BAB II TINJAUAN PUSTAKA
C. Keterkaitan Antar Variabel dan Hipotesis
1. Pengaruh Interlocking Directorship Terhadap Manajemen Laba
3. Pengaruh diversifikasi geografis terhadap manajemen laba. 4. Pengaruh kompensasi bonus terhadap manajemen laba.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan diatas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Kontribusi Teoritis
a. Bagi mahasiswa jurusan akuntansi, sebagai bahan referensi untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai interlocking directorship,
13 diversifikasi operasi, diversifikasi geografis, dan kompensasi bonus terhadap manajemen laba.
b. Bagi peneliti berikutnya, sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai topik sejenis.
c. Bagi penulis, sebagai bentuk dari aplikasi pengetahuan yang selama ini diperoleh dalam perkuliahan dan penambahan pengetahuan mengenai manajemen laba.
2. Kontribusi Praktis
a. Bagi investor, sebagai bahan pertimbangan dalam berinvestasi dan mengetahui laporan keuangan yang baik tanpa ada unsur kepentingan dari pihak manajemen.
b. Bagi perusahaan, sebagai masukan dalam pertimbangan dan pengambilan keputusan mengenai manajemen laba.
c. Bagi masyarakat, sebagai sarana informasi dan pengetahuan akuntansi mengenai manajemen laba.
14 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori-Teori Terkait dengan Penelitian
1. Teori Agensi
Teori agensi merupakan dasar teori yang digunakan untuk mendasari bisnis perusahan (Wijayanti dan Mukti, 2018). Teori agensi menjelaskan bahwa hubungan agensi timbul ketika satu orang atau lebih (principal) meminta pihak lain (agent) untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan atas nama principal dan memberikan wewenang dalam pengambilan keputusan kepada agent (Jensen dan Meckling, 1976). Menurut Michelson et al. (1995) dalam penelitian Haryanto dan Lina (2017), teori agensi merupakan suatu hubungan yang didasari persetujuan dimana agent setuju untuk bertindak atas nama pihak lain, yaitu principal. Dengan kata lain, teori agensi adalah teori yang menjelaskan hubungan antara pemilik perusahaan sebagai principal dan manajemen perusahaan sebagai agent (Kusumaningtyas dan Yendrawati, 2015). Manajemen dipilih langsung oleh pemilik perusahaan untuk bekerja demi
kepentingan pemilik, oleh karena itu manajemen harus
bertanggungjawab atas apa yang dikelolanya kepada pemilik perusahaan (Haryanto dan Lina, 2017).
Principal dan agent yang memiliki tujuan sama dalam mengoptimalkan perusahaan akan membuat agent bekerja dengan cara
15 yang sesuai dengan kepentingan principal (Haryanto dan Lina, 2017). Tujuan yang sama tersebut akan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan bagi berbagai pihak jika tiap pihak menjalankan dengan tanggungjawab hak dan kewajibannya (Aprina dan Khairunnisa, 2015).
Eisenhardt (1989) menyatakan terdapat asumsi sifat dasar manusia dalam teori agensi, yaitu:
a. Pada umumnya manusia mementingkan diri sendiri (self interest). b. Manusia memiliki daya pikir yang terbatas mengenai presepsi masa
mendatang (bounded rationality).
c. Manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).
Teori agensi menyatakan bahwa agent tidak sepenuhnya mengelola perusahaan sesuai dengan keinginan principal karena adanya kepentingan principal dan agent yang berbeda (Nuraini dan Darsono, 2017). Menurut Eisenhardt (1989) dan Hamdan (2018), penyebab dapat terjadinya konflik agensi adalah adanya tujuan yang berbeda dari principal dan agent, serta adanya kepemilikan dan pengawasan yang terpisah dalam pengendalian manajemen suatu perusahaan. Keleluasaan agent dalam mengelola perusahaan dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang yang diberikan oleh principal (Ermayanti, 2016).
