• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Hukum Islam dalam Perkawinan Adat

BAB III EKSISTENSI PERKAWINAN ADAT MANDAILING D

A. Perkawinan Adat Mandailing di Kota Medan

1. Pengaruh Hukum Islam dalam Perkawinan Adat

Sistem hukum adat merupakan sistem hukum yang pertama kali berlaku dan merupakan pencerminan kesadaran hukum bangsa Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sistem hukum ini bersama dengan norma lain memberi peranan yang cukup besar dalam mengendalikan kehidupan bermasyarakat pada masa itu.

Dalam perjalanannya, hukum adat mengalami pasang surut dalam pemberlakuannya. Hal ini seiring dengan masuknya agama Islam sekitar abad ke-13 melalui pulau Sumatera dengan mendirikan Kerajaan Islam pertama di Indonesia yaitu Samudera Pasai. Dalam waktu yang cukup singkat, agama Islam berkembang pesat, sehingga mendesak agama Hindu yang terlebih dahulu ada di dalam masyarakat Indonesia. sehingga hukum Islam diberlakukan pula di dalam masyarakat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya 3 (tiga) teori yang dikemukakan oleh para sarjana pada masa penjajahan Belanda mengenai pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Tiga teori itu terdiri sebagai berikut:

a. TeoriReceptio in Complexu

Pada masa itu sebagai ahli hukum Belanda beranggapan bahwa hukum adat dipandang sebagai hukum yang tepat untuk diberlakukan bagi bangsa Indonesia, karena hukum adat identik dengan hukum Islam. Dengan kata lain, hukum Islam mengikat bagi para penduduk asli yang beragama Islam. Sebaliknya hukum yang berlaku bagi golongan tidaklah dibentuk oleh hukum asli (inheems voklsrecht)

melainkan oleh hukum agamanya. Karena menurut pendapat mereka, hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah hukum Islam. Pandangan

ini melahirkan suatu teori yang dikenal dengan nama teori receptio in complexu.

Teori ini dipelopori oleh para ahli hukum Belanda seperti Carel Frederik Winter (1823-1868), Solomon Keyzer dan mencapai puncak ketenarannya melalui Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1827) seorang penasehat untuk bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam di Indonesia antara tahun 1878-1887160dan

memperkuat bahwa yang berlaku di Indonesia itu adalah hukum Islam untuk orang- orang Islam maupun terdapat penyimpangan-penyimpangan, bahkan pemikirannya diwujudkan dalam praktek pada saat penyelesaian kasus kewarisan dan perkawinan Islam yang dilangsungkan di peradilan dengan menggunakan hukum Islam. Disamping itu diakui pula adanya hakim kepala masyarakat (adat) dengan keputusan- keputusan yang berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan lama (adat) yang berlaku bagi mereka.

b. TeoriReceptie

Ada peralihan pikiran, dimana Cornelis van Vollenhoven berpendapat bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia itu adalah hukum adat. Hal ini diperkuat oleh Christian Snouch Hurgronje yang mengemukakan teori receptie

berpendapat bahwa hukum yang hidup dan berlaku di kalangan rakyat Indonesia adalah hukum adat. Hal ini didasarkan atas penemuannya yang dituangkan dalam buku yang berjudulDe Atjehersdan Het Gajoland.Beliau melihat pada daerah Aceh

160 Soepomo dan R. Djokosoetono, Sejarah Politik Hukum Adat Jilid II,Pradnya Paramita, Jakarta, hal.82

selain hukum Islam diberlakukan pula ketentuan lain yang disebutnya dengan hukum adat.

Ke dalam hukum adat memang telah masuk hukum Islam. Menurut teori

receptieberarti bahwa hukum islam dan hukum adat adalah dua entitas yang berbeda,

kecuali untuk hukum Islam yang meresepsi ke dalam hukum adat. Adapun hukum Islam yang telah meresepsi di seluruh wilayah Indonesia adalah bidang-bidang hukum perkawinan, terutama mengenai syarat-syarat sahnya perkawinan dan hukum wakaf, serta hukum waris untuk beberapa wilayah tertentu.161 Namun teori ini

berakibat pada keluarnya hukum Islam dari tata hukum Hindia Belanda dan masa ini menjadi puncak keberhasilanteori receptie.

c. TeoriReceptio a Contrario

Keadaan dimana hukum yang hidup dan berlaku di kalangan masyarakat adat adalah hukum adat berlangsung sampai dengan persiapan kemerdekaan Indonesia yang menyebabkan ketidakpuasan bagi ahli hukum, dengan diterapkannya teori

receptie ini dalam perundang-undangan Indonesia khususnya setelah Indonesia

mencapai kemerdekaan. Dasar pemkiran mereka adalah Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap ketentuan yang telah ada tetap berlaku sebelum diganti atau diubah secara nyata. Kemudian muncul teori yang menentangteori receptio yang dikenal dengan nama teori receptio a contrario. Teori

ini dipelopori oleh Hazairin yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Menurut teorireceptieadalah suatu ciptaan

pemerintah Belanda yang merintangi kemajuan Islam di Indonesia sehingga bertentangan dengan Al Quran dan iman Islam.162 Perwujudan dari teori ini dapat

dilihat di beberapa daerah yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam dan kuat dalam menjalankannya, dimana diberlakukan hukum Islam cenderung dilakukan pada perbuatan-perbuatan hukum tertentu, seperti dalam perkawinan, kewarisan, keluarga, dll.

