• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan dan Kerentanan Pangan Pangan

5.2.2. Pengaruh Indikator Ketahanan dan Kerentanan Pangan

Selanjutnya dilakukan analisis regresi logistik (binary logistic) dengan tingkat kepercayaan 90%, untuk melihat pengaruh indikator ketahanan dan

adalah rasio konsumsi normative (X1), persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan (X2), persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai (X3), persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan (X4), persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih (X5), dan untuk variabel terikatnya adalah ketahanan dan kerentanan pangan kronis (Y). Sedangkan persentase rumah tangga tanpa akses listrik, perempuan buta huruf dan berat badan balita dibawah standar tidak disertakan dalam analisis untuk menghindari terjadinya multikolinearitas. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Tabel 15. Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi - Square Df Sig.

Step 1 Step Block Model

24.975 24.975 24.975

5 5 5

.000 .000 .000

Sumber : Hasil olahan lampiran 14

Dari data yang diperoleh diketahui nilai chi-square 24.975 dengan signifikansi berada di 0.000 < 0.10 yang menyatakan bahwa secara serempak variabel bebas dapat mempengaruhi variabel terikat. Dan persamaan yang dihasilkan dapat memprediksikan bahwa ketahanan dan kerentanan pangan dipengaruhi oleh rasio konsumsi normative (X1), persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (X2), persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai (X3), persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan (X4), persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih (X5).

Tabel 16. Hosmer and Lemeshow Test

Sumber : Hasil olahan lampiran 14

Selain dilihat dari omnibus test secara serempak juga dapat dilihat dari nilai hosmer and lemeshow test. Dan dari Tabel 16 dapat dilihat nilai signifikansi dari nilai hosmer and lemeshow adalah 0,990 dan nilai signifikansi ini berada di 0,990 > 0,1 yang menyatakan bahwa tidak bisa ditolak adanya hubungan variabel bebas terhadap variabel terikat dan model sudah sesuai (adequately fits) dengan data. Dari kedua pegujian diatas maka dapat disimpulkan model logistik layak digunakan.

Uji regresi logit secara parsial dilakukan terhadap semua variabel independen dengan tingkat signifikansi 10%. Untuk mengetahui apakah rasio konsumsi normative (X1), persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (X2), persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai (X3), persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan (X4), persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih (X5), secara parsial berpengaruh nyata atau tidak terhadap ketahanan dan kerentanan pangan (Y), maka digunakan uji wald. Secara lengkap hasil uji regresi logit disajikan dalam Tabel 17 sebagai berikut:

Step Chi-square df Sig.

1 .543 5 .990

Tabel. 17. Variables in the Equation tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan

(Sumber : Hasil olahan lampiran 14)

Pada bagian ini ditampilkan nilai koefisien α, β1, β2, β3, β4, β5,

Yi = ln � 𝜋(𝑥)−1𝜋(𝑥) �= 8,429 -3,456X

serta tingkat signifikasi dari wald. Dari Tabel 17 diperoleh persamaan :

-0,502X2+1,572X3+0,455X4-0,116X5

Berdasarkan Tabel 17 dan persamaan logit diatas dapat diintepretasikan sebagai berikut:

+ µ

Nilai Negelkerke R2 sebesar 0,884 tersebut menunjukkan informasi bahwa 88,4% ketahanan dan kerentanan pangan dapat dijelaskan oleh variabel rasio konsumsi normative (X1), persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (X2), persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai

(X3), persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan (X4), dan persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih (X5).

1. Rasio konsumsi normative

Berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan bahwa untuk variabel rasio konsumsi normative memiliki nilai probabilitas sebesar 0,167 > 0,1. Dengan demikian secara parsial variabel rasio konsumsi normative tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan dan kerentanan pangan. Karena rasio konsumsi normative merupakan indicator ketersediaan pangan, Ini berarti defisit atau surplusnya komoditi pangan di suatu daerah tidak mempengaruhi ketahanan pangan di suatu daerah. Suatu daerah bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar nasional maupun internasional.

2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan

Berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan bahwa untuk variabel persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan memiliki nilai probabilitas sebesar 0,041 < 0,1. Dengan demikian secara parsial variabel persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan dan kerentanan pangan. Dengan koefisien regresi yang bernilai negatif sebesar -0,502 menunjukkan bahwa semakin besar persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan maka semakin kecil peluang kondisi tahan pangan pada suatu daerah/kecamatan.

Dari nilai odd rasio pada persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan sebesar 0,605 berarti setiap bertambahnya 1 persen pada persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan ada peluang kecamatan tersebut

sebesar 0,605 kali menjadi rentan pangan. Dengan kata lain ada kecenderungan pada kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan sebesar 0,605 kali menjadi rentan pangan apa bila terjadi peningkatan persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan.

3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai

Berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan bahwa untuk variabel persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai memiliki nilai probabilitas sebesar 0,842 > 0,1. Dengan demikian secara parsial variabel persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan dan kerentanan pangan. Hal ini terjadi karena kondisi desa di Kabupaten Asahan telah memiliki akses penghubung yang memadai, sehingga tidak ada hambatan akses pangan secara fisik yang terjadi di Kabupaten Asahan. Masih adanya daerah yang rentan pangan di Kabupaten Asahan lebih dipengaruhi oleh persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.

4. Persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan

Berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan bahwa untuk variabel persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan memiliki nilai probabilitas sebesar 0,375 > 0,1. Dengan demikian secara parsial variabel persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan dan kerentanan pangan. Hal ini terjadi karena desa yang ada di Kabupaten Asahan telah memiliki fasilitas kesehatan yang sangat baik. Hanya 3 kecamatan yang memiliki desa yang jaraknya lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan dan pesentasenya sangat kecil.

5. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih

Berdasarkan hasil pengujian, menunjukkan bahwa untuk variabel persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih memiliki nilai probabilitas sebesar 0,471 > 0,1. Dengan demikian secara parsial variabel persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan dan kerentanan pangan. Hal ini terjadi karena akses ketersediaan air bersih bagi kecamatan yang ada di kabupaten asahan telah tersedia dengan sangat baik, hal ini terlihat dari persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air bersih lebih kecil dari 30%.

Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa indicator yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan secara signfikan adalah persentasae penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Untuk itu daerah perlu meningkatkan daya beli masyarakat seperti menciptakan peluang kerja bagi penduduk yang hidup dibawah gaeis kemiskinan, membuat program pengembangan komoditi pertanian yang bernilai ekonomi tinggi untuk dikelola oleh penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan dengan bimbingan dan bantuan dari pemerintah. Program lain yang dapat dikembangkan oleh pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan juga dapat dilakukan dengan membangun tempat pelatihan ketenaga kerjaan dan keterampilan untuk masyarakat miskin di daerah yang rentan pangan.

BAB VI

Dokumen terkait