• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh BI rate terhadap RoA perusahaan subsektor makanan dan minuman

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3. Pengaruh BI rate terhadap RoA perusahaan subsektor makanan dan minuman

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh t hitung BI rate sebesar -0.665 dengan signifikansi 0.502 (lebih besar daripada 0.05). Jika dibandingkan dengan t tabel pada derajat bebas (df) melalui rumus n-k- 1 = 70-3-1 = 66 di mana n adalah jumlah sampel dan k adalah jumlah variabel dependen, diperoleh nilai sebesar 1.996 yang berarti bahwa t tabel > t hitung atau –t hitung > -t tabel. Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa BI rate (X3) tidak berpengaruh signifikan terhadap RoA (Y) perusahaan subsektor makanan dan minuman.

4.5. Pembahasan

Uji parsial yang telah dilakukan menunjukan bahwa masing-masing variabel independen (inflasi, kurs dan BI rate) tidak memengaruhi RoA. Lebih jauh lagi, uji simultan juga menyatakan bahwa variabel independen secara bersama- sama tidak memengaruhi RoA perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman.

Nilai signifikansi inflasi pada uji t adalah sebesar 0.445 (lebih besar daripada 0.05) yang menyatakan bahwa inflasi tidak memengaruhi RoA. Hal itu berarti bahwa inflasi tidak menentukan kemampuan perusahaan subsektor makanan dan minuman untuk memeroleh laba. Padahal, salah satu dampak negatif inflasi adalah menurunkan daya beli konsumen. Namun, berdasarkan penelitian ini hal tersebut nampaknya tidak terjadi.

Rata-rata per tahun inflasi Indonesia dari tahun 2011 hingga 2015 mengalami kenaikan yang relatif tinggi. Pada tahun 2011 rata-rata inflasi kurang lebih sebesar 5%. Sedangkan, pada 2016, rata-rata inflasi kurang lebih sebesar 6%. Secara umum, Inflasi di Indonesia dipengaruhi oleh pengurangan subsidi energi oleh pemerintah yang menyebabkan naiknya harga BBM. Pada 2011 pemerintah membelanjakan kurang lebih sebesar 300 triliun dengan harga BBM Rp.4,500. Sementara itu, pada 2015, pemerintah hanya membelanjakan sebanyak 82 triliun untuk subsidi bahan bakar dengan harga BBM senilai Rp.7,300.

Naiknya tingkat inflasi dan harga BBM ternyata tidak berdampak pada kemampuan perusahaan subsektor makanan dan minuman untuk menghasilkan keuntungan. Secara umum, hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, Indonesia

memiliki keuntungan demografis. Mayoritas penduduk Indonesia adalah kelas menengah yaitu sebanyak 40%, 26% kelas atas dan 34% kelas bawah. Berdasarkan data AC Nielsen, sebanyak 48% total belanja kelas menengah adalah untuk produk- produk makanan dan minuman. Kuatnya daya beli kelas menengah tersebut juga didukung oleh perayaan hari-hari besar seperti idul fitri, natal dan tahun baru yang membuat konsumsi masyarakat terhadap produk makanan dan minuman bertambah.

Kedua, subsektor makanan dan minuman merupakan salah satu industri yang mengalami pertumbuhan yang stabil. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, rata-rata pertumbuhan industri makanan dan minuman periode 2011- 2015 adalah sebesar 8%. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya sebesar 5.6% pada periode yang sama. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Perdana (2014) yang berjudul “Analisa Pengaruh Inflasi, Suku Bunga dan Produk Domestrik Bruto (PDB) terhadap Return on Asset Perusahaan Consumer Goods di Indonesia”. Hasil

penelitian itu menyatakan bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap RoA. Penelitian yang dilakukan oleh Swandayani dan Kusumaningtias (2013) juga menyatakan bahwa inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap RoA.