Masuknya Islam ke Mandailing dimulai dari tahun 1833 pada waktu dimulainya Perang Paderi pada tahun 1821 sampai dengan tahun 1838. Masuknya pasukan Paderi dari Sumatera Barat telah mendorong perubahan sosial dalam tatanan masyarakat Mandailing.163 Sebelumnya memang sudah ada beberapa orang

Mandailing yang belajar Islam di Bonjol. Tetapi ketika pasukan Paderi masuk, mereka melakukan pengislaman lagi secara besar-besaran.164

Kelompok Paderi ini sangat dipengaruhi oleh konsep ideologi Arab. Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum warisan dan umumnya pelaksanaan yang jauh dari ritual formal agama Islam.165Sikap keras seperti itu tentu saja mendapat perlawanan dari raja-raja

Mandailing ketika itu yang masih mendominasi tatanan tingakh laku adat.

162Hazairin,Tujuh Serangkai tentang Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1981,hal 62

163

Hasil wawan cara dengan Ketua Adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala) pada hari Rabu, 18 Juli 2012, jam 11.00 WIB

164

http://www.mandailingonline.com/2011/10/mandailing-natal-sejarah-dan-entitas-budaya/ diakses pada tanggal 10 November 2012, jam 10.07 WIB

165

http://forum.detik.com/sejarah-perang-paderi-1821-1837-t80921.html?s=bad142da88654 ad6c13e99e41f6c2a92& diakses pada tangal 11 November 2012, jam 10.21 WIB

Perlawanan dilakukan oleh paksi pro-Adat, Patuan Naga dan Raja Gadombang. Patuan Naga adalah Raja Panoesoenan di Panyabungan, Mandailing Godang, Raja Gadombang, Raja Huta na Godang. Tetapi dua tokoh penting Paderi ketika itu yang membawahi Mandailing, Tuanku Tambusai (Pakih Saleh) membalas dengan melakukan penyiksaan bagi mereka yang menolak tata hidup yang dibawa Paderi. Selama Perang Paderi, Tuanku Tambusai, setelah pulang dari Mekkah mengajarkan Islam di Padang Lawas, Padang Bolak, Sipirok dan Mandailing.166

Selama satu dekade, Paderi mendominasi wilayah Mandailing melalui kekuasaan Qadi. Kekuasaan Qadi merupakan bentuk yang sangat efektif untuk menunjukkan bentuk pemerintahan Islam ketika itu. Qadi bukan sekedar membawa pengaruh nilai-nilai Islam, tetapi juga memiliki pengaruh sosial ekonomi dan politik. Gelar haji membuat identik dengan seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang luas dan mampu membawa nilai persaudaraan Islam di Mandailing. Konsep itulah yang memperkuat Islam di Mandailing sampai saat ini.167

Pada adat Mandailing yang mayoritas masyarakat adatnya beragama Islam, hukum Islam sangat berpengaruh pada hukum adat. Segala bentuk acara adat baik perkawinan, pewarisan, pemakaman, harus ditinjau dari hukum Islam terlebih dahulu. Contohnya pada jaman dahulu sebelum masuknya hukum Islam, setiap pemakaman diwajibkan untuk meratap yang artinya menangis tersedu-sedu didepan mayat dan

menceritakan tentang kebaikan orang yang telah tiada tersebut. Hal ini diharamkan di

166

http://www.mandailingonline.com/2011/10/mandailing-natal-sejarah-dan-entitas-budaya/ diakses pada tanggal 11 November 2012 jam 10.58 WIB

167

dalam hukum Islam. Sehingga mengakibatkan masyarakat adat Mandailing meninggalkan tradisi tersebut. Begitu pula dengan tradisi memasang kepala kerbau diatas atap rumah masyarakat adat yang melakukan perkawinan adat Batak Mandailing. Hal ini sudah ditinggalkan dengan memasang hanya bagian tanduk kerbau saja. Dengan atas dasar pertimbangan dalam Islam tidak diperkenankan untuk melakukan pemborosan. Kepala kerbau tersebut masih bisa diolah menjadi makanan untuk tamu, tetapi tanduknya tidak memiliki fungsi sehingga diperkenankan untuk dipakai sebagai ganti dari kepala kerbau yang dahulu diwajibkan dipasang di atap masyarakat adat yang melangsungkan pernikahan.168

Teori ini dilandasi oleh pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kaidah- kaidah fikih antara lain:

1. Pada prinsipnya pada kaitannya dengan perintah Tuhan dan Rasul maka kalau diformulasikan didalam kalimat perintah berarti wajib.

