• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Hidrokoloid dan CaCl 2 Terhadap Profil Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun

Kajian pengaruh hidrokoloid dan CaCl2 terhadap bahan baku bihun sukun dilakukan dengan melakukan analisis terhadap karakteristik gelatinisasinya. Level tepung beras yang digunakan pada tahap ini adalah jumlah tepung beras yang menghasilkan karakteristik campuran tepung terbaik dan karakteristik bihun terbaik yang dihasilkan dari Tahap 1.

Hidrokoloid yang digunakan adalah guar gum dan tepung iles-iles dengan konsentrasi 0.5 dan 1% dari jumlah total bahan baku tepung yang digunakan. CaCl2 ditambahkan adalah pada level konsentrasi 0, 1, dan 2% dari jumlah total bahan baku tepung yang digunakan. Parameter yang diukur dan diamati pada tahap ini meliputi swelling volume (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005) dan profil gelatinisasi pati dengan rapid visco analyzer (Zaidul et al. 2007). Kode perlakuan yang digunakan dalam penelitian dirangkum dalam Tabel 9 berikut.

Tabel 9 Keterangan kode perlakuan

CaCl2 (%)

Tepung sukun 100% Tepung sukun 85% + tepung beras 15% Guar gum Iles-iles Guar gum Iles-iles

1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5% 1% 0.5%

0 G1 G2 I1 I2 B1 B2 BI1 BI2

1 G3 G4 I3 I4 B3 B4 BI3 BI4

2 G5 G6 I5 I6 B5 B6 BI5 BI6

Tahap III. Pengaruh Hidrokoloid dan Garam CaCl2 Terhadap Karakteristik Bihun Sukun

Proses produksi bihun dilakukan dengan metode Collado et al. (2001) yang dimodifikasi. Bahan baku yang digunakan adalah tepung sukun dan tepung beras dengan tingkat substitusi sesuai hasil yang diperoleh pada tahap I. Bahan tambahan pangan yang digunakan meliputi sodium tripolifosfat (STPP), guar gum/tepung iles-iles dan CaCl2. STPP dilarutkan dengan air yang digunakan untuk membuat binder, sementara bahan tambahan pangan yang lain dicampurkan kering bersama sisa tepung sukun dan tepung beras. Jumlah STPP yang digunakan adalah 0.3%, guar gum/tepung iles-iles sebanyak 0.5 dan 1%, sedangkan CaCl2

sejumlah 0, 1, dan 2%. Semua persentase berdasarkan jumlah total bahan baku tepung yang digunakan.

Pembuatan bihun sukun diawali dengan membuat binder (pengikat) adonan. Sebanyak 70% tepung sukun dicampurkan dengan air dengan perbandingan 1:1. Ke dalam air ditambahkan STPP sebagai pembentuk tekstur. Suspensi dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinisasi yang ditandai dengan meningkatnya kekentalan maupun transparansi adonan. Penentuan jumlah tepung sukun yang dijadikan binder dan jumlah air yang digunakan dalam proses produksi bihun sukun ditetapkan setelah melalui beberapa percobaan. Faktor yang menjadi dasar dalam menentukan jumlah dan komposisi binder adalah bentuk adonan dan untaian yang dihasilkan. Dari hasil percobaan diperoleh kombinasi jumlah binder 70% dan perbandingan jumlah tepung dan air 1:1 yang memberikan adonan dan untaian terbaik (tidak lengket dan mudah dibentuk).

Binder yang diperoleh kemudian dicampurkan dengan 30% bagian tepung kering yang sebelumnya telah dicampur dengan hidrokoloid dan/atau tanpa penambahan CaCl2. Campuran diadon sehingga diperoleh adonan yang homogen. Adonan dimasukkan ke dalam multifunctional noodle machine yang bekerja dengan prinsip ekstrusi. Ulir tunggal yang berputar dalam mesin akan menekan dan mendorong adonan keluar melalui die dengan ukuran tertentu.

Untaian bihun selanjutnya dibentuk dan diletakkan di atas pelat-pelat berlubang, kemudian dikukus pada suhu 95 °C selama dua menit. Proses dilanjutkan dengan mengeringkan bihun dalam pengering kabinet (cabinet dryer) bersuhu 60 °C selama dua jam untuk mencapai kadar air yang relatif aman untuk penyimpanan. Bihun sukun yang diperoleh dikemas dengan menggunakan plastik PP (polyprophylene) untuk melindunginya selama penyimpanan.

