• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan I, II dan III : B = Pengaruh konsentrasi sukrosa ke-j (j = 30, 60, 90, 120 gL-1).

(αβ)

ij: Komponen interaksi faktor A dan faktor B

Pelaksanaan Pengujian Kestabilan Genetik antar Generasi Plantlet

Pelaksanaan pengujian keseragaman plantlet temulawak terdiri dari isolasi total genom, amplifikasi PCR, restriksi DNA menggunakan enzim restriksi dan sequensing. Isolasi total genom dilakukan terhadap daun juvenil dari tanaman temulawak tanaman induk, daun plantletin vitrosub-kultur ke-3, 4, 5 dan ke-12.

Isolasi total genom tanaman temulawak

Daun juvenil dari tanaman temulawak ditimbang 4 g kemudian digerus menggunakan mortal dan pistil yang diberi nitrogen cair. Kemudian tepung halus tersebut dimasukkan dalam tabung 15 ml dan ditambahkan 4.5 ml buffer ekstraksi A (100 mM Tris HCl pH 8, 50 mM EDTA pH 8, 500 mM NaCl dan 1% mercaptoethanol) yang telah dihangatkan padawaterbath 65 °C campur secara perlahan kemudian tambahkan 600 µl 10% SDS yang telah dihangatkan pada waterbath 65 °C kemudian diinkubasi pada suhu 65 °C selama 30 menit. Selanjutnya campuran tersebut ditambahkan 1.5 ml 5 M K-Acetat dan diinkubasi di es selama 10 menit, tambahkan 1 volume (± 6 ml ) chloroform-iso amyl (24:1) dan campur secara berlahan.

Campuran tersebut kemudian disentrifuse dengan kecepatan penuh selama 40 menit, kemudian fase aqueous dipindahkan pada tabung baru dan ditambahkan 0.6 volume isopropanol dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Kemudian disentrifuse selama 40 menit dan buang supernatant, pellet dicuci menggunakan alkohol 70% etanol (5 ml) dan disentrifuse selama 10 menit, kemudian buang supernatant dan pellet dikeringanginkan. Setelah pellet dikeringanginkan dilarutkan dengan 500 µl buffer TE pH 8, ditambahkan RNase (7 ml) dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 1 jam, RNase disimpan pada suhu -20 °C.

DNA dipindahkan pada tabung ependof 1.5 ml dan ditambahkan 1 volume chloroform-iso amyl (24:1) dan disentrifuse selama 10 menit diambil fase aqueous dan ditambahkan 25 µl 4.5 M NaCl. Tambahkan 2 volume etanol 96% dingin dan simpan pada suhu -20 °C selama 30 menit, kemudian disentrifuse selama 20 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci menggunakan alkohol 70% dan disentrifuse selama 10 menit, pellet dikeringanginkan kemudian dilarutkan

menggunakan buffer TE. Konfirmasi hasil isolasi DNA genom tanaman dilakukan dengan elektroforesis yang dilakukan dengan gel agarose 0.8% dengan tegangan 100 V selama 20-30 menit.

Metode Pengujian RFLP

Amplifikasi PCR menggunakan primer forward yaitu 5’-

CTTTGGGAGGGATGCATTTA-3’ (TLF) dan primer reverse

5’-AACCAGACAAATCGCTCCAC-3’(TLR). Campuran reaksi PCR untuk satu sampel DNA sebanyak 1 µl terdiri atas campuran air bebas nuklease sebanyak 16.4 µl, 10x buffer PCR sebanyak 2.5µl, dNTPmixture sebanyak 2.5 µl, primer forward (20 pmol/µl) sebanyak 1 µl, primerreverse(20 pmol/µl) sebanyak 1 µl, DNA Tag polymerase sebanyak 0.6 µl dan sample DNA 1µl sehingga total campuran 25µl yang merupakan volume akhir dari PCRproduct.

