• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Insentif Pajak, Insentif Non Pajak,dan Persentase Jumlah Saham yang Disetor Terhadap Manjamen Laba

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

4.4.1 Pengaruh Insentif Pajak, Insentif Non Pajak,dan Persentase Jumlah Saham yang Disetor Terhadap Manjamen Laba

Dari hasi pengujian secara simultan yang dilakukan, diketahui bahwa variabel insentif pajak yang diproksikan dengan (perencanaan pajak, beban

pajak tangguhan, dan aset pajak tangguhan), Insentif non pajak yang diproksikan dengan (Kepemilikan manjerial, ukuran perusahaan, tingkat utang dan persentase jumlah saham yang disetor) berpengaruh secara bersama-sama terhadap manajemen laba, berdasarkan pengujian statistik diperoleh nilai F hitung sebesar 2,427 lebih besar dari nilai F tabel sebesar 2,149 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,027 lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian, secara statistik perencanaan pajak, beban pajak tangguhan, aset pajak tangguhan, kepemilikan manjerial, ukuran perusahaan, tingkat utang dan persentase jumlah saham yang disetor berpengaruh secara simultan terhadap manajemen laba, sehingga hipotesis diterima.

Dari hasil pengujian secara parsial yang dilakukan, diketahui bahwa variabel perencanaan pajak berpengaruh signifikan terhadap manjemen laba. Berdasarkan pengujian statistik dengan diperoleh tingkat signifikan sebesar 0,043 yang berarti lebih kecil dari 0,05 dan nilai thitung (2,055) yang lebih besar dari ttabel (1,991). Dengan demikian, secara statistik perencanaan pajak bahwa perencanaan pajak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumomba (2010) serta Wijaya dan Martani (2011). Kedua peneliti ini berhasil menunjukkan bahwa perencanaan pajak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Alasan yang dapat digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian ini adalah Peran perancanaan pajak merupakan salah satu tindakan manajemen pajak sehingga dengan melakukan perencanaan pajak berarti manajemen sudah berusaha untuk meminimalkan beban pajak yang dibayarkan. Jadi, dalam merespon

penurunan tarif pajak penghasilan, perusahaan yang agresif dalam hal perencanaan pajaknya cenderung akan melakukan manajemen laba, agar dapat mengurangi beban pajak yang harus dibayarkan. Peran perancanaan pajak secara konseptual juga dapat dijelaskan dalam teori kepatuhan. Teori kepatuhan menurut (Nurmantu, 2005:148) dapat didefinisikan “sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hal perpajakannya”. Oleh karena itu manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengawasi dan mengevaluasi sehingga dapat mengetahui sejauh mana unit bisnis melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku; meminimalisasikan terjadinya transaksi yang dapat menimbulkan risisko permasalahan perpajakan. Dengan demikian, hipotesis pertama diterima.

Dari hasil pengujian secara parsial yang dilakukan, diketahui bahwa variabel beban pajak tangguhan tidak berpengaruh signifikan tehadap manajemen laba. Berdasarkan pengujian statistik dengan diperoleh tingkat signifikan 0,060 yang berarti lebih besar dari 0,05 dan nilai thitung (-1,907) yang lebih kecil dari ttabel (1,991). Dengan demikian, secara statistik tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya dan Martani (2011) dan Pindiharty (2011) yang menyatakan bahwa pajak tangguhan berpengaruh terhadap manjemen laba. Namun hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Septiana, dkk (2016 : 6) yang menyatakan bahwa beban pajak tangguhan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kemampuan beban pajak tangguhan yang hanya dapat mencerminkan efek pajak yang ditimbulkan oleh perbedaan temporer antara

akuntansi dan pajak sehingga apabila perusahaan diindikasikan melakukan manajemen laba yang memunculkan perbedaan permanen, beban pajak tangguhan tidak dapat mendeteksi aktivitas manajemen laba tersebut. Dengan demikian, hipotesis kedua ditolak.

Dari hasil pengujian secara parsial yang dilakukan, diketahui bahwa variabel aset pajak tangguhan tidak berpengaruh signifikan. Berdasarkan pengujian statistik dengan diperoleh tingkat signifikan 0,0954 yang berarti lebih besar dari 0,05 dan nilai thitung (0,057) lebih kecil dari ttabel (1,991). Dengan demikian, secara statistik aset pajak tangguhan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pindiharti (2011) dan Timurianaa dan Muhammad (2011) yang menyatakan bahwa aset pajak tangguhan memiliki pengaruh terhadap manjemen laba. Namun hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamijaya (2016 : 72) yang menyatakan bahwa “aset pajak tangguhan tidak berpengaruh signifikan” Alasannya adalah keputusan manajer untuk mempermainkan angka aset pajak tangguhan dapat berdampak buruk pada perusahaan. Apabila manajer menggunakan aset pajak tangguhan untuk melakukan manajemen laba, maka hal tersebut akan berdampak pada laporan keuangan fiskalnya karena jumlah aset pajak tangguhan yang dilaporkan dalam laporan keuangan komersial dalam jangka panjang harus sesuai dengan laporan keuangan fiskal sehingga manajer harus berhati-hati dan berpikir lebih keras agar jumlah aset pajak tangguhan yang direkayasa tidak mengakibatkan beban pajak yang lebih besar di masa depan. Hal itulah yang mengakibatkan manajer

enggan untuk merekayasa angka aset pajak tangguhan dalam melakukan manajemen laba. Dengan demikian, hipotesis ketiga ditolak.