Bihun yang dihasilkan kemudian dianalisis sifat fisiknya yang meliputi analisis warna, waktu rehidrasi, KPAP,berat rehidrasi dan tekstur. Dilakukan pula uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring terhadap beberapa parameter tekstur bihun yang diperoleh.

Prosedur Penelitian Analisis Karakteristik Tepung/Campuran Tepung

a. Swelling Volume dan Kelarutan (Collado & Corke 1999, Singh et al. 2005)

Sebanyak masing-masing 0.35 g tepung dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse berukuran 12.5 x 16 mm. Ditambahkan sebanyak 12.5 ml akuades ke dalam tabung kemudian disetimbangkan selama 5 menit. Tabung dipanaskan dalam penangas bersuhu 92.5 °C selama 30 menit sambil sesekali dikocok. Sampel didinginkan dengan air es selama 1 menit kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 5 menit dan disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Tinggi gel yang terbentuk diukur dan dikonversi menjadi volume gel per g sampel yang kemudian dinyatakan sebagai swelling volume.

Supernatan yang berada di bagian atas tabung disaring melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya dan filtrat yang diperoleh kemudian ditampung dengan cawan yang telah diketahui beratnya pula. Kertas saring dan cawan dikeringkan pada suhu 110 °C selama satu malam. Sampel yang tertinggal pada kertas saring merupakan berat pati yang tersuspensi di dalam supernatan dan sampel yang tertinggal pada cawan merupakan pati yang terlarut. Persentase pati yang tersuspensi dan terlarut dihitung berdasarkan perbandingan beratnya terhadap berat kering sampel awal.

b. Analisis Profil Gelatinisasi Pati dengan Rapid Visco Analyzer (Zaidul et al. 2007)

Analisis terhadap profil gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan instrumen Rapid Visco Analyzer TecMaster Newport Scientific Pty Ltd., Warriewood – Australia. Sampel sebanyak 3 gram (kadar air diketahui) disuspensikan dalam 25 ml air destilata. Suspensi dipanaskan hingga suhu 50 °C dan dipertahankan selama 1 menit, kemudian dipanaskan lebih lanjut hingga mencapai suhu 95 °C dengan kecepatan pemanasan 6 °C/menit dan dipertahankan pada suhu tersebut selama 5 menit. Setelah itu dilakukan pendinginan hingga

mencapai suhu 50 °C dengan kecepatan pendinginan 6 °C/menit dan dipertahankan pada suhu tersebut selama 5 menit.

Informasi yang dapat diperoleh dari kurva viskograf adalah parameter profil gelatinisasi pati, antara lain: viskositas puncak (VP = viskositas tertinggi selama proses pemanasan), suhu gelatinisasi (SG = suhu awal gelatinisasi), waktu puncak (WP = waktu untuk mencapai viskositas puncak), viskositas trough (VT = viskositas terendah yang teramati setelah VP tercapai), viskositas breakdown

(VB = VP dikurangi VT), viskositas akhir (VA = viskositas setelah satu siklus terselesaikan), viskositas setback (VS = VA dikurangi VT). Seluruh nilai dilaporkan dalam menit, °C atau centipoises (cP). Penentuan profil gelatinisasi pati dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Kurva profil gelatinisasi pati: SG (suhu gelatinisasi), VP (viskositas puncak), WP (waktu puncak), VT (viskositas trough), VB (viskositas

breakdown), VS (viskositas setback) dan VA (viskositas akhir)

c. Analisis Kadar Air (AOAC 1995)

Sebanyak 1 – 2 g sampel ditimbang ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam oven bersuhu 130 °C selama 1 jam. Cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Cawan dipanaskan kembali hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan rumus berikut:

SG WP

VT

VA

VS

Kadar air (g/100 g bahan basah) =

Dimana:

W = bobot contoh awal (g)

W1 = bobot contoh + cawan setelah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g)

d. Analisis Kadar Lemak (AOAC 1995)

Kadar lemak ditetapkan berdasarkan metode ekstraksi Soxhlet. Prinsip metode ini adalah pelarutan lemak yang akan diekstrak dengan pelarut dietil eter. Setelah pelarutnya diuapkan, lemak dapat ditimbang dan dihitung persentasenya.

