DAFTAR LAMPIRAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Karakterisasi Enzim Katepsin Ikan Patin
4.2.4 Pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim
Aktivator dan inhibitor tidak dapat dibedakan secara kimiawi, namun dapat dibedakan setelah berinteraksi dengan enzim. Aktivator berikatan dengan enzim dan menyebabkan kenaikan kecepatan reaksi enzim, sedangkan inhibitor berikatan dengan enzim dan menyebabkan penurunan kecepatan reaksi (Suhartono 1989).
Ion logam ada yang membantu pengikatan antara enzim dengan substrat, ada yang berikatan dengan enzim secara langsung sehingga konformasi aktif enzim menjadi stabil, dan ada yang berikatan dengan inhibitor enzim sehingga mempengaruhi kerja inhibitor menghambat enzim. Ion logam yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Na, Ca+2, Zn+2, Mn+2, Mg+2, Cu+2 dan Fe+3. Berdasarkan hasil pengujian, penambahan ion logam mempengaruhi aktivitas enzim katepsin yang bisa menurunkan nilai unit aktivitas atau menaikkan nilai aktivitas enzim. Hasil pengujian pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim katepsin dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Pengaruh ion logam konsentrasi 5 mM terhadap aktivitas enzim katepsin.
33
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa ion logam Fe3+ memberikan nilai penghambatan yang paling besar, hal ini dapat dilihat dari nilai aktivitas enzim terkecil yaitu sebesar 0,004 U/mL, sedangkan nilai aktivitas relatif dari masing-masing ion logam terhadap kontrol dapat dilihat pada Tabel 6.
Balti et al. (2010) menyatakan bahwa katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong memiliki aktivitas enzim katepsin D yang akan meningkat aktivitasnya dengan adanya ion logam Mg2+, Ni2+, Zn2+, Cu2+, Cd2+, Sr2+, dan Co2+. Keberadaan ion logam Na+, K+, dan Ca2+ tidak mempengaruhi aktivitas enzim katepsin D. Balti et al. (2010) juga melaporkan bahwa katepsin D dari hepatopankreas sotong mengalami penurunan aktivitas dengan penambahan ion logam Ba2+, Mn2+,Hg2+, dan Fe3+.
Tabel 6 Efek penambahan ion logam terhadap aktivitas enzim katepsin Konsentrasi logam (5 mM) Relatif activity (%)
Kontrol 100 Na+ 85 Ca2+ 62 Zn2+ 91 Mn2+ 79 Mg2+ 200 Cu2+ 27 Fe3+ 1
Jiang et al. (2002) yang melakukan penelitian terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan bandeng melaporkan bahwa keberadaan ion logam Na+ dan K+ akan meningkatkan aktivitas katepsin D, ion logam Mg2+, Sr2+, Fe2+ dan Hg2+ menghambat aktivitas katepsin D.
Sadana et al. (2003) menyebutkan bahwa logam Hg2+, Ca2+, Cu2+, Li2+, K+, Cd2+, Ni2+, Ba2+, Co2+ dan Sn2+ dapat menghambat aktivitas enzim katepsin L yang diisolasi dari goat brain. Kerja enzim dapat dihambat oleh zat penghambat atau inhibitor. Inhibitor non-kompetitif tidak bersaing dengan substrat untuk berikatan dengan enzim. Inhibitor jenis ini akan berikatan dengan enzim pada sisi yang berbeda (bukan sisi aktif). Jika telah terjadi ikatan enzim-inhibitor, sisi aktif enzim akan berubah sehingga substrat tidak dapat berikatan dengan enzim. Banyak ion logam bekerja sebagai inhibitor non-kompetitif (Firmansyah et al. 2007). Beberapa enzim dan inhibitor memerlukan ion-ion tertentu untuk menjaga
34
kestabilan aktivitasnya, ion-ion tersebut dapat bertindak sebagai inhibitor pada kosentrasi tertentu, tetapi dapat juga menjadi aktivator pada kosentrasi berbeda. Ion logam dapat membentuk suatu komplek dengan substrat dan sisi aktif enzim sehingga menggabungkan keduanya dan bentuknya menjadi aktif. Ion logam juga berfungsi sebagai senyawa penarik kuat elektron pada tahap tertentu dalam siklus katalitik (Lehninger 1993).
4.3 Presipitasi
Ekstrak kasar yang diperoleh selanjutnya dipresipitasi menggunakan ammonium sulfat. Metode presipitasi dibagi menjadi 2 grup utama, yakni (1) metode kelarutan protein dikurangi dan presipitasi dilakukan dengan mengubah beberapa sifat fisika-kimia solvent misalnya pH, konstanta dielektrik, kekuatan ionik, dan tersedianya air dan (2) Metode presipitasi protein yang disebabkan oleh interaksi diantara protein dan agen presipitasi (Sivasankar 2005).