Kondisi PCR diawali dengan dengan tahap pradenaturasi pada suhu 95 °C selama 5 menit, kemudian 30 siklus untuk tahap denaturasi pada suhu 95 °C selama 30 detik, annealing pada suhu 51 °C selama 30 detik, dan polimerisasi pada suhu 72 °C selama 1 menit kemudian diikuti polimerisasi lanjutan pada suhu 72°C selama 5 menit dan diakhiri dengan tahap rest pada suhu 4 °C. Sampel DNA hasil amplifikasi kemudian dielektroforesis dengan gel agaros 0.8% dengan tegangan 100 V selama 20-30 menit.

Hasil PCR tanaman temulawak di-digest menggunakan enzim restriksi MBo1, Alu1, dan Taq1. Pemotongan produk PCR dilakukan berdasarkan prosedur yang tertera pada manual Fermentas. Komposisi reaksi terdiri 3 µl PCR product, 0.5 µl enzim, 1 µl 10 x buffer (sesuai dengan enzim yang digunakan) dan 5.5 µl air bebas nuklease. Untuk melihat hasil restriksi dilakukan elektroforesis dengan gel agaros 0.8%.

Metode Pengujian Sequensing

Amplifikasi PCR menggunakan primer forward yaitu 5’- ATTCCATTTTCGCTGCAGTT-3’ (MatKF) dan primer reverse

5’-TCGCTCAAGAAGGACTCCAG -3’ (MatKR). Campuran reaksi PCR untuk 1 sampel DNA sebanyak 1 µl terdiri atas campuran air bebas nuslease sebanyak

16.4 µl, 10x buffer PCR sebanyak 2.5µl, dNTPmixture sebanyak 2.5 µl, primer forward (20 pmol/µl) sebanyak 1 µl, primerreverse(20 pmol/µl) sebanyak 1 µl, DNA Tag polymerase sebanyak 0.6 µl dan sample DNA 1µl sehingga total campuran 25µl yang merupakan volume akhir dari PCRproduct.

Kondisi PCR diawali dengan dengan tahap pradenaturasi pada suhu 95 °C selama 5 menit, kemudian 30 siklus untuk tahap denaturasi pada suhu 95 °C selama 30 detik,annealing pada suhu 45.6 °C selama 30 detik, dan polimerisasi pada suhu 72 °C selama 1 menit kemudian diikuti polimerisasi lanjutan pada suhu 72 °C selama 5 menit dan diakhiri dengan tahap rest pada suhu 4 °C. Sampel DNA hasil amplifikasi kemudian dielektroforesis dengan gel agaros 0.8% dengan tegangan 100 V selama 20-30 menit, PCRproductdisimpan pada suhu -20°C.

Hasil PCR kemudian akan di-sequensing menggunakan Kit PRISM (Ready Reaction Dye Primer UniCycle Sequencing) dari Biosystems yang ditambahkan primer MatKF dan primer MatKR dalam dua campuran yang terpisah. Reaksi sequensing menggunakan alat automatic sequence analyzer dari Biosystem Genetic Analyzer 3130. Untuk mengetahui kualitas hasil sequensing dilakukan pengukuran intensitas sinyal panjang gelombang menggunakan Software Sequence ScannerVol 1.0

Pelaksanaan Percobaan Pembentukan Rimpang Mikro

Pelaksanaan percobaan induksi rimpang mikro temulawak secara in vitro meliputi penyiapan bahan tanaman (penunasan rimpang temulawak), sterilisasi aquades, alat-alat dan botol, sterilisasi bahan tanaman, pembuatan larutan stok, pembuatan dan sterilisasi media, penanaman pada media perlakuan, pemeliharaan, dan pencatatan data

Persiapan Alat dan Media

Alat-alat (pinset, gunting, cawan petri, scalpel dan mata pisau), aquades dan botol yang akan digunakan disterilkan di dalam autoclave pada suhu 121C dengan tekanan 17.5 psi selama satu jam, sedangkan media disterilkan selama 20 menit pada suhu dan tekanan yang sama.

