• Tidak ada hasil yang ditemukan

JAI. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Volume III Nomor 01, Maret 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JAI. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Volume III Nomor 01, Maret 2011"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

JAI

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia

melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan

Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah

(2)

Sejawat terhormat,

Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat artikel penelitian klinik dan preklinik. Diantaranya mengenai pengaruh propofol dan etomidat terhadap agregasi trombosit, oral hygiene menggunakan povidone iodine dan

chlorhexidine, pengaruh pretreatment vitamin C terhadap kadar kortisol dan manfaat N2O untuk mempercepat induksi dengan sevofluran.

Dua tinjauan pustaka, mengenai mekanisme obat anestesi lokal dan efek supresi imun pada anestesi epidural diharapkan menambah pengetahuan kita dalam bidang anestesi.

Semoga bermanfaat.

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Apabila akan menggunakannya sebagai acuan, hendaknya mencantumkan artikel tersebut sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

Jurnal Anestesiologi Indonesia Pelindung:

 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

 Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP

 Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif

(PERDATIN) Jawa Tengah

Ketua Redaksi:

dr. Uripno Budiono, SpAn

Wakil Ketua Redaksi:

dr. Johan Arifin, SpAn, KAP

Anggota Redaksi:

dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn

dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn

dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, Msi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn

dr. Hari Hendriarto, SpAn, Msi.Med

Mitra Bestari:

Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO Dr.dr. M.Sofyan Harahap, SpAn, KNA

Seksi Usaha:

dr. Mochamat

Administrasi:

Maryani, Nik Sumarni

Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun.

Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326)

Alamat Redaksi:

Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,

Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.

JAI

(3)

Sri Tabahhati, Uripno Budiono, Mohamad Sofyan Harahap

Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol Dan Etomidat Terhadap Agregasi Trombosit Propofol secara bermakna menurunkan persen agregasi maksimal trombosit

dibandingkan etomidat.

1

Kurniadi Sebayang, Jati Listiyanto Pujo, Johan Arifin

Perbedaan Efektifitas Oral Hygiene Antara Povidone Iodine Dengan Chlorhexidine Terhadap Clinical Pulmonary Infection Score Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik Chlorhexidine 0,2% merupakan antiseptik orofaring yang lebih efektif menurunkan skor CPIS dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada pasien dengan ventilator mekanik. Tidak ada korelasi antara kenaikan skor GC plaque dengan penurunan skor CPIS.

10

Ratna Anggraeni, Hariyo Satoto, Widya Istanto Nurcahyo

Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Kolesterol Serum Pada Induksi Etomidat

Pemberian vitamin C 200 mg intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian etomidat 0,2 mg/kgBB.

19

Tinon Anindita, Witjaksono, Aria Dian Primatika

Pengaruh Nitrous Oxide Pada Induksi Sevofluran 8% Dengan Tehnik Single Breath Terhadap Kecepatan Induksi Anestesi

Penambahan Nitrous oxide pada induksi anestesi dengan sevofluran 8% dengan teknik single-breath, tidak mempercepat waktu induksi anestesi.

27

TINJAUAN PUSTAKA

Ifar Irianto Yudhowibowo, Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti

Pengaruh Anestesi Epidural Terhadap Supresi Imun Yang Diinduksi Stres Operasi Selama Pembedahan

Blok epidural dari segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan, mencegah peningkatan konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi.

42

Ratno Samodro, Doso Sutiyono, Hari Hendriarto Satoto Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal

Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan.

(4)

1

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

PENELITIAN

Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol Dan Etomidat Terhadap Agregasi Trombosit

Sri Tabahhati*, Uripno-Budiono*, Mohammad Sofyan Harahap*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang ABSTRACT

Background: Perioperative bleeding is a serious and common problem in surgery.

Induction anesthetic agent usage is known for the inhibition of platelet aggregation.

Objective: To determine the difference effect of propofol and penthotal administration on

platelet aggregation.

Method: An experimental study on 40 patients who received general anesthesia. Samples

were divided into two groups (n:20, each). The first group received propofol and the second group received etomidat as the induction anesthetic agent during the procedure, and five minutes post induction, with the rate of administration propofol 2,5 mg/ body weight, etomidat 0,3 mg/ body weight and O₂ : N₂O ratio 50% : 50%. A specimens were taken to the Clinical Pathology Laboratory for Platelet Aggregation testing. Statistical analyses were performed using Paired T-Test and Independent T-Test (with level of significance p<0,05).

Result: The result showed significant difference in percentage of maximal platelet

aggregation before and after the administration of propofol (p=0,001) and not significant for etomidat group (p=0,089). In the propofol and etomidat group, the mean percentage of maksimal platelet aggregation was 66,07 ± 18,04. Statistically, propofol caused less significant hypo aggregation of plateled compared to etomidate, with (p=0,053).

Conclusion: Propofol significantly decreased the percentage of maximal plateled

aggregation, however the difference was not significant between two experiment groups.

Keywords : Propofol, etomidate, ADP, platelet aggregation

ABSTRAK

Latar belakang penelitian: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi dikatakan mempunyai pengaruh dalam agregasi trombosit

Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian propofol dan etomidat terhadap agregasi trombosit.

Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada 40 pasien yang menjalani anestesi umum. Penderita dibagi 2 kelompok (n=20), kelompok I menggunakan propofol dan

(5)

2 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 kelompok II menggunakan etomidat, yang diberi sejak awal induksi dengan besar pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena, etomidat 0,3 mg/kg intravena bersama O2 : N2O = 50% : 50%. Masing-masing kelompok akan diambil spesimen sebelum induksi dan 5 menit setelah induksi. Semua spesimen dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk dilakukan pemeriksaan Tes Agregasi Trombosit. Uji statistik menggunakan Paired T-Test dan Independent T-Test (dengan derajat kemaknaan <0.05).

Hasil: Karakteristik data penderita maupun data variabel yang akan dibandingkan terdistribusi normal. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan persen agregasi maksimal trombosit yang bermakna sebelum dan sesudah pemberian propofol (p=0,001) dan tidak bermakna untuk sebelum dan sesudah pemberian etomidat (p=0,089). Pada kelompok propofol didapatkan rerata persen agregasi maksimal trombosit 66,07±8,28 dan etomidat 56,29+18,04 dan menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p=0,053). Kesimpulan: Propofol secara bermakna menurunkan persen agregasi maksimal trombosit, dibandingkan etomidat.

Kata kunci : Propofol, etomidat, ADP, agregasi platelet

PENDAHULUAN

Penyulit yang mungkin muncul dalam setiap operasi adalah risiko perdarahan. Bila penyulit ini tidak diatasi dengan

baik, dapat menyulitkan dan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta berpengaruh terhadap proses hemodinamika selama dan sesudah operasi.1 Faktor yang terlibat dalam proses hemostasis adalah vasospasme pembuluh darah, reaksi trombosit (adhesi, pelepasan, dan agregasi), dan faktor koagulasi.1,2 Interaksi obat-obatan dengan trombosit dapat memperberat risiko komplikasi perdarahan, mengingat peran trombosit yang penting pada proses hemostatis selama dan sesudah pembedahan.3 Clotting Time (CT) dan Bleeding Time (BT) merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk mengetahui jalur koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.4 Beberapa penelitian menyatakan bahwa kekurangan dalam

kedua pemeriksaan tersebut dalam menilai dua parameter tersebut dalam perannya sebagai uji fungsi koagulasi.5 Uji perdarahan telah dilakukan beberapa dekade dengan metode Duke. Beberapa modifikasi dilakukan oleh Ivy et al dan Mielke et al. Uji pemeriksaan tersebut banyak digunakan pertengahan tahun 1980-an, di mana muncul pertanyaan mengenai validitas pemeriksaan. De Caterina melakukan analisis regresi linier untuk mengetahui sensitifitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan negatif dari BT. Nilai hasil pemeriksaan BT dipengaruhi oleh jumlah trombosit, dinding pembuluh darah, hematokrit, kualitas kulit, dan juga teknik yang digunakan.6 Penelitian lain juga menunjukkan tidak ada korelasi statistika antara BT preoperatif dan jumlah kehilangan darah atau kebutuhan produk darah.7

(6)