Tiap presipitasi protein memiliki karakteristik pada konsentrasi reagen
yang berbeda, pada ammonium sulfat persen presipitasi berselang antara 20%-100%, ini dianggap cukup untuk presipitasi (Bisswanger 2004). Presipitasi
dapat dilakukan dengan penambahan garam misalnya ammonium sulfat, polimer misalnya polyethylene glycol (PEG), atau larutan organik misalnya aseton atau alkohol (Scopes 1994). Pada penelitian ini ammonium sulfat dipilih sebagai agen presipitasi, ammonium sulfat dipilih karena menurut Javois (1999) presipitasi dengan ammonium sulfat dianggap cepat dan murah. Pengaruh kejenuhan ammonium sulfat terhadap aktivitas enzim pada pelet dan supernatan setelah mengalami pengendapan disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan aktivitas pelet pada beberapa tingkat konsentrasi ammonium sulfat dan mencapai aktivitas optimum pada pelet dengan konsentrasi ammonium sulfat 50%, sementara aktivitas pada supernatan menunjukkan penurunan aktivitas. Selama proses presipitasi terjadi penurunan kadar protein dalam supernatan, dan sebaliknya terjadinya peningkatan konsentrasi protein dalam pelet. Kadar protein pelet hasil pengendapan dengan ammonium sulfat disajikan pada Gambar 9.
35
Gambar 8 Pengaruh kejenuhan ammonium sulfat terhadap aktivitas enzim. Kondisi ektraksi yang optimum ditunjukkan oleh aktivitas yang paling tinggi dalam endapan (pelet). Enzim yang dihasilkan dari presipitasi 50% memiliki aktivitas sebesar 0,425 U/mL dan aktivitas spesifik sebesar 0,276 mg/mL.
Peningkatan aktivitas enzim pada endapan hingga penambahan ammonium sulfat 70% disebabkan berkurangnya pengotor, seperti non protein (karbohidrat), protein non enzim dan lain-lain (Suhartono 1989). Aktivitas kolagenase pada konsentrasi ammonium sulfat tingkat kejenuhan 80% menurun. Penurunan ini disebabkan karena ammonium sulfat tidak bersifat buffer dan dapat membebaskan ammonia, sehingga memungkinkan terjadinya kenaikan pH (Boyer 1993). Ammonium sulfat dipilih karena sifatnya yang mudah larut, murah dan umumnya tidak mempengaruhi struktur protein pada konsentrasi tertentu (Beynon dan Bond 2001). Akibatnya, aktivitas enzim menjadi menurun, karena aktivitasnya tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti pH. Aktivitas enzim menurun ketika pH lingkungan enzim melebihi pH optimumnya.
Penelitian Toyohara et al. (1981) menyebutkan bahwa katepsin A yang berasal dari carp muscle pada hasil pengendapan sulfat didapatkan aktivitas spesifik sebesar 3,43 U/mg. Kelarutan protein (pada pH dan temperatur tertentu) akan meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi garam (salting in).
0.242 0.200 0.158 0.100 0.090 0.250 0.425 0.333 0.173 0.138 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 40 50 60 70 80 Ak tiv it a s enzim ( U/m L )
Konsentrasi amonium sulfat %
pelet supernatan
36
Gambar 9 Kadar protein enzim katepsin ikan patin dari pelet hasil pengendapan ammonium sulfat.
Liu et al. (2006) melaporkan pelet hasil presipitasi 80% kejenuhan ammonium sulfat pada enzim katepsin L daging ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) memiliki aktivitas spesifik 0,32 U/mg. Levkovitz
et al. (1995) juga melaporkan pelet hasil presipitasi 70% kejenuhan ammonium sulfat katepsin D pada ikan Cyprinus carpio memiliki aktivitas spesifik 20,6 U/mg.
Peningkatan kelarutan protein akan meningkatkan kekuatan ion. Penambahan garam dengan konsentrasi tertentu kelarutan protein menurun (salting out). Molekul air yang berikatan dengan ion-ion garam semakin banyak yang menyebabkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan protein sehingga mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, kemudian mengendap (Harris 1989).
4.4 Dialisis
Pelet yang diperoleh dari pengendapan dengan garam ammonium sulfat
(NH4)2SO4, kemudian didialisis menggunakan membran selofan berukuran 12 kDa. Kegunaan utama dialisis ialah untuk pemekatan, pembuangan garam, dan
pemurnian bahan-bahan misalnya protein, hormon dan enzim. Zat tertahan berisi protein dengan ukuran molekul yang lebih besar dari ukuran pori Molecular Weight Cut Off (MWCO) (Sanagi 2001). Prinsip dialisis ialah aplikasi preparasi enzim ke dalam kantong dialisis yang terbuat dari membran semi-permeabel yang memungkinkan molekul berukuran kecil untuk bermigrasi (Grogan 2009).
1.205 1.542 1.573 1.275 1.032 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 0% 20% 40% 60% 80% 100% K a da r pro tein ( m g /m L )
37
Pengaruh lama dialisis terhadap aktivitas spesifik dan kadar protein dari sampel dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Gambar 10 Aktivitas enzim setelah didialisis.
Gambar 11 Kadar protein enzim setelah didialisis.
Gambar 10 menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas pada pelet yang didialisis. Peningkatan terjadi sampai titik optimum tertentu. Titik optimum untuk proses dialisis ialah 4 jam. Enzim yang dihasilkan dari tahap dialisis memiliki aktivitas sebesar 1,550 U/mL dengan kadar protein sebesar 0,561 mg/mL. Gambar 11 menunjukkan bahwa kadar protein pada awal dialisis mengalami kenaikan nilai protein sampai titik optimum pada lama waktu dialisis 4 jam, kemudian mengalami penurunan nilai protein sampai akhir dialisis. Hal ini disebabkan karena protein yang berukuran lebih kecil dari 12 kDa sudah terbuang selama dialisis.