BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberlangsungan sebuah perusahaan ditentukan oleh berbagai macam
faktor, salah satunya adalah lingkungan eksternal. Kondisi perekonomian secara
makro merupakan unsur dari lingkungan eksternal tersebut. Kajian ekonomi makro
meliputi nilai tukar matauang, inflasi, dan suku bunga acuan. Peristiwa
perekonomian secara makro tersebut sedemikian rupa akan mempengaruhi proses
dan keberlanjutan sebuah perusahaan.
Dalam analisis sekuritas, salah satu tahapan yang paling penting adalah
analisis fundamental. Analisis ini menitikberatkan pada analisis kondisi ekonomi
dan pasar. Analisis ini juga merupakan langkah pertama dalam pendekatan top-down karena pentingnya dampak kondisi ekonomi/pasar terhadap return saham (Jones, 2010). Analisis ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara return
saham dengan situasi ekonomi makro suatu negara. Sedangkan pada saat yang
bersamaan, faktor lain yang juga mempengaruhi return saham adalah kinerja keuangan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, terdapat hubungan antara kondisi
perekonomian dengan kinerja keuagan perusahaan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Halim (2013) membuktikan bahwa
variabel-variabel makroekonomi seperti inflasi dan suku bunga secara simultan
mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan di Indonesia. Penelitian yang
memiliki dampak signifikan terhadap kinerja perusahaan manufaktur di Indonesia.
Penelitian-penelitian ini mempertegas bahwa terdapat hubungan antara kondisi
perekonomian secara makro dengan kinerja keuangan perusahaan di Indonesia.
Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas memungkinkan suatu negara
atau perusahaan untuk saling memperdagangkan barang dan jasa. Barang atau jasa
yang diimpor dari negara lain dipergunakan oleh perusahaan sebagai bahan baku,
bahan penolong, dan kebutuhan lainnya. Permintaan dan penawaran barang dan
jasa antarnegara akan sangat menentukan nilai tukar matauang. Jika permintaan
terhadap matauang suatu negara naik, maka nilai tukar mata uang tersebut juga akan
mengalami kenaikan. Sebaliknya, jika penawaran matauang suatu negara tinggi,
maka nilai tukarnya juga akan turun (cateris paribus). Ketika nilai tukar matauang suatu negara lebih rendah relatif dibandingkan dengan negara mitra dagangnya,
maka barang dan jasa yang diimpor akan menjadi lebih mahal. Kosekuensinya,
biaya produksi akan mengalami kenaikan.
Di Indonesia, pada 25 September 2015, nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika sempat menyentuh titik terendah pasca-1998. Berdasarkan data dari Bank
Indonesia, pada saat itu, nilai tukar rupiah di pasar spot berada pada kisaran
Rp.14.700-14.800 per dolar Amerika. Padahal, pada tahun 2014, nilai tukar rupiah
hanya berada pada kisaran Rp.11.000-12.000 per dolar Amerika. Namun
sebenarnya, jika kita melihat data sejak 2010-2015 tren penurunan nilai tukar rupiah
sudah terjadi. Dalam periode tersebut, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Fluktuasi nilai tukar rupiah akan sangat dirasakan oleh industri yang
bergantung pada bahan baku impor. Data dari Kementerian Perindustrian pada
tahun 2014 menunjukan bahwa 64% industri nasional bergantung pada bahan baku
impor. Jumlah tersebut berasal dari sembilan sektor industri seperti permesinan dan
logam, otomotif, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil,
elektronik, kimia dasar, dan pulp dan kertas. Kesembilan sektor tersebut tergolong
industri strategis karena menyumbang 80% produksi nasional dan meyerap 65%
tenaga kerja.
Untuk subsektor makanan dan minuman, sebanyak 70% kebutuhan bahan
baku masih diimpor. Bahan baku tersebut seperti seperti gula, gandum, biji kedelai,
perisa jus dan lain-lain. Sedangkan untuk bahan penolong seperti pemanis,
pewarna, pengawet dan penyedap makanan, pemutih, antioksidan, antikempal dan
lain-lain. Bahan baku mayoritas berasal dari China, Eropa dan Amerika.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika akan sangat
berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan makanan dan minuman karena
bergantung pada bahan baku impor. Salah satu contoh pengaruh depresiasi nilai
tukar rupiah terhadap kinerja keuangan terjadi pada PT. Indofood Sukses Makmur
Tbk. Pada 2013, perusahaan ini mengalami penurunan kinerja laba bersih yang bisa
diatribusikan kepada pemilik enitas sebesar 23.3% atau kurang lebih Rp.1 triliun
sebagai akibat dari rugi selisih kurs. Laba usaha perusahaan ini juga turun sebesar
2,3% dari tahun sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh naiknya beban operasional
Jika tidak dilakukan efisiensi, peningkatan biaya produksi sebagai akibat
dari melemahnya nilai kurs juga akan diikuti oleh peningkatan harga jual atau
mengecilnya margin laba yang berkonsekuensi pada penurunan laba perusahaan.
Tidak hanya itu, kinerja perusahaan di pasar modal juga akan melemah karena
kinerja keuangan yang turun.
Tingkat suku bunga acuan (BI rate) juga akan sangat berdampak pada
kinerja perusahaan terutama terhadap kemampuannya untuk memperoleh
pembiayaan. Perusahaan memerlukan pembiayaan untuk mendanai operasi dan
investasinya. Aktivitas investasi sangat diperlukan untuk menjamin perusahaan
dapat menjalankan fungsi dan mencapai tujuannya. Apabila tingkat suku bunga
meningkat, maka kemampuan perusahaan untuk mendanai investasinya akan
berkurang karena kenaikan BI rate juga akan diikuti oleh kenaikan suku bunga
kredit pada bank umum. Begitu juga sebaliknya, ketika tingkat suku bunga acuan
rendah, maka kemampuan perusahaan untuk mendanai investasinya akan
meningkat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menetapkan suku bunga
tertinggi di Asia Tenggara. Semenjak 2010 hingga 2015 BI rate bergerak pada
angka 5 persen sampai 7.5 persen. Tingkat suku bunga Singapura per 1 Januari 2016
hanya sebesar 0.65% dan Malaysia sebesar 3,25%. Sedangkan Thailand dan
Vietnam menetapkan suku bunganya sebesar 1,50% dan 6,5%. Secara umum, dapat
kita katakan bahwa negara-negara yang memiliki suku bunga acuan yang rendah
seperti Singapura dan Malaysia, memiliki kualitas perekonomian yang lebih baik
daripada Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa suku bunga akan sangat
perusahaan. Sebab, suku bunga yang rendah akan memudahkan investor dalam
mendapatkan kredit untuk mengembangkan bisnisnya.
Berdasarkan Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh
Bank Indonesia, dari total 2479 usaha yang menjadi sampel, sebanyak 44%
mengaku mengalami kesulitan memeroleh kredit karena tingkat suku bunga yang
terlalu tinggi. Kesulitan yang sama juga dialami oleh industri makanan dan
minuman. Kementerian Perindustrian mengatakan bahwa penurunan BI rate akan
mampu mendongkrak investasi pada industri makanan dan minuman.
Suku bunga acuan yang tinggi akan menyebabkan masyarakat lebih tertarik
untuk menyimpan uangnya daripada menanamkannya di usaha tertentu. Biasanya,
bank umum menetapkan suku bunga deposito tidak terlalu berbeda dengan BI rate
dan menetapkan suku bunga kredit lebih tinggi daripada BI rate. Selisih bunga
deposito dan kredit akan menjadi pendapatan bagi bank. Ketika perekonomian
sedang lesu, penurunan BI rate diperlukan agar industri semakin menggeliat. Oleh
karena itu, tingkat suku bunga akan sangat mempengaruhi industri atau perusahaan
dalam rangka meningkatkan kinerja keuangannya.