3

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Anestesi dibutuhkan pada hampir semua tindakan pembedahan, dan sebagian besar dengan anestesi umum. Anestesi umum berpengaruh secara intraseluler dan perlu mendapat perhatian dalam hal interaksi obat anestesi dengan trombosit.8 Sebagian besar operasi yang dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr. Kariadi Semarang dilakukan dengan anestesi umum. Propofol diketahui merupakan agen anestesi yang berkontribusi terhadap disfungsi trombosit melalui inhibisi mobilisasi kalsium terhadap stimulasi agonis.9 Propofol (2,6 diisopropylphenol) merupakan obat anestesi yang sering digunakan pada anestesi umum selain ketamin.10,11 Propofol memiliki kemiripin struktur serupa dengan alfatokoferol dan asam asetilsalisilat. Efek antioksidannya disebabkan kesamaan struktur dengan alfatokoferol.12,13 Pada penelitian yang dilatarbelakangi oleh keserupaan struktur propofol dengan asam salisilat, memperlihatkan bahwa zat anestesi ini akan menghambat agregasi trombosit pada whole blood secara in vitro dalam kisaran konsentrasi serupa pada plasma manusia setelah pemberian intravena.14 Efek hipoagregasi trombosit ini telah terlihat pada pemberian propofol intravena terhadap pasien bedah.15,16 Propofol memperlihatkan efek anti agregasi ditemukan serupa pada PRC dan whole blood.11,17 Efek ini terkait dengan

dua mekanisme dasar yaitu

penghambatan sintesis trombosit A2 dan peningkatan sintesis NO oleh leukosit. Kedua efek dapat bergantian, terkait efek antioksidan propofol.10,18,19

Penelitian Andre Gries (2004) menunjukkan ekspresi P-selectin in vitro diinhibisi oleh Etomidat pada konsentrasi 2 (28 %) dan 20ug/ml (38%). Pasien operasi vaskuler, induksi anestesi pada

kelompok ETO memberikan

pemanjangan waktu perdarahan in vitro dan inhibisi ADP dan agregasi tromobsit yang diinduksi kolagen.20

Etomidat merupakan gold standar, di RS dr. Kariadi etomidat pernah dipakai sebagai agen induksi, sekarang sudah tidak digunakan lagi. Penelitian tentang etomidat ini merupakan penelitian payung di mana diharapkan sebagai obat gold standard etomidat dapat dipakai kembali.

Etomidat mengurangi fungsi trombosit baik ex vivo dan in vivo. Hasil penelitian Sarkar M, dkk pemberian etomidat untuk induksi anestesi pada pasien pediatrik dan neonatus memberikan kesan bahwa etomidat tidak mengubah profil klinis hemodinamika secara signifikan.21

Penelitian Aoki dkk di Jepang menunjukkan propofol 2 mg/kg/jam menghambat agregasi trombosit. Parolari A, dkk mendapatkan setelah 5 menit pemberian propofol 2,5 mg/kg bolus intravena, terjadi penurunan agregasi trombosit secara bermakna pada whole blood.14,22

Agregasi trombosit dinilai melalui pemeriksaan yang disebut Tes Agregasi Trombosit (TAT). Pemilihan jenis TAT, tergantung jenis obat yang digunakan. Agonis atau induktor yang dapat

(7)

4 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 digunakan adalah trombin, tromboksan

A2, asam arakidonat, serotonin, vasopresin, dan ADP yang dipakai pada Laboratorium Patologi Klinik di RSUP Dr. Kariadi. TAT berdasarkan perubahan transmisi cahaya masih dianggap baku memang untuk menilai fungsi agregasi trombosit. Setiap kenaikan transmisi cahaya yang dicatat sebagai suatu agregasi trombosit. Hasilnya akan didapatkan presentase agregasi maksimal trombosit yang terjadi dengan pemberian ADP 2uM; 5uM dan 10uM sebagai induktor agonis trombosit.21

Berdasarkan temuan dari penelitian di atas, akan dilakukan penelitian perbedaan pengaruh pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena dan etomidat 0,3 mg/kg intravena terhadap agregasi trombosit (Dosis anestesi induksi propofol 2,5 mg/kg ekuivalen dengan dosis induksi etomidat 0,3 mg/kg).6 Pada penelitian ini ditambahkan hasil yang mempertim-bangkan interpretasi TAT dengan mengamati gambaran pola kurva agregasi.22

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan pengaruh pemberian propofol dan etomidate terhadap agregasi trombosit.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental uji klinik fase 4 dengan rancangan randomized clinical control trial. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Laboratorium Patologi Klinik RSUP dr. Kariadi Semarang pada bulan Maret 2010 hingga April 2010. Sampel merupakan pasien bedah onkologi di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr. Kariadi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu menjalani operasi elektif dengan general anestesi, pasien bedah, status fisik ASA I-II, usia 19 - 39 tahun, BB normal. Sampel yang ada

dikelompokkan dengan acak

menggunakan randomized clinical control trial double blind. Kelompok I menggunakan Etomidat 0,3 mg/kg intravena sebagai obat anestesi induksi sedangkan Kelompok 2 menggunakan Propofol 2,5 mg/kg intravena sebagai obat anestesi induksi. Sampel dieksklusi jika menderita DM, hipertensi, menggunakan NSAID, kadar trombosit <200.000/uL atau >400.000/mL, riwayat merokok, riwayat pascastrok, riwayat penyakit jantung iskemik.

Analisis data menggunakan Alpha = 0,05 perhitungan dengan SPSS 15 for windows. Etika disetujui oleh komisi Etik dan Penelitian FK UNDIP/RSUP dr. Kariadi. Setiap pasien yang dilakukan penelitian dimintai persetujuan.

(8)

5

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek pada Masing-Masing Kelompok

No Variabel Kel Etomidat

(n=20) Kel. Propofol (n=20) P 1 2 3 4 5 6 Umur (tahun)

Body Mass Index (kg/m2 Tekanan Darah Sistol (mmHg) Tekanan Darah Diastol (mmHg) Nadi (x/menit) Status ASA ASA I ASA II 34,5 + 3,7 21,1 + 1,7 127,6 + 9,2 74,6 + 7,7 80,2 + 9,6 17 3 33,70 + 3,388 21,2 + 1,9 127,9 + 7,7 73,9 + 6,0 80.8 + 7.9 16 4 0,761 0,953 0,569 0,689 0,824 HASIL

Uji normalitas one-sample Kolmogorov Smirnov digambarkan pada tabel 1, di mana karakteristik umum subjek pada masing-masing kelompok memiliki distribusi yang normal (p>0,05), sehingga untuk uji homogenitas diperlukan analisis statistik dengan Independent T Test. Hasilnya didapatkan data yang homogen (perbedaan tidak bermakna, p>0,05) dari

semua variabel yaitu umur, BMI, tekanan darah sistole, tekanan darah diastol, nadi, dan status ASA sebelum dilakukan penelitian.

Tabel 2 menunjukkan data sebelum dan sesudah penelitian pada kelompok I (etomidat) dan II (propofol) didapatkan hasil uji normalitas menunjukkan nilai % agregasi trombosit maksimal berdistribusi normal dengan induktor 10uM ADP (p>0,05).

Tabel 2. Uji Normalitas Rerata % Agregasi Trombosit

Variabel Induktor Perlakuan P Keterangan

% Agregasi maks. Trombosit % Agregasi maks. Trombosit % Agregasi maks. Trombosit % Agregasi maks. Trombosit 10 uM ADP 10 uM ADP 10 uM ADP 10 uM ADP Pre Kelp I Pre Kelp II Post Kelp I Post Kelp II 0,509 0,792 0,942 0,935 Distribusi normal Distribusi Normal Distribusi normal Distribusi Normal

Data kemudian dianalisis secara parametrik menggunakan uji Paired T Test untuk melihat perbedaan % agregasi

maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan dengan 10 uM ADP. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah perlakuan dengan induktor

(9)

6 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 ADP 10uM pada kelompok propofol

terbukti menyebabkan penurunan % agregasi maksimal trombosit yang secara statistik berbeda bermakna p=0,001 (p<0,05). Sedangkan pada kelompok

etomidat secara statistik tidak terbukti menyebabkan penurunan % agregasi maksimal trombosit dengan nilai p=0,089 (p>0,05).

Tabel 3. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok propofol dan etomidat (dengan induktor ADP 10 uM)

No Keterangan Sebelum Sesudah p

1 2 Kel. Etomidat Kel. Propofol 73,45 + 7,33 62,55 + 13,91 66,07 + 8,28 56,29 + 18,04 0,089 0,001* * = bermakna (p<0,05)

Gambar 1. Perbandingan perubahan % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok etomidat dan propofol

Gambar 2 menunjukkan perbedaan rerata % agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian propofol dan sesudah pemberian etomidat dengan ADP 10 uM sebagai induktor.

