan kontroversi, beberapa peneliti melaporkan bahwa alkalinisasi larutan anestesi lokal (biasanya sediaan komersial, yang
mengandung epinefrin) dengan
menambahkan sodium bikarbonat (misal, 1 mL 8,4% sodium bikarbonat dalam tiap 10 mL lidokain) akan mempercepat onset, memperbaiki kualitas dari blokade dan memperpanjang durasi blokade dengan meningkatkan jumlah basa bebas yang tersedia. Yang menarik, alkalinisasi juga menurunkan nyeri saat dilakukan infiltrasi pada jaringan.2,3
Durasi kerja umumnya berkorelasi dengan kelarutan lemak. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi memiliki durasi yang lebih panjang, diperkirakan karena lebih lama dibersihkan dari dalam darah.
53
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Mekanisme Kerja
Obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf (Butterworth dan Strichartz, 1990). Gerbang natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekul obat anestesi local. Penyumbaatn gerbang ion yang terbuka dengan molekul obat anestesi local berkontribusi sedikit sampai hampir keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi local tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial.
Lokal anestesi juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat yang berbeda-beda. Beberapa golongan obat lain, seperti antidepresan trisiklik (amytriptiline), meperidine, anestesi inhalasi, dan ketamin juga memiliki efek memblok kanal sodium. Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain. Diameter yang kecil dan banyaknya mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi lokal. Dengan demikian,
sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal: autonom > sensorik > motorik2,4,6 FARMAKOLOGI KLINIS
Farmakokinetik
Karena anestesi lokal biasanya diinjeksikan atau diaplikasikan sangat dekat dengan lokasi kerja maka farmakokinetik dari obat umumnya lebih dipentingkan tentang eliminasi dan toksisitas obat dibanding dengan efek klinis yang diharapkan.2,3,6
A. Absorpsi
Sebagian besar membran mukosa memiliki barier yang lemah terhadap penetrasi anestesi lokal, sehingga menyebabkan onset kerja yang cepat. Kulit yang utuh membutuhkan anestesi lokal larut-lemak dengan konsentrasi tinggi untuk menghasilkan efek analgesia.2
Absorpsi sitemik dari anestesi lokal yang diinjeksi bergantung pada aliran darah, yang ditentukan dari beberapa faktor di bawah ini 2,5
1. Lokasi injeksi—laju absorpsi sistemik proporsional dengan vaskularisasi lokasi injeksi : intravena > trakeal > intercostal > caudal > paraservikal > epidural > pleksus brakhialis > ischiadikus > subkutaneus.
2. Adanya vasokonstriksi—
penambahan epinefrin—atau yang lebih jarang fenilefrin— menyebabkan vasokonstriksi pada tempat pemberian anestesi.
54 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 Sebabkan penurunan absorpsi dan
peningkatan pengambilan
neuronal, sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, dan meminimalkan efek toksik. Efek vasokonstriksi yang digunakan biasanya dari obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan
kualitas analgesia dan
memperlama kerja lewat
aktivitasnya terhadap resptor adrenergik α2.
3. Agen anestesi lokal—anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih lambat terjadi absorpsi. Dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang dimilikinya.
B. DISTRIBUSI
Distribusi tergantung dari ambilan organ, yang ditentukan oleh faktor-faktor di bawah ini :1,6
1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar, ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat (fase α), yang diikuti redistribusi yang lebih lambat (fase β) sampai perfusi jaringan moderat (otot dan saluran cerna
2. Koefisien partisi jaringan/darah-ikatan protein plasma yang kuat cenderung mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang tinggi memfasilitasi ambilan jaringan.
3. Massa jaringan—otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal karena massa dari otot yang besar.
Metabolisme dan Ekskresi
Metabolisme dan ekskresi dari lokal anestesi dibedakan berdasarkan strukturnya :2,5
1. Ester-anestesi lokal ester dominan dimetabolisme oleh pseudokolinesterase
(kolinesterase palsma atau butyrylcholinesterase). Hidrolisa ester sangat cepat, dan metabolitnya yang larut-air diekskresikan ke dalam urin. Procaine dan benzocaine dimetabolisme menjadi asam p-aminobenzoiz (PABA), yang dikaitkan dengan reaksi alergi. Pasien yang secara genetik memiliki pseudokolinesterase yang abnormal memiliki resiko intoksikasi, karena metabolisme dari ester yang menjadi lambat. 2. Amida-anestesi lokal amida
dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh enzim mikrosomal P-450 di hepar. Laju metabolisme amida tergantung dari agent yang spesifik (prilocine > lidocaine > mepivacaine > ropivacaine > bupivacaine), namun secara keseluruhan jauh lebih lambat dari hidrolisis ester. Penurunan fungsi hepar (misal pada sirosis hepatis) atau gangguan aliran
55
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
darah ke hepar (misal gagal jantung kongestif, vasopresor, atau blokade reseptor H2) akan menurunkan laju metabolisme dan merupakan predisposisi terjadi intoksikasi sistemik. Sangat sedikit obat yang diekskresikan tetap oleh ginjal,
walaupun metabolitnya
bergantung pada bersihan ginjal. Komplikasi obat Anestesi lokal.
1.Efek samping lokal
Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan pembekuan darah, maka akan dapat timbul hematom. Hematom ini bila