Tingkat inflasi juga akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Tingginya
tingkat inflasi dapat membuat pendapatan rill masyarakat (konsumen) menurun dan
akan mengurangi daya beli. Sebaliknya, apabila tingkat inflasi rendah, maka daya
beli konsumen akan meningkat. Daya beli konsumen terhadap barang dan jasa akan
sangat mempengaruhi profitabilitas sebuah perusahaan. Misalnya, apabila daya beli
perusahaan akan menjual lebih banyak produk makanan dan minuman yang secara
otomatis akan meningkatkan laba.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, sejak Januari 2010 hingga Desember
2015 tingkat inflasi di Indonesia berfluktuasi dari angka 3% sampai 8% dimana
nilai tertinggi terjadi pada Agustus 2013 sebesar 8,79% dan terendah pada
Desember 2015 sebesar 3,35%. Namun, sepanjang tahun 2013-2015 rata-rata
inflasi relatif tinggi berkisar pada angka 6-7%. Fluktuasi inflasi ini tentu saja akan
menaikan atau menurunkan harga barang-barang yang akan mempengaruhi daya
beli konsumen dan pada akhirnya mempengaruhi profitabilitas perusahaan.
Industri makanan dan minuman sendiri memiliki kontribusi yang besar
terhadap tingkat inflasi nasional. Menurut Adhi S. Lukman, ketua Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minunam Indonesia (GAPMMI), mengatakan bahwa
komponen pangan kurang lebih memberikan kontribusi 40% terhadap inflasi. Dari
jumlah itu, 25% persennya berasal dari pangan mentah dan segar seperti beras dan
15% berasal dari produk olahan seperti mie instan.
Berdasarkan kasus dan permasalahan yang diilustrasikan di atas, nilai tukar
rupiah terhadap dolar, suku bunga acuan (BI rate), dan inflasi terlihat sangat
mempengaruhi kinerja industri makanan dan minuman. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk membuktikan apakah inflasi, kurs rupiah terhadap dolar Amerika,
dan BI rate benar-benar memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan terutama
profitabilitas industri makanan dan minuman. Untuk itu, penulis memberi judul
(RoA) Perusahaan Publik pada Subsektor Makanan dan Minunam di Indonesia (2011-2015)”.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan yang terlah dijelaskan, maka dapat
ditentukan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap profitabilitas perusahaan publik pada
subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015
2. Bagaimana pengaruh kurs rupiah atas dolar Amerika terhadap profitabilitas
perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia
selama 2011-2015 .
3. Bagaimana pengaruh BI rate terhadap profitabilitas perusahaan publik pada
subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015 .
4. Bagaimana pengaruh inflasi, kurs dan BI rate terhadap profitabilitas
perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia
selama 2011-2015 .
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk membuktikan bagaimana pengaruh inflasi terhadap profitabilitas
perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia
2. Untuk membuktikan bagaimana pengaruh kurs rupiah atas dolar Amerika
terhadap profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan
minuman di Indonesia selama 2011-2015 .
3. Untuk membuktikan bagaimana pengaruh BI rate terhadap profitabilitas
perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia
selama 2011-2015 .
4. Untuk membuktikan bagaimana pengaruh inflasi, kurs dan BI rate terhadap
profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di
Indonesia selama 2011-2015 .
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
1. Bagi dunia akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan referensi bagi bidang akuntansi manajemen.
2. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi
calon peneliti untuk menentukan tema dan objek penelitiannya.
3. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini tentunya akan menambah pemahaman
mengenai tata cara penulisan skripsi, ilmu akuntansi manajemen, dan
1.5Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang teori-teori profitabilitas, exposure
perusahaan terhadap perubahan variabel makroekonomi, Return on Asset (RoA) Inflasi, kurs, dan BI Rate, analisis laporan keuangan, analisis rasio keuangan, dan kinerja perusahaan. Bagian ini juga menjelaskan tentang penelitian terdahulu yang menjadi rujukan penelitian serta kerangka pemikiran dan hipotesis yang diambil
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang desain penelitian, variabel penelitian dan pengukuran, metode pengumpulan data, dan metode analisis
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini menampilkan hasil uji statistik hubungan variabel
independen terhadap variabel dependen baik secara parsial maupun
simultan yang disertakan dengan penjelasan dan pembahasannya.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan, keterbatasan dan saran yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Analisis Rasio Keuangan
Analisis rasio keuangan sudah lama digunakan untuk menilai kinerja
perusahaan. Teori analisis rasio keuangan pertama kami dipopulerkan oleh
Benjamin Graham yang dianggap sebagai bapak analisis fundamental. Rasio
keuangan adalah sebuah alat untuk membantu dalam penginterpretasian laporan
keuangan dan untuk membandingkan kinerja perusahaan dari tahun sebelumnya,
perusahaan lain, dan sektor industri.
Rasio keuangan adalah penulisan kembali data akuntansi ke dalam bentuk
perbandingan dalam rangka mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan keuangan
perusahaan (Keown, 2005). Berbagai jenis rasio sering digunakan untuk menilai
kinerja perusahaan yang meliputi berbagai aspek dari berbagai sudut pandang.
Pengertian Analisis Rasio Keuangan
Analisis rasio keuangan akan memberikan informasi mengenai
keadaan keuangan sebuah perusahaan. Analisis rasio keuangan paling
sering digunakan daripada analisis laporan keuangan lainnya. Analisis rasio
keuangan melibatkan hampir seluruh elemen penting di dalam laporan
keuangan. Rasio keuangan membantu investor dan pemangku kepentingan
untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan keuangan perusahaan.
5 tahun terakhir), untuk memprediksi arah pergerakannya, dan untuk
membandingkan rasio perusahaan dengan perusahaan lainnya (Keown,
2005)
Analisis laporan keuangan terdiri dari perbandingan internal dan
eksternal. Perbandingan internal dilakukan dengan cara membandingkan
rasio keuangan perusahaan yang sama dari tahun ke tahun. Perbandingan ini
bermanfaat untuk melihat tren yang terjadi dan untuk memprediksi apa yang
akan terjadi di masa depan. Dari perbandingan tersebut, perusahaan dapat
menganalisa titik kelemahan dan kekuatan keuangan perusahaan sehingga
dapat ditentukan kebijakan apa yang akan diambil baik itu oleh investor dan
pemangku kepentingan.
Perbandingan eksternal meliputi perbandingan rasio perusahaan
dengan perusahaan lainnya atau pada industri yang sama pada waktu yang
sama pula. Perbandingan ini menampilkan informasi yang mendalam
mengenai kondisi keuangan dibandingkan dengan perusahaan lain. Rasio
ini juga membantu mengidentifikasi penyimpangan rasio perusahaan dari
rata-rata industri
Keunggulan rasio keuangan:
1. Rasio keuangan berupa angka atau ikhtisar statistik yang
lebih mudah dibaca dan ditafsirkan
2. Berguna untuk mengisi model pengambilan keputusan
3. Rasio keuangan dapat menstandarisasi ukuran
perusahaan
4. Rasio keuangan memudahkan untuk membandingkan
perkembangan perusahaan sendiri dan perusahaan lain
secara periodik
5. Rasio keuangan memberikan informasi tren keuangan
perusahaan sehingga dapat diprediksi apa yang akan
terjadi di masa depan.
Kelemahan rasio keuangan:
1. Kesulitan dalam menggunakan rasio keuangan yang
relevan dengan tujuan pemakainya
2. Adanya kekurangan informasi keuangan dari laporan
keuangan yang menyebabkan kekurangan analisis rasio
keuangan seperti:
a. Beberapa perhitungan yang disajikan di dalam
laporan keuangan bersifat taksiran atau perkiraan.
Contohnya metode penyusutan aktiva tetap, piutang
tak tertagih.
b. Nilai yang tersaji di dalam laporan keuangan
merupakan nilai wajar bukan nilai pasar sehingga
tidak menggambarkan nilai tersebut secara rill.
c. Perbedaan metode atau standar akuntansi di berbagai
3. Rasio standar industri hanya berdasarkan perkiraan saja,
tidak berdasarkan informasi yang benar-benar diperoleh
dari perusahaan yang bersangkutan.
4. Kesulitaan dalam mengidentifikasi kategori industri jika
perusahaan beroperasi dalam beberapa bidang usaha.
5. Adanya perbedaan praktik akuntansi di berbagai
perusahaan yang dapat menghasilkan perbedaan dalam
perhitungan rasio.