Labu lemak dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang langsung dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring berisi sampel diletakkan di dalam alat ekstraksi Soxhlet, kemudian kondensor dipasang di atas dan labu lemak di bawah alat tersebut. Pelarut dietil eter atau petroleum eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya, sesuai dengan ukuran Soxhlet yang digunakan. Kemudian, sampel direfluks selama minimum 5 jam hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak, berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi dan ditampung. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C. Setelah labu dikeringkan hingga beratnya tetap dan didinginkan dalam desikator, labu berisi lemak tersebut ditimbang.

Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar lemak (g/100 g bahan basah) =

Dimana:

W = bobot contoh awal (g)

W1 = bobot contoh + labu lemak setelah dikeringkan (g) W2 = bobot labu lemak kosong (g)

e. Analisis Kandungan Protein (AOAC 1995)

Analisis terhadap kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0.2 gram dan dimasukkan ke

dalam labu Kjeldahl 100 ml. Kemudian ditambahkan 2 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat, selanjutnya didestruksi hingga warna larutan berubah menjadi hijau jernih dan didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan 35 ml akuades dan 10 ml NaOH pekat untuk selanjutnya didestilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, kemudian dititrasi menggunakan HCl 0.02 N hingga berubah warna. Prosedur analisis yang sama diterapkan juga untuk blanko. Kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar nitrogen dalam sampel (%N) = .

Kadar protein (g/100 g bahan basah) = 6.25 x %N Dimana:

W = bobot contoh awal (g)

Vs = volume HCl yang digunakan untuk titrasi sampel (ml) Vb = volume HCl yang digunakan untuk titrasi blanko (ml)

f. Analisis Kandungan Pati (SNI 01-2891-1992)

Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%, kemudian dididihkan selama 3 jam menggunakan pendingin tegak. Larutan dinetralkan dengan NaOH 30% dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan menjadi sedikit asam. Larutan dipindahkan dalam labu ukur 500 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambah dengan 25 ml larutan Luff, batu didih dan 15 ml akuades kemudian dipanaskan dengan nyala api tetap. Setelah mendidih selama 10 menit, erlenmeyer didinginkan di dalam bak berisi es. Setelah campuran dingin, dilakukan penambahan KI 20% sebanyak 15 ml dan H2SO4 25% sebanyak 25 ml. Campuran dititrasi menggunakan larutan Na2S2O3 0.1 N dengan indikator pati 0.5% hingga diperoleh titik akhir. Prosedur analisis yang sama diterapkan terhadap blanko.

Perhitungan kadar pati dilakukan berdasarkan kandungan glukosa yang terukur pada titrasi sampel. Kadar glukosa dihitung berdasarkan rumus berikut:

Dimana:

Vb = volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi blanko Vs = volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi sampel N = konsentrasi Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi

Jumlah (mg) gula yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang digunakan ditentukan melalui tabel Luff Schoorl (Tabel 9). Dari tabel tersebut dapat diketahui hubungan antara volume Na2S2O3 0.1 N yang digunakan dengan jumlah glukosa yang ada pada sampel yang dititrasi. Selanjutnya kadar glukosa dan kadar pati dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar glukosa (%G) =

Kadar pati (%) = %G x 0.90 Dimana:

W = glukosa yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang digunakan (mg) dari tabel

W1 = bobot sampel

fp = faktor pengenceran

Tabel 10 Penetapan gula menurut Luff Schoorl Na2S2O3

0.1 N (ml)

Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg)

Na2S2O3 0.1 N (ml)

Glukosa, fruktosa dan gula inversi (mg) 1 2.4 13 33.0 2 4.8 14 35.7 3 7.2 15 38.5 4 9.7 16 41.3 5 12.2 17 44.2 6 14.7 18 47.1 7 17.2 19 50.0 8 19.8 20 53.0 9 22.4 21 56.0 10 25.0 22 59.1 11 27.6 23 62.2 12 30.3

g. Analisis Kandungan Amilosa dan Amilopektin (Riley et al. 2006)

Penetapan Sampel

Sebanyak 100 mg sampel tepung bebas lemak dimasukkan dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9.0 ml NaOH 1 N. Setelah

itu sampel dipanaskan dengan penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak 5 ml sampel dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml CH3COOH 1 N dan 2 ml larutan iod (0.2% iod dalam 2% KI) lalu ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah dikocok, larutan didiamkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.

