• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Peran IAEA dalam Krisis Nuklir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Peran IAEA dalam Krisis Nuklir"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH ORGANISASI DAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL Dosen Pengampu Mata Kuliah : ACHMAD FATHONI KURNIAWAN, S.IP., MA.

“ANALISIS PERAN IAEA DALAM MENANGGAPI KRISIS NUKLIR DI

KOREA UTARA”

Oleh:

HAFSAH HARIES ALIANSYAH (135120400111003)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(2)

ANALISIS PERAN IAEA DALAM MENANGGAPI KRISIS NUKLIR DI KOREA UTARA

A. LATAR BELAKANG

Isu nuklir adalah isu yang sangat “seksi” dikalangan pengamat hubungan internasional dimulai pada masa pasca Perang Dunia dan pada era Perang Dingin bahkan hingga saat ini. Sejarah kelam perang dunia membuat masyarakat dunia tidak ingin mengulangi masa-masa pahit tersebut. Namun di sisi lain perang dunia membawa dampak pada perkembangan teknologi khususnya teknologi senjata perang.

Penemuan nuklir adalah bentuk kemajuan keilmuaan pada masa perang dunia yang kemudian dapat dikembangkan sebagai senjata perang yang sangat mematikan. Senjata nuklir sendiri adalah senjata pemusnah masal yang mendapat tenaga dari reaksi nuklir dan mempunyai daya pemusnah yang dahsyat. Sebuah bom nuklir mampu memusnahkan sebuah kota. Senjata nuklir telah digunakan hanya dua kali dalam pertempuruan semasa Perang Dunia II oleh AS terhadap kota-kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Pada masa itu daya ledak bom nuklir yg dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki sebesar 20 kilo (ribuan) ton TNT. Sedangkan bom nuklir sekarang ini berdaya ledak lebih dari 70 mega(jutaan) ton TNT.1

Pada era Perang Dingin terdapat beberapa perang yang begitu menegangkan terjadi di kawasan Asia, yakni perang Vietnam dan Korea. Perang Korea sendiri merupakan perang yang terjadi di kawasan Peninsula (Semenanjung Korea) yang begitu memperlihatkan bagaimana dua ideologi yang berbeda saling beradu untuk membuktikan menjadi ideologi yang tepat digunakan dalam sistem pemerintahan negara yang baru saja merdeka seperti hal nya Korea pada masa itu. Perang Korea akhirnya menjadikan negeri gingseng ini benar-benar terbagi menjadi dua bagian, yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Adanya pembagian Korea menjadi dua entitas negara yang berbeda tidak berarti bahwa keamanan di kawasan Peninsula sudah stabil. Kemungkinan-kemungkinan pecahnya perang Korea selalu mengancam setiap saat hingga saat ini, terlebih melihat perilaku Korea Utara yang seakan selalu mengancam stabilitas keamanan semenanjung korea.

(3)

Republik Demokratik Rakyat Korea atau sering disebut Korea Utara adalah negara yang sejak dideklarasikan pada tangal 9 september 1948 (sebelum meletusnya perang Korea) ini tidak pernah berhenti menjadi pembicaraan internasional. Sejak berakhirnya perang Korea pada tahun 1953 bukan berarti bahwa keamanan kawasan semenanjung korea telah aman. Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan sering memanas meskipun beberapa kali telah diadakan perjanjian genjatan senjata oleh kedua Korea. Ketegangan semakin berlanjut ketika adanya dugaan upaya Korea Utara untuk mengembangkan reaktor nuklir.

Pada tahun 2012 isu nuklir Korea Utara mulai muncul kembali seiring kabar adanya uji coba rudal Korea Utara. Kecaman demi kecaman diberikan kepada Korea Utara namun Korea Utara sendiri tidak menanggapi kecaman tersebut dan melanjutkan upaya peningkatan senjata nuklirnya. Jika melihat sebelum munculnya kembali isu nuklir Korea Utara, IAEA (International Atomic Energy Agency) sudah mulai menanggapi isu nuklir Korea sejak tahun 1985 2. Namun kesepakatan-kesepakatan tentang nuklir antara Korea Utara dan IAEA sering

mengalami kegagalan karena selalu adanya indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh Korea Utara.