6. Perbedaan tahun fiskal yang diterapkan di berbagai
perusahaan berdeba-beda yang berkaitan dengan
pelaporan posisi keuangan. Contohnya sebuah
perusahaan mungkin memiliki akhir tahun fiskal pada 31
Maret dan perusahaan lain memiliki tahun fiskal 31
Desember.
7. Tidak adanya standar yang berlaku umum untuk menilai
apakah apakah sebuah hasil perhitungan rasio di satu
industri dapat dikatakan baik atau tidak.
Rasio keuangan akan sangat bermanfaat apabila memenuhi
kondisi berikut:
1. Dihitung menggunakan informasi keuangan yang andal
dan akurat
2. Dihitung secara konsisten dari waktu ke waktu
4. Diperbandingkan dengan perusahaan lain di industri
yang sama
5. Dilihat sebagai gambaran kondisi sekarang dan indikasi
tren di masa depan
6. Diinterpretasikan secara hati-hati dalam konteks yang
tepat karena banyak indikator dan dan faktor penting
dalam menilai kinerja
Terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan metode analisis rasio
keuangan. Hal penting yang perlu kita cermati adalah rasio keuangan bukan
merupakan jawaban mutlak dan bukan merupakan metode satu-satunya.
Namun, rasio keuangan akan sangat bermanfaat apabila ditujukan untuk
analisis yang lebih spesifik untuk memperlihatkan perkembangan kinerja
keuangan dan pola perkembangan sebuah perusahaan. Pada akhirnya,
informasi-informasi tersebut bermanfat untuk memprediksi kinerja di masa
depan.
Meskipun peristiwa di masa depan tidak dapat kita prediksi secara
akurat, setidaknya peristiwa di masa depan sedikit banyak dipengaruhi oleh
keputusan-keputusan saat ini dan masa lalu. Oleh karena itu, rasio keuangan
2.1.2 Definisi Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan dan mengukur tingkat efisiensi opersional dan efisiensi penggunaan
harta yang dimiliki perusahaan. Analisis profitabilitas merupakan salah satu bagian
dari analisis rasio keuangan yang paling sering digunakan dan dianggap yang
terbaik untuk menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba.
Sedangkan definisi lain yang diungkapkan oleh Halim (2009) profitabilitas adalah
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan pada tingkat penjualan,
aset, dan modal saham tertentu.
Efektivitas manajemen perusahaan dalam menghasilkan laba dapat diukur
menggunakan rasio profitabilitas (Sawir, 2005). Rasio profitabilitas yang lebih
tinggi relatif terhadap rasio tahun lalu atau rata-rata kompetitor mengindikasikan
kinerja yang lebih baik. Karena hal tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba lebih besar daripada “biaya” untuk menghasilkan laba
tersebut (investasi). Untuk mendapatkan informasi yang relevan, perbandingan
harus dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan kondisi internal dan
eksternal perusahaan.
Salah satu bagian dari analisis profitabilitas adalah analisis Return on Asset
(ROA). ROA menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
dari aktiva yang digunakan. ROA sering digunakan sebagai alat untuk mengukur
tingkat pengembalian total aset setelah beban bunga dan pajak (Brigham, 2001).
laba, maka ROA sangat berguna bagi manajemen dan investor seberapa baik
perusahaan mengkonversi aset yang sudah diinvestasikan menjadi laba.
ROA diperoleh dengan cara membandingkan laba bersih setelah pajak
dengan total aset (James Van Horne dan John M. Wachowicz, 2009). Formulasi
ROA dapat digambarkan sebagai berikut:
Return on Asset
=
�� � � � � � � �Semakin tinggi nilai nilai ROA maka akan semakin baik. Nilai ROA yang
tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba yang tinggi
relatif terhadap aset. Investor akan lebih memilih perusahaan yang memiliki nilai
ROA tinggi. Karena, hal tersebut berarti bahwa perusahaan mampu menghasilkan
level laba korporasi yang tinggi daripada perusahaan dengan ROA yang lebih
rendah.
Pada perusahaan dagang, ROA sangat berkaitan dengan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba. Karena, core business perusahaan dagang adalah menjual barang dagangnya. Barang dagang pada laporan keuangan
diwakilkan oleh persediaan barang dagang. Nilai persediaan barang dagang pada
perusahaan dagang atau perusahaan lain yang memproduksi barang biasanya relatif
besar di dalam laporan posisi keuangan. Jadi, nilai ROA sangat penting untuk
menggambarkan efektivitas perusahaan dalam menghasilkan laba melalui
persediaan (aset)
Seperti analisis keuangan lainnya, analisis ROA dapat dilakukan baik secara
mengamati tren pergerakan ROA dari tahun ke tahun. Hal ini memungkinkan pihak
terkait untuk melihat perkembangan kinerja perusahaan. Secara eksternal, analisis
ROA dilakukan dengan cara mebandingkan perusahaan dengan industrinya atau
perusahaan sejenis dari tahun ke tahun. Hal ini sangat berguna bagi investor untuk
melihat prospek perusahaan di antara perusahaan lainnya.
Meskipun berada di dalam industri yang sama, lingkungan internal atau
eksternal perusahaan bisa saja berbeda. Perbedaaan kebijakan akuntansi pada
akun-akun tertentu yang dapat mempengaruhi jumlah laba dan aset yang dilaporkan. Oleh
karena itu, analisis lebih mendalam dibutuhkan ketika nilai ROA sudah
dikalkulasikan agar pengambilan keputusan bisa lebih tepat
Tingkat pengembalian pada perusahaan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Mengetahui faktor tersebut sangat bermanfaat terutama bagi manajemen untuk
menerapkan ukuran yang layak bagi pertumbuhan dan untuk melakukan perkiraan
jangka pendek maupun jangka panjang. Mengetahui keterkaitan antarvariabel yang
mempengaruhi pengembalian juga akan sangat bermanfaat bagi investor, kreditor
dan pemangku kepentingan lainnya yang memiliki kepentingan tersendiri terhadap
perusahaan (Sinamica, 2012)
ROA dianggap sebagai salah satu informasi yang dianggap penting oleh
investor. Analisis ROA juga dianggap sebagai salah satu metode analisis terbaik terhadap laporan keuangan. Di Indonesia, pada bagian ”financial highlight” setiap
laporan tahunan perusahaan publik, hampir selalu kita temukan angka ROA. Hal
itu mengindikasikan bahwa, informasi ROA menjadi salah satu informasi yang
Beberapa literatur menyatakan bahwa ROA sama dengan Return on Investment (ROI). ROI melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu memberikan pengembalian sesuai dengan yang diperkirakan. Investasi
tersebut sebenarnya sama dengan aset perusahaan yang ditempatkan. (Irham Fahmi,
2014). Menurut Syamsudin (2007), terdapat beberapa kelebihan analisis ROA atau
ROI seperti:
1. Disamping berguna sebagai alat kontrol, ROI juga berguna untuk keperluan
perencanaan. ROI dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan
apabila perusahaan akan melakukan ekspansi. Perusahaan dapat
mengestimasi ROI yang dibutuhkan melalui investasi aset tetap.
2. ROI dapat digunakan sebagai ukuran profitabilitas masing-masing produk
yang dihasilkan. Melalui penerapan sistem biaya produksi yang baik, maka
modal dan biaya dapat dialokasikan ke dalam berbagai produk yang
dihasilkan sehingga dapat dihitung profitabilitas masing-masing produk.
3. Manfaat ROI yang paling prinsip berkaitan dengan efisiensi penggunaan
modal, produksi, dan penjualan. Hal ini dapat dicapai ketika perusahaan
sudah mengaplikasikan praktik akuntansi secara benar (mematuhi standar
akuntansi). Apabila perusahaan pada periode tertentu telah telah mencapai
perputaran aset operasi (operating asset turnover) sesuai dengan target yang telah ditetapkan tetapi ROI yang dicapai masih belum sesuai dengan target,
hal tersebut merupakan indikasi bahwa manajemen harus memperhatikan
bagian produksi dan penjualan.
1. Sulit membandingkan rate of return suatu perusahaan dengan perusahaan lain karena perbedaan praktik akuntansi.
2. Analisis ini tidak dapat digunakan untuk membandingkan antarperusahaan
dengan memeroleh hasil yang memuaskan.