2. Larangan pada dasarnya adalah ketidakbolehan untuk dikerjakan/haram 3. Adat kebiasaan (urf) dapat dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan

Islam atauAl ‘Aadah Muhakkamah.169

Selain tiga teori di atas, terdapat pula dua teori yang menggambarkan keutamaan hukum Islam terhadap hukum adat, yaitu170:

168 Hasil wawancara dengan Ketua Adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala) pada hari Rabu, 18 Juli 2012, jam 11.00 WIB, dan keputusan tersebut telah diseminarkan di Medan.

169Ichtijanto,Hukum Islam dan Hukum Nasional,Jakarta,Ind-Hill.Co, 1990, hal 46 170R. Otje Salman Soemadiningrat,Op.Cithal.81-83

a. Teori Penetration Pasifique, Tolenrante et Constructive

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang antropolog budaya yang bernama de Josselin de Jong. Ia hanya membahas mengenai antropolog budaya dengan memperlihatkan sekedarnya bagian terpenting dari adanya pengaruh Islam terhadap hukum adat.

De Jong melihat bahwa pengaruh hukum Islam terlihat dalam hidupnya suatu kepercayaan tertentu dan mewujud dalam Islam yang berdasarkan atas kebudayaan masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan sebutanIslam Indonesia.171

b. TeoriSinkritisme

Datangnya Islam ke Indonesia telah mempengaruhi perkembangan hukum adat. Hal ini disebabkan oleh sifat-sifat akomodatif Islam terhadap sistem-sistem lain yang berada di luar keagamaannya. Seorang pakar hukum adat bernama M.B.Hooker mengemukakan pendapatnya bahwa sifat akomodatif Islam mengakibatkan terjadinya hubungan yang erat antara nilai-nilai Islam dengan hukum adat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Eratnya hubungan tersebut menghasilkan suatu sikap rukun, saling memberi dan menerima dalam bentuk tatanan baru, yaitusinkritisme.172

Menurut Hooker, tidak ada satu pun sistem, baik hukum adat maupun hukum Islam yang saling menyisihkan. Keduanya berlaku dan memiliki daya ikat sederajat yang pada akhirnya membentuk suatu pola khas dalam kesadaran hukum masyarakat. Namun, kesamaan derajat berlakunya dua sistem hukum ini tidak selamanya berjalan

171M.Yahya Harahap,Op.Cit,hal 59-60 172Ibid,hal 59-60

dalam alur yang searah, karena pada saat-saat tertentu kemungkinan terjadi konflik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa daya berlaku sistem hukum, baik hukum adat maupun hukum Islam tidak disebabkan oleh meresepsinya sistem hukum tersebut pada sistem yang lain, tetapi hendaknya disebabkan oleh adanya kesadaran hukum masyarakat yang nyata/sungguh-sungguh menghendaki bahwa sistem hukum itulah yang berlaku (sociale en rechtweklijkheld).

Dalam Islam, terdapat syarat dan rukun perkawinan yang wajib dipenuhi. Untuk itu harus dipahami apa makna syarat dan rukun itu sendiri. Adapun syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidakya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah, tetapi pekerjaan tersebut bukan termasuk dalam rangkaian itu sendiri, seperti halnya menutup aurat dalam shalat atau dalam perkawinan dalam Islam bahwa calon suami atau istri harus beragama Islam. Sedangkan makna dari rukun itu sendiri adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan pekerjaan tersebut termasuk dalam rangkaian ibadah itu sendiri, seperti adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam perkawinan.173

Dalam hal hukum perkawinan, dalam menentukan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang mana perbedaan tersebut substansial. Perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan karena berbeda dalam

melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama sepakat dalam hal-hal yang terlibat dan harus ada dalam suatu perkawinan, yaitu:174

1) Akad nikah,

2) Mempelai laki-laki dan perempuan

Dalam kedua mempelai harus termasuk orang yang belum muhrim seperti dalam surah An Nisa’ ayat 22-23. Muhrim dapat dibagi menjadi ibu kandung, anak perempuan, saudara perempuan baik seibu dan sebapak, saudara perempuan dari bapak termasuk anak-anak perempuan dari kakek atau nenek, saudara perempuan dari ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki atau perempuan, ibu sesusuan, saudara sesusuan, mertua perempuan, anak tiri, istri anak kandung sendiri dan istri anak-anak keturunannya, dua saudara menjadi istri juga saudara perempuan bersama saudara ibu/bapaknya.175