Pembuatan Kurva Standar

Standar amilosa disiapkan dengan cara menimbang 40 mg amilosa murni ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan standar dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan CH3COOH 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml, kemudian masing-masing tabung ditambahkan 2 ml larutan iod dan ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, absorbansi dari intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y).

Kadar amilosa dalam sampel dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar amilosa =

Dimana:

C = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml) V = volume akhir sampel (ml)

F = faktor pengenceran W = berat sampel (mg)

Kandungan amilosa dalam sampel dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan amilopektin yang dihitung berdasarkan selisih total kadar pati dengan kadar amilosa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap I. Pengaruh Substitusi Tepung Beras Terhadap Karakteristik Gelatinisasi Bahan Baku Bihun Sukun

Pencampuran tepung sukun dengan tepung beras menghasilkan karakteristik tepung yang berbeda dengan tepung alami, tergantung proporsi masing-masing tepung dalam campuran. Tepung beras yang digunakan berasal dari beras dengan kandungan amilosa sedang yaitu varietas Rojolele.

Untuk melihat pengaruh penambahan tepung beras varietas Rojolele terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku, maka dilakukan substitusi tepung beras terhadap tepung sukun pada dua level konsentrasi yaitu 15% dan 30%. Pencampuran kedua jenis tepung ini diharapkan dapat memperbaiki karakteristik gelatinisasi bahan baku dan pada akhirnya dapat memperbaiki karakteristik produk bihun sukun yang dihasilkan.

Profil Gelatinisasi Tepung

Profil gelatinisasi tepung sukun dan campuran tepung sukun – tepung beras yang diukur dengan rapid visco analyzer disajikan pada Gambar 12. Kedua jenis tepung ini menunjukkan pola profil gelatinisasi yang berbeda, sehingga ketika dilakukan pencampuran terhadap keduanya maka akan diperoleh profil gelatinisasi yang berbeda pula.

Gambar 12 Profil gelatinisasi tepung dan campuran tepung 0 20 40 60 80 100 120 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 Suhu   (°C) Viskositas   (cP) Waktu (menit)

tp sukun 100 % tp sukun 85 % + tp beras 15 % tp sukun 70 % + tp beras 30 % tp beras 100 %

Profil gelatinisasi tepung sukun 100% menunjukkan perbedaan mendasar dengan tepung beras 100%. Tepung sukun 100% memiliki viskositas puncak dan

breakdown yang jauh lebih rendah dibandingkan tepung beras. Secara visual, pencampuran tepung beras dengan tepung sukun meningkatkan viskositas puncak dan viskositas breakdown bahan baku. Tepung beras memiliki viskositas puncak yang tinggi, jauh di atas viskositas puncak tepung sukun. Tepung beras juga memiliki viskositas breakdown yang tinggi, ditandai dengan bentuk kurva yang menurun dengan tajam setelah mencapai viskositas puncak. Profil gelatinisasi bahan baku dijabarkan menjadi beberapa parameter seperti dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Profil gelatinisasi tepung sukun, tepung beras dan campuran keduanya

Bahan VP (cP) VT (cP) VB (cP) VA (cP) VS (cP) WP (mnt) SG (°C) Tepung sukun 1915.5 1864 51.5 3019.5 1155.5 10.54 76.73 Tepung beras 3005 1238 1767 2681 1443 9.27 80.15 Tepung sukun 85% + tepung beras 15% 2209 1741 468 3105 1364 8.33 77.30 Tepung sukun 70% + tepung beras 30% 2138 1500 638 2734 1234 8.67 77.35

Keterangan: VP = viskositas puncak, VT = viskositas trough, VB = viskositas breakdown, VA = viskositas akhir, VS = viskositas setback, WP = waktu puncak, SG = suhu gelatinisasi

Viskositas puncak merupakan kemampuan pati untuk mengembang dengan bebas sebelum mengalami breakdown. Viskositas puncak yang dihasilkan dari pencampuran tepung beras 15% lebih tinggi dibandingkan pencampuran tepung beras 30%. Campuran tepung dengan kandungan amilosa lebih tinggi memiliki viskositas puncak yang rendah. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa campuran tepung sukun dan tepung beras dengan rasio 85%:15% memiliki kandungan amilosa yang rendah, sehingga menghasilkan viskositas puncak yang lebih tinggi. Perubahan viskositas puncak sebagai fungsi dari kandungan amilosa sejalan dengan beberapa hasil penelitian lain. Blazek dan Copeland (2007) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa untuk pati dengan kadar amilosa <30%, peningkatan kandungan amilosa akan mengakibatkan penurunan viskositas puncak pati.