Untuk memudahkan membuat media komposisi media MS disimpan dalam larutan stok. Larutan stok yang disiapkan adalah stok A (persenyawaan NH4NO3),

B (persenyawaan KNO3), C (Persenyawaan KH2PO4, H3BO3, KI,

Na2MoO4.2H2O, dan CoCl2.6H2O), D (CaCl2.2H2O), E (MgSO4.7H2O,

MnSO4.4H2O, ZnSO4.7H2O dan CuSO4.5H2O, F (Na2EDTA dan FeSO4.7H2O),

myo inositol dan vitamin dengan konsentrasi tertentu. Zat pengatur tumbuh juga disimpan dalam bentuk larutan stok sesuai dengan kebutuhan. Semua larutan stok disimpan dalam lemari es, khusus untuk larutan stok F botol dibungkus dengan Alu1munium foil terlebih dahulu sebelum disimpan dalam lemari es.

Prosedur pembuatan 1 l media MS adalah sebagai berikut : sejumlah larutan stok (Lampiran 1) dipipet kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 1 l yang telah diisi dengan aquades 1/3 volume. Air kelapa atau BAP ditambahkan ke dalam labu takar sesuai dengan perlakuan. Sukrosa ditimbang sesuai dengan perlakuan, setelah dilarutkan dengan sejumlah aquades dimasukkan ke dalam labu takar. Tambahkan aquades sampai tanda tera (1 l) dan pH diatur supaya berkisar antara 5.6-5.8 dengan menambahkan KOH/NaOH atau HCl 1 N. Larutan ini dituang ke dalam botol, diberi kertas saring dan ditutup dengan plastik kemudian disterilisasi menggunakan autoclave.

Sterilisasi Eksplan

Setelah tunas temulawak dicuci dengan sabun, tunas dibiarkan di bawah air mengalir selama 30 menit. Selanjutnya di dalam laminar tunas tersebut direndam dalam larutan sabun (super pell) 15% selama 15 menit kemudian dibersihkan dengan aquades sebanyak 3 kali. Setelah itu, direndam dalam larutan dithane-M45 2 gL-1 dan 2 tetes tween selama 20 menit dan dibilas dengan aquades sebanyak 3 kali.

Selanjutnya dilakukan pembuangan beberapa lapisan terluar tunas dan direndam dalam klorox 20% selama 20 menit, setelah itu dibilas air steril sebanyak 3 kali dan dilakukan lagi pembuangan beberapa lapisan berikutnya sehingga diperoleh eksplan yang bersih dan siap tanam.

Pengamatan dan Pencatatan Data KulturIn vitro

Pengamatan dilakukan seminggu sekali. Persentase kontaminasi dan jenis kontaminan diamati untuk melihat kondisi umum kultur. Parameter yang diamati setiap minggu dimulai dari satu minggu setelah perlakuan (MSP) ketika plantlet masih di dalam botol adalah :

1. Jumlah daun hijau dan daun mati 2. Jumlah akar

3. Jumlah tunas

Parameter yang diamati di luar botol dengan cara mengeluarkan plantlet dari botol kultur pada 12, 15 dan18 MST adalah :

1. Tinggi plantlet

2. Lebar dan panjang daun yang terpanjang

3. Jumlah pembengkakan bagian basal dan jumlah rimpang mikro dalam kultur (Gambar 2)

Gambar 2 Pembengkakan pada bagian basal (A) dan pembentukan rimpang mikro (B)

4. Panjang akar (diukur dari pangkal munculnya akar sampai ujung akar yang terpanjang)

5. Rimpang pada Gambar 3 (struktur anatomi, diameter, warna, aroma, akar yang muncul dari rimpang dan keberadaan rimpang sekunder)