Dari hasil pengujian secara parsial yang dilakukan, diketahui bahwa variabel kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan tehadap manajemen laba. Berdasarkan pengujian statistik dengan diperoleh tingkat signifikan 0,026 yang berarti lebih kecil dari 0,05 dan nilai thitung (2,265) lebih besar dari nilai

ttabel (1,991), dapat disimpulkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hardini (2013) yang menunjukkan bahwa kepemilikan majerial untuk perusahaan profit firm berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini dapat dijelaskan bahwa terjadinya agency conflict disebabkan oleh pemisahan kepemilikan dan penegndalian perusahaan (Wijayanti, 2012). Jadi, Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Hal baiknya, kepemilikan saham manajerial akan membantu penyatuan kepentingan antar manajer dengan pemegang saham. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham, sehingga manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Oleh karena itu, berapapun saham yang dimiliki oleh manajerial mempengaruhi praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Dengan demikian, hipotesis keempat diterima.

Dari hasil pengujian secara parsial yang dilakukan, diketahui bahwa variabel ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan. Berdasarkan pengujian statistik dengan diperoleh tingkat signifikan 0,0184 yang berarti lebih besar dari 0,05 dan nilai dari thitung (1,339) lebih kecil dari nilai ttabel (1,991). Dengan demikian, secara statistik ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tierya (2015) dan Hardini (2013) yang menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba. Namun penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Slamet dan Wijayanti (2016) yang menyatakan bahwa bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa manajemen laba yang dilakukan perusahaan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya perusahaan. Adapun hasil penelitian yang dilakukan dalam (Hamijaya, 2016 : 78) yang menyatakan “Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap discretionary accrual “. Hal ini diduga karena baik perusahaan besar maupun perusahaan kecil bisa melakukan praktik tindakan manajemen laba tanpa memperhatikan ukuran perusahaan tersebut apakah perusahaan itu tergolong perusahaan besar maupun perusahaan kecil. Dengan demikian, hipotesis kelima ditolak.

Dari hasil pengujian secara parsial yang dilakukan, diketahui bahwa variabel tingkat utang tidak berpengaruh signifikan. Berdasarkan pengujian statistik dengan diperoleh tingkat signifikan 0,512 yang berarti lebih besar dari 0,05 dan nilai dari thitung (0,659) lebih kecil dari nilai ttabel (1,991), Dengan

demikian, secara statistik tingkat utang tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Hardini (2013) dan Tierya (2012) yang membuktikan bahwa tingkat utang berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Namun peelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Larassanti (2015 : 77) yang menunjukkan tingkat utang perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan guna mendapat keuntungan pajak. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin kecil tingkat hutang yang dimiliki perusahaan, maka akan semakin besar motivasi manajemen laba perusahaan. Dan apabila perusahaan cenderung meningkatkan hutang yang berakibat meningkatnya bunga pinjaman dimana dapat mengurangi laba perusahaan sehingga para investor tidak tertarik dalam menanamkan modalnya diperusahaahn tersebut. Dan juga, Jika laba perusahaan kecil dan hutang perusahaan besar maka perusahaan cenderung melakukan manajemen laba dengan menurunkan utang perusahaan untuk menarik investor dalam menanamkan modalnya diperusahaan. Dengan demikian, hasil hipotesis keenam ditolak.

Dari hasil pengujian secara parsial yang dilakukan, diketahui bahwa variabel persentase jumlah saham yang disetor tidak berpengaruh signifikan. Berdasarkan pengujian statistik dengan diperoleh tingkat signifikan 0,420 yang berarti lebih besar dari 0,05 dan nilai dari thitung (0.810) lebih kecil dari ttabel (1,991). Dengan demikian, secara statistik persentase jumlah saham yang disetor tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pernyataan (Larassanti, 2016) yang menyatakan bahwa “Manajer akan memanfaatkan penurunan tarif tersebut

untuk melakukan manajemen laba agar pajak yang dibayarkan menjadi semakin rendah”. Walaupun menurut UU No.36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan bahwa tarif pajak penghasilan untuk perusahaan yang telah go public dan menyetorkan sahamnya ke BEI lebih dari 40% maka akan menguntungkan perusahaan yang mendapatkan penurunan tarif sebesar 5% dari tarif pajak penghasilan badan biasanya (25%), tidak menjadikan banyak perusahaan dalam melakukan tindakan manajemen laba. Tetapi dengan adanya temuan di dalam penelitian, dapat disimpulkan bahwa manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan sampel ternyata tidak dipengaruhi oleh ketentuan mengenai peraturan ini. Dengan kata lain, berapapun jumlah persentase saham disetor perusahaan yang diperdagangkan di BEI, tidak mempengaruhi manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian, hipotesis ketujuh ditolak.

BAB V

Dokumen terkait