Gambar 2. Perbedaan % agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian propofol dan sesudah pemberian etomidat

Hasil Tes Agregasi Trombosit yang

terbaca oleh PACKS-4 selain

menunjukkan persen agregasi trombosit juga menggambarkan pola kurva agregasi yang terbentuk oleh masing-masing dosis induktor ADP pada masing-masing kelompok perlakuan. Semua sampel pada kedua kelompok perlakuan sebelum

perlakuan mempunyai gambaran

normoagregasi. Kemudian setelah dilakukan perlakuan gambaran dari 20

0 20 40 60 80 100 120 140 160 Sebelum Setelah Etomidat Propofol 50 55 60 65 70

% Agregasi maksimal trombosit

% Agregasi maksimal trombosit

(10)

7

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

sampel untuk kelompok Etomidat terdapat 2 orang hipoagregasi (10%), 4 orang hipoagregasi ringan (20%) dan sisanya 14 orang normoagregasi (70%). Kelompok propofol terdapat 14 orang hipoagregasi (70%), 3 orang hipoagregasi ringan (15%), dan 3 orang normoagregasi (15%).

Secara statistik propofol secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada pentotal, p=0,01 (p<0,05). Hal ini lebih jelas terlihat pada gambar 3.

Gambar 3. Perbedaan Propofol dan Etomidat dalam menyebabkan hipoagregasi

PEMBAHASAN

Hasil dari penelitian ini bahwa dengan ADP 10µM untuk kelompok etomidat antara sebelum dan sesudah perlakuan tidak memberi perbedaan bermakna p=0,089 (p>0,05), hal ini semakin berbeda dengan pendapat yang mengatakan bahwa etomidat bisa dikatakan dapat mempengaruhi secara

bermakna respon trombosit terhadap ADP.20

Kelompok propofol dengan induktor 10µM antara sebelum dan sesudah perlakuan didapatkan perbedaan yang bermakna p=0,001 (p<0,05). Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh de La Cruz, dkk di mana dikatakan propofol 2,5mg/kg intravena menghambat intensitas maksimum

agregasi trombosit. Propofol

menghambat agregasi trombosit pada whole blood secara in vitro.17,19 ADP 10µM diharapkan terjadi pelepasan granula sekunder dari permukaan trombosit dan terbentuklah agregasi sekunder, di mana perlu diingat agregasi sekunder terjadi akibat pelepasan granula pada setelah terjadinya agregasi primer sehingga kembali membuat jalur arakidonat dan terbentuk tromboksan A2.

Tromboksan A2 ini akan menurunkan

konsentrasi cAPMP yang berfungsi mengendalikan konsentrasi ion kalsium bebas yang dibutuhkan dalam proses agregasi. Kadar cAMP yang tinggi menyebabkan kadar ion kalsium bebas dalam trombosit yang digunakan dalam proses agregasi.23

Hasil penelitian ini memperkuat pernyataan yang mengatakan pemberian propofol secara bermakna menurunkan aktivasi ADP pada proses terjadinya agregasi trombosit bila dibandingkan dengan etomidat.13,19 Pemberian induktor ADP 10 uM merupakan induktor terkuat yang umumnya digunakan sebagai pedoman untuk penetapan keadaan

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Hipo Hipo ringan Normo Etomidat Propofol

(11)

8 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 hipoagregasi bila nilai % agregasi

maksimal trombosit lebih rendah dari rentang nilai rujukan terendah dan disertai pola kurva agregasi reversibel. ADP paling tepat dalam menilai fungsi agregasi trombosit, di mana hanya selektif untuk agregasi tromobosit dan stimulasinya bersifat langsung.24

Hasil penelitian ini mendukung penelitian sejenis penelitian de La Cruz, dkk yang menyatakan propofol menurunkan sensitivitas ADP terhadap terjadinya agregasi trombosit, namun penelitian tersebut juga menghubungkan dengan

kejadian memanjangnya waktu

perdarahan secara signifikan ditemukan hubungan kuat di antaranya. Walaupun peran agregasi trombosit pada manifestasi memanjangnya waktu perdarahan dianggap mempunyai peran besar, namun juga harus dipikirkan penyebab lainnya di mana juga terjadi relaksasi sel otot polos pembuluh darah akibat halotan di samping akibat pengaruh komponen lain seperti faktor pembuluh darah dan faktor koagulasi.18 Sementara etomidat pada penelitian ini dinyatakan tidak bermakna p=0,089 (p>0,05) menurunkan rerata agregasi maksimal trombosit berarti tidak mendukung penelitian - penelitian sebelumnya seperti Gries (2001) dkk di

mana etomidat memberikan

penghambatan trombosit secara bermakna.20

Keterbatasan penelitian ini adalah masih digunakannya ADP sebagai indikator, di mana diketahui etomidat mempengaruhi

ADP dalam menghambat agregasi trombosit, dan tidak dilakukannya pemeriksaan pendahuluan untuk menyingkirkan variabel perancu yang dapat mempengaruhi agregasi maksimal trombosit

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan presentase agregasi maksimal trombosit sebelum dan setelah pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena namun tidak terdapat perbedaan presentase agregasi maksimal trombosit sebelum dan sesudah pemberian etomidat 0,3 mg/kg intravena serta propofol menurunkan agregasi maksimal trombosit secara bermakna dibandingkan etomidat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baldy CM. Pembekuan. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-4. Jakarta: EGC, 1995; 264-5

2. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Edisi ke 9. Jakarta: EGC. 1997; 579-82.

3. Kartono D, Thaib MR. Masalah

perdarahan pada pembedahan. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 1986; 20-6.

4. Macpherson DS. Preoperative laboratory testing: Should any test be routine before surgery? Med Clin North Am 1993; 77:289-90.

5. Rodgers RPC. A critical reappraisal of bleeding time. Semin Thromb Haemost 1990; 16:131-44.

(12)

9

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

6. Lind SE. The bleeding time does not predict surgical bleeding. Blood 1991; 77:2547-52

7. Lehman CM. Discontinuation of BT without detechable adverse clinical impact. Clin Chem 2001; 47:1204-11. 8. Morgan GE, Mikhail MS, Murry MJ,

Larson CP. Inhalational Anesthetic. In Clinical Anesthesiology. 3rd Ed. New York: Lange Medical Book/Mc Grew-Hill Medical Publishing Edition, 2002; 127-51.

9. Gepts E, Camu F, Cockshott D, Douglas EJ. Disposition of Propofol administered as constant rate intravenous infusion in humans. Anaesth Analg 1987; 66:1256-63.

10. Stoelting RK, Hillier SC. Propofol. In: Nonbarbiturate intravenous anesthetic drug. In: Pharmacology and Physiologi in aneesthetic Practice, 4th ed. Philadelphia: Lippincott 2006; 156-63. 11. Muacchio E, Rizzoli V, Bianchi M,

Bindoli A, Galzigna L. Antioxidant action of propofol on liver microsomes, mitochondria, and brain synaptosomes in rat. Pharmacol. Toxicol 1991; 69:15-17. 12. De la Cruz JP, Villalobos MA, Sedeno

G, Sanchez DC. Effect of propofol on oxidative stress in an in vitro model of anoxia-reoxygenation in the rat brain. Brain Res 1998; 800:136-44.

13. De la Cruz JP, Carmona JA, Paez MV, Blanco E, Sanchez DC. Propofol inhibits in vitro platelet aggregation in human whole blood. Anesth Analg 1997; 84: 919-21.

14. Aoki H, Mizobet, Nozuchi S, Hiramatsu N. In vivo and in vitro studies of the inhibitory effect of propofol on human platelet aggregation. Anesthesiology 1998; 88: 362-70.

15. Dogan IV, Ovali E, Eti Z, Yayci A, Gogusf Y. The in vitro effect of isofluorane, isovofluorane, and propofol on platelet aggregation. Anesth Analg 1999; 88: 432-36.

16. De la Cruz JP, Paez MV, Carmona JA, Sanchez DC. Antiplatelet effect of the anesthetic drug propofol influence of red cells and leucocytes. Br Med J Pharmacol 1999; 128: 1538-44.

17. De la Cruz JP, Zanca A, Carmona JA, Sanchez DC. Effect of propofol on oxidative stress in platelets from surgical patients. Anesth Analg 1999; 89: 1050-5. 18. De la Cruz JP, Sedeno G, Carmona JA,

Sanchez DC. In vitro effect of propofol on tissular oxidative stress in the rats. Anesth Analg 1998; 87: 1141-615. 19. Mendez D, De la Cruz JP, Arrebola MM,

Guerrero A, Gonzalez-Corea, Garcia Temboury E, et al. The effect of propofol on the interaction of platelets with leucocytes and erythrocyts in surgical patients. Anesth Analg 2003; 96: 713-19.