Parameter yang diamati ketika aklimatisasi adalah : 1. Tinggi tanaman

2. Persentase tanaman hidup A

3. Ukuran diameter rimpang mini 4. Bobot rimpang mini

Gambar 3 Struktur rimpang temulawak Rimpang primer

Rimpang sekunder

Ubi akar

Pengujian Kestabilan Genetik dengan Metode RFLP

Genetik plantlet temulawak diharapkan tetap memiliki kestabilan genetik antar generasi sub-kultur, akan tetapi pada tahap perbanyakan fenotipik plantlet memperlihatkan pertumbuhan yang kurang baik sejak sub-kultur ke-4. Pertumbuhan kultur yang kurang baik ditandai dengan ukuran tunas kerdil, multiplikasi menurun dari 5-7 pada sub-kultur ke-4 menjadi 1-3 tunas per eksplan pada sub-kultur ke-7, dan daun cepat mengalami senesen yang ditandai dengan sebagian daun mengalami perubahan warna dari hijau menjadi kuning (Gambar 4).

Gambar 4 Kondisi tunasin vitropada sub-kultur ke-4 (A) dan sub-kultur ke-7 (B) saat 4 minggu setelah sub-kultur

Total genom dari 5 sampel (tanaman induk, plantlet sub-kultur ke-3, 4, 5 dan 12) yang diuji berhasil diisolasi dari bagian daun juvenil dan dapat diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer forward5’-CTTTGGGAGGGATGCATTTA-

3’ dan primer reverse TML R 5’-AACCAGACAAATCGCTCCAC-3’. Gambar elektroforasi hasil amplifikasi PCR menunjukkan genom berukuran 1 kb dan sama pada semua sampel yang diuji (Gambar 5).

Gambar 5 Hasil elektroforasi total genom dan produk PCR

Ket : Total genom tanaman induk (A); Total genom DNA plantlet SK 3 (B); Total genom plantlet SK 4 (C); Total genom plantlet SK 5 (D); Total genom plantlet SK 12 (E); Marker 1 kb (F); Produk PCR tanaman induk (G); Produk PCR plantlet SK 3 (H); Produk PCR plantlet SK 4 (I); Produk PCR plantlet SK 5 (J); Produk PCR plantlet SK 12 (K); Marker 1 kb (L).

Teknik RFLP menggunakan enzim restriksi untuk mengetahui kesamaan atau perbedaan antar sekuens DNA dari 5 sampel yang diuji. Enzim restriksi Taq1 akan mengenali dan memotong sequen T-CGA, enzim MBo1 mengenali dan memotong sequen –GATC dan Alu1 pada sequen AG-CT. Kestabilan genetik dapat dilihat dari pola pita DNA yang dihasilkan oleh potongan-potongan enzim restriksi. Enzim-enzim restriksi akan memotong sequen DNA yang dikenalinya dan hasil pemotongan masing-masing enzim akan menunjukkan pola fragmen dengan panjang yang berbeda. Gambar 6 dan 7 merupakan hasil elektroforasi pemotongan DNA sampel-sampel yang diuji, yang menunjukkan kesamaan pola pita pemotongan pada lima sampel DNA tanaman. Hal demikian berarti enzim- enzim memotong DNA lima sampel tersebut pada sequen basa dan ukuran panjang fragmen yang sama. Menurut Hartl (1994) perbedaan panjang fragmen dapat dilihat dari hasil elektroforasi. Dari hasil tersebut kemungkinan besar terdapat kestabilan genetik plantlet antar generasi sub-kultur in vitrotemulawak sehingga plantlet yang digunakan untuk induksi rimpang mikro true to type. Hal tersebut dimungkinkan, karena sumber tanaman yang digunakan untuk perbanyakan adalah tunas meristem yang merupakan organ vegetatif tanaman.