Sebenarnya, kelemahan yang dikemukakan di atas sama dengan kelemahan
analisis rasio keuangan pada umumnya. Menurut Keown (2005), terdapat beberapa
kelemahan analisis rasio keuangan seperti:
1. Sulit mengidentifikasi kategori industri jika perusahaan bergerak dalam
beberapa bidang usaha.
2. Angka standar rasio keuangan industri biasanya hanya berdasarkan
perkiraan saja dan hanya memberikan petunjuk umum.
3. Perbedaan praktik akuntansi di beberbagi perusahaan dapat menghasilkan
perbedaan nilai akun yang digunakan dalam perhitungan rasio
4. Industri kebanyakan tidak menyediakan suatu target atau nilai rasio yang
diinginkan
5. Perbedaan proses bisnis perusahaan yang mempengaruhi nilai akun dalam
laporan keuangan.
Namun, menurut Fahmi (2014) kelemahan-kelemahan di atas dapat diatasi dengan
cara:
1. Melakukan analisis kualitatif untuk mendukung data kuantitatif rasio
keuangan seperti kualitas SDM di berbagai divisi perusahaan.
2. Melakukan rekonsiliasi perbedaan antarpos dan menganalisis kenapa
3. Melakukan analisis yang lebih mendalam terkait nilai rasio keuangan
sehingga tidak terdorong untuk mengambil keputusan secara spontan.
2.1.3 Inflasi
Inflasi adalah meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali
bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan barang lainnya (Bank
Indonesia, 2016). Indeks harga konsumen (IHK) merupakan indikator yang sering
digunakan untuk mengukur tingkat inflasi. Perubahan IHK menunjukan pergerakan
harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi. Pertama, inflasi
yang disebabkan oleh tarikan permintaan (demand pull inflation). Kedua, inflasi yang disebabkan oleh desakan biaya (cost push inflaation). Inflasi tarikan permintaan terjadi ketika penawaran tidak mampu mengimbangi banyaknya
permintaan. Kelebihan permintaan disaat penawaran tetap akan mengakibatkan
kelangkaan barang atau jasa yang akan manikan harga atas barang/jasa itu sendiri.
Inflasi ini biasanya terjadi ketika perekonomian tumbuh secara pesat dan
penggunaan tenaga kerja penuh karena permintaan akan bertambah dalam jumlah
besar.
Inflasi desakan biaya terjadi karena meningkatnya biaya produksi.
Komponen utama biaya produksi adalah bahan baku dan tenaga kerja. Apabila
terjadi kenaikan upah tenaga kerja atau biaya bahan baku maka akan mendorong
naiknya biaya produksi. Ketika biaya produksi naik, secara otomatis akan
Terdapat beberapa teori inflasi seperti teori kuantitas, teori Keynes, dan
teori struktural. Teori kuantitas menjelaskan bahwa inflasi terjadi karena jumlah
uang yang beredar lebih banyak daripada produk atau jasa yang ditawarkan. Teori
ini juga menambahkan ekspektasi masyarakat terhadap perubahan harga di masa
depan. Biasanya, teori ini terjadi pada negara-negara berkembang.
Teori Keynes menjelaskan bahwa inflasi terjadi karena manusia ingin hidup
di luar batas kemampuan ekonominya yang menyebabkan permintaan terus
meningkat. Peningkatan jumlah permintaan ini tidak dapat diimbangi oleh
peningkatan penawaran sehingga terjadi inflationary gap. Perbedaan ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak mampu mengimbangi
perubahan permintaan yang cepat. Oleh karena itu, teori ini lebih tepat
menerangkan inflasi dalam jangka pendek.
Inflasi memiliki efek korosif terhadap kinerja perusahaan (Boston
Consulting Group, 2011). Inflasi dapat menggerus profit perusahaan dan membuat
manajer berpikir bahwa mereka sudah melakukan kinerja lebih baik daripada
kinerja yang sesungguhnya. Inflasi juga menurunkan minat investasi serta
mendepresiasi kinerja perusahaan pada pasar saham. Apakah profit perusahaan
benar-benar dipengaruhi oleh inflasi tergantung pada dua faktor:
1. Kekuatan perusahaan dalam membatasi kenaikan harga oleh
pemasoknya. Pemasok akan sangat menentukan kelancaran proses
produksi terutama harga pokok produksi. Perusahaan harus meninjau
kontrak-kontraknya dengan pemasok untuk memperkirakaan apakah
lanjut lagi, posisi tawar perusahaan dengan pemasok juga akan
menentukan apakah inflasi akan “memaksa” pemasok untuk menaikan
harga atau tidak. Jenis pasar di mana perusahaan beroperasi juga
penting. Apakah perusahaan beroperasi di industri yang memiliki
banyak pemasok atau tidak. Pemasok yang memiliki banyak pesaing
memiliki kekuatan untuk menentukan harga lebih kecil daripada
pemasok yang memiliki sedikit pesaing.
2. Kekuatan perusahaan untuk mengenakan kenaikan harga pada
konsumen. Elastisitas konsumen terhadap harga akan sangat
menentukan profit perusahaan. Apakah konsumen perusahaan sesitif
terhadap perubahan harga atau tidak. Konsumen sektor makanan dan
minuman sangat sensitif terhadap harga. Jika perusahaan menaikan
harga ketika inflasi terjadi, maka konsumen akan beralih ke produk
substitusi yang akan secara langsung mengurangi profit perusahaan.
Inflasi juga memiliki dampak yang lebih luas lagi terutama terhadap nilai
tukar matauang. Ketika inflasi terjadi di suatu negara, permintaan matauang negara
lain akan meningkat yang pada akhirnya akan mendepresiasi matauang negara
tersebut terhadap matauang asing. Depresiasi nilai tukar akan sangat mempengaruhi
perusahaan terutama perusahaan yang mengimpor bahan baku dan perusahaan yang
memiliki utang dalam matauang asing.
2.1.4 Nilai Tukar
Nilai tukar atau kurs adalah perbandingan nilai nominal matauang suatu
negara dengan negara lainnya (Sukirno, 2004). Dengan kata lain, nilai tukar adalah
sejumlah nilai nominal dari matauang yang dikorbankan untuk mendapatkan
matauang negara lain dalam jumlah tertentu. Misalnya, untuk mendapatkan satu
dolar Amerika kita harus mengorbankan atau membayar sebesar Rp.13.000.
Fluktuasi nilai tukar sedemikian rupa akan sangat mempengaruhi arus kas
bahkan laba perusahaan. Hal ini terjadi karena adanya saling ketergantungan
antarekonomi dan antarperusahaan dalam mencapai tujuannya. Contohnya,
ketergantungan beberapa sektor di Indonesia terhadap bahan baku impor. Beberapa
perusahaan juga memiliki utang yang didenominasi dalam matauang asing. Lebih
jauh lagi, banyak perusahaan Indonesia yang melayani penjualan di luar negeri.
Dalam aktivitas investasi, perusahaan juga memerlukan matauang asing untuk
sekedar mengambil keuntungan dari perubahan kurs/suku bunga atau melakukan
hedging untuk melindungi aktivitas bisnisnya dari fluktuasi nilai tukar.
Karena berbagai alasan di atas, terlihat jelas bahwa kinerja perusahaan
terutama profitabilitas sedikit banyak akan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar.
Pengaruh perubahan nilai tukar terhadap kinerja perusahaan biasa disebut dengan
exposure nilai tukar atau risiko nilai tukar (Madura, 2004). Meskipun konsep
exposure nilai tukar biasanya diterapkan pada perusahaan multinasional (MNC), perusahaan berskala domestik juga perlu mengelola exposurenya karena alasan yang sudah dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, banyak perusahaan yang
di luar negeri seperti Indofood. Sektor makanan dan minuman di Indonesia
mayoritas juga masih bergantung pada bahan baku impor. Berdasarkan data dari
Kementerian Perindustrian (2015), beberapa bahan baku utama seperti garam
(80%), gula rafinasi (100%), perisa jus buah (70%), asam sitrat (60%) dan tepung
(100%) masih bersal dari impor. Oleh karena itu, kinerja sektor ini sangat rentan
terjadap fluktuasi nilai tukar.