Agent memiliki informasi yang lebih kaya dibandingkan dengan principal, hal ini dapat menimbulkan konflik antara principal dan agent yang ingin memaksimalkan kepentingan pribadi atas informasi tersebut (Panjaitan dan Muslih, 2019). Keinginan agent tersebut memungkinkan
16 agent untuk mengelabui principal karena tidak memiliki akses dan informasi seleluasa yang agent miliki (Aprina dan Khairunnisa, 2015). Informasi yang lebih banyak diterima oleh agent menciptakan peluang terjadinya manipulasi laporan keuangan melalui tindakan manajemen laba (Panjaitan dan Muslih, 2019).
Principal yang tidak dapat mengawasi agent setiap waktu memungkinkan agent melakukan hal yang tidak semestinya (Haryanto dan Lina, 2017). Hal tersebut mendorong principal untuk menekankan pengawasan yang ketat agar informasi yang diterima akurat, pengawasan tersebut dapat menimbulkan biaya agensi. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan biaya agensi dalam tiga jenis, yaitu:
a. Biaya Monitoring
Biaya monitoring adalah pengeluaran biaya untuk mengawasi aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh agent.
b. Biaya Bonding
Biaya bonding adalah biaya untuk menjamin bahwa agent tidak akan bertindak yang dapat merugikan principal, atau untuk meyakinkan bahwa principal akan memberikan kompensasi apabila agent benar-benar melakukan tindakan yang tepat.
c. Kerugian Residual
Kerugian residual adalah pengorbanan berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan tujuan dan kepentingan antara principal dan agent.
17 Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa teori agensi merupakan teori yang menjelaskan hubungan antara pemegang saham sebagai principal dengan pengelola perusahaan manajemen sebagai agent. Di antara hubungan tersebut terdapat persamaan tujuan dalam mengoptimalkan perusahaan dimana agent bekerja sesuai dengan kepentingan principal, namun terdapat pula konflik yaitu perbedaan tujuan dimana principal dan agent mementingkan kepentingan pribadi masing-masing pihak. Perbedaan tujuan ini memungkinkan pihak pengelola perusahaan untuk melakukan manajemen laba.
Teori agensi akan membantu pihak principal dan agent untuk menghindari tindakan-tindakan yang didasarkan kepentingan pribadi. Salah satunya dengan menghindari manajemen laba pada laporan keuangan perusahaan agar laporan keuangan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan yang relevan dan terpercaya.
2. Teori Resource Dependence
Teori resource dependence menjelaskan tentang kemampuan perusahaan dalam memperoleh dan memelihara sumber daya yang dimiliki perusahaan (Pfeffer dan Salancik, 1978 dalam Delke, 2015). Teori ini juga menjelaskan cara perusahaan dalam menghadapi kendala mengenai sumber daya tersebut (Pfeffer dan Salancik, 1978 dalam Galvão et al., 2019).
18 Teori resource dependence memaparkan tentang pengaruh faktor eksternal yang mempengaruhi suatu perusahaan, seperti ketidakpastian (Sari dan Juliarto, 2016). Ketidakpastian dalam lingkungan menjelaskan ketidakmampuan perusahaan dalam memprediksi masa depan (Rogers, 1983 dalam Sari dan Juliarto, 2016). Menurut Ricciardi dan Rossignoli (2015) ketidakpastian dalam lingkungan menjelaskan mengenai kelangkaan sumber daya, perubahan yang tidak terduga, dan usaha berkelanjutan yang dilakukan oleh perusahaan lain guna mengontrol sumber daya yang dimiliki dengan menggunakan kemampuan perusahaan yang melampaui batas. Asumsi teori resource dependence ialah ketergantungan atas sumber daya yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan suatu perusahaan (Nienhuser, 2008 dalam Sari dan Juliarto, 2016).
Teori resource dependence menyatakan bahwa dewan komisaris dan dewan direksi dinilai penting dalam mengurangi ketidakpastian lingkungan terhadap perusahaan dengan melakukan interlock sebagai penghubung antar perusahaan (Ribeiro dan Colauto, 2016). Disebut demikian karena dewan komisaris dan dewan direksi adalah sumber daya pada perusahaan yang dapat menciptakan hubungan yang efektif dalam lingkungan bisnis yang kompleks (Hamdan, 2018). Menurut Sheppard (1995) dengan adanya interlocking directorship dapat menjadi pasokan sumber daya bagi perusahaan, yaitu sumber daya manajerial dan keuangan.