Membahas isu nuklir Korea Utara ini sangat menarik karena melihat situasi kemanan kawasan Korea sendiri yang sangat rapuh. Korea Utara berada di semenanjung Korea yang dinilai sebagai semenanjung yang sangat strategis karena menghubungakan antara negara-negara besar seperti Rusia dan China dengan Jepang. Korea Utara sendiri yang memiliki perbatasan China di sebelah barat dan Rusia di sebelah barat laut, sedangkan Korea Selatan di sebelah Selatan membuat isu kepemilikan nuklir Korea Utara sangat mengancam stabilitas keamanan bukan hanya bagi Korea Selatan sendiri tetapi juga Rusia dan China.

B. RUMUSAN MASALAH

Beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: 1. Apa itu IAEA?

2. Bagaimana peran IAEA dalam menanggapi krisis nuklir di Korea Utara?

3. Bagaimana sikap Korut dalam menanggapi intervensi IAEA mengenai nuklir di Korea Utara?

(4)

C. PEMBAHASAN

1. Konsep Power Organisasi Internasional

Menurut J. Samuel Barkin, beberapa organisasi internasional memiliki power mengawasi dan power hukum. Organisasi internasional berhak menggunakan makna independen organisasi untuk mengawasi apakah sebuah negara mematuhi peraturan internasional atau melanggarnya. Sedangkan sumber power independen Organisasi Internasional sendiri berasal dari adanya otoritas moral dan informasi. 3Otoritas moral adalah power Organisasi

Internasional untuk berbicara secara hukum sebagai suara internasional yang resmi dengan tanggung jawab terhadap suatu isu yang sedang menjadi perhatian bagi orang-orang dan negara di dunia. Otoritas moral ini setidaknya dapat memberikan rasa malu terhadap suatu negara yang melanggar suatu kesepakatan karena menghadirkan rasa tanggungjawab bagi negara. Sedangkan yang dimaksud sumber power informasi adalah adanya keterlibatan aktor lainnya seperti “epsitemic community” di mana kelompok ini nantinya akan mempengaruhi negara dalam mengambil keputusan.

2. Institutional Approach

Pendekatan institusionalis adalah pendekatan yang digunakan untuk menganilisis sebuah organisasi internasional dengan melihat bagaimana struktur formal, hirarki organisasi dan birokrasi organisasi tersebut. Pendekatan institusional melihat apa yang terjadi di dalamnya seperti dalam sebuah kotak hitam yang tidak bisa hanya dilihat dari luar saja. Piagam organisasi (organization’s charter) mutlak dibutuhkan jika melihat organisasi internasional melalui analisis internasional. Piagam itu akan menjadi dasar tentang kapan dan mengapa organisasi dijalankan serta siapa saja yang bisa menjadi anggotanya. Selain itu juga diatur mengenai bagaimana struktur birokrasi, kekuatan, pembiayaan, proses keluar-masuk anggota, dan mekanisme berakhirnya organisasi internasional4.

Dengan memandang segala organisasi internasional melalui analisis instituisoinal yang rapi, terkadang justru menjadi pembatas. Apapun yang terjadi dalam organisasi internasional bisa diketahui melalui analisis ini. Namun, apa yang setelah itu terjadi sebagai akibatnya terhadap aktor-aktor internasional yang ada tidak dikategorikan untuk dikaji sehingga terkesan ada ruang yang kosong setelah itu.