Terdapat pro dan kontra mengenai apakah perusahaan akan terkena dampak
dari exposorue nilai tukar dan harus mengelolanya. Pendapat yang kontra mengatakan bahwa exposure nilai tukar tidak relevan karena adanya paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP). Teori PPP mengatakan bahwa perusahaan yang mengalami kanaikan biaya produksi akibat depresiasi nilai tukar, tidak akan
mengalami kerugian karena perusahaan pesaing juga akan mengalami kenaikan
biaya produksi akibat inflasi domestik. Di lain sisi, argumen yang mengatakan
exposure nilai tukar relevan adalah adanya pilihan bagi investor atau perusahaan untuk melakukan hedging melalui kontrak forward, futures atau currency options
untuk melindungi bisnis mereka.
Pada penelitian ini, penulis lebih condong pada pendapat yang mengatakan
bahwa exposure nilai tukar relevan bagi perusahaan karena terdapat beberapa kelemahan teori PPP seperi adanya faktor lain yang mempengaruhi secara simultan
dan tidak adanya produk substitusi. Alasan lain adalah tingginya kebutuhan sektor
makanan dan minuman terhadap bahan baku impor.
Menurut Madura (2004), terdapat tiga jenis exposure nilai tukar yaitu
menjelaskan sejauh mana arus kas perusahaan dipengaruhi oleh nilai tukar.
Misalnya, perusahaan melakukan kontrak penjualan ke luar negeri yang
pembayarannya dilakukan di masa depan. Pada rentang waktu dari
penandatanganan kontrak hingga pelunasan terdapat ketidakpastian perubahan nilai
tukar.
Exposure ekonomi adalah perubahan nilai perusahaan karena perubahan nilai tukar (Hanafi, 2003). Nilai perusahaan identik dengan nilai sekarang atau
present value yang diukur dari arus kas masa depan. Sederhananya, pengukuran
exposure ekonomi dapat dilakukan dengan hanya melihat pengaruh perubahan nilai tukar terhadap arus kas perusahaan. Namun, dalam proses pengukurannya terdapat
banyak kendala dan kompleksitas.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi arus kas masa depan seperti
kontrak saat ini dan daya saing saat ini maupun di masa depan. Faktor-faktor
tersebut juga akan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar.
Menurut Hartono (2003), terdapat tiga pola exposure ekonomi seperti:
1. Nonkontraktual, adalah transaksi valuta asing yang tidak memakan
tenggang waktu seperti investasi pengembangan produk baru,
pemasaran, dan penyediaan fasilitas distribusi.
2. Quasi kontraktual, adalah transaksi yang memakan sedikit tenggang
waktu seperti penerimaan utang yang dalam matauang asing, menerima
3. Kontraktual, adalah transaksi valuta asing yang memakan tenggang
waktu seperti penerimaan utang dalam matauang asing dan pembayaran
utang dalam matauang asin.
Terakhir, exposure translasi atau akuntansi yang menjelaskan sejauh mana akun-akun dalam laporan keuangan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar.
Misalnya, penjualan atau pembelian aset yang dedenominasi dalam mata uang
asing. Saat pembuatan laporan keuangan, penjualan dan pembelian aset tersebut
harus dikonversikan dalam matauang domestik. Nilai yang dikonversikan tersebut
pasti akan berbeda dari waktu ke waktu karena adanya fluktuasi nilai tukar.
2.1.5 Suku Bunga (BI rate)
Tingkat suku bunga adalah harga yang harus dibayar oleh penerima
pinjaman (debitor) kepada pemberi pinjaman (kreditor) dalam jangka waktu yang
disepakati. Dengan kata lain, tingkat suku bunga ini merupakan harga dari kredit
(Darmawi dalam Rahman, 2013). Di sisi lain, bunga merupakan imbalan yang
diberikan kepada seseorang atas dana yang disimpannya (Wiyani dan Wijayanto,
2005)
Terdapat beberapa teori suku bunga yang dikemukakan oleh beberapa ahli di
antaranya:
a. Teori suku bunga klasik
Teori ini mengungkapkan bahwa tabungan adalah fungsi dari suku
bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga maka akan meningkatkan
karena tingkat suku bunga yang tinggi lebih menguntungkan bagi
masyarakat untuk menabung daripada mengeluarkannya untuk kebutuhan
konsumsi atau investasi di sektor rill.
b. Teori suku bunga Keynes
Berbeda dengan teori klasik, Keynes mengungkapkan bahwa
perubahan tingkat suku bunga merupakan sebuah fenomena moneter.
Menurut Keynes, tingkat suku bunga lebih ditentukan oleh permintaan dan
penawaran uang. Perubahan tingkat suku bunga selanjutnya akan diikuti
oleh perubahan keinginan untuk berinvestasi yang pada akhirnya
mempengaruhi pendapatan nasional. Teori ini berlaku dengan asumsi
bahwa perekonomian belum mencapai full employment.
c. Teori suku bunga Hicks
Hicks mengatakan bahwa keseimbangan tingkat suku bunga pada
suatu perekonomian terjadi ketika tingkat suku bunga ini memenuhi
keseimbangan sektor moneter dan sektor rill. Pandangan ini merupakan
gabungan dari teori klasik dan Keynesian.
Di Indonesia, penetapan suku bunga mengacu kepada BI rate. BI rate adalah
suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang diumumkan ke publik. (Bank
Indonesia). BI rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat
dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang untuk
mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan
suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan suku bunga PUAB diharapkan akan diikuti oleh suku bunga lainnya seperti bunga
deposito, pasar uang, dan suku bunga kredit. Jadi, dapat dikatan bahwa BI rate
menjadi suku bunga acuan bagi suku bunga lainnya.
Bank Indonesia biasanya akan menaikan BI rate ketika perkiraan inflasi di
masa depan lebih tinggi daripada yang telah diprediksi. Sebaliknya, Bank Indonesia
akan menurunkan BI rate apabila ekspektasi inflasi di masa depan lebih rendah
daripada yang telah diramalkan. Mekanisme tersebut disebut dengan mekanisme
transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini terjadi melalui interaksi antara BI,
perbankan, sektor keuangan, dan sektor rill.
BI rate akan mempenaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit
perbankan. Ketika perekonomian sedang mengalami kelesuan, penurunan BI rate
akan menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan kredit dari perusahaan
dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan BI rate juga akan mengurangi biaya
modal perusahaan untuk melakukan investasi. Penurunan BI rate akan
meningkatkan konsumsi dan investasi yang dapat meningkatkan aktivitas
perekonomian (Venti Eka Satya, 2015).
Penurunan BI rate yang diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan
akan mempengaruhi aktivitas pembiayaan sebuah perusahaan. Karena, suku semua
mengacu terhadap perubahan BI rate dengan penyesuaian terhadap jangka
waktunya. Pembiayaan diperlukan oleh perusahaan untuk membiayai operasional
dan mendanai asetnya (Lailiyah, 2013). Selain modal sendiri yang berasal dari
saham biasa dan preferen, perusahaan juga memperoleh pembiayaan dari pihak luar
dalam bentuk utang jangka pendek dan panjang. Pembiayaan dari pihak eksternal
dapat berupa obligasi, wesel, pinjaman jangka pendek/panjang, dan hipotek (PSAK
2).
Menurut Subramanyam (2009), pembiayaan dari pihak ketiga yang
biasanya berupa kewajiban atau liabilities terbagi menjadi dua:
1. Financing liabilities
Financing liabilities adalah segala bentuk kewajiban pendanaan seperi surat utang jangka panjang, obligasi, utang jangka pendek, dan
leasing.
2. Operating financing
Operating financing adalah kewajiban yang timbul dari proses operasi perusahaan seperti trade creditors dan postretirement obligation
atau obligasi yang telah jatuh tempo.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan perusahaan
dalam memperoleh pembiayaan atau debt financing baik itu dari internal dan lingkungan bisnis perusahaan sendiri maupun kondisi eksternal perusahaan seperti
tingkat suku bunga. Selain faktor-faktor lain, tingkat suku bunga dapat
mempengaruhi level atau tingkat kemampuan perusahaan dalam memperoleh
menggunakan utang ketika biaya peminjamannya (bunga) rendah (Deesomsak
dalam Nyamita, 2014). Dalam hal ini, tingkat suku bunga berhubungan negatif
terhadap level pembiayaan perusahaan. Artinya, ketika tingkat suku bunga
meningkat maka level pembiayaan perusahaan akan menurun. Sebaliknya, ketika
suku bunga turun maka level pembiayaan perusahaan akan meningkat.