19 Adanya hubungan interlocking directorship akan memungkinkan dewan yang berkaitan untuk mendapatkan sumber daya eksternal yang diperlukan dalam pengembangan perusahaan (Pfeffer dan Salancik, 1978 dalam Ribeiro dan Colauto, 2016). Kemudian, menurut Sari dan Juliarto (2016) hubungan interlocking directorship akan membuka akses ke teknologi, pasar, dan sumber daya dengan memastikan stabilitas dan eksistensi.
3. Teori Akuntansi Positif
Teori akuntansi positif merupakan suatu penalaran logis dalam prinsipnya berupa kerangka acuan dalam memprediksi, menjelaskan, dan mengatasi praktik-praktik akuntansi (Deviyanti dan Sudana, 2018). Teori akuntansi positif menentukan suatu praktik akuntansi yang terjadi apakah benar atau salah, dengan menggunakan metode ilmiah atas dasar pengamatan data yang objektif (Suwardjono, 2005: 27). Teori ini memiliki ciri yakni pemecahan masalah yang disesuaikan dengan realitas praktik akuntansi dengan menggunakan pendekatan ekonomi dan perilaku yang bertujuan untuk menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi (Hery, 2017: 106).
Scott (2003) dalam Wijaya dan Christiawan (2014) menyatakan bahwa teori akuntansi positif memaparkan suatu prediksi yang berkaitan dengan tindakan manajer ketika menentukan kebijakan akuntansi yang akan digunakan, serta respon manajer terhadap standar akuntansi yang diusulkan pada perusahaan. Pembuat kebijakan dapat menggunakan teori
20 akuntansi positif untuk memprediksi konsekuensi ekonomis dari berbagai kebijakan dan praktik akuntansi, teori ini juga harus mampu menjelaskan kondisi yang terjadi dalam praktik akuntansi yang sebenarnya (Hery, 2017: 106-107). Teori ini juga dapat digunakan untuk menguji perilaku etis manajer dalam penyusunan laporan keuangan (Sulistyanto, 2008: 62).
Kepentingan manajemen sangat mempengaruhi proses pelaporan keuangan, pemilihan metode, dan standar akuntansi yang digunakan sebagai basis pelaporan keuangan (Hery, 2017: 106). Menurut Wijaya dan Christiawan (2014) adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan akuntansi cenderung membuat manajer melakukan tindakan oportunis dengan mengedepankan kepentingan pribadi melalui manajemen laba. Sulistyanto (2008: 63) menyatakan dalam teori akuntansi positif terdapat tiga hipotesis yang menjadi mendasari tindakan manajemen laba, yaitu bonus plan hypothesis, debt covenant hypothesis, dan political cost hypothesis. Berikut penjelasan mengenai hipotesis-hipotesis tersebut: a. Bonus Plan Hypothesis
Hipotesis yang didasarkan oleh rencana pemberian bonus, dimana bonus yang sudah direncanakan oleh perusahaan cenderung akan membuat manajemen menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba yang diperoleh perusahaan agar mendapatkan bonus yang tinggi (Panjaitan dan Muslih, 2019).
21 b. Debt Covenant Hypothesis
Hipotesis mengenai perjanjian utang dimana perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi cenderung menggunakan metode akuntansi dengan harapan laba yang dilaporkan akan lebih tinggi (Panjaitan dan Muslih, 2019). Manajemen akan mengendalikan laba agar dapat menunda kewajiban utang perusahaan, perusahaan yang memiliki tingkat utang yang tinggi akan sulit membayar utang kemudian cenderung melanggar perjanjian utang (Wijaya dan Christiawan, 2014 dan Elfira, 2014).
c. Political Cost Hypothesis
Perusahaan besar yang kegiatan operasinya dikenal masyarakat luas cenderung akan mengurangi laba yang akan dilaporkan (Wijaya dan Christiawan, 2014).
Dapat disimpulkan bahwa teori akuntansi positif berhubungan dengan manajemen laba karena kebebasan kebijakan akuntansi yang digunakan serta teori ini dapat memprediksi, menjelaskan, dan mengatasi praktik-praktik akuntansi pada perusahaan. Teori ini berhubungan juga dengan kompensasi bonus mengacu pada salah satu hipotesis teori akuntansi positif yang mendasari manajemen laba, yaitu bonus plan hypothesis.