20. Gries A, Weis S, Herr A, Graf BM, Seelos R, Martin E, et al. Etomidate and thiopental inhibit platelet function in

patients undergoing infrainguinal

vascular surgery. Acta Anaesthesiol Scand 2001; 45: 449-57.

21. Dordoni PL, Frassanito L, Bruno MF, Proietti R, De Cristofaro R, Ciabattoni G, et al. In vivo and in vitro effects of different anaesthetics on platelet function. Br Med J Haematol 2004; 125: 79-82.

22. Palolari A, Guamieri D, Alamanni F, Toscano T, Tantalo V, Gherli T et al. Platelet function and anesthetics in cardiac surger. An in vitro and ex vivo study. Anesth Analg 2007; 89: 26-31. 23. Shafer Al. Effects of nonsteroidal

anti-inflammatory therapy on platelets. Clin Pharmacol J. 1999; 106: 25 S-36S. 24. Lisyani BS. Hasil tes agregasi trombosit

pada subjek sehat kelompok usia 19-39 tahun dibandingkan dengan 40 tahun ke atas. Media Medika Indonesiana 2006; 41: 69-77.

(13)

10 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

PENELITIAN

Perbedaan Efektifitas Oral Hygiene Antara Povidone Iodine Dengan

Chlorhexidine Terhadap Clinical Pulmonary Infection Score Pada Penderita

Dengan Ventilator Mekanik

Kurniadi Sebayang*, Jati Listiyanto Pujo*, Johan Arifin*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background : Oral hygiene antiseptic can reduce incidence of Ventilator Associated

Pneumonia (VAP) that reduce Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) in patients with mechanical ventilation. Chlorhexidine can prevent formation of biofilm compare with povidone iodine.

Objectives : This study was performed to find out wether chlorhexidine 0, 3 % was better

than povidone iodine 1 % on Clinical Pulmonary Infection Score in patients with mechanical ventilation.

Methods : An experimental study, as consecutive sampling on 32 subjects was decided in

two groups (n = 16). Povidone iodine 1% was administrated in first group and cholrhexidin 0,2 % in second group. Clinical Pulmonary Infection Score was determined using Mann-Whitney before and after treatment in each group temperature, blood gas analysis, tracheal secretion, blood analysis and chest x-ray. Statistical analysis was performed with Wilcoxon test to compare CPIS and corelative test to analyzed GC plaque and spearman test to analyzed the correlation between GC plaque score and CPIS.

Result : There were significant diference in the first group on CPIS (p<0,05) and no

difference in the second group (p>0,05). The difference score before and after treatment in both group were significantly different (p=0,05). GC plaque score in chlorhexidinee group were significantly different (p=0, 0000). There were no correlation between GC plaque score and CPIS.

Conclusion : Chlorhexidinee 0,3% is more effective in oropharing decontaminated

antisepcic that decrease CPIS than povidone iodine on patients with mechanical ventilation. No correlation between GC plaque score with score of CPIS.

Keywords : Povidone iodine 1 %, chlorhexidine 0, 2%, CPIS, mechanical ventilation, GC

(14)

11

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

ABSTRAK

Latar belakang : Antiseptik oral hygiene merupakan salah satu cara non farmakologi yang dapat menurunkan insiden Ventilation Associated Pneumonia (VAP) dengan menurunkan skor Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) pada penderita dengan ventilator mekanik. Chlorhexidine adalah antiseptik yang lebih mampu mencegah pembentukan biofilm dibandingkan dengan povidone iodine.

Tujuan : Mengetahui chlorhexidine 0,2% lebih efektif menurunkan angka Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada penderita dengan ventilator mekanik.

Metode : Merupakan penelitian eksperimental, dua subjek dibagi dua kelompok sama besar (n =16). Kelompok chlorhexidinee 0,2 % dan kelompok kontrol povidone iodine 1%. Kedua kelompok sebelum dan setelah perlakuan dilakukan pemeriksaan CPIS, yaitu: suhu, analisa gas darah, sekret trakea, darah rutin dan foto ronsen dada. Uji wilcoxon adalah uji korelatif untuk melihat GC plaque sebelum dan setelah perlakuan.Sedangkan uji spearman melihat korelasi GC plaque dan skor CPIS pada kelompok perlakuan.

Hasil : Hasil skor CPIS berbeda makna pada kelompok I (p<0,05). Analisis komparatif selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05). Skor GC plaque sebelum [6,00 (5,60-7,00)] dan setelah aplikasi chlorhexidinee 0,2% [7,00 (6,80-7,20)] menunjukkan hasil berbeda bermakna (p= 0,000). Uji spearman skor GC plaque dan CPIS menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna, hasil korelatif negatif.

Kesimpulan : Chlorhexidinee 0,2% merupakan antiseptik orofaring yang lebih efektif menurunkan skor CPIS dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada pasien dengan ventilator mekanik. Tidak ada korelasi antara kenaikan skor GC plaque dengan penurunan skor CPIS.

Kata kunci : Povidone iodine 1%, chlorhexidinee 0, 2%, ventilator mekanik, GC plaque PENDAHULUAN

Penggunaan antiseptik terhadap oral hygiene merupakan salah satu cara farmakologi yang dapat menurunkan insiden Ventilation Associated Pneoumonia (VAP) dengan menurunkan skor Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) pada penderita dengan ventilator mekanik. Di Indonesia belum ada data nasional kasus VAP, namun sudah ada

data di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang.

1,2,3,4

Patogenesis VAP sangat komplek. Kollef menyatakan insiden VAP tergantung dari lamanya paparan lingkungan, petugas kesehatan dan faktor resiko lain. Penelitian terhadap 130 penderita yang diintubasi, kuman gram negatif ditemukan dalam trakea 58% penderita yang mendapatkan pengobatan antasid,

(15)

12 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 antagonis H2 serta 30 % penderita yang

mendapatkan sukralfat. 4

Pemeriksaan CPIS meliputi beberapa komponen yaitu suhu tubuh, leukosit, sekret trakea, indeks oksigenasi, pemeriksaan radiologi dan kultur. Biakan kuman diambil berdasarkan teknik protected specimen brush, bronchoalveolar lavage ataupun blind suctioning sekret. 1,5,6,7

Pencegahan non farmakologi lebih mudah dan lebih murah untuk dilaksanakan bila dibandingkan dengan pencegahan VAP secara farmakologi, yang meliputi menghindari intubasi trakhea, penggunaan ventilasi mekanik sesingkat mungkin, pembagian kerja tenaga kesehatan, intubasi non nasal, menghindari manipulasi yang tidak perlu pada sirkuit ventilator, posisi setengah duduk, dan mencuci tangan dan pemakaian disinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita.2,5 Pencegahan VAP secara farmakologi dilakukan dengan cara dekontaminasi selektif menggunakan antibiotika pada saluran cerna (selective decontamination of the digestive tract (SDD)) dan dekotaminasi orofaring (oropharyngeal dencotamination (OD)) menggunakan antiseptik. 8,9

De Riso menyatakan dalam penelitiannya bahwa chlorhexidine yang digunakan dalam dekontaminasi orofaring dapat menurunkan kejadian infeksi nasokomial saluran napas di ICU sampai 69%.8

Fourrier menyatakan bahwa

chlorhexidine dapat menurunkan pertumbuhan kuman penyebab VAP sebesar 53%.9 Dengan menurunnya pertumbuhan kuman di orofaring diharapkan insiden VAP juga menurun, hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Tantipong dan Chan.9,10 Sedangkan menurut Houston, rerata penderita dengan pneumonia nosokomial

lebih rendah dengan peridex

chlorhexidine 0,12% daripada kontrol dengan menggunakan phenolic mixture.

11

Guide control (GC) plaque dan pH mulut merupakan parameter kesehatan mulut yang dapat memberikan hasil diagnosis terhadap patogenesis plak. Tetapi belum ada data tentang penelitian GC plaque yang dihubungkan dengan penggunaan antiseptik.9

Penyempurnaan dari penelitian sebelumnya yang menganalisis dan

membandingkan efektifitas

dekontaminasi orofaring dengan menggunakan chlorhexidine 2%. Pada penelitian ini yang diberikan dalam dosis yang lebih kecil yaitu 0,2%. Karena berdasarkan penelitian sebelumnya terbukti dapat menurunkan insiden VAP

11,12,13

METODE

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua yaitu kelompok I (chlorhexidine 0,2% sebagai antiseptik

(16)

13

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

oral pada penderita dengan ventilator mekanik) dan kelompok II (povidone iodine 1% sebagai antiseptik oral penderita dengan ventilator mekanik). Sampel mengambil semua penderita dengan ventilator mekanik di ICU RSUP Dr. Kariadi pada bulan April- Juni 2010. Sampel dikelompokkan dengan cara berurutan dimana penderita pertama dimasukkan dalam kelompok 1(C), penderita kedua dimasukkan kedalam kelompok 2(P) secara cosecutive sampling. Sampel adalah laki-laki dan perempuan dewasa dengan GCS < 8 serta keluarga setuju diikutsertakan dalam penelitian. Total sampel adalah 32 dan dibagi menjadi 2 kelompok sama rata. Pada kelompok 1 (C) diberikan chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 ml. Pada kelompok 2(P) diberikan povidone iodine 1% sebanyak 25 ml. Semua penderita dengan ventilator mekanik

dilakukan pemeriksaan klinis

laboratorium, perbandingan tekanan oksigen dengan fraksi oksigen

(PaO2/PaO2) dan foto thorak dan tes GC plaque.

Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel silang, grafik Box Plot. Analisis analitik akan dilakukan untuk menguji Clinical Pulmonary Infection Score pada kedua kelompok perlakuan dengan uji non parametrik Mann Whithney, Wilcoxon, Spearman. Semua uji analitik menggunakan Sofware Statistiscal Package for Social Science (SPSS) 15.

HASIL

Secara berurutan pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok I yang menerima chlorhexidine 0,2% dan kelompok II yang menerima povidone iodine 1%.

Data karakteristik pasien pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 1 :

Tabel 1. Data karateristik pasien kedua kelompok

Usia Frekuensi Persentase (%)

< 20 Tahun 4 12,5 20–30 tahun 3 9,4 31–40 tahun 3 9,4 41-50 tahun 2 6,25 51-60 tahun 10 31 > 60 tahun 10 31 Total 32 100

(17)

14 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 Uji normalitas dilakukan pada kedua

kelompok dengan menggunakan uji Saphiro-Wilk untuk mengetahui sebaran data masing-masing. Hanya terdapat dua hasil sebaran yang merata (p>0,05) yaitu

pada kelompok II, tepatnya untuk skor sebelum dan sesudah perlakuan, dengan nilai p maisng-masing 0, 166 dan 0,061.

Tabel 2. Uji normalitas sebaran data skor pada kedua kelompok

Kelompok Perlakuan Median (min-maks) Nilai p

Skor sebelum perlakuan Kelompok I

Kelompok II

150 (0,00-4,00) 4,00 (1,00- 6,00)

0,019 0,166

Skor sebelum perlakuan Kelompok I

Kelompok II

0,50 (0,00-4 ,00) 4,00 (1,00-7,00)

0,001 0,061

Selisih Skor Kelompok I

Kelompok II

0,00 (-3,00-2,00) 0,50 (-3,00- 2,00)

0,026 0,037

Hasil uji Saphiro-Wilk, kelompok II sebelum dan setelah perlakuan adalah p= 0, 166 dan p = 0, 061

Ketiga puluh dua pasien tersebut dihitung nilai CPIS-nya sebelum dan sesudah perlakuan. Dari hasil uji komparatif Mann Whithey diketahui bahwa nilai CPIS sebelum perlakuan dan setelah perlakuan antara dua kelompok berbeda

bermakna. Selisih skor didapatkan dari hasil pengurangan antara skor CPIS setelah perlakuan dengan skor CPIS sebelum perlakuan per pasien.

Tabel 3. Uji komparatif selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok Kelompok I

[Median (min-maks)]

Kelompok II [median (min-maks)]

Nilai p

Skor CPIS Sebelum perlakuan 1,50 ( 0,00-4,00 ) 4,00 ( 1,00- 6,00 ) 0,000

Skor CPIS Setelah perlakuan 0,50 (0,00- 4,00) 4,00 ( 1,00- 7,00 ) 0,000

Selisih skor CPIS 0,00 (-3,00- 2,00) 0,50 (-3,00 – 2,00) 0,051

(18)

15

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Selain itu dilakukan juga uji komparatif antara skor sebelum dan sesudah perlakuan secara terpisah pada masing-masing kelompok perlakuan dengan

menggunakan uji analsis Wilcoxon. Didapatkan hasil yang berbeda bermakna pada kelompok I (p <0,05), namun tidak pada kelompok II (p> 0,05).

Tabel 4. Uji komparatif skor sebelum dan sesudah perlakuan secara terpisah. Skor CPIS sebelum perlakuan

[median (min-maks)]

Skor CPIS setelah perlakuan [median (min-maks)]

Nilai p

Kel I (0,00-4,00) 0,50 (0,00- 4,00) 0,000

Kel II 4,00 (1,00-6,00) 4,00 (1,00-7,00) 0,227

Hasil uji komparatif Wilcoxon adalah p= 0,000 dan p = 0, 227

Penelitian ini juga mengambil data skor GC plaque pada kelompok yang mendapat chlorhexidine 0, 2 %. Skor GC

plaque seperti halnya pada skor CPIS juga diambil sebelum dan sesudah perlakuan.

Tabel 5. Uji korelasi skor GC plaque dan CPIS sebelum dan sesudah perlakuan

Jenis Skor Median Nilai p Korelasi

Sebelum Perlakuan GC plaque CPIS

6,00 (5,60-7,00) 1,50 (0,00-4,00)

0,122 -0,403

Sesudah Perlakuan GC plaque CPIS

7,00 (6,80-7,20) 0,50 (0,00- 4,00)

0,274 -0,291

(19)

16 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 PEMBAHASAN

VAP adalah inefksi nosokomial pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 jam. 4,8,11. Etiologi yang paling sering adalah staphylococcus aureus, pseudomonas aeroginosa dan enterobacteriacea.7,8

CPIS sendiri berdasarkan komponennya dapat CPIS modifikasi tidak disertai pemeriksaan kultur.12 CPIS modifikasi sangat menguntungkan negara-negara berkembang yang belum memiliki system pelayanan kesehatan yang sepenuhnya terjamin oleh asuransi. Tidak adanya pemeriksaan kultur pada negara-negara tersebut tentunya akan mengurangi biaya kesehatan, dan pada akhirnya menguntungkan pasien.

Insiden VAP bervariasi antara 9- 27% dan angka kematiannya bisa melebihi 50%.2,4 Di Indonesia belum ada data nasional tentang kasus VAP, termasuk di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang, tempat penelitian ini dilakukan. Faktor-faktor resiko terjadinya VAP yang telah dibuktikan lewat berbagai peneitian adalah usia, jenis kelamin, trauma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan lama pemakaian ventilator. 4,5

Penelitian ini menggunakan CPIS modifikasi sebagai parameter untuk membandingkan antara antiseptik chlorhexidine 0,2% dan povidone iodine 1 %. Hasil analisis komparatif Mann- Whitney antara kelompok I dan II

menunjukan perbedaan bermakna baik pada skor CPIS sebelum maupun setelah perlakuan. Namun, hasil ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa chlorhexidine 0,2% lebih efektif dibandingkan dengan povidone iodine 1%. Karena skor CPIS antara kelompok I dan II berbeda secara signifikan sebelum perlakuan, maka akan dijumpai perbedaan yang juga signifikan setelah perlakuan. Untuk itu, dilakukan uji komparatif terhadap selisih skor CPIS sebelum dan sesudah perlakuan antar kedua kelompok perlakuan. Dari hasil uji didapatkan nilai p=0,051, hasil ini berada sangat dekat dengan nilai cutt off signifikasi dalam studi, yaitu 0,05.

Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon untuk menganalisis skor CPIS antara kedua kelompok secara terpisah. Hasil uji ini menunjukkan bahwa skor pada kelompok I (p=0,000), namun tidak pada kelompok II (p= 0,227). Hasil ini menunjukkan bahwa chlorhexidine 0,3 % lebih efektif dibandingkan dengan povidone iodine 1% dalam menurunkan kejadian VAP. Walaupun hasil uji komparatif selisih skor CPIS sebelum dan setelah perlakuan antara kedua kelompok hanya menghasilkan nilai p borderline 0, 051.

Lebih efektifnya chlorhexidine 0, 2% ditunjang kuat oleh cara kerja antiseptik ini yang tidak hanya membunuh bakteri dalam rongga mulut, namun juga mencegah timbulnya biofilm. Biofilm adalah awal terbentuknya plak dan tempat berkumpulnya bakteri.14,15,16

(20)

17

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Selain CPIS, pada penelitian ini dihitung pula GC plaque pada kelompok I yang mendapat chlorhexidine 0,2 %. Skor GC plaque hanya dihitung pada kelompok I berpegang pada penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan CPIS klasik yang menyatakan bahwa chlorhexidine lebih unggul dibandingkan dengan povidone iodine, selain itu pemberian chlorhexidine telah dianjurkan secara internasional untuk menggantikan povidone iodine. 17,18

Analisis Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara skor GC plaque sebelum dan sesudah pemberian chlorhexidine 0,2%. Nilai GC plaque yang lebih tinggi setelah

pemakaian chlorhexidine 0,2%

menujukkan bahwa chlorhexidine meningkatkan pH intraoral secara signifikan.