3 J. Samuel Barkin, “International Organization : Theories and Institutions” (New York:PALGRAVE MACMILLAN, hal. 23

(5)

3. Rezim Approach

Barkins menyebutkan bahwa melalui analisis rezim, hal pentingnya adalah akibat yang ditimbulkan organisasi internasional terhadap aktor-aktor lain, terutama negara sebagai sumber utama dari outcomes dalam politik internasional. Akibat yang ditimbulkan itu berasal dari berbagai prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan keputusan yang juga merupaka pilar-pilar rezim internasional. Akibat-akibat tersebut kurang lebih akan membentuk perilaku suatu organisasi yang dipengaruhinya.5

Di dalam pendekatan rezim pun masih terspesifikasi dua pandangan yaitu melalui rasionalis dan reflektivis. Rasionalis menggambarkan rezim yang umumnya fokus pada aturan dan prosedur, juga cara menjadikan rezim seefisien mungkin dalam memecahkan masalah. Sementara, reflektivis memfokuskan rezim pada prinsip dan norma. Pendekatan terakhir ini mengutamakan akibat dari organisasi internasional terhadap cara pikir dan perilaku aktor-aktor internasional.

Analisis rezim dalam mempelajari organisasi internasional ini mendominasi studi Hubungan Internasional di era 1980-an dan 1990-an sampai sekarang. Eksistensi analisis ini disebabkan kompleksitas materi pembentuknya. Mulai dari prinsip yang sangat umum hingga prosedur pembuatan keputusan yang sangat khusus, juga dari aturan yang sangat ekslpisit hingga norma yang sangat implisit.

4. International Atomic Energy Agency

IAEA adalah bagian dari organisasi bawahan PBB yang selalu memberikan laporan secara berkala di United Nations General-Assembly (Majelis Umum PBB) dan United Nations Security Council (Dewan Keamanan PBB). Tujuan dari IAEA ini adalah untuk memperluas kostribusi sosial energi atom untuk tujuan damai. Pembentukan IAEA diusulkan oleh Presiden AS Dwight Eisenhower pada tahun 1953 dan disahkan pada 25 Juli 1957, markas IAEA berada di Wina, Austria.6 144 negara anggota IAEA sepakat untuk menciptakan

keamanan untuk memastikan tidak ada pengguanaan material lain dalam penggunaan militer. Materi lain tersebut adalah uranium.

5 Ibid. Hal.36

(6)

Sekretariat IAEA terdiri dari 2100 ahli multi-disiplin dan staf dari 90 negara. Organisasi ini dipimpin oleh Direktur Jenderal dan enam Deputy Direktur jenderal yang membawahi departemen. Badan pengambil keputusannya adalah Dewan Gubernur (Board of Governors) yang terdiri dari 35 orang dan General Converance dari seluruh anggota IAEA. Struktur organisasi IAEA di PBB, merupakan “Specialized Agency” dari PBB, namun IAEA tidak berada dibwah pengawasan secara langsung oleh PBB7.

Pembentukan IAEA ini adalah bentuk respon terhadap kekhawatiran dan harapan yang tinggi terhadap penemuan energi nuklir. Hal ini berkaitan dengan peran dan fungsi nuklir yang dinilai sangat kontroversial karena dapat menjadi senjata pemusnah massal yang sangat mematikan namun juga dapat menjadi piranti yang bermanfaat bagi kemakmuran manusia. Berdasarkan pendekatan institusionalis, adanya struktur dan tujuan dalam suatu organisasi internasional akan menunjukkan fungsi dari organisasi itu sendiri. Seperti hal nya IAEA yang dibentuk berdasarkan tiga pilar : Keselamatan dan Keamanan (Safety and Security), Ilmu dan Teknologi (Science and Technology), dan Pengamanan dan Verifikasi (Safeguards adn Verification). Sedangkan dalam mencapai tiga pilar tersebut, IAEA memiliki tiga misi atau fungsi pokokk:

1. Pemeriksaan (inspection) fasilitas energi nuklir negara anggota yang secara nyatadigunakan untuk tujuan damai.

2. Menetapkan ketentuan dan standar-standar tertentu untuk menjamin fasilitas energi nuklir seluruh negara anggota dalam keadaan stabil.

3. Berperan sebagai pusat jaringan bagi seluruh ilmuwan dalam mencari dan menerapkan teknologi nuklir untuk tujuan damai.

Misi IAEA berpedoman pada kepentingan dan kebutuhan negara-negara anggota, rencana strategis dan visi yang terkandung dalam IAEA. Pembangunan teknologi nuklir yang diperbolehkan dalam hukum internasional adalah pengembangan teknologi nuklir yang memperhatikan aspek-aspek berikut :

1. Peran IAEA sebagai organisasi internasional yang mengawasi pengembangan teknologi nuklir agar tetap dikembangkan untuk tujuan damai dan tidak dibeolkkan kearah pengembangan senjata nuklir.

