• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Karakteristik Terhadap Pemanfaatan Pelayanan d

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji regresi logistik, diketahui karakteristik pasien stres pasca-trauma yang berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon yaitu pendidikan, penghasilan dan dukungan keluarga. Adapun umur, jenis kelamin, status perkawinan, perasaan subjektif dan evaluasi klinis tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon.

5.1.1 Pengaruh Umur terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa umur responden tidak mempunyai pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon. Mengacu pada hasil penelitian ini, penderita stres pasca-trauma yang berumur 20-40 tahun maupun yang berumur 41-60 tahun tidak berbeda dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk penanganan gangguan stres pasca-trauma yang dideritanya. Dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan secara umum, faktor umur bisa berpengaruh, akan tetapi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan mental pasien yang mengalami stres pasca-trauma, faktor umur tidak berpengaruh.

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan beradaptasi setiap responden relatif tidak sama dengan berbagai variasi umur penderita stres pasca-trauma dalam memanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon.

Sesuai dengan penelitian Bovier, dkk (2001) yang menyimpulkan bahwa faktor umur tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan mental.

5.1.2. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa jenis kelamin tidak mempunyai pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon. Berdasarkan pengamatan, kemauan untuk sembuh pasien berdasarkan jenis kelamin perempuan maupun laki-laki tidak berbeda.

Mengacu pada hasil penelitian ini, penderita stres pasca-trauma yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan secara umum membutuhkan penanganan gangguan stres pasca-trauma yang sama. Hal ini menunjukkan konsep kesetaraan gender dalam program pelayanan kesehatan di tengah masyarakat sudah cukup terlaksana dengan baik, artinya tidak ada pembedaan jenis kelamin dalam pelayanan kesehatan bagi penderita stres pasca-trauma. Secara persentase diketahui bahwa pasien stres pasca-trauma yang menjadi responden lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan (62,5%).

Penelitian Schimmele (2005) menyimpulkan bahwa faktor jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan, karena jenis kelamin

perempuan maupun laki-laki tidak berbeda jumlah kunjungan ke pelayanan kesehatan pemerintah maupun pelayanan kesehatan alternatif.

Demikian juga dengan penelitian Hasanuddin (2005) bahwa kelompok yang mengalami Gangguan Stres Pasca-Trauma (GSPT) yang diakibatkan trauma spesifik seperti bencana alam lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu 5,4% dibandingkan pada laki-laki sebesar 3,7%. Namun dalam penanganannya melalui upaya intervensi dan penanganan yang yang dilakukan melalui psikoterapi individual maupun kelompok tidak dibedakan antara laki=laki maupun perempuan.

Kondisi penanganan pasien stres pasca-trauma dilihat dari faktor jenis kelamin dapat diacu dengan pendapat Maramis dkk, (2005) yang menyatakan secara karakteristik, kelompok yang risiko tinggi mengalami stres pasca-trauma adalah perempuan, serta dalam kehidupan masyarakat perempuan biasanya ditempatkan dalam peran yang lebih rendah dalam masyarakat. Namun dalam penanganan pasien stres pasca-trauma ternyata tidak ada pembedaan secara nyata antara laki-laki dan perempuan.

Penelitian Rhodes (2002) menyimpulkan bahwa faktor jenis kelamin berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan mental, di mana wanita hampir 2 kali lebih sering daripada laki-laki dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan mental. Namun penelitian Rhodes tidak sama dengan hasil penelitian ini.

5.1.3. Pengaruh Status Perkawinan terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa status perkawinan responden tidak mempunyai pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon. Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang statusnya belum kawin, kawin maupun duda/janda tidak berbeda dalam pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kemauan untuk sembuhlah yang mendorong pasien dalam memanfaatkan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon.

Mengacu pada hasil penelitian ini, penderita stres pasca-trauma yang statusnya belum kawin, kawin maupun duda/janda secara umum membutuhkan penanganan yang sama terhadap gangguan stres pasca-trauma yang dideritanya. Keterkaitan masalah status perkawinan dengan gangguan stres pasca-trauma dapat dijelaskan dengan mengutip Kaplan et al (2003) yang menyatakan bahwa salah satu faktor psikososial yang terkait dengan risiko terjadinya gangguan stres pasca-trauma adalah stabilitas perkawinan. Namun dalam penanganan pasien yang dilakukan di Trauma Center ternyata tidak ada pengaruh yang nyata faktor status perkawinan, artinya kondisi stabilitas perkawinan hanya merupakan faktor risiko terjadinya gangguan stres pasca-trauma.

Penelitian Schimmele (2005) menyimpulkan bahwa faktor status perkawinan berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan swasta. Namun penelitian Schimmele tidak sama dengan hasil penelitian ini.

5.1.4. Pengaruh Pendidikan terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa tingkat pendidikan responden tidak mempunyai pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon. Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang tingkat pendidikannya SD dan SLTP maupun yang berpendidikan SLTA dan Akademi/PT tidak berbeda dalam hal pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon. Sesuai dengan pemantauan di lapangan bahwa musyawarah dan keyakinan keluarga merupakan salah satu faktor dominan di samping kemauan untuk sembuh dalam pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon.

Sesuai penelitian Elizabeth, dkk (1996) tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan mental di Kanada, faktor pendidikan tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan mental.

Menurut pendapat Anderson (1995) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah variabel struktur sosial seperti: pendidikan. Secara umum aspek pendidikan terkait dengan tingkat pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal.

5.1.5. Pengaruh Penghasilan terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa penghasilan responden mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon. Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang penghasilannya > UMP

NAD cenderung lebih baik dalam memanfaatkan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon, dibandingkan responden yang tingkat penghasilannya ≤ UMP NAD. Meskipun pelayanan di Trauma Center Lhoksukon tanpa dipungut biaya, namun pasien yang memanfaatkannya perlu biaya lain seperti transportasi dan makan, sehingga pasien yang penghasilannya >UMP NAD yang lebih banyak memanfaatkannya.

Hal ini didukung pendapat Tjiptoherijanto dan Soestyo (1994) bahwa semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya orang tersebut akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang ia rasakan, sehingga orang tersebut akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya. Keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya bagi seseorang biasanya juga dipengaruhi oleh dukungan dan persetujuan dari kelompok sosialnya, apabila secara sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya mendukung untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, tentunya akan mempengaruhi seseorang dalam memutuskan untuk mencari pengobatan.

5.2. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Pemanfaatan Pelayanan di

Dokumen terkait