3) Wali

Bagi mempelai perempuan harus ada izin atau persetujuan dari wali, sedang mempelai laki-laki izin atau persetujuan diperlukan selama belum dewasa. Sedangkan yang menjadi wali menurut urutan adalah:176

a. Bapak

b. Saudara laki-laki seibu sebapak c. Saudara laki-laki sebapak

d. Anak saudara laki-laki seibu sebapak

174Syarifuddin Amir,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Kencana, Jakarta,2007 hal.59 175Surah An-Nisa’ ayat 22-23, Al Qur’an dan terjemahannya.

e. Anak saudara sebapak

f. Saudara laki-laki dari bapak, yang sebapak

g. Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari bapak, yang seibu sebapak h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari bapak yang sebapak

Wali dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan dibedakan menjadi tiga bahagian, yaitu:

a. Wali Nasab, ialah laki-laki yang beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah.

b. Wali Hakim, ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang punya wali.

c. Wali Muhakam, ialah seorang yang beragama Islam diangkat oleh kedua calon suami istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah.177

4) Dua orang saksi

Dalam sahnya perkawinan harus ada sedikitnya dua orang saksi yang syarat- syaratnya sebagai berikut:

a. Seorang muslim b. Seorang yang merdeka c. Dewasa

d. Berfikiran sehat

177

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberty, 1982, hlm.46

e. Berkelakuan baik 5) Mahar

Dalam Islam disebut dengan “Sadaq”,berarti mas kawin yang disebut juga

dengan mahar. Dalam perkawinan diharuskan adanya mahar, yaitu pemberian laki-laki sesuai dengan permintaan perempuan. Sedangkan besarnya tidak dibatasi, tetapi Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu secara ma’ruf

yaitu dalam batas-batas wajar sesuai kemampuan suami. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.178

Dalam perkembangan Islam di Indonesia, tedapat 4 (empat) mazhab179, yaitu:

Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali. Serta paham yang lain, yaitu paham Muhammadiyah.

Muhammadiyah memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman agama islam, yaitu:

1. Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena itu, semua orang Islam harus memahaminya.

2. Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif. Dari kedua prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut doktrin agama yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah

178 http://almanhaj.or.id/content/3230/slash/0/syarat-rukun-dan-kewajiban-dalam-aqad-nikah/ diakses pada hari Jumat tanggal 19 Oktober 2012, jam 14.36WIB

179 Mazhab adalah pendapat, kelompok, aliran yang pada mulanya merupakan pendapat atau hasil ijtihad seorang imam dalam memahami suatu masalah, baik menyangkut masalah teologi, tasawuf, filsafat, politik maupun fikih. Dalam perkembangannya, kata mazhab mengalami penyempitan makna yang semula menyangkut semua aspek ajaran Islam, belakangan hanya menyangkut hukum Islam. Dapat di akses di http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/muhammadiyah- bermazhab-atau-tidak/

selalu (dapat) berubah-ubah selaras dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justru memahami arti pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama (Islam) sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat tetap, sedang interpretasinya bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam yang memahami arti universalitas kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah usang dimakan zaman dan selalu selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun.180

Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang sebagai berikut:

a. Aqidah

Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyirkan, bi’dah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam

b. Akhlak

Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia

c. Ibadah

Muhammadiyah bekerja untk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW tanpa tambahan dan perubahan dari manusia

d. Mu’amalah Duniawiyat

Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah duniawiyat (pengelolaan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.181

Dengan paham pelaksanaan ibadah yang menurut umat Islam yang menganut paham Muhammadiyah, ibadah harus dilaksanakan menurut yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. Sehingga membuat umat Islam yang menganut paham Muhammadiyah tidak menyetujui dan bersedia

180

http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/muhammadiyah-bermazhab-atau-tidak/ diakses tanggal 1 November 2012 jam 1.54 WIB

181

http://blog.umy.ac.id/feriferari/2012/01/11/paham-muhammadiyah/ diakses tanggal 8 November 2012 jam 8.22 WIB

terlibat dalam perayaan perkawinan seperti perkawinan adat. Menurut paham ini, yang paling mendasar dari sebuah perkawinan hanyalah akad nikah.182 Penolakan

mungkin dilakukan penganut paham Muhammadiyah untuk melakukan atau melangsungkan perkawinan adat. Namun, dalam perkawinan adat Mandailing, mempelai wanita harus mengikuti segala perlehatan yang telah disusun acaranya oleh mempelai pria. Apabila mempelai pria yang menganut paham Muhammadiyah, maka hal ini akan disepakati dalam marpokat yang dilakukan sebelum akad nikah

dilakukan.183

Dokumen terkait