A B C D E F G H I J K L

500 bp 1000 bp

Selaras dengan laporan Borchetia et al. (2009) yang menyatakan bahwa mikropropagasi tanamanCamelliaspp dari tunas aksilar menghasilkan klon yang true to type. Klon in vitro tanaman gerbera berasal dari tunas pucuk menurut Bhatia et al.(2009) menunjukkan kesamaan genetik, begitu pula halnya menurut Minanoet al. (2009) pada klon tanaman krisanthemum hasil mikropropagasi.

Gambar 6 Elektroforasi hasil pemotongan DNA dengan enzim Taq1

Ket : Pemotongan dengan enzim Taq1 pada DNA tanaman induk (A); pada DNA plantlet SK 3 (B); pada DNA plantlet SK 4 (C); pada DNA plantlet SK 5 (D); pada DNA plantlet SK 12 (E); Marker 50 bp (F)

500 bp

200 bp

A B C D E

Gambar 7 Elektroforasi hasil pemotongan DNA dengan enzim MBo1 dan Alu1.

Ket : Pemotongan dengan enzim MBo1 pada DNA tanaman induk (A); Enzim MBo1 pada DNA plantlet SK 3 (B); Enzim MBo1 pada DNA plantlet SK 4 (C); Enzim MBo1 pada DNA plantlet SK 5 (D); Enzim MBo1 pada DNA plantlet SK 12 (E); Marker 1 kb (F), Enzim Alu1 pada DNA tanaman induk (G); Enzim Alu1 pada DNA plantlet SK 3 (H); Enzim Alu1 pada DNA plantlet SK 4 (I); Enzim Alu1 pada DNA plantlet SK 5 (J); Enzim Alu1 pada DNA plantlet SK 12 (K); Marker 50 bp (L),

Pengujian Kestabilan Genetik dengan Analisis Sequen

Total genom tanaman induk dan plantlet SK 12 untuk analisis sequen berhasil diamplifikasi menggunakan primer forward 5’-

CTTTGGGAGGGATGCATTTA-3’ dan primer reverse 5’-

AACCAGACAAATCGCTCCAC-3’. Ukuran genom yang teramplifikasi sebesar 400 bp dan produk PCR yang diperoleh berukuran sama pada 2 sampel yang diuji (Gambar 8).

Dari hasil pengukuran dengan intensitas sinyal panjang gelombang menggunakan Software Sequence ScannerVol 1.0 diketahui produk PCR yang berhasil di-sequensing dengan kualitas baik berukuran 300 bp pada kedua sampel tanaman. Sequen DNA tanaman induk mulai dari urutan basa nomor 61–361, sedangkan sequen DNA plantlet SK 12 dari urutan basa nomor 58–358. Hasil homologi kedua sequen tersebut menunjukkan urutan basa 100% sama (Gambar 9). A B C D E F G H I J K L 1000 bp 500 bp 500 bp 500 bp

Gambar 8 Elektroforasi produk PCR genom plantlet SK 12 (1) dan genom tanaman induk (2)

Ket = 1. Marker 50 bp (A); Produk PCR plantlet SK 12 (B); Marker 1 kb (C) 2. Marker 50 bp (A); Produk PCR tanaman induk (B); Marker 1 kb (C)

Sub-kultur yang berulang hingga 12 kali belum menyebabkan perubahan genetik pada sequen DNA hingga 300 bp. Sejalan dengan laporan Minano et al. (2009) bahwa terdapat kestabilan genetik yang tinggi pada plantlet krisanthemun hingga sub-kultur ke-9. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Bairuet al.(2006) yang melaporkan bahwa ketidakstabilan genetik tanaman pisang hasil mikropropagasi dapat terdeteksi secara molekular sejak sub-kultur ke-4.