Tabel 12 Hasil analisis proksimat tepung dan campuran tepung (% bk) Bahan Kadar air (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) Kadar amilosa (%) Kadar amilo-pektin (%) Kadar pati (%) Tepung sukun 8.47 0.98 5.56 10.01 60.47 70.48 Tepung beras 12.77 0.57 10.55 12.60 69.57 82.18 Tepung sukun 85% + tepung beras 15% 9.12 0.92 6.31 10.40 61.83 72.23 Tepung sukun 70% + tepung beras 30% 9.76 0.85 7.06 10.79 63.20 73.99

Hal yang berbeda terjadi pada tepung beras, dimana kandungan amilosa yang lebih tinggi pada tepung beras ternyata justru menghasilkan viskositas puncak yang tinggi pula. Hal ini dimungkinkan oleh kandungan amilopektin yang lebih tinggi pada tepung beras. Tepung beras memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi karena kandungan patinya juga jauh lebih tinggi dibandingkan tepung sukun ataupun tepung campuran. Menurut Ratnayake et al. (2002) amilopektin merupakan komponen pati yang bertanggungjawab terhadap proses pengembangan granula, sehingga pati dengan kadar amilopektin tinggi akan menghasilkan viskositas puncak yang tinggi pula sebagai hasil dari pengembangan granula. Hal ini menjelaskan nilai viskositas puncak tepung beras yang berbanding lurus dengan kandungan amilosanya.

Viskositas puncak menunjukkan kemampuan penyerapan air oleh granula pati (Herawati 2009). Pati yang mempunyai kemampuan penyerapan air tinggi akan mengalami pembengkakan yang tinggi pula dan berakibat pada tingginya viskositas puncak pasta. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara parameter

swelling volume dengan viskositas puncak pati. Nilai swelling volume dari tepung dan campuran tepung dapat dilihat pada Tabel 13. Terdapat korelasi yang erat antara swelling volume dengan viskositas puncak (r = 0.85, Lampiran 1), dimana pati dengan swelling volume tinggi memiliki viskositas puncak yang tinggi pula.

Nilai swelling volume berkaitan erat dengan nilai fraksi pati yang tidak membentuk gel (r = 0.79, Lampiran 1). Hubungan antara swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel terkait dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi

hidrogen antar molekul, sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan memiliki kemampuan pengembangan yang tinggi. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam, sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar. Jumlah polimer yang keluar dari granula sangat tergantung pada derajat pembengkakan pati.

Tabel 13 Swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel dari tepung dan campuran tepung

Bahan Swelling vol

(ml/g)

Fraksi pati yang tidak membentuk gel (%) Tepung sukun 10.14 ± 0.40a 12.91 ± 0.06a

Tepung beras 7.88 ± 0.25c 2.39 ± 0.05d

Tepung sukun 85% + tepung beras 15%

9.08 ± 0.04b 12.32 ± 0.17b

Tepung sukun 70% + tepung beras 30%

8.54 ± 0.02b 11.46 ± 0.12c

Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji lanjut Duncan (P<0.05)

Swelling merupakan karakteristik khas dari amilopektin. Ratnayake et al.

(2002) menyatakan ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih, struktur kristalinnya menjadi terganggu, sehingga menyebabkan kerusakan pada ikatan hidrogen dan molekul hidrogen keluar dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan

swelling dan kelarutan granula. Tepung dengan kandungan amilosa rendah akan memiliki swelling volume yang tinggi karena kandungan amilopektin yang berperan dalam pengembangan granula juga lebih tinggi.

Selain kandungan amilosa, protein juga berperan penting dalam mempengaruhi kemampuan pengembangan granula pati. Pada pasta pati, protein mengelilingi granula pati, membatasi pengembangan granula, dan sifat kohesinya menghambat keluarnya material dari dalam granula selama proses gelatinisasi (Charles et al. 2007). Tepung beras memiliki kandungan protein tertinggi (Tabel 12), sehingga pengembangan granulanya menjadi lebih terbatas dan menghasilkan nilai fraksi pati yang tidak membentuk gelserta swelling volume yang rendah.