Semenjak tahun 2011, rupiah terus mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika. Bahkan pada 2015 rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika menyentuh titik tertinggi pascareformasi yaitu sebesar Rp.13,459 (kurs jual). Depresiasi akan berdampak buruk terhadap industri, terutama industri yang mengandalkan bahan baku impor tak terkecuali industri makanan dan minuman. Subsektor makanan dan minunam adalah industri yang sangat bergantung pada

impor baik itu untuk bahan baku dan bahan penolong. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, secara umum, 70% bahan baku yang digunakan oleh industri ini berasal dari impor. Bahkan, bahan-bahan seperti gula rafinasi dan tepung terigu 100% masih harus diimpor.

Karena masih bergantung terhadap impor, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika akan menyebabkan naiknya biaya produksi. Kenaikan biaya produksi berpotensi menggerus margin laba perusahaan. Hal ini dapat kita lihat pada dua perusahaan makanan dan minuman yaitu PT. Tri Banyan Tirta dan PT. Prashida Aneka Niaga yang mengalami kerugian pada tahun 2014 dan 2015 ketika rupiah mencapai puncak depresiasi. Tentu kita tidak dapat mengatakan bahwa pelemahan rupiah menjadi faktor tunggal kerugian kedua perusahaan tersebut. Tidak hanya kedua perusahaan itu, PT. Indofood sukses makmur juga mengalami penurunan laba bersih yang bisa didistribusikan kepada investor sebesar Rp.1,39 triliun pada 2015 sebagai akibat dari depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika.

Secara akumulatif, berdasarkan penelitian ini, pelemahan rupiah nampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap kemampuan menghasilkan laba perusahaan pada subsektor makanan dan minuman. Nilai signifikansi sebesar 0.8 (lebih besar daripada 0.05) mengindikasikan bahwa inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap RoA.

Hal di atas kemungkinan terjadi karena perusahan-perusahaan pada subsektor ini melakukan beberapa kebijakan seperti penyesuaian margin laba, menaikan harga jual dan mengurangi jam kerja karyawan atau pemecatan.

Semenjak tahun 2013, perusahaan makanan dan minuman telah menaikan harga jual produknya sebesar 5-10%. Selain harga jual, untuk melakukan penyesuaian terhadap depresiasi rupiah, pemotongan jam kerja, pengurangan lembur dan pemutusan hubungan kerja dalam skala kecil juga dilakukan oleh perusahaan. Kebijakan tersebut berujuan untuk menjaga margin laba perusahaan di kisaran 30% hingga 40%. Hal ini sejalan dengan penelitian Mariana (2014) dan Devi Masriani (2015) yang menyatakan bahwa kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap RoA. Tetapi, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Tulende, Tommy, dan Rate (2014) yang menyatakan bahwa kurs rupiah berpengaruh signifikan terhadap RoA perusahaan Food and Berevage di Indonesia.

Naiknya tingkat BI rate sejak 2011 hingga 2015 dari 6.58% menjadi 7.52% tidak terlalu berpengaruh terhadap RoA perusahaan subsektor makanan dan minuman. Dari hasil uji parsial yang dilakukan, nilai signifikansi BI rate adalah sebesar 0.5 (lebih besar daripada 0.05) yang berarti BI rate tidak memengaruhi RoA. Meskipun pergerakan BI rate biasanya diikuti oleh tingkat bunga perbankan, namun hal tersebut tidak memengaruhi kemampuan perusahaan makanan dan minuman dalam mendapatkan pendanaan untuk proses operasinya. Dengan pertumbuhan yang stabil dan pasar yang sangat prospektif, subsektor ini tidak begitu kesulitan menarik minat investor. Berdasarkan data dari Kemeterian Perindustrian, nilai investasi industri ini memberikan kontribusi sebesar 33.3% dari total penanaman industri dalam negeri dan sebesar 26% dari total penanaman modal asing.