1 2 250 bp 400 bp 400 bp 500 bp 400 bp 500 bp 250 bp A B C A A C

Kondisi Umum Tanaman pada Percobaan

Pada tahap sterilisasi bahan tanaman dapat diperoleh 95 % eksplan steril. Di media perlakuan terjadi kontaminasi 7.5 % pada Percobaan I, 7.5 % pada Percobaan II, dan 6.25 % pada Percobaan III yang semuanya disebabkan oleh cendawan. Menurut Gunawan (1992) penyebab kontaminasi dapat berupa debu, kotoran dan berbagai kontaminan yang hidup pada permukaan dan kontaminan yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri (internal).

Secara umum eksplan yang diinkubasikan ke dalam media perlakuan beregenerasi seminggu setelah perlakuan. Tunas aksilar tumbuh secara langsung tanpa melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Tunas yang telah memiliki minimal 2 daun dapat membentuk rimpang mikro yang diawali dengan pembengkakan pada bagian basal. Bagian basal akan terus membesar dan berubah warna dari putih menjadi kekuningan.

Pada semua percobaan, pembentukan rimpang mikro temulawak dapat terjadi pada lingkungan kultur tanpa cahaya selama 16 jam/hari. Teknik ini mengacu pada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa rimpang mikro dapat terbentuk dengan memanipulasi periode cahaya pada lingkungan tumbuh kultur. Respon pembentukan organ rimpang mikro terhadap lamanyaphotoperiod berbeda-beda pada setiap spesies tanaman. Nayak (2000) menyatakan bahwa pembentukan rimpang mikro Curcuma aromatica lebih banyak pada lingkungan tumbuh dengan cahaya selama 8 jam/hari dibandingkan pada kondisi gelap. Kondisi tanpa cahaya selama 24 jam/hari menyebabkan plantlet mengalami etiolasi dan daun yang tumbuh ke atas berukuran kecil. Pembentukan rimpang mikro Zingiber officinale Rosc yang dilaporkan oleh Rout et al. (2001) lebih banyak pada lingkungan tumbuh dengan cahaya penuh selama 24 jam dan jumlahnya akan menurun jika photoperiode dikurangi menjadi 8 jam/hari, sedangkan menurut Tyagi (2006) terjadi pada kondisi tanpa cahaya selama 24 jam/hari dan 8 jam/hari. Hasil percobaan Islamet al.(2004) menunjukkan bahwa pembentukan rimpang mikro Curcuma longa dapat terjadi pada kondisi lingkungan tumbuh gelap selama 24 jam/hari dan photoperiod 16 jam/hari tetapi tidak berpengaruh nyata antara keduanya. Oleh karena itu, pada proses

pembentukan rimpang mikro dibutuhkan lingkungan tumbuh gelap pada kultur dengan periode yang berbeda-beda untuk masing-masing tanaman.

Pengaruh Bentuk Fisik Media dan Sukrosa terhadap Pembentukan Rimpang Mikro

Pada Percobaan I ini induksi rimpang mikro ditandai dengan pembengkakan pada bagian basal tunas (Gambar 10). Interpretasi dari hasil olah data menunjukkan interaksi bentuk fisik media dan sukrosa tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter pengamatan hingga akhir masa percobaan. Induksi pembentukan rimpang mikro lebih dipengaruhi oleh faktor tunggal bentuk fisik media (Tabel 2) dan tidak dipengaruhi oleh faktor tunggal sukrosa.

Gambar 10 Pembengkakan pada bagian basal plantlet di media cair

Tabel 2. Rata-rata jumlah induksi rimpang mikro dan ukuran plantlet (15 MSP)