2. Treaty on The Non-Profileration of Nuclear Weapons (NPT), merupakan perjanjian internasional yang mengatur mengenai larangan penyebaran senjata nuklir. Perjanjian

(7)

ini memiliki tiga prinsip utama, yaitu : nonproliferasi, pelucutan dan hak untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai.

3. Safeguards adalah sebuah sistem yang berisi pengaturan lebih luas mengenai tindakan teknis dimana sekretariat IAEA memverifikasi kelengkapan dan kebenaran dari pengumuman yang dibuat oleh negara yang mengenai materi dan aktivitas nuklir8.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa IAEA dibentuk atas kesadaran negara atas keunikan fungsional yang dimiliki oleh teknologi nuklir. Pendekatan institusionalis dapat menanggapi adanya eksistensi organisasi IAEA ini dengan melihat adanya kesadaran negara-negara untuk membentuk badan internasional ini dibawah kesepakatan bersama di Wina, Austria. Pembentukan IAEA juga didukung dengan pembentukan aturan-aturan dan tujuan yang nantinya memerankan fungsi organisasi IAEA ini.

Namun dalam pendekatan rezim (rezim approach), dapat dilihat dari adanya perjanjian Non-Proliferation Treaty yang harus disepakati oleh anggota – anggotanya. Dengan adanya NPT tadi, negara anggota harus mentaati peraturan yang ditetapkan oleh IAEA sebagi standard dalam pemanfaatan dan pengembangan teknologi nuklir yang berbasis atas perdamaian. NPT ini lah yang dilihat lebih efektif untuk mengatur perilaku-perilaku negara anggotanya.

5. Peran IAEA dalam Krisis Nuklir Korea Utara

Pembentukan IAEA ini diharapkan dapat mengawasi dan mengembangkan penggunaan energi nuklir dengan menekankan pada kerjasama internasional yang secara bersama-sama mengembangkan penggunaan nuklir secara damai. Untuk itu diharapkan negara-negara pengguna tenaga nuklir bersedia menyerahkan uranium mereka ke IAEA yang kemudian akan digunakan untuk keperluan pertanian, kedokteran dan energi listrik dan penggunaan damai lainnya9.

Adanya perjanjian IAEA dengan Korea Utara dimulai pada tahuni 1985, dimana Korea Utara menandatangani kesepakatan bersama untuk tidak melakukan penyebaran pengembangan nuklir. Perjanjian tersebut adalah NPT (Nuclear Non-proliferation Treaty). Lalu setelah itu, muncul tuduhan yang dilontarkan Amerika Serikat terhadap Pyongyag bahwa mereka telah mengembangkan dan membangun reaktor nuklir tanpa diketahui oleh 8 Amelia Yuli Pratiwi, “Peran IAEA dalam Menyikapi Tindakan Korea Utara dalam Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Tidak Damai (dilihat dengan pendekatan Hukum Internasional)”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Unversitas Surabaya, Volume II, 2 (2013) , hal. 8

(8)

pihak IAEA. Kemudian pada tahun 1992 dugaan yang dilontarkan Amerika Serikat mulai teridentifikasi kebenarannya dan Korea Utara sepakat untuk menepati perjanijan NPT tersebut.

Korea Utara menandatangani perjanjian dengan IAEA untuk melaporkan keadaan program nuklirnya secara wajib dengan IAEA dimulai pada Januari 1992. Sesuai dengan perjanjian itu, IAEA melakukan 6 kali inspeksi di Korea Utara dan menemukan bukti jejak bahwa beberapa kilogram plutonium yang bisa membuat senjata nuklir pernah diekstraksi, berbeda jauh laporan Korea Utara yang mengatakan kepada IAEA bahwa mereka hanya mengekstrasi 90 gram bahan nuklir dari fasilitas nuklirnya. Dengan hasil inspeksi itu, pihak IAEA meminta pemeriksaan khusus, dan Korea Utara menolaknya dan kemudian menarik diri dari NPT sebagai aksi protes10.