Jepang selalu masuk dalam daftar negara yang paling banyak berinvestasi di Indonesia. Untuk industri makanan dan minuman, selama kurun waktu dari 2010

hingga 2014 nilai investasi dari negara tersebut sebesar 412 juta dolar Amerika. Pada tahun 2014 saja sudah sembilan perusahaan Jepang yang merealisasikan investasinya pada industri ini. Oleh karena itu, industri makanan dan minuman tidak terlalu dipengaruhi oleh pergerakan BI rate. Hal ini juga linear dengan penelitian yang dilakukan oleh Alim (2014) yang menjelaskan bahwa BI rate tidak berpengaruh terhadap RoA. Tetapi, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Puja (2015) dan Maulida (2016) yang menyatakan bahwa BI rate berpengaruh signifikan terhadap RoA.

Tingkat inflasi, kurs dan BI rate secara simultan juga tidak berpengaruh terhadap RoA perusahaan makanan dan minuman. Signifikansi sebensar 0.7 (lebih besar daripada 0.05) menunjukan bahwa variabel independen secara simultan tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. Pada kenyataannya, memang terdapat beberapa perusahaan yang mengalami penurunan laba bahkan kerugian (RoA negatif). Namun, ada kemungkinan kontribusi variabel lain yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Variabel lain itu seperti tarif energi, tarif dasar listrik, upah minimun regional dan lain-lain. Tidak berpengaruhnya variabel independen terhadap variabel dependen pada penelitian ini tidak mutlak disebabkan oleh faktor- faktor yang sudah dijelaskan di atas. Untuk itu. diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui variabel lain yang menjadi penyebabnya.

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Setelah melakukan analisis data dan pembahasan pada bab IV, dapat ditarik kesimpulan bahwa data penelitian telah lolos uji asumsi klasik yang terdiri dari uji normalitas, multikolinearitas, autokorelasi dan heterokedastisitas. Oleh karena itu, data sudah memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam model regresi.

Pengujian hipotesis menggunakan metode analisis linear berganda dengan satu variabel dependen yaitu RoA dan tiga variabel dependen yaitu inflasi, kurs dan BI rate. Berikut hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis:

1. Inflasi memiliki hubungan positif dan tidak berpengaruh terhadap RoA perusahaan subsektor makanan dan minuman.

2. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika berhubungan negatif dan tidak berpengaruh terhadap RoA perusahaan subsektor makanan dan minuman. 3. BI rate berhubungan negatif dan tidak berpengaruh terhadap RoA

perusahaan subsektor makanan dan minuman

4. Inflasi, kurs dan BI rate secara simultan tidak berpengaruh terhadap RoA perusahaan subsektor makanan dan minuman.

5.2. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan yang dapat dipertimbangkan bagi peneliti selanjutnya atau pengguna penelitian. Berikut kerterbatasan-keterbatasan penelitian ini:

1. Masih sedikitnya penelitian terdahulu yang memiliki obejk dan variabel yang sama sehingga penelitian ini tidak memiliki referensi yang cukup memadai

2. Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder sehingga informasi yang diperoleh sangat terbatas.

3. Periode penelitian hanya selama lima tahun yang mungkin kurang merepresentasikan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

5.3. Saran

Saran yang peneliti berikan adalah sebagai berikut:

1. Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya sebaiknya mengambil objek sektor industri barang dan konsumsi karena subsektor makanan dan minuman merupakan bagian dari sektor tersebut. Sektor makanan dan minuman hanya terdiri dari 14 perusahaan go public yang mungkin menyebabkan terjadi sedikit masalah heterokedastisitas. Peneliti selanjutnya juga bisa memilih sektor lain dan menganalisa bagaimana pengaruh variabel inflasi, kurs dan BI rate terhadap RoA sektor tersebut.

Peneliti selanjutnya bisa meneliti lebih lanjut kenapa variabel inflasi, kurs dan BI rate tidak berpengaruh terhadap RoA. Padahal, faktanya, terdapat beberapa perusahaan yang mengalami penurunan laba bahkan kerugian. Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk menambah variabel- variabel independen lain seperti upah minimun regional, tarif dasar listrik, bahan bakar minyak dan variabel dependen lain yang menjadi bagian dari pengukuran profitabilitas.

Karena periode waktu penelitian ini hanya lima tahun, peneliti selanjutnya sebaiknya menambah periode pengamatan sehingga data yang diperoleh cukup representatif dan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dapat terlihat.

Dokumen terkait