4. Interlocking Directorship
Interlocking directorship merupakan hubungan yang timbul antara dua atau lebih perusahaan melalui kesamaan dewan komisaris atau
22 dewan direksi yang dimiliki (Fich dan White, 2005 dalam Ribeiro dan Colauto, 2016). Menurut Sari dan Juliarto (2016), interlocking directorship terjadi ketika seorang komisaris atau direksi dari suatu perusahaan merangkap jabatan menjadi komisaris atau direksi di perusahaan lain. Interlocking directorship dapat membentuk jaringan yang menghasilkan pengetahuan dan praktik antar perusahaan melalui dewan yang interlock (Chiu et al., 2013). Hubungan kerjasama pada interlocking directorship menciptakan terjadinya pertukaran informasi antar perusahaan yang dapat meningkatkan keunggulan kompetitif dan mampu dalam menghadapi persaingan di pasar (Haunschild dan Beckman, 1998).
Adapun peraturan di Indonesia mengenai interlocking directorship atau rangkap jabatan, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Tertera dalam pasal 24 terkait diperbolehkannya rangkap jabatan pada emiten atau perusahaan publik, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dewan komisaris dapat merangkap jabatan sebagai dewan direksi paling banyak pada dua emiten atau perusahaan publik lain dan sebagai dewan komisaris paling banyak pada dua emiten atau perusaahaan publik lain.
b. Apabila dewan komisaris tidak merangkap jabatan sebagai dewan direksi, dewan komisaris dapat merangkap jabatan sebagai dewan
23 komisaris paling banyak pada empat emiten atau perusahaan publik lain.
Perusahaan yang dapat menemukan interlocking directorship dengan dewan komisaris atau direksi yang tepat untuk kebutuhan perusahaan akan menerima manfaat yang besar (Zona et al., 2015). Ribeiro dan Colauto (2016) menjelaskan bahwa interlocking directorship memberikan berbagai manfaat bagi perusahaan, yaitu:
a. Memperoleh sumber daya.
b. Memperoleh dukungan strategis dari pihak penting eksternal. c. Menciptakan komunikasi antar perusahaan.
Ketika dewan komisaris atau dewan direksi menjalani interlocking directorship, mereka cenderung akan mempelajari kinerja positif dewan lainnya (Ribeiro dan Colauto, 2016). Interlocking directorship menciptakan pertimbangan atas pengambilan kebijakan dan keputusan strategi perusahaan (Sari dan Juliarto, 2016). Interlocking directorship membantu dewan direksi untuk lebih transparan dalam pengambilan keputusan, karena adanya perbandingan yang timbul dari praktik perusahaan lain yang dirangkap (Haniffa dan Cooke, 2002 dalam Puspita, 2013).
5. Diversifikasi Operasi
Diversifikasi merupakan strategi dalam pengembangan usaha melalui perluasan segmen baik secara bisnis maupun geografis (Dimarcia dan Krisnadewi, 2016). Diversifikasi dapat dilakukan dengan cara
24 membuka lini usaha baru, memperluas lini produk yang telah ada, memperluas wilayah operasional dan pemasaran produk, membuka kantor cabang, melakukan merger, akuisisi, dan lainnya (Harto, 2005).
Diversifikasi operasi adalah kondisi suatu perusahaan ketika menjalankan lebih dari satu segmen bisnis (Ermayanti, 2016). Perluasan segmen dilakukan pada produk yang dihasilkan perusahaan, baik berupa barang ataupun jasa (Gunarto dan Riswandari, 2019 dan Jiraporn et al., 2008). Diversifikasi operasi bertujuan untuk mengoptimalkan ukuran dan keragaman usaha oleh perusahaan sehingga dapat diperoleh tingkat pendapatan yang lebih tinggi yang akan menciptakan arus kas yang baik (Gunarto dan Riswandari, 2019 dan Dimarcia dan Krisnadewi, 2016). Semakin beragam segmen bisnis yang dijalankan perusahaan maka semakin banyak pula sumber pendapatan yang diperoleh (Ermayanti, 2016). Diversifikasi operasi terdapat dalam laporan keuangan pada bagian catatan atas laporan keuangan mengenai segmen usaha yang dimiliki perusahaan (Nuraini dan Darsono, 2017).