2.2 Penelitian Terdahulu
Sebelumnya, telah ada penelitian sejenis baik itu menggunakan variabel
yang sama atau menggunakan metode analisis data yang sama. Namun, terdapat
beberapa perbedaan dalam variabel dependen dan independen. Perbedaan juga
terdapat pada objek penelitian dan periode pengamatan. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat dari tabel berikut:
Tabel 2.1
Tabel Penelitian Terdahulu
No Judul (Penulis) Variabel dan
Model Analisis
Hasil Penelitian
adalah regresi 3. Pengaruh Exposure Nilai
Tukar, Inflasi dan Suku Bunga Terhadap
lancar, total debt 5. Analisis Pengaruh Dana
Pihak Ketiga, BI Rate dan Kurs Rupiah Terhadapa Profitabilitas (RoA) pada Bank Persero di Indonesia (M. Nur Firdaus Rahman,
6 Pengaruh Nilai Tukar Rupiah dan IHSG terhadap Return on Asset pada Industri Food
Penelitian ini merupakan penelitian yang serupa dengan
penelitian-penelitian di atas (replikasi) tetapi terdapat beberapa perbedaan seperti objek
penelitian, metode penelitian, tahun pengamatan, dan variabel yang digunakan.
Dalam penelitian ini, varibel independen yang digunakan adalah nilai tukar rupiah,
BI Rate, dan inflasi. Sedangkan variabel dependen yang dipakai adalah
profitabilitas (RoA). Objek penelitian ini adalah perusahaan pada sektor makanan
dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2.3 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1
Bagan Kerangka Pemikiran
Tingkat inflasi (X1) H1 H4
Kurs rupiah terhadap dolar Amerika (X2) H2 RoA
BI rate (X3) H3
2.4 Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Tingkat Inflasi terhadap RoA Perusahaan Subsektor Makanan dan Minuman
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, inflasi adalah kenaikan harga
barang secara umum yang terjadi secara terus menerus. Kenaikan harga barang
yang disebabkan oleh inflasi tentunya akan mengurangi daya beli konsumen.
yang menghasilkan barang seperti makanan dan minuman. Penurunan penjualan
otomatis akan menurunkan laba perusahaan jika beban-beban tetap. Penelitian yang
dilakukan oleh Dwijayanthy dan Naomi (2009) membuktikan bahwa inflasi
berpengaruh negatif terhadap profitabilitas. Oleh karena itu, hipotesis yang
diajukan adalah:
H1: Tingkat inflasi berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap RoA
perusahaan subsektor makanan dan minuman
2.4.2 Pengaruh Kurs Rupiah atas Dolar Amerika terhadap RoA Perusahaan Subsektor Makanan dan Minuman
Ketika matauang suatu negara melemah atau terdepresiasi realtif terhadap
matauang negara lain, biaya produksi perusahaan yang mengandalkan bahan baku
impor akan naik. Kondisi ini secara otomatis akan menurunkan laba perusahaan
atau margin laba. Terdepresiasinya nilai tukar juga akan meningkatkan beban utang
perusahaan khususnya yang didenominasi dalam matauang asing. Penelitian yang
dilakukan oleh Rahman (2015) membuktikan bahwa kurs mempengaruhi RoA
secara signifikan. Maka, hipotesis yang dapat diajukan adalah:
H2: Kurs rupiah terhadap dolar Amerika berhubungan negatif dan berpengaruh
signifikan terhadap RoA perusahaan subsektor makanan dan minuman
2.4.3 Pengaruh BI rate terhadap RoA Perusahaan Subsektor Makanan dan Minuman
BI rate adalah suku bunga acuan yang dijadikan basis bagi suku bunga lain
seperti suku bunga deposito, kredit dan obligasi. Hampir setiap perusahaan
seperti bank. Bisnis membutuhkan pembiayaan untuk mendanai berbagai aktivitas
bisnisnya agar terus bisa menghasilkan kesejahteraan bagi pemegang saham.
Ketika BI rate naik, maka akan diikuti oleh naiknya suku bunga lain dalam
konteks ini suku bunga kredit. Naiknya suku bunga kredit akan meningkatkan biaya
untuk mendapatkan pembiayaan. Kondisi ini akan menurunkan kemampuan
perusahaan dalam mengakses pembiyaan untuk mengembangkan bisnisnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2015) juga menunjukan bahwa BI Rate
berpengaruh negatif signifikan terhadap RoA. Maka, hipotesis yang dapat diambil
adalah:
H3: BI rate berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap RoA
perusahaan subsektor makanan dan minuman
2.4.4. Pengaruh inflasi, kurs, dan BI rate secara Simultan terhadap RoA Perusahaan Subsektor Makanan dan Minuman.
Karena pada hipotesis sebelumnya dikatakan bahwa inflasi, kurs dan BI rate
berpengaruh negatif terhadap RoA perusahaan sektor makanan dan minuman, maka
hipotesis selanjutnya yang dapat diambil adalah:
H4: inflasi, kurs dan BI rate secara simultan mempengaruhi RoA perusahaan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian verifikatif yang bertujuan untuk menguji
pengaruh variabel independen terhadap variable dependen. Variabel independen
dalam penelitian ini adalah inflasi, kurs rupiah terhadap dolar Amerika, dan suku
bunga BI. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah return on asset
(RoA). Objek penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang ada dalam subsektor
makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3.2 Variabel Penelitian dan Pengukuran
Pada penelitian ini, terdapat empat variabel yang terdiri dari tiga variabel
dependen dan satu variabel independen. Variabel independen dalam penelitian ini
adalah tingkat inflasi, kurs rupiah terhadap dolar Amerika, dan suku bunga BI.
a. Tingkat inflasi
Inflasi merupakan kondisi perekonomian secara makro di sebuah
negara mengenai naiknya harga barang secara umum dan terjadi secara terus
menerus. Penelitian ini menggunakan data rata-rata per tahun inflasi
berdasarkan indeks harga konsumen (IHK) yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia selama periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2015. Inflasi
b. Kurs
Kurs dalam penelitian ini adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika. Informasi kurs diperoleh dari data yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia setiap bulannya pada periode 1 Januari 2011 hingga 31 Desember
2015. Kurs yang digunakan adalah kurs jual rupiah terhadap dolar Amerika
yang dihitung rata-rata per tahunnya.
c. BI rate
BI rate adalah suku bunga acuan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia berdasarkan hasil dari Rapat Dewan Gubernur. Pada penelitian
ini, data BI rate diperoleh dari Bank Indonesia dan dihitung rata-rata per
tahunnya. Data BI rate yang dimabil, diumumkan setiap bulan sejak tahun
2011 hingga 2015. Pergerakan BI rate diharapkan diikuti oleh suku bunga
deposito, kredit, obligasi dan instrumen-instrumen lain yang menggunakan
suku bunga.
d. Return on Asset
Variabel dependen pada penelitian ini adalah RoA yang menjadi
salah satu ukuran profitabilitas sebuah perusahaan. Informasi RoA yang
digunakan berasal dari laporan tahunan perusahaan dalam subsektor
makanan dan minuman periode 2011-2015. Adapun metode perhitungan
RoA dapat digambarkan dengan formulasi sebagai berikut:
RoA= �� � � �
3.3 Data dan Metode Pengumpulan Data
penelitian menggunakan data sekunder. Data RoA diperoleh langsung
dari laporan tahunan atau annual report yang dipublikasikan oleh perusahaan melalui situs resminya. Sedangkan untuk data inflasi, kurs, dan BI rate, diperoleh
dari situs resmi Bank Indonesia. Penulis juga menggunakan data-data lain yang
relevan untuk mendukung penelitian ini.
Karena penelitian ini menggunakan data sekunder maka metode
pengumpulan datanya adalah metode studi observasi. Metode studi observasi
adalah suatu cara memperoleh informasi dari dokumentasi berdasarkan laporan
yang dipublikasikan oleh perusahaan dan Bank Indonesia.