Peubah Perlakuan

Media padat Media cair

Induksi rimpang mikro (propagul) 0.33 1.22

Diameter pembengkakan (cm) 0.20 0.53

Tinggi plantlet (cm) 6.79 4.17

Panjang daun (cm) 3.47 1.99

Lebar daun (cm) 1.17 0.89

Panjang akar (cm) 1.78 1.02

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa pertumbuhan tajuk kultur temulawak pada media padat lebih baik dibandingkan pada media cair, yang tampak pada

ukuran plantlet lebih tinggi, daun yang lebih luas dan akar yang lebih panjang. Pertambahan tinggi plantlet temulawak pada percobaan ini selaras dengan hasil percobaan Bejoy dan Anish (2006) yang melaporkan bahwa penggunaan agar 4 gL-1 media dapat menstimulasi perpanjangan tunas in vitro Curcuma haritha. Menurut Wala dan Jasrai (2003) media MS semi-padat tidak cocok digunakan untuk induksi perakaran tunas Curculigo orchioides Gaertn. Induksi rimpang mikro lebih banyak dan berukuran lebih besar pada media cair (Tabel 2). Pembentukan rimpang mikro pada media cair telah berhasil dilakukan pada Curcuma aromatica Salisb. (Nayak et al. 2000) dan Curcuma longa L. (Islam 2004).

Pada media cair, plantlet yang semakin tinggi menghasilkan jumlah rimpang mikro yang semakin sedikit (korelasi -0.99*). Pertambahan ukuran panjang dan lebar daun juga berbanding terbalik dengan pertambahan jumlah rimpang mikro yang dihasilkan

Perlakuan media padat berpengaruh pada jumlah tunas dan daun yang lebih banyak dibandingkan perlakuan media cair sejak 3 MSP hingga 18 MSP (Gambar 11 dan 12). Jumlah tunas in vitro Curcuma haritha optimum pada media padat dengan penambahan 7 gL-1 agar dan terendah pada media tanpa agar (Bejoy dan Anish 2006). Pada media cair sejak 6 MSP jumlah daun hijau cenderung tidak mengalami peningkatan kemudian mengalami penurunan, sedangkan jumlah daun mati selalu meningkat dari awal hingga akhir pengamatan (Gambar 12). Pada kedua jenis media semakin banyak daun baru yang tumbuh maka jumlah daun mati juga akan meningkat (Tabel 3). Pada proses kelayuan hingga daun mati, diduga proses osmosis di media cair lebih cepat dibandingkan di media padat, dimana air bergerak cepat melalui selaput semi permeabel tanaman (yaitu plasmalema dan tonoplas). Darmawan dan Baharsjah (2010) menyatakan bahwa apabila konsentrasi larutan di sekitar sel lebih tinggi daripada konsentrasi dari isi sel, maka air dari sel akan merembes keluar dan menyebabkan sel semakin kempis pada akhirnya menyebaban plasmolisis dan kematian jaringan.

0 1 2 3 4 2 5 8 11 14 17 MSP ju m la h t u n a s

Gambar 11 Jumlah tunas rata-rata pada media padat dan media cair.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 3 6 9 12 15 18 MSP Ju m la h da un p 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 3 6 9 12 15 18 MSP

Gambar 12 Pertambahan jumlah daun hijau dan daun mati pada media padat (A) dan media cair (B)

Tabel 3. Nilai korelasi daun hijau dan daun mati pada 13, 14, 15 MSP Daun

Mati (MSP)

Daun hijau (MSP)

Media cair Media padat

13 14 15 13 14 15 13 0.964 0.036** 0.910 0.089* 14 0.899 0.101tn 0.922 0.078* 15 0.981 0.019** 0.962 0.038**

Ket : * = nyata pada taraf 10%, ** = nyata pada taraf 5%, tn = tidak nyata

media padat media cair Daun hijau Daun mati Daun hijau Daun mati A B

Pada 18 MSP tidak diperoleh data pra-aklimatisasi karena 75% plantlet mengalami kematian. Plantlet yang mengalami kematian pada akhir pengamatan berasal dari kultur dengan perlakuan media cair pada semua level konsentrasi sukrosa dan media padat dengan sukrosa 90 dan 120 gL-1. Gejala kematian tampak pada perubahan warna daun dari hijau menjadi pucat kusam hingga menjadi coklat (Gambar 13). Pada perlakuan media padat dengan sukrosa 30 dan 60 gL-1 plantlet masih dapat bertahan hidup yang ditunjukkan oleh daun yang masih berwarna hijau.