Penarikan diri Korea Utara dari perjanjian NPT dilakukan pada tahun 1994 dan mulai saat itu Korea Utara mulai menolak adanya penyelidikan yang dilakukan IAEA di Korea Utara. Pasca penarikan diri Korea Utara, hampir sepanjang tahun dilakukan negosiasi namun selalu gagal menemukan titik temu. Hal ini yang menjadi kekhawatiran dunia karena krisis tersebut hampir mendekati meletusnya kembali perang pada tahun 1994. Ketegangan ini pun akhirnya dapat menemukan titik terang setelah adanya kunjungan mantan presiden AS, Carter, yang mengadakan pertemuan dengan pemimpin Korea Utara pada masa itu, yakni Kim Il-Sung. Negosiasi antara Korea Utara dan Amerika Serikat akhirnya menghasilkan kesepakatan Jenewa pada Oktober 1994. Kesepakatan tersebut dinegosiasikan oleh duta besar AS urusan nuklir, Robert Gallucci dan wakil menlu Korea Utara, Kang Suk-ju. Kedua belah pihak sepakat dalam negosiasi itu bahwa Korea Utara menghentikan program nuklirnya dan sebagai imbalannya akan menerima reaktor air ringan dan minyak berat, hingga bisa mencapai konklusi tetang krisis nuklir Korea Utara putaran pertama.

Pada perjanjian Jenewa tersebut, telah disepakati salah satunya adalah denuklirisasi dan perdamaian di semenanjung Korea. Amerika Serikat tidak akan menggunakan kekuatan nuklir atau mengancam Korea Utara, dan Korea Utara harus melakukan tindakan yang sama untuk mewujudkan denuklirisasi semenanjung Korea sesuai dengan deklarasi bersama antara Korea Utara dan Korea Selatan. Selain itu, disepakati pula kerjasama untuk memperkuat NPT, Korea Utara akan meneruskan keanggotaanya dalam NPT. Selanjutnya Korea Utara

10 KBS. 2012. “Isu Nuklir Korea Utara”. (Online). Avaliable at:

(9)

harus bersiap menghadapi inspeksi nuklir oleh IAEA segera setelah ditandatnganinya perjanijan untuk menerima reaktor air ringan11.

Di tahun 2002, IAEA akhirnya mengetahui bahwa Korea Utara ternyata memiliki pengembangan nuklir lebih dari 1 reaktor nuklir. Hal ini didukung dengan adanya pengakuan Korea Utara sendiri, bahwa Pyongpyang memiliki program pengayaan senjata nuklir dengan pemurnian unranium. Sekali lagi Korea Utara membuat dunia internasional tercengang dengan mengeluarkan diri lagi dari perjanjian NPT. Secara langsung persetujuan Jenewa tidak berlaku lagi karena pelanggaran yang dilakukan Korea utara tersebut. Hal ini membuat Amerika Serikat geram dan langsung menghentikan supply bantuan minyak dan menghentikan proyek air ringannya di Korea Utara. Dari pihak Korea Utara sendiri mengatakan alibi mereka bahwa Amerika Serikat gagal dalam membangun reaktor air ringan hingga tahun 2003 seperti apa yang telah dijanjikan, hal itu mengakibatkan kerugian tenaga listrik 2 juta kiloWatt setiap tahun kepada pihak Korea Utara, maka pelanggar kesepakatan itu adalah pihak AS. Perkembangan seperti itu mengakibatkan krisis nuklir Korea Utara putaran kedua.

Pembatalan perjanjian Jenewa akibat pelanggaran yang dilakukan Korea Utara yang diperkuat pengakuan Korea Utara sendiri serta keluarnya Korea Utara dari perjanjian NPT membuat pembahasan isu nuklir kembali ke poin awal dan hal ini telah menjadi sorotan masyarakat internasional. Pada masa ini lah krisis nuklir Korea Utara putaran kedua dimulai. Krisis ini dimulai sejak keluarnya Korea Utara dalam perjanjian NPT pada 10 Januari 2003.