Diversifikasi operasi diterapkan ketika perusahaan dalam keadaan profit atau ketika pertumbuhan perusahaan menurun pada bidang industri utama (Ermayanti, 2016). Diversifikasi dapat dilakukan untuk memperkuat persaingan dengan kompetitor (Dimarcia dan Krisnadewi, 2016). Diversifikasi juga dapat dilakukan untuk memperkecil risiko investasi, jika perusahaan bergerak hanya pada satu segmen bisnis maka risiko investasinya cukup besar (Ermayanti, 2016). Dengan melakukan
25 diversifikasi operasi, ketika salah satu segmen yang dijalani perusahaan mengalami kerugian, laba tetap dapat diperoleh dari segmen bisnis yang lain untuk menggantikan kerugian (Kusumaningtyas dan Yendrawati, 2015).
Pandangan Harto (2005) pada diversifikasi operasi terbagi menjadi dua, pandangan pertama perusahaan yang bertumbuh besar maka semakin besar pangsa pasarnya yang mengakibatkan tingkat konsentrasi industri semakin tinggi dan berkurangnya kompetisi pasar akibat dominasi usaha, pandangan kedua didasari sumber daya yaitu diversifikasi mengoptimalisasi kelebihan kapasitas dari sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk dijalankan lebih dari satu segmen bisnis. Diversifikasi operasi mendorong perusahaan untuk melakukan operasi lintas batas, dibandingkan melakukan tukar barang atau jasa lintas batas melalui impor atau ekspor perusahaan yang berbeda (Gunarto dan Riswandari, 2019).
Perusahaan yang terdiversifikasi akan memiliki struktur organisasi yang lebih kompleks, tingkat transparansi yang lebih rendah, serta meningkatkan kompleksitas informasi yang diterima oleh investor dan analis keuangan (El Mehdi dan Seboui, 2011). Semakin tinggi tingkat diversifikasi perusahaan, semakin rendah transparansi yang dimiliki
(Kusumaningtyas dan Yendrawati, 2015). Perusahaan yang
26 serta membutuhkan lebih banyak sumber daya dan keahlian dari investor dan analis (Thomas, 2002 dalam Vasilescu dan Millo, 2016).
Meskipun memiliki kelebihan secara ekonomis melalui pendapatan yang lebih tinggi, transparansi informasi cenderung rendah karena kompleksitas struktur bisnis yang terjadi (Gunarto dan Riswandari, 2019). Menurut Jiraporn et al. (2008), manajer lebih sulit mengelola pendapatan yang diperoleh dari berbagai segmen. Untuk menilai tingkat efisiensi dan efektivitas tiap segmen, manajer dan pihak eksternal diharuskan memperhatikan setiap laporan keuangan yang dilaporkan oleh segmen (Gunarto dan Riswandari, 2019).
6. Diversifikasi Geografis
Diversifikasi geografis terjadi ketika perusahaan beroperasi lebih dari satu negara (Jiraporn et al., 2008). Perusahaan yang terdiversifikasi secara geografis ialah perusahaan yang melakukan perluasan segmen dalam menghasilkan barang atau jasa ke suatu lingkungan ekonomi dengan risiko dan imbalan yang berbeda di setiap wilayah (Haryanto dan Lina, 2017). Perusahaan yang menerapkan diversifikasi geografis umumnya memiliki anak-anak perusahaan yang berada di luar negeri (Arintasari dan Rohman, 2015). Jumlah negara di mana perusahaan beroperasi dilaporkan dalam laporan tahunannya (Fatmawati dan Sabeni, 2013).
27
Menurut Haryanto dan Lina (2017) faktor yang dapat
dipertimbangkan oleh perusahaan dalam mengidentifikasi diversifikasi geografis adalah sebagai berikut:
a. Kondisi ekonomi dan politik.
b. Hubungan antar operasi dalam wilayah geografis yang berbeda. c. Risiko pada operasi dalam wilayah geografis tertentu.
d. Regulasi pengendalian mata uang. e. Risiko mata uang.
Faktor-faktor diatas menjelaskan bahwa perusahaan diharuskan mempertimbangkan berbagai hal, tidak hanya membedakan atas dasar perbedaan geografis saja (Haryanto dan Lina, 2017).