Gambar 13 Plantlet mati pada 18 MSP. Perlakuan media cair dengan sukrosa 30 gL-1(A) dan perlakuan media padat dengan sukrosa 90 gL-1(B)

Pengaruh Komposisi Media MS dan Sukrosa terhadap Pembentukan Rimpang Mikro

Pada percobaan I induksi rimpang mikro terjadi lebih banyak pada media cair sehingga pada percobaan II media yang digunakan adalah media cair. Sampai 18 MSP pembentukan rimpang mikro tidak dipengaruhi oleh faktor tunggal komposisi media atau sukrosa maupun interaksi keduanya (Gambar 14). Dari hasil percobaan ini maka media MS ½ konsentrasi dapat digunakan untuk pembentukan rimpang mikro karena secara ekonomi lebih murah dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan media MS konsentrasi penuh. Pembentukan rimpang mikro kunyit (Curcuma longa Linn.) menurut Shirgurkar et al. (2001) optimum pada media MS ½ konsentrasi, sedangkan menurut Islam (2004) jumlah dan ukuran rimpang mikro optimum pada media ¾ MS. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Kenyo et al. (2002) yang menyatakan bahwa umbi mikro dua kultivar lili (Avignon dan Bergamo) lebih banyak pada media MS konsentrasi penuh.

Gambar 14 Induksi rimpang pada perlakuan komposisi media ½ MS (A) dan perlakuan media MS konsentrasi penuh (B)

Pada 12 MSP faktor tunggal media MS berpengaruh nyata terhadap tinggi plantlet, jumlah tunas dan daun hijau (Tabel 4), dengan nilai rata-rata yang lebih tinggi terdapat pada media MS konsentrasi penuh. Komposisi media sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Pada media MS konsentrasi penuh kesediaan hara lebih banyak dibandingkan pada media MS ½ konsentrasi sehingga pertumbuhan plantlet temulawak menjadi lebih pesat. Kenyo et al. (2002) menyatakan bahwa jumlah daun kultur in vitro tanaman lili lebih banyak pada media MS konsentrasi penuh dibandingkan pada media ½ dan ¼ MS. Menurut Yusniawati (2004) semakin rendah konsentrasi nutrisi yang diberikan pada kultur pisang menyebabkan plantlet semakin pendek dan jumlah daun semakin sedikit. Salisbury dan Ross (1992) menyatakan bahwa persediaan hara di bawah optimal dapat mengganggu metabolisme tanaman yang pada akhirnya akan menekan pertumbuhan plantlet.

Tabel 4. Rata-rata tinggi plantlet, jumlah tunas dan daun hijau pada 12 MSP

Peubah Media MS konsentrasi penuh Media MS ½ konsentrasi Tinggi plantlet (cm) Jumlah tunas Jumlah daun hijau

7.23 2.19 1.29 4.24 1.60 0.56

Pada semua level perlakuan sukrosa jumlah daun mati mengalami peningkatan pada tiap minggu pengamatan. Pada perlakuan sukrosa 30 gL-1 peningkatan daun mati tidak mengakibatkan penurunan jumlah daun hijau. Hal ini dikarenakan daun baru terus tumbuh pada media kontrol ini hingga 18 MSP tetapi

dalam jumlah yang rendah. Akibatnya jumlah daun hijau cenderung sama pada setiap minggunya yaitu berkisar 2-3 daun hijau per botol meskipun jumlah daun mati terus bertambah. Pada 3 perlakuan sukrosa lainnya yaitu 60, 90 dan 120 gL-1 peningkatan jumlah daun mati terus diikuti dengan pengurangan jumlah daun hijau (Gambar 15). Faktor lain yang dapat menyebabkan kematian sel pada daun-

Dokumen terkait