Untuk menghentikan krisis nuklir Korea Utara yang lagi-lagi mengancam stabilitas keamanan semenanjung Korea, maka diadakanlah pertemuan segi-6 (Amerika Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, China, Rusia, dan Jepang). Pertemuan ini adalah kerangka negosiasi multilateral sebagai pionir dalam menyelesaikan krisis nuklir orea Utara putaran kedua ini. Korea Utara bersikokoh agar dilakukan pertemuan bilateral, tetapi AS tidak bersedia untuk negosiasi langsung dengan Korea Utara, karena tidak percaya kepada Korea Utara yang terus melanjutkan program nuklir rahasia bahkan setelah mengumumkan persetujuan Jenewa. Oleh karena itu, pembangunan kerangka pembahasan multilateral dirancang sebagai sebuah alternatif. Walaupun ada faktor positif bagi AS, Korea Utara dan 4 negara lain untuk bekerja sama untuk mengatasi masalah kepercayaan Korea Utara, namun, pertemuan segi 6 dikritik sangat lemah karena sulit memproduksi hasil konkrit melalui negosiasi secara intensif.

(10)

Pejabat tingkat asisten menteri setiap negara dilantik sebagai ketua juru runding, sedangkan wakil juru runding (tingkat direktur) bekerja untuk membahas rincian melalui pertemuan tingkat kerja. Hingga saat ini pertemuan ini masih sering dilakukan meski terlihat tidak begitu efektif dalam penyelesaian krisis nuklir Korea Utara ini karena sulit untuk menemukan solusi yang tepat berdasarkan keputusan bersama.

Peran IAEA dalam menanggapi krisis nuklir Korea Utara terlihat tidak begitu dominan dan kuat. Hal ini bisa dilihat dengan begitu mudahnya Korea Utara membatalkan dan mengundurkan diri dari perjanjian NPT. Selain itu, keefektifan NPT sendiri yang dinilai sebagai power rezim oleh IAEA tidak mampu mempengaruhi perilaku Korea Utara yang tetap meneruskan upaya pengembangan senjatan nuklirnya. Terlebih lagi, bukti power IAEA yang kurang dapat dilihat dengan adanya upaya Amerika Serikat yang berusaha menyelesaikan permasalahan krisis ini dengan melakuakn pertemuan bilateral dengan Korea Utara memperlihatkan tak adanya daya IAEA untuk bernegosiasi dengan Korea Utara. Gagalnya kesepakatan Jenewa juga menujukkan bahwa power yang dimiliki oleh IAEA hanya terpaku pada power legitimasi atau power dari kesepakatan bersama, tidak ada sanksi khusus yang dapat diberikan oleh IAEA terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Korea Utara. Hal ini juga ditunjukkan dengan hadirnya perundingan segi-6 untuk membahas krisis ini setelah gagalnya kesepakatan IAEA kedua di Jenewa.

6. Power Korea Utara dalam Menanggapi Intervensi Terhadap Penggunaan Nuklir

Jika dilihat dari pendekatan power dalam organisasi internasional Korea Utara tidak memiliki bargainning position yang lebih dibandingkan dengan anggota lainnya. Korea Utara justru memiliki asymmetries of interdependence terhadap negara lain seperti Korea Selatan, China dan Rusia. Namun apa penyebab perilaku Korea Utara yang seakan-akan peraturan dan hukum internasional sulit untuk menyentuh negeri tersebut terkait dengan isu nuklirnya?.

Penulis mencoba menjelaskan beberapa faktor yang dapat menjadi sumber power Korea Utara untuk dijadikan nuklir sebagai alat bargaining sehingga organisasi internasional seperti IAEA pun tidak dapat mengatur perilaku Korea Utara. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Faktor Geografis (Geographical Factor)

(11)

berbatasan langsung dengan Korea Selatan. Hal ini yang membuat isu nuklir Korea Utara sangat penting karena mengancam keamanan kawasan Peninsula (semenanjung Korea) dan negara-negara besar disekitarnya. China yang bahkan merupakan aliansi dari Korea Utara pun ikut mengecam untuk dihentkannya proyek Korea Utara tersebut. Ironisnya lagi, isu ini sangat penting bagi Korea Selatan karena ancaman stabilitas keamanan Korea Selatan sangat terancam, terlebih jika dilihat letak ibu kota Korea Selatan, Seoul hanya berjarak 60 km dari perbatasan dengan Korea Utara.