Viskositas trough merupakan nilai viskositas minimum pada fasa suhu konstan pada profil RVA yang mengukur kemampuan pasta untuk bertahan

terhadap breakdown selama pendinginan. Tepung sukun memiliki viskositas

trough tertinggi dibandingkan tepung beras dan campuran keduanya. Peningkatan penambahan tepung beras dalam campuran mengakibatkan penurunan viskositas

trough. Hal ini terjadi karena penambahan tepung beras dalam campuran tepung meningkatkan kandungan amilosa dari campuran tepung tersebut. Nilai viskositas

trough berbanding terbalik dengan kandungan amilosa dalam tepung dan campuran tepung.

Viskositas breakdown dinyatakan sebagai ukuran dari disintegrasi granula atau kestabilan pasta. Pada saat breakdown, granula yang mengembang mengalami kerusakan lebih lanjut dan molekul amilosa keluar menuju larutan. Pada campuran tepung sukun dengan tepung beras, viskositas trough berbanding terbalik dengan viskositas breakdown. Viskositas breakdown diperoleh dari hasil pengurangan viskositas puncak dengan viskositas trough. Bila viskositas puncak dan trough mengalami penurunan yang tidak proporsional, maka viskositas

breakdown mengalami peningkatan, menghasilkan nilai viskositas yang berbanding terbalik dengan trough. Peningkatan jumlah tepung beras yang dicampurkan dengan tepung sukun justru meningkatkan viskositas breakdown

dari campuran tepung. Peningkatan nilai viskositas breakdown menunjukkan bahwa campuran tepung menjadi semakin tidak resisten terhadap panas dan pengadukan. Peningkatan jumlah penambahan tepung beras terhadap tepung sukun menurunkan kekuatan tepung terhadap pengaruh panas dan pengadukan.

Viskositas akhir merupakan parameter yang mendefinisikan kualitas dari pati, diindikasikan oleh kemampuan dari material untuk membentuk pasta kental atau gel setelah pemasakan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Viskositas akhir campuran tepung semakin menurun dengan meningkatnya jumlah tepung beras yang ditambahkan. Hal ini dapat dijelaskan oleh kandungan amilosa yang semakin tinggi dengan meningkatnya jumlah tepung beras yang berada dalam campuran tepung. Kandungan amilosa yang lebih tinggi menghasilkan gel dengan tingkat agregasi amilosa yang lebih tinggi pula, sehingga zona sambungan (junction zone) menjadi lebih sempit serta jaringan yang terbentuk lebih rapat dan pada akhirnya menurunkan viskositas gel yang terbentuk (Blazek & Copeland 2007).

Viskositas setback merefleksikan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi. Viskositas setback yang lebih tinggi diperoleh pada tepung sukun yang dicampur dengan tepung beras 15%. Hal ini menunjukkan bahwa retrogradasi amilosa tertinggi terjadi pada campuran tersebut.

Secara umum, substitusi tepung beras varietas Rojolele terhadap tepung sukun tidak mengubah tipe profil gelatinisasi bahan baku menjadi tipe C berdasarkan hasil analisis menggunakan RVA. Tetapi karakteristik swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel dari tepung sukun menjadi lebih rendah dengan adanya perlakuan substitusi tepung beras.

Aplikasi tepung sukun 100% dan campuran tepung sukun - tepung beras pada bihun menghasilkan produk dengan karakteristik berbeda. Dua karakteristik bihun yang diamati adalah KPAP (kehilangan padatan akibat pemasakan) dan persen rehidrasi. Nilai KPAP menunjukkan jumlah padatan yang keluar dari untaian bihun selama proses pemasakan. Semakin tinggi nilai KPAP, maka semakin banyak padatan yang keluar dari untaian bihun selama proses pemasakan. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa substitusi tepung beras terhadap tepung sukun menghasilkan bihun dengan KPAP yang lebih rendah dibandingkan dengan bihun sukun 100% ataupun bihun beras 100%. Substitusi tepung beras 15% menghasilkan bihun sukun dengan KPAP lebih rendah dibandingkan bihun yang disubstitusi oleh tepung beras 30%.

Tabel 14 Nilai KPAP dan persen rehidrasi bihun sukun yang disubstitusi dengan tepung beras

Jumlah tepung beras yang