Hal ini berarti ada hubungan yang berlawanan antara CPIS dan GC plaque pada pasien ICU dengan ventilator mekanik yang menerima chlorhexidine 0,2 %.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Tantipong H et al,10 dan Genuit T et al.13 Yang mengatakan bahwa chlorhexidine 0,2% merupakan antisptik yang efektif untuk menurunkan insiden VAP, walau penelitian ini menggunakan CPIS modifikasi sedangkan 3 penelitian sebelumnya yang disebtkan di atas menggunakan CPIS klasik. CPIS, seperti

yang disampaikan Pugin et al dalam publikasinya di tahun 1991 merupakan skor terpadu yang memuat variabel klinis, laboratorik dan radiologis. 19

SIMPULAN

Chlorhexidine 0,2% merupakan antiseptik dekontaminasi orofaring yang lebih efektif dibandingkan dengan povidone iodine 1 %. Tidak ada korelasi antara skor GC plaque dengan skor CPIS. Sebaiknya penggunaan antiseptik chlorhexidine 0,2% dilaksanakan untuk menggantikan povidone iodine 1% sebagai dekontaminasi orofaring pada penderita ventilator mekanik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Luna CM, Blanzaco D, Niedman MS, Maturucco W, Brades NC, Desmery P, et.al. Resolution of ventilator associated pneumonia : prospective evaluation of the clinical pulmonary infection score as an early clinical predictor of outcome. Crit Care Med 2003; 31: 676-82.

2. Chastre J, Fragon JY. Ventilator associated pneomina. AM J Respir Crit Care Med 2002; 65 :67-903.

3. Kollef M. Prevention of hospital associated pneumonia and ventilator associated pneumonia. Crit Care Med 2004; 32: 1396-405.

4. Sallam SA, Arafa MA, Razek AA, Naga M, Hamid MA : Device related nosocomial infection in intensive care units of Alexandria University Students

(21)

18 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Hospital. East Med. Health J 2005 ;11 : 52-61.

5. Ibrahim EH, Tracy L, Hill C, faser VJ, Kollef MH. The occurrence of ventilator associated pneumonia in a comunity hospital. Chest 2001; 120: 555-61. 6. Ewig E, Baueur T, Torres A. The

pulmonary phsyician in critical care : nasocomial pneumonia. Thorax 2002 ; 57: 366-71.

7. Cook DJ, Meade MO, Hand LE, et. Al : toward understanding evidence uptake:

semirecumbency for pneumonia

prevention. Crit Care Med 2002;30 :1427-7.

8. DeRiso AJ, et.al. Chlorhexidine

gluconate 0, 12 % oral; rinse reduces the incidence of total nosocomial respiratory infection an non prophylactic systemic antibiotic use in patients undergoing heart sugery. Chest 1996; 109:1556-61. 9. Fpurrier F, Dubois D, Pronnier P, et al.

Effect of gingival and dental plaque

antiseptic decontamination on

nosocomial infections acquired in the intensive care unit : A doubleblind placebo- controlled multicenter study. Crit care Med 2005;33:1728-36.

10. Tntipong H, Morckhareonpong C,

jayindee S, Thamlikitkul V. Randomized contrrolled trial and meta- analysis of

oral decontamination with 2 %

chlorhexidine solution for the prevention of ventilator associated pneumonia infection Control Hosp Epidemiol 2008; 29:131-6.

11. Houstun S, Hougland P, Anderson JJ, LaRocco M, Kenedy V, Gentry LO. Effectiveness of 0, 12% chlorhexidine gluconate oral rinse in recuding prevalence of nosocomial pneumonia in

patients undergoing heart surgey. Am J Crit care 2002;(11) : 567-70.

12. Koeman M, Van der van Andre, Hak E, Joore HCA, Kaasjager K, De Smet A,

et.al. Oral Decontamination with

chlorhexidine 0, 2% Reduces the incidience of ventilator- associated pneumonia. Am J of Resp and Critical care Medeciene 2006; 173: 1348-1355. 13. Genuit T, Bochicchio G, Napolitano LM,

Mc Carter RJ, Roghman MC. Surg Infection 2001;2(1):5-18.

14. Pourbbasa R, Delazarb A, Chisaza MT. The effect of german chamomile moyhwash on dental plaque and gingival

inflamation Iranian Journal of

pharmaceutical research 2005;2:105-109.

15. Schiott CR, Loe H. The sensitivity of oral streptococci to chlorhexidine. J. Periodont. Res 1973;12:61.

16. McGee DC, Gould MK : preventing

comlications of central venous

catherization. N Engl Med

2003;384:1123-33.

17. Gjermo P, Bonesvoll P, Rolla G. Relationship between plaque inhibiting effect and relation of chlorhexidine in the human oral cavity. Arch. Oral Biol. 1974;19:1031.

18. Michel F, franceschini B, Berger P, Arnal JM, Gainier M, Sainty JM, et.al. Early antibiotic treatment for

BAL-confirmed ventilator associated

pneumonia. Chest 2005;127:589-97. 19. Pugin J, Auckenthaler R, mili N.

Diagnostic of ventilator associated pneumonia by bacteriologic analysis of

bronchocopic and

nonbronchocospic―blind‖bronchoalveola r lavage fluid. Am Rev Respir Dis 1991; 143:1121-9

(22)

19

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

PENELITIAN

Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Cortisol Serum Pada Induksi Etomidat

Ratna Anggraeni*, Hariyo Satoto*, Widya Istanto Nurcahyo*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Backgrounds: Etomidate is one of anesthetic agent which has minimal effect on

cardiovascular function. However, etomidate depress cortisol production. Vitamin C is one of the agent that hamper the effect of etomidate toward cortisol production.

Objectives: To analyze the effect of pre-treatment with vitamin C 200 mg on cortisol serum

concentration in elective surgery under general anesthesia.

Method: This double blind, Randomized Controlled Trial with 30 subjects which divided

into two groups (n=15), control group and treatment group which received etomidate 0,2 mg/kgBW and combination of etomidate and vitamin C 200 mg in pre-operation respectively. Each group was then examined for cortisol serum concentration pre-anesthesia, 2 hours post induction, and 8 hours post induction. Wilcoxon Signed Rank Test and Paired T Test was performed to compare cortisol serum concentration in each group. While Mann Whitney and Independent Sample T Test was used to compare between control and treatment group.

Results: Cortisol serum concentration in control group between pre-anesthesia ;244,15

(181,39-382,75)] and 2 hours post induction [185,52 ± 35,88]; and between 2 hours and 8 hours post induction [349,81 ± 121,28] was significantly different with value 0,002 and 0,000 respectively. It showed that decrement of etomidate dosage mo 0,2 mg/kgBW still able to decrease cortisol serum production significantly. However, in treatment group cortisol serum concentration pre-anesthesia [258,49 1"5,45-369,09)] and 2 hours post induction [202,14 ± 45,3]; and between 2 hours and 8 hours post induction [251,39 ± 122,91] was non significant, with p value 0,256 and 0,691 respectively. It proved the negative effect of vitamin C on cortisol depression effect of etomidate. Cortisol serum concentration between control and treatment group was significantly different on 2 hours post induction, but non significant on 8 hours post induction. It showed that the negative effect of vitamin C in cortisol depression because of etomidate only significant during 8 hours post eduction

Conclusions: The effect of Vitamin C 200 mg iv 30 minutes pre-operation can minimize

Cortisol depression on administration of etomidate 0,2 mg/kgBW

(23)

20 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

ABSTRAK

Latar Belakang: Etomidat adalah salah satu agen anestesi yang berefek minimal terhadap

kardiovaskular. Namun, etomidat mendepresi produksi kortisol. Salah satu agen yang dapat meminimalisir efek depresi tersebut adalah vitamin C.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pretreatment vitamin C 200

mg pada operasi elektif dengan anestesi umum terhadap kadar kortisol serum.