3.4 Metode Analisis Data
Pengujian hipotesis untuk membuktikan pengaruh inflasi, kurs, dan BI
rate terhadap RoA menggunakan analisis regresi linier berganda. Analisis ini
menggambarkan hubungan linier antara dua atau lebih variabel independen (X1,
X2, X3,...Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui arah hubungan antarvariabel apakah masing-masing variabel dependen
masing-masing berhubungan positif atau negatif. Analisis ini juga bertujuan untuk
memprediksi nilai variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami
kenaikan atau penurunan. Teknik pengolahan data menggunakan komputer yang
didukung dengan aplikasi SPSS. Persamaan regresi linear berganda dapat
diformulasikan sebagai berikut:
Keterangan:
Y = RoA perusahaan subsektor makanan dan minuman
A = Konstanta
X1 = Inflasi
X2 = Kurs
X3 = BI rate
b1, b2, b3 = koofisien regresi variabel independen
e = eror
Pengujian dilakukan dengan derajat signifikan sebesar 5% sedangkan
tingkat keyakinannya sebesar 95%. Dalam regresi berganda, pengujian hipotesis
harus menghindari kemungkinan penyimpangan asumsi-asumsi klasik. Tujuan
pemenuhan asumsi klasik ini dimaksudkan agar variabel independen sebagai
estimator atas variabel dependen tidak mengalami bias.
3.4.1 Uji Asumsi Klasik
Dalam analisis regresi, untuk menunjukan hubungan yang valid dan tidak
bias diperlukan pengujian asumsi klasik terhadap model regresi yang digunakan.
Tujuan lainnya adalah untuk memastikan bahwa model regresi yang digunakan
mempunyai data yang terdistribusi secara normal, bebas dari gejala
1. Uji Normalitas
Uji Normalitas data dilakukan untuk melihat apakah suatu data
terdistribusi secara normal atau tidak. Uji normalitas data dilakukan dengan
melihat normal probability plot (P-Plot) yang membandingkan distribusi
komulatif dari data yang sesungguhnya dengan distribusi kumulatif
distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk garis lurus diagonal
dan ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi
data normal, maka data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya
(Ghozali, 2013).
Uji normalitas dilakukan dengan melihat penyebaran data (titik)
pada sumbu diagonal atau grafik. Apabila data menyebar di sekitar garis
diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi
asumsi normalitas. Apabila data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau
tidak mengikuti arah garis diagonal maka model regresi tidak memenuhi
asumsi normalitas (Ghozali, 2013). Dasar pengambilan keputusan dari
analisis probability plot adalah sebagai berikut:
a. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
diagonal menunjukan pola distribusi normal maka model regresi
memenuhi asumsi normalitas.
b. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti
arah garis diagonal tidak menunjukan pola distribusi normal maka
model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
Untuk mendeteksi normalitas data, dapat juga dilakukan melalui analisis
hipotesis nol (Ho) untuk data residual terdistribusi normal dan hipotesis
alternatif (Ha) untuk data residual tidak terdistribusi normal. Berdasarkan
metode ini, data dapat dikatan terdistribusi normal apabila nilai probabilitasnya
lebih besar daripada 5% atau 0.05.
2. Uji Multikolinieritas
Dalam model regresi, uji multikolinieritas memiliki arti bahwa
adanya hubungan linier sempurna atau mendekati sempurna di antara
beberapa variabel atau semua variabel bebas. Jika variabel bebas berkolerasi sempurna maka disebut “multikolinieritas sempurna”. Penggunaan
multikolinieritas menunjukan adanya derajat kolinieritas yang tinggi di
antara variabel-variabel bebas borkorelasi sempurna. Dalam hal ini, metode
kuadrat terkecil tidak bias untuk digunakan. Variabel dikatakan orthogonal
jika variabel tersebut tidak berkolerasi. Untuk menguji apakah ada atau
tidak multikolinieritas dalam suatu model, salah satu metode yang
digunakan adalah dengan melihat nilai toleransi atau Variance Inflation Factor (VIF). Secara umum, jika nilai VIP lebih besar daripada 10, maka variabel itu memiliki masalah dengan variabel bebas lainnya (Ghozali,
2013).
3. Uji Autokorelasi
Autokorelasi berguna untuk menguji apakah dalam sebuah model
regresi linier berganda terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi
korelasi, maka terdapat masalah autokorelasi. Autokorelasi sering
autokorelasi dapat dilihat dari Runs test. Jika Runs test lebih tinggi dari alfa α yang ditentukan (5%) maka dapat dikatan tidak ada masalah autokorelasi
(Ghozali, 2013).
Model regresi yang baik adalah model yang bebas dari autokorelasi.
Autokorelasi juga dapat diketahui uji Durbin-Watson (DW test). Jika DW
terletak di antara du dan 4-du maka tidak terjadi autokorelasi. Untuk
mengetahui nilai du, kita bisa melihatnya pada tabel DW yang disesuikan
dengan jumlah data dan variabel dependennya.
4. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas menampilkan kondisi di mana variance dari
residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain terjadi ketidaksamaan
(Ghozali, 2013). Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah
terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke
pengamatan yang lain dalam model regresi. Model regresi yang baik adalah
yang tidak terjadi heterokedastisitas (homokedastisitas). Untuk melihat
Heteroskedastisitas, dapat melalui grafik plot antara nilai prediksi variabel
terkait dengan residualnya. Apabila pola pada grafik ditunjukkan dengan
titik-titik menyebar secara acak (tanpa pola yang jelas) serta tersebar di atas
dan di bawah 0 pada sumbu Y, maka dapat disimpulkan tidak ada
heteroskedastisitas. Selain menggunakan grafik scatterplots, uji
heteroskedastisitas juga adapt dilakukan dengan menggunakan Uji Glejser.
Jika probabilitas signifikan >0.005 maka model regresi tidak terdapat
3.4.2 Uji Koefisien Determinasi (R²)
Koefisien ini menunjukan seberapa besar persentase variabel
independen yang digunakan dalam model mampu menjelaskan variabel
dependen. Jika R² sama dengan 0, tidak ada sedikuit pun persentase
sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap variabel
dependen. R² sama dengan 0 juga berarti variasi variabel independen yang
digunakan dalam model tidak menjelaskan sedikit pun variasi variabel
dependen. Jika R² sama dengan 1, maka persentase sumbangan pengaruh
yang diberikan variabel independen terhadap variabel dependen sempurna
atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model menjelaskan
100% variasi variabel dependen.
3.4.3 Pengujian Hipotesis
1. Uji statistik F (F test)
Pengujian koefisien regresi secara simultan dilakukan
dengan uji F. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
semua variabel independen yang ada di dalam model secara simultan
terhadap variabel dependen. Dengan signifikansi 5%, nilai rasio F
masing-masing koefisien regresi kemudian dibandingkan dengan
nilai tabel t. Jika Frasio > Ftabel atau prob-sig <a = 5% berarti bahwa
masing-masing variabel independen berpengaruh secara positif
terhadap dependen. Uji F digunakan untuk menguji signifikansi
subsektor makanan dan minuman secara simultan. Langkah-langkah
yang dilakukan adalah:
a. Merumuskan hipotesis
Ho diterima jika tidak ada pengaruh variabel dependen secara
simultan terhadap variabel dependen. Sedangkan Ha diterima
jika terdapat pengaruh variabel independen secara simultan
terhadap variabel dependen
b. Menentukan tingkat signifikansi yaitu sebesar 0.05 (α=0.05).
Jika signifikansi di bawah 0.05 maka terdapat pengaruh
signifikan variabel dependen secara simultan terhadap variabel
dependen. Sebaliknya, jika diatas 0.05 maka tidak ada pengaruh.
c. Membandingkan F hitung dengan F tabel nilai F hitung jika:
1. Ho diterima bila F tabel besar atau sama jika dibandingkan
dengan F hitung.