Perusahaan yang terdiversifikasi memiliki struktur perusahaan yang lebih kompleks, hal ini mengakibatkan principal sulit dalam melakukan pengawasan (El Mehdi dan Seboui, 2011). Tingkat organisasi yang kompleks akan menambah ketidakseimbangan informasi antara manajemen dan pemilik perusahaan (Jiraporn, 2005 dalam Arintasari dan Rohman, 2015). Di berbagai negara perusahaan beroperasi terdapat budaya tertentu yang memungkinkan adanya penyimpangan dari budaya perusahaan lainnya, keragaman budaya tersebut dapat menimbulkan operasional perusahaan yang sulit dikendalikan dan principal sulit untuk mengendalikan tindakan agent (El Mehdi dan Seboui, 2011). Dengan memiliki anak-anak perusahaan di luar negeri juga akan mengakibatkan
28 publik atau bahkan analis sulit untuk meneliti laporan keuangan perusahaan tersebut (Arintasari dan Rohman, 2015).
7. Kompensasi Bonus
Kompensasi merupakan imbalan finansial dan non finansial beserta tunjangan yang diterima seseorang melalui hubungan kepegawaian (Nazir, 2014). Kompensasi adalah pendapatan berbentuk uang, barang langsung maupun barang tidak langsung yang diterima pegawai berupa imbalan atas jasa yang telah diberikan kepada perusahaan (Siregar dan Veronika, 2017). Pemberian bonus berbasis pendapatan adalah cara populer untuk memberi penghargaan kepada eksekutif perusahaan (Healy, 1985). Menurut Elfira (2014) kompensasi diberikan dari perusahaan dengan tujuan mempertahankan dan memikat pegawai yang kompeten, memotivasi pegawai, serta agar pegawai mematuhi peraturan yang berlaku.
Pemilik perusahaan memberi penghargaan berupa kompensasi bonus kepada manajemen ketika dapat mengelola perusahaan dengan baik atau melebihi dari target yang telah ditentukan, semakin besar laba yang dihasilkan atau bahkan telah melampaui target yang telah ditentukan maka semakin baik penilaian terhadap perusahaan di pandangan pemilik perusahaan (Aprina dan Khairunnisa, 2015). Namun, tidak semua perusahaan memberikan kompensasi bonus, hal ini didasarkan atas kebijakan perusahaan (Pujiningsih, 2011 dalam Panjaitan dan Muslih, 2019).
29 Menurut Fitri (2015) terdapat tiga aspek penting sebagai dasar pemberian kompensasi bonus, yaitu:
a. Dasar kompensasi bonus
Pemberian kompensasi bonus didasarkan dari harga saham, pendapatan atau investasi, kinerja berbasis biaya, dan balanced scorecard.
b. Sumber kompensasi bonus
Sumber kompensasi bonus berasal dari pendanaan bonus. Umumnya bersumber dari laba perusahaan.
c. Cara pemberian kompensasi bonus
Pemberian kompensasi bonus umumnya diberikan dengan cara tunai dan melalui saham.
Bonus plan hypothesis merupakan salah satu pemilihan metode akuntansi yang tidak terlepas dari teori akuntansi positif (Fitri, 2015). Pemegang saham menggunakan kontrak kompensasi manajemen atas bonus untuk mengurangi biaya agensi dan untuk memotivasi manajer untuk memaksimalkan kinerjanya untuk perusahaan (Zouari et al., 2015). Jika suatu perusahaan memiliki kompensasi atau bonus scheme, manajer cenderung akan mengatur laba bersih agar dapat mengoptimalkan bonus yang dapat diterima (Nazir, 2014).
8. Manajemen Laba
Manajemen laba merupakan kondisi ketika manajemen melakukan intervensi dalam penyusunan laporan keuangan yang dirancang untuk
30 mencapai target laba dengan fleksibilitas penggunaan metode akuntansi (Callao et al., 2014). Manajemen melakukan tindakan manajemen laba dengan meratakan, menaikkan, atau menurunkan laba (Schipper, 1989 dalam Deviyanti dan Sudana, 2018). Manajemen laba juga dapat dilakukan dengan menggeser laba periode berjalan ke periode berikutnya (Dewi et al., 2019).