Metode: penelitian ini merupakan penelitian Randomized Contolled Trial dengan 30

subjek yang dibagi dalam dua kelompok sama besar (n=15), yaitu kelompok kontrol yang menerima etomidat 0,2 mg/kgBB dan kelompok perlakuan yang menerima etomidat dan vitamin C 200 mg iv preoperasi. Masing-masing kelompok tersebut selanjutnya diperiksa kadar kortisolnya pre anestesi, 2 jam pasca induksi, 8 jam pasca induksi. Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T Test digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi

244,15 dan 2 jam pasca induksi 185,52 + 35,88 berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi 349,81 + 121,28 (p=0,000). Sedangkan pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi 258,49 (175,45-369,09) dan 2 jam pasca induksi 202,14 + 45,3 tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi 251,39 + 122,91 (p=0,691).

Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin C 200 mg

intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian etomidat 0,2 mg/kgBB.

Kata kunci: pretreatment, vit c 200 mg, cortisol serum, etomidat

PENDAHULUAN

Pemberian obat induksi anestesi berpotensi yang diikuti pemberian obat penghambat aktivitas neuromuskuler, bertujuan menghilangkan kesadaran dan paralisis motorik akan menghasilkan keadaan yang optimal dari suatu proses intubasi dan juga dapat menurunkan serendah mungkin risiko aspirasi paru pada pasien-pasien yang tidak puasa1.

Sekarang ini tidak hanya satu jenis obat saja yang biasa digunakan pada Rapid Sequence Induction (RSI), tetapi beberapa obat bias digunakan tergantung dari keuntungan, kondisi klinik, efek samping, serta kontra indikasinya2. Etomidat merupakan obat sedasi-hipnotik yang secara kimia berbeda dengan obat-obat induksi sejenis lainnya1. Etomidat mempunyai spesifikasi onset dan durasi yang cepat, efek minimal pada parameter kardiovaskuler, depresi nafas maupun pada mekanisme lepasnya histamin3,4,5.

(24)

21

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Birnbaumer menyatakan bahwa Etomidat bersifat aman dan efektif untuk menjadi obat pilihan pada RSI di unit gawat darurat Amerika Serikat karena efeknya aman untuk aktivitas miokardium dan perfusi serebral, serta insidensi yang rendah terkait hipotensi2.

Etomidat diketahui dapat menyebabkan supresi adrenal baik pada pemberian dosis tunggal maupun infus lama1,6. Makna klinis dari efek obat ini terus diperdebatkan, terkait adanya efek supresi adrenal7,8,9. Pada penggunaan dosis tunggal etomidat menyebabkan penurunan fungsi adrenokortikal selama paling tidak 24 jam8.

Penggunaan etomidat dosis tunggal pada unit gawat darurat belum pernah dilaporkan menyebabkan supresi adrenokortikal yang signifikan hingga menyeabkan kematian7. Penggunaan etomidat dosis tunggal pada pasien syok septik juga masih merupakan kontroversi karena akan mempengaruhi fungsi kelenjar adrenal dalam 24 sampai 72 jam setelah pemakaian etomidat dengan cara menghambat 11β hydroxylase yang akan menambah angka kesakitan serta kematian pasien10.

Etomidat seharusnya tidak digunakan untuk sedasi jangka lama di ruangan Intensive Care Unit (ICU) karena menyebabkan supresi adrenal, yang berakibat meningkatnya jumlah kematian di ICU8.

Penggunaan vitamin C sebelum tindakan operasi akan mengembalikan kadar

kortisol serum yang sama sebelum operasi, setelah pemberian infus etomidat durante operasi11.

Vitamin C berperan sebagai kofaktor dalam sejumlah reaksi hidroksilasi dan amidasi dengan memindahkan elektron ke dalam enzim yang ion metalnya berada dalam keadaan tereduksi, dan dalam keadaan tertentu sebagai antioksidan. Onset kerja dari vitamin C 30 menit pada orang sehat dan 1,5 jam pada orang dengan diabetes mellitus12. Kortisol sangat berperan penting untuk

kehidupan, berperan dalam

mempertahankan tekanan darah dengan cara meningkatkan sensitivitas vaskular untuk epinefrin dan norepinefrin, ekskresi air oleh ginjal, mempertahankan kadar gula darah, respon imun dan memiliki efek anti inflamasi dengan mengurangi sekresi histamin serta menstabilkan membran lisosomal. Stabilisasi membran lisosomal mencegah robeknya membran, sehingga mencegah kerusakan jaringan sehat. Kadar kortisol yang terlalu rendah mampu menyebabkan hipotensi, syok, demam, koma, dan pada akhirnya dapat berujung pada kematian. Sedangkan kadar kortisol yang meningkat terlalu tinggi, juga akan menimbulkan gangguan hemodinamik13. Pemberian vitamin C 500 mg pre operasi menurut studi Pirbudak L et al akan menormalkan kembali kadar kortisol pada 6 jam post operasi14. Sedangkan menurut Nathan et al pemberian pretreatment infus vitamin C 1 gr dalam 500 ml glukosa sebelum induksi dengan etomidat 0,3 mg/kgBB

(25)

22 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 memberikan gambaran insufisiensi

adrenal yang lebih tinggi15. Kontradiksi kedua hasil studi ini menunjukkan adanya dualitas efek vitamin C. Namun, menurut Schraag S et al dalam artikel studinya menggunakan vitamin C dosis 500 mg dengan tambahan xylitol 0,25 mg/kg memaparkan hal yang berlawanan dengan kesimpulan studi Pirbudak et al.16 Maka dari itu di penelitian ini digunakan dosis vitamin C yang lebih rendah yaitu 200 mg.

METODE

Penelitian ini merupakan uji klinik fase 2 dengan bentuk rancangan eksperimental ulang (pretest and posttest controlled group design). Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr Kariadi Semarang dan Laboratorium GAKY Semarang pada lingkup waktu bulan Maret sampai Mei 2010.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum dan diinduksi anestesi antara jam 08.00 sampai 10.00 WIB pada bulan Maret sampai Mei 2010.

Teknik pengambilan sampel

menggunakan randomized clinical controlled trial dibagi dalam dua

kelompok. Kelompok 1 (E)

menggunakan obat anestesi induksi etomidate 0,2 mg/kgBB intravena tanpa pretreatment vitamin C 200 mg intravena. Kelompok 2 (C) menggunakan obat anestesi induksi etomidate 0,2 mg/kgBB intravena dengan pretreatment vitamin C 200 mg intravena 30 menit

sebelum induksi. Sampel harus memenuhi kriteria inklusi : status fisik ASA I-II, usia 14-50 tahun, jenis operasi dengan anestesi umum, operasi dilakukan antara jam 08.00 – 10.00 WIB, berat badan normal (BMI 18-25 kg/m2), dengan kriteria eksklusi: alergi/ kontraindikasi terhadap obat yang dipakai selama penelitian, pasien menggunakan steroid, pasien dengan kadar kolesterol >200 mg, pasien menggunakan kontrasepsi hormonal, pasien yang mengkonsumsi vitamin C.

Total sampel adalah 30 orang dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing 15 orang.

Seleksi penderita dilakukan saat kunjungan prabedah di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada penderita yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum. Penderita diberikan penjelasan dan mengisi formulir informed consent. Pasien tidak mengetahui perilaku yang akan diterima. Disediakan kertas undian berlabel C dan E yang dilipat, masing-masing berjumlah 15, satu hari sebelum operasi ahli anestesi yang bertugas mengambil undian tersebut. Perlakuan yang dilakukan pada pasien sesuai label yang diambil saat undian.

Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi, kebutuhan cairan selama puasa dipenuhi sebelum operasi dengan menggunakan cairan Ringer Laktat. Pengambilan sampel sebelum perlakuan dilakuakan sekitar pukul 08.00 WIB saat pasien tiba di kamar operasi sebelum dilakukan induksi anestesi. Sampel

(26)

23

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

adalah darah vena perifer sebanyak 3 ml, yang kemudian dimasukkan dalam tabung tanpa antikoagulan dan dibiarkan beku secara alami sampai serum/plasma terpisah dari bekuan sesegera mungkin untuk menghindari hemolisis sel darah merah. Sampel segera dikirim ke Laboratorium GAKY FK Undip untuk dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol serum.

Setelah dipastikan jalur intravena lancar, pasien dipremedikasi ondansetron 4 mg 30 menit sebelum operasi dan fentanyl 1µg/kg 3 menit sebelum induksi. Selanjutnya dilakukan induksi anestesi dimana kelompok E menggunakan obat anestesi induksi etomidat 0,2 mg/kg iv, sedangkan kelompok C menggunakan pretreatment vitamin C 200 mg 30 menit sebelum obat anestesi induksi etomidat 0,2 mg/kg iv. Anestesi dipertahankan pada seluruh kasus dengan inhalasi campuran N2O : O2 (50%:50%).