2. Faktor politik (Political Factor)

Korea Utara adalah negara yang menganut sistem politik sosialis yang otoriter. Rezim yang berkuasa hingga saat ini adalah rezim partai Buruh Korea (Korean’s Worker’s Party) yang selalu menggunakan upaya-upaya yang coercive dalam kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Rezim ini sangat kuat di Korea Utara sehingga negara lainpun seperti halnya IAEA dan Amerika Serikat tidak dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup rezim ini. Masih besarnya dukungan rakyat Korea Utara sendiri terhadap rezim tersebut membuat power rezim ini tidak dapat dipengaruhi sehingga segala perilaku yang dilakukan Korea Utara didukung oleh rakyatnya sendiri.

3. Faktor Ekonomi (Economy Factor)

Adanya kepemilikan nuklir juga dapat menguntungkan Korea Utara dari segi ekonomi. Dapat dilihat bagaimana Amerika Serikat melakukan penawaran dengan memberikan bantuan berupa supply minyak dan reaktor air ringan untuk Korea Utara. 4. Faktor Keamanan (Security Factor)

Alasan keamanan sangat diperhitungkan bagi Korea Utara terlebih semakin lemahnya dukungan aliansi Korea Utara seperti China dan Rusia. Nuklir sangat dibutuhkan Korea Utara sebagai perisai dirinya untuk melindungi diri dari ancaman serangan Amerika Serikat yang masih memiliki basis militer di Korea Selatan.

5. Faktor Tawar – menawar (Bargainning Factor)

(12)

pula, Korea Utara dapat mendorong Amerika Serikat untuk duduk di meja negosiasi secara bilateral. Dengan kata lain, nuklir adalah instrumen diplomasi yang digunakan Korea Utara ditengah keterbatasan yang dia miliki.

D. KESIMPULAN

(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Barkin, J. Samuel. 2006. International Organization : Theories and Institutions. New York : Palgrave Macmillan Press

2. Schechter, Michael G. 2010. Historical Dictionary of Internasional Organizations. Plymouth, UK : Scarecrow Press

3. Pratiwi, Amalia Yuli. 2013.“Peran IAEA dalam Menyikapi Tindakan Korea Utara dalam Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Tidak Damai (dilihat dengan pendekatan Hukum Internasional)”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Unversitas Surabaya Volume II, No. 2. (online). Avaliable at:

https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/494/470. diakses pada 11 november 2014

4. Wikipedia. 2014. Senjata Nuklir. (Online). Avaliable at :

http://id.wikipedia.org/wiki/Senjata_nuklir. diakses pada 11 November 2014

5. KBS. 2012. Isu Nuklir Korea Utara. (Online). Available at:

Referensi

Dokumen terkait

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah memiliki rancang bangun dan konstruksi yang tepat. Permukaan peralatan yang bersentuhan langsung dengan bahan atau produk

Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan hasil belajar siswa pada materi Elastisitas melalui model pembelajaran

Berdasarkan uraian dan analisis di depan, maka sebagai jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Agar kegiatan atau program yang sedang dilaksanakan selalu sesuai dengan rencana, atau tidak menyimpang dari yang telah direncanakan maka dilakukan sebuah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan small sided games dapat meningkatkan kebugaran jasmani dan keterampilan bermain sepakbola.. Kebugaran jasmani dan keterampilan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara optimisme dengan stres

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya buku "Panduan Dapodik Versi 2021.b" dapat diselesaikan. Buku ini

kepada pasangan calon Dra. Pungkasiadi, S.H menggugat surat dukungan tersebut dan meminta Panwaslu merekomendasikan kepada KPU Kabupaten Mojokerto untuk mencoret pasangan calon