Pemahaman atas manajemen laba menurut Scott (2003) dalam Pratiwi dan Pratiwi (2016) terbagi menjadi dua, yaitu pertama manajemen laba sebagai perilaku oportunis (opportunistic behavior) dilakukan guna memaksimalkan utilitas perusahaan dalam menghadapi kontrak kompensasi, political cost, dan kontrak utang, kedua dari perspektif efficient contracting manajemen laba sebagai cara untuk memberi fleksibilitas kepada manajer guna melindungi diri dan perusahaan atas antisipasi kejadian tidak terduga. Sejalan dengan pemaparan Subramanyam (1996) dalam Ahmadpour dan Shahsavari (2016) yang menjelaskan bahwa manajemen laba terbagi menjadi dua klasifikasi, pertama manajemen laba efisien yakni untuk meningkatkan kualitas informasi guna membantu investor dalam memahami profitabilitas dan kondisi keuangan perusahaan, dan kedua manajemen laba oportunis dimana manajer bukan memaksimalkan kepentingan perusahaan dan investor melainkan kepentingan pribadi.
Sulistyanto (2008: 104-107) memaparkan bahwa melalui pandangan praktisi yakni investor, pemerintah, asosiasi profesi, dan pelaku ekonomi
31 lainnya, manajemen laba merupakan tindakan kecurangan karena dapat menyesatkan dan merugikan pihak pengguna laporan keuangan, contohnya mencatat pendapatan penjualan yang belum dapat direalisasi, mencatat penjualan dan persediaan fiktif. Manajemen laba dapat dilakukan pula pada bagian pendapatan dan pengeluaran yakni dengan meningkatkan atau mengurangi pengakuan pendapatan, laba dapat langsung diakui atau kerugian dapat ditunda serta pengeluaran dapat dihindari dengan mengkapitalisasi biaya tertentu (Giroux, 2006: 8). Sedangkan jika melalui pandangan akademisi yakni peneliti, manajemen laba bukan merupakan tindakan kecurangan karena terdapat fleksibilitas dalam prinsip akuntansi dalam menggunakan metode akuntansi (Sulistyanto, 2008: 107-109). Hery (2017: 116) menjelaskan contoh pemilihan penggunaan metode akuntansi ialah metode penyusutan aktiva, dengan aktiva yang sama tetapi adanya perbedaan penggunaan metode penyusutan akan mengakibatkan beban penyusutan setiap periode tidak sama. Asumsi faktor penentu beban penyusutan (harga perolehan, nilai residu, dan masa manfaat) adalah sama, di tahun pertama penggunaan metode penyusutan garis lurus akan menghasilkan laba yang lebih besar dibanding metode penyusutan saldo menurun ganda.
Discretionary accruals merupakan langkah yang berguna untuk mengurangi atau menambah pelaporan laba yang sulit dideteksi melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan secara akrual Taco dan Ilat (2016). Menurut Sulistyanto (2008: 161-162) komponen akrual
32 mudah diatur sesuai keinginan pencatatan transaksi karena tidak perlu pengadaan bukti kas secara fisik baik berbentuk penerimaan maupun pengeluaran, komponen akrual khususnya pendapatan dan biaya dapat mengatur besar kecilnya laba dengan menggeser dari periode berjalan ke periode mendatang atau sebaliknya.
Manajemen laba merupakan tindakan yang sangat kompleks (Callao et al., 2014). Pada umumnya, para investor hanya terfokus pada informasi laba tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut dihasilkan (Beattie et al., 1994 dalam Putri dan Deviesa, 2017). Sehingga membuat manajer berpotensi melakukan tindakan manajemen laba untuk menghindari penyajian laba yang lebih rendah dari ekspektasi investor (Burgstahler dan Eames, 2006).
Fitri (2015) berpendapat bahwa manajemen laba merupakan area kontroversial karena merupakan tindakan yang tidak dapat diterima karena adanya pengurangan dalam keandalan informasi laba pada laporan keuangan, hal ini membuat investor tidak mendapatkan informasi yang cukup akurat mengenai laba guna mengevaluasi return dan risiko. Manajemen laba dapat dimotivasi oleh kepentingan manajer maupun