2. Ho ditolak jika F tabel lebih kecil daripada F hitung.
2.Uji Parsial (t-test)
Pengujian terhadap koefisien regresi secara parsial dilakukan
dengan uji t. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui signifikansi
peran secara parsial antara variabel independen terhadap variabel
dependen dengan mengasumsikan bahwa varibel independen lain
dianggap konstan . Dengan tingkat signifikansi sebesar 95%, nilai t
hitung masing-masing koefisien regresi kemudian dibandingkan dengan
masing-masing variabel independen berpengaruh secara positif terhadap
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Subsektor Makanan dan Minuman
Subsektor makanan dan minuman di Indonesia adalah bagian dari
perusahaan manufaktur sektor industri barang konsumsi. Terhitung pada Agustus
2016, terdapat 14 perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia. Sejak
2011, tiga perusahaan delisting dari subsektor ini. Perusahaan-perusahaan itu adalah PT. Aqua Golden Mississippi (diprivatisasi), PT. Akasha Wira International
(pindah sektor), dan PT. Davomas Abadi (tidak memiliki keberlanjutan usaha).
Tabel 4.1
Daftar Perusahaan subsektor makanan dan minuman
Industri makanan dan minuman merupakan salah satu industri strategis.
Pada 2014, kontribusi industri makanan dan minuman secara komulatif terhadap
produk domestik bruto (PDB) nonmigas mencapai 36.94%. Pada tahun yang sama,
No
5 ICBP PT. Indofood CBP Sukses Makmur, Tbk 6 INDF PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk 7 MLBI PT. Multi Bintang Indonesia, Tbk
8 MYOR PT. Mayora Indah, Tbk
9 PSDN PT. Prashida Aneka Niaga, Tbk 10 ROTI PT. Nippon Indosari Corporindo, Tbk 11 SKBM PT. Sekar Bumi, Tbk
12 SKLT PT. Sekar Laut, Tbk 13 STTP PT. Siantar Top, Tbk
14 ULTJ
industri ini menyerap lebih dari 1.6 juta tenaga kerja langsung. Peran strategis
industri ini juga terlihat dari sumbangan ekspor yang tinggi. Pada tahun 2015,
kontribusi ekspor industri makanan dan minuman sebesar 456, 6 juta dolar
Amerika.
Dari sudut pandang investasi, industri makanan dan minuman juga sangat
prospektif. Pertumbuhan industri ini relatif stabil dan cukup tinggi jika
dibandingkan dengan industri lain di industri pengolahan nonmigas. Pada trwiulan
1 2015 saja, industri ini mengelami pertumbuhan sebesar 8.16% lebih tinggi
daripada pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 4.7%. Lebih jauh lagi,
berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), rencana investasi
industri makanan dan minuman selama 2015 naik sebesar 326% ekuivalen dengan
185 triliun.
Namun, industri makanan dan minuman masih sangat sensitif terhadap
perubahan nilai tukar rupiah. Hal ini disebabkan karena 70% bahan baku yang
digunakan masih harus diimpor. Bahan baku yang sering diimpor seperti gula,
gandum, garam, kedelai dan bahan-bahan kimia makanan seperti pewarna dan
perisa. Oleh karena itu, depresiasi nilai tukar rupiah akan sangat mempengaruhi
biaya produksi industri ini.
Selain itu, industri ini juga sangat dipengaruhi oleh inflasi terutama yang
disebabkan oleh kanaikan bahan bakar minyak (BBM). Menurut ketua Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S
Lukman, kenaikan harga barang akibat inflasi akan menurunkan daya beli
mempengaruhi biaya produksi industri ini terutama dalam meningkatkan biaya
produksi dan biaya distribusi.
4.2. Uji Asumsi Klasik 4.2.1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah residual data penelitian
terdistribusi secara normal. Data yang baik adalah data yang terdistribusi secara
normal karena kesimpulan statistik yang diambil valid dan bebas dari bias. Terdapat
beberapa teknik uji normalitas seperti melalui rumus Kolmogorov-Smirnov,
histogram, P-Plot, Shapiro-Wilk, Q-Q Plot, dan lain-lain. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan teknik Komogorov-Smirnov dan P-Plot. Alasannya adalah
karena kedua metode tersebut paling sering digunakan sehingga memberikan
kemudahan bagi pembaca dalam memahami dan membandingkan hasilnya.
Teknik dengan menggunakan rumus Komogorov-Smirnov, apabila nilai
probabilitasnya lebih besar daripada 5% atau 0.05 maka data dapat dikatakan
terdistribusi normal. Tetapi, apabila nilai probabilitasnya lebih kecil atau sama
dengan 0.05 maka data tidak terdistribusi secara normal. Berikut hasil uji normalitas
Gambar 4.1
Hasil pengujian variabel penelitian dengan rumus Komogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 70
Normal Parametersa,b Mean 0E-7
Std. Deviation .11256285
Most Extreme Differences
Absolute .194
Positive .194
Negative -.132
Kolmogorov-Smirnov Z 1.621
Asymp. Sig. (2-tailed) .010
Dapat kita lihat bahwa hasil dari pengolahan data menampilkan nilai
Asymp. Sig. (2-tailed) atau signifikansi sebesar 0.010 (lebih kecil daripada 0.05).
Berdasarkan hasil Kolmogorov-Smirnov, kita dapat mengatakan bahwa distribusi
residual data tidak normal. Namun, untuk memastikan apakah residual data
benar-benar tidak terdistribusi normal, diperlukan teknik analisis lain dalam hal ini P-Plot.
Gambar 4.2
Hasil pengujian variabel penelitian menggunakan P-Plot
Pada analisis P-Plot, untuk menentukan apakah residual data terdistribusi
normal atau tidak kita dapat melihat pada lingkaran atau titik pada garis diagonal.
Apabalia lingkaran atau titik tersebut tersebar di sekitar dan mengikuti garis
diagonal maka residual data terdistribusi normal. Grafik P-Plot dari hasil analisis di
atas memperlihatkan bahwa lingkaran atau titik tidak tersebar di dekat garis
diagonal. Artinya, residual data memang benar-benar tidak terdistribusi secara
normal.
Untuk mengatasi distribusi residual data yang tidak normal diperlukan
transformasi data. Terdapat beberapa teknik transformasi data seperti logaritma
natural dan akar kuadrat. Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan teknik
logaritma natural (Ln). Berikut hasil Kolmogorov-Smirnov dan P-Plot setelah
Tabel 4.2
Hasil pengujian variabel penelitian menggunakan Kolmogorov-Smirnov setelah transformasi data.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 66
Normal Parametersa,b Mean 0E-7
Std. Deviation .80195675
Most Extreme Differences
Absolute .073
Positive .065
Negative -.073
Kolmogorov-Smirnov Z .592
Asymp. Sig. (2-tailed) .874
Gambar 4.3
Hasil pengujian variabel penelitian menggunakan P-Plot setelah transformasi data
Setelah dilakukan transformasi data, signifikansi dari tes
Kolmogorov-Smirnov bernilai 0.874 (lebih besar daripada 0.05). Di sisi lain, lingkaran atau titik
analisis tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa residual data sudah
terdistribusi secara normal.
4.2.2. Uji Multikolonieritas
Uji asumsi klasik selanjutnya adalah uji multikolonieritas. Uji ini bertujuan
untuk mengetahui apakah ada hubungan antarvariabel independen dalam sebuah
model regresi. Mengetahui terjadi atau tidaknya multikolonieritas dalam satu model
regresi dapat diketahui dengan melihat nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai Tolerance dari masing-masing variabel independen lebih besar daripada 0.10 maka variabel independen bebas dari mulikolonieritas. Lalu,
jika nilai VIF dari masing-masing variabel independen dibawah 10 maka
variabel-variabel tersebut bebas dari multikolonieritas. Sebaliknya, jika nilai Tolerane di bawah 0.10 dan VIF di atas 10 maka terjadi multikolonieritas antarvariabel
dependen. Berikut hasil pengujian multikolonieritas:
Tabel 4.3
Hasil pengujian multikolonieritas variabel dependen
Dari hasil pengolahan data di atas, kita dapat melihat bahwa nilai variabel
dependen inflasi, kurs, dan BI rate pada kolom Tolerance semuanya di atas 0.10 dan nilai setiap variabel dependen pada kolom VIF semuanya di bawah 10. Artinya,
Model Collinearity Statistics Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1
(Constant)
Inflasi .540 1.853
Kurs .315 3.179