Pelumpuh otot menggunakan vecuronium bromide 0,1 mg/kg. Pada semua kelompok sampel darah sesudah perlakuan diambil 2 jam dan 8 jam pasca induksi etomidat sebanyak 3ml dimasukkan dalam tabung tanpa antikoagulan dan segera dikirimkan ke Laboratorium GAKY.

Sampel diberi nomer well kemudian penambahan sampel dan konugat-HRP. Selanjutnya diinkubasikan selama 60 menit pada suhu 37oC, pada akhir inkubasi isi tiap well dibilas dengan 300 µl aqua destilata. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan substrat TMB, plate

diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit dan dihindarkan dari cahaya kemudian dilakukan penghentian reaksi dan selanjutnya dilakukan pengukuran penyerapan pada 450 nm.

Data yang dikumpulkan mencakup karakteristik umum sampel (umur, jenis kelamin, MAP, tekanan arteri rata-rata, status ASA) dan kadar kortisol serum sebelum dan sesudah perlakuan. Uji statistic Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T-Test digunakan untuk membandingkan kadar kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T-Test digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data karakteristik umum sampel yang telah diperiksa (data baseline) dilakukan uji komparatif untuk tiap variable dan didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna.

Data kadar kortisol yang didapatkan pada ketiga kelompok: preanestesi, 2 jam pasca induksi, dan 8 jam pasca induksi sebagian besar memperlihatkan distribusi yang merata, kecuali kelompok kontrol preanestesi dan kelompok perlakuan 8 jam post induksi. Kemudian dilakukan analisis data uji hipotesis dan didapatkan hasil analisis yang disajikan dalam tabel berikut.

(27)

24 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Tabel 2. Hasil uji hipotesis

Deskripsi uji hipotesis Nilai p

Etomidat Pre vs 2 jam

2 jam vs 8 jam

0,002* 0,000**

Etomidat & vit C Pre vs 2 jam

2 jam vs 8 jam

0,256* 0,691*

2 jam pasca induksi Etomidat vs vit C 0,300***

8 jam pasca induksi Etomidat vs vit C 0,036****

* Wilcoxon Signed Rank Test

**Paired T test

***Mann Whitney

****Independent Sample T Test

Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi dan 2 jam pasca induksi berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi (p=0,000). Hal ini berarti efek depresi kortisol etomidat tetap berlangsung walau kadarnya telah dikurangi sebanyak 0,1 mg/kgBB. Selain itu diperlihatkan pula bahwa efek depresi kortisol tersebut terjadi secara bertahap, sehingga kadar kortisol antara 2 jam dan

8 jam pasca induksi dapat berbeda secara bermakna.

Sedangkan pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi dan 2 jam pasca induksi tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi (p=0,691). Hal ini menunjukkan adanya efek negatif dari vitamin C terhadap efek depresi kortisol etomidat. Efek tersebut telah muncul pada 2 jam pasca induksi dan dipertahankan hingga 8 jam paska induksi. Hasil ini jauh lebih cepat

Tabel 1. Nilai distribusi tiap kelompok

Kelompok Nilai p Pre anestesi E C 244,15 (181,39-382,75) 258,49 (175,45-369,09) 0,10 0,47

2 jam pasca induksi E

C

185,52 + 35,88 202,14 + 45,3

0,174 0,121

8 jam pasca induksi E

C

349,81 + 121,28 251,39 + 122,91

0,487 0,032

(28)

25

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

dibandingkan hasil yang disajikan oleh studi Pirbudak et al.

Pada analisis komparatif antara kelompok kontrol dan perlakuan didapatkan perbedaan yang signifikan pada kadar kortisol 8 jam pasca induksi, namun tidak pada 2 jam pasca induksi. Hal ini menunjukkan bahwa efek depresi kortisol etomidat hanya bertahan kurang dari 8 jam pasca induksi. Temuan ini sekaligus menyangkal kekhawatiran adanya depresi kortisol yang memanjang pada pemberian etomidat. Temuan di atas juga dapat diartikan bahwa pemberian vitamin C mampu menstabilkan kadar kortisol darah pada pemberian etomidat.

SIMPULAN

Pemberian Vitamin C 200 mg intra vena 30 menit preoperasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian etomidate 0,2 mg/kgBB. Penurunan efek depresi kortisol tersebut tidak ditimbulkan lewat pengurangan dosis etomidat sebesar 0,3 mg/kgBB. Efek depresi kortisol oleh etomidat hanya bertahan kurang dari 8 jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Reves JG, Glass P. Intravenous anesthesia. In: Miller RD, ed Miller anesthesia 7th edition. California: Churchill livingstone; 2005

2. Licille B. Endotracheal intubation. Safe Anesthesia intubation 1996: 113-26

3. Morgan. GE, Mikhail MS, MUrry MJ. Nonvolatile agent anesthesia. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York: Large

Medical Books/McGrew-Hill Medical

Publishing Edition; 2002, 199-200

4. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and physicology in anesthetic practice 3rd edition. Philadelphia: Lippincot-Raven; 1999, 141-3 5. Arden Pharmacology of etomidate. Available

from http:/www.metrohealthanesthesia.com 6. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik,

edisi 8 bahasa Indonesia. Bagian

Farmakologi Kedokteran Universitas

Airlangga. Surabaya: Salemba Medika; 2002, 153-4

7. White PF. Nonopioid intravenous anesthesia. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical anesthesia 5th edition. Lippincott Williams & Willkins; 2006,344-5

8. Chung DC, Lam AM, editors. Essential of anesthesiology, 3rd edition. London: W.B Saunders Company; 2001, 177-8

9. Oglesby AJ. Should etomidate be the induction agent of choice for rapid sequence

intubation in emergency department.

Emergency medical journal 2004; 21: 655-9 10. William L, Jacson jr. Should we use

etomidate as an intubation agent for endotracheal intubation in patient with septic shock. CHEST journal 2005; 127: 1031-8 11. Boidin MP, Erdmann. The role of ascorbic

acid in etomidate toxicity. Europe journal anesthesiology 1986: 417-22

12. National Academy of Science. Vitamin C In: Dietary reference intakes for vitamin, vitamin e, selenium and carotenoids. Washington DC: National academy press 2000: 95-131 13. Murray RK , Granner DK, Mayes PA,

Rodwell VW. Biokimia Harper, edisi 25 bahasa Indonesia. Jakarta. EGC: 2003, 598-612

14. Pirbudak L, Balat O. Effects of ascorbic acid on surgical stress response in gynecologic surgery. Journal of clinical practice 2004:928-31

(29)

26 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

15. Nathan N, Vandroux JC. Role of vitamin C and adrenocortical effects of etomidate. Ann fr anesthesiology reanimation journal 1991:329-32

16. Schraag S, Pawlink M, Mohl U. The role of ascorbic acid and xylithol in etomidate-induced adenocortical suppression in human. European journal 1996: 346-51

Gambar

Tabel 3. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan setelah perlakuan  pada kelompok propofol dan etomidat (dengan induktor ADP 10 uM)
Gambar  3.  Perbedaan  Propofol  dan  Etomidat  dalam menyebabkan hipoagregasi
Grafik 2. Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III
Grafik 3. Tekanan Darah Diaslotik Sebelum dan sesudah induksi pada Kelompok I,II, dan III
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa meskipun siswa mempersepsikan dirinya memiliki kapasitas yang cukup untuk membaca, namun ada suatu potensi yang

Pada 1860-an, Ernest Solvay mengembangkan proses yang menggunakan karbon dioksida, ammonia, dan garam sebagai bahan baku untuk menghasilkan natrium karbonat.. Proses

Terkait  dengan  ketersediaan  dan  khususnya  distribusi  listrik,  sebanyak  17.543  desa  dilalui  saluran  udara  tegangan  ekstra  tinggi  (SUTET).  Dari 

txtID.Text = GenerateID txtDate.Text = FormatToday, "dd MMM yyyy" txtBookID.Clear txtDescription.Clear txtMemberID.Clear txtName.Clear isidtLoan id = 0 btnAdd.Enabled =

Media baru atau media sosial diciptakan untuk membuat proses komunikasi dan penyebaran informasi agar berjalan lebih efektif, terutama dalam proses komunikasi

Perancangan aplikasi mobile perhitungan zakat menggunakan UML meliputi rancangan sistem yang akan dibangun ( Use Case Diagram ), rancangan objek ( Class Diagram ),

Tidak hanya itu, dapat diperhatikan bahawa belia Melayu bandar turut menunaikan hak dan tanggungjawab yang perlu dijalankan apabila hidup berjiran sebagai penganut