PENGARUH KARAKTERISTIK, DUKUNGAN KELUARGA DAN KEBUTUHAN PASIEN STRES PASCA-TRAUMA
TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN DI TRAUMA CENTER LHOKSUKON
KABUPATEN ACEH UTARA
T E S I S
Oleh RACHMADIANY
067012050/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH KARAKTERISTIK, DUKUNGAN KELUARGA DAN KEBUTUHAN PASIEN STRES PASCA-TRAUMA
TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN DI TRAUMA CENTER LHOKSUKON
KABUPATEN ACEH UTARA
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RACHMADIANY 067012050/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK, DUKUNGAN KELUARGA DAN KEBUTUHAN PASIEN STRES PASCA-TRAUMA TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN DI TRAUMA CENTER LHOKSUKON KABUPATEN ACEH UTARA
Nama Mahasiswa : Rachmadiany Nomor Pokok : 067013050
Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing :
(Prof.dr.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K)) (dr. Ria Masniari Lubis, MSi) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal : 10 Desember 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K) Anggota : 1. dr. Ria Masniari Lubis, MSi
2. Prof. Dr. Ida Yustina, MSi
PERNYATAAN
PENGARUH KARAKTERISTIK, DUKUNGAN KELUARGA DAN KEBUTUHAN PASIEN STRES PASCA TRAUMA
TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN DI TRAUMA CENTER LHOKSUKON
KABUPATEN ACEH UTARA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2008
ABSTRAK
Gangguan kesehatan jiwa masyarakat akibat konflik militer dan bencana alam di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam mengalami peningkatan yang cukup besar. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi tenaga kesehatan dalam melakukan penanganan secara terpadu dan komprehensif. Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara didirikan dalam upaya membantu penderita stres pasca-trauma sebagai sarana dan upaya untuk penanganannya. Pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon tahun 2007 sebesar 41% yang tidak menyelesaikan pengobatan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh terapis.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh karakteristik (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan penghasilan), dukungan keluarga dan kebutuhan (perasaan subjektif dan evaluasi klinis) terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon. Jenis penelitian adalah survei explanatory, denga jumlah sampel sebanyak 48 orang pasien stres pasca-trauma, yang diambil secara simple random sampling. Analisis data menggunakan uji Chi Square dan regresi logistik.
Hasil penelitian dengan uji Chi Square menunjukkan variabel yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan Trauma Center Lhoksukon adalah pendidikan, penghasilan, dukungan keluarga, perasaan subjektif dan evaluasi klinis, sedangkan yang tidak berhubungan adalah umur, jenis kelamin dan status perkawinan. Dari hasil uji regresi logistik hanya variabel penghasilan dan dukungan keluarga yang berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan Trauma Center Lhoksukon 79,2%.
Kepada petugas Trauma Center Lhoksukon supaya memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga pasien sehingga mempunyai pengetahuan akan pentingnya pengobatan stres pasca-trauma, dalam memberikan dukungan berupa materi untuk biaya transportasi dan makan selama menjalani pengobatan, serta mengingatkan kepada keluarga pasien agar mendampingi pasien saat melakukan kunjungan ke Trauma Center Lhoksukon.
ABSTRACT
Mental health disorder in the community resulted from military conflict and natural disaster in the area of Nanggroe Aceh Darussalam has experienced a significant increase that becomes a challenge faced by the health workers in doing an integrated and comprehensive handling it. Lhoksukon Trauma Center is built by the local government to help the patients of Post-Traumatic Stress Disorder as a treatment place for handling. In 2007, 41% of the patients who used the service provided by Lhoksukon Trauma Center did not accomplish their treatment according to what was determined by the therapist.
The purpose survey of this explanatory study is to analyze the influence of characteristics (age, sex, marital status, education, and income), family support and need (subjective feeling and clinical evaluation) on the use of the service provided by Lhoksukon Trauma Center. The kind of the research is ex planatory survey of the samples for this study were 48 post-traumatic stress disorder patients selected through simple random sampling technique. The data obtained were analyzed through Chi-square and logistic regression tests.
The result of Chi-square test shows variable that education, income, family support, subjective feeling and clinical evaluation, that have relation to the use of service provided by Lhoksukon Trauma Center, are education, income, family support, subjective feeling and clinical evaluation, while the things that do not have any relations are age, sex and marital status. The result of logistic regression test shows that only variable income and family support which have an influence.
The management of Lhoksukon Trauma Center is suggested to provide extension on the importance of post-traumatic stress disorder treatment to the patients and their family, to advise the family of the patients to support the patients by providing the cost of transportation and money for food during treatment, and to remind the family of the patients to accompany the patients when visiting Lhoksukon Trauma Center.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan mula dari perkuliahan
hingga selesainya tesis ini dengan judul "Pengaruh Karakteristik, Dukungan Keluarga dan Kebutuhan pasien Stres Pasca-trauma Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara".
Dengan ridho Allah SWT serta dengan ketulusan hati dan keikhlasan, penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), sebagai Rektor
Universitas Sumatera Utara.
Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, sebagai Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, sebagai Ketua Program Studi Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Ibu Prof. Dr. Ida Yustina, MSi, sebagai Sekretaris Program Studi Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
sekaligus sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan
demi kesempurnaan tesis ini.
Bapak Prof. dr. H.M. Yusuf Simbolon, Sp.KJ(K), selaku Ketua Komisi
mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal
hingga penulisan tesis selesai.
Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan
waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
Ibu Raras Sutatminingsih, S.Psi, Msi selaku sebagai komisi penguji yang telah
banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.
Bapak Bupati Aceh Utara, yang telah berkenan memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin tugas
belajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Bapak Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Aceh Utara beserta staf
yang telah banyak membantu dan memberi dukungan kepada penulis dalam rangka
menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara beserta staf yang telah
banyak membantu dan memberi dukungan kepada penulis dalam rangka
menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Sekolah
Pascasarjana Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan khususnya
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
Rekan-rekan mahasiswa Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah
Teristimewa buat suami tercinta Taufiq Diah, ST dan anakku Arief, Rafli,
Syifa, yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do'a serta memotivasi dan
memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.
Orangtua, Mertua serta saudara-saudaraku yang telah banyak memberikan
bantuan dan memberi dorongan moril serta do'a yang tak terbatas selama penulis
menjalani pendidikan.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan
harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan,
dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Desember 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Rachmadiany, lahir pada tanggal 13 November 1970 di Medan Propinsi
Sumatera Utara, anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda
OK.Achmaddin dan Ibunda (alm) Asmita.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di SDN
060942 Medan selesai tahun 1982, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN)
18 Medan selesai tahun 1985, Sekolah Menengah Atas (SMAN) 15 Medan selesai
tahun 1988, Akademi Penilis Kesehatan (APK) Kabanjahe selesai tahun 1991, S-1 di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan selesai tahun
2003 dan Sekolah Pascasarjana AKK Universitas Sumatera Utara tahun 2008.
Mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil Pusat sejak tahun 1992 di Dinas
Kesehatan Kabupaten Aceh Utara sampai saat ini.
Tanggal 3 Agustus 1996, penulis menikah dengan Taufiq Diah, ST putra
keempat dari enam bersaudara, anak dari Bapak Zamhuri dengan Ibu (Alm)
Kamsinah, dan penulis dikaruniai dua orang putra, yaitu Arief Perdana, Muhammad
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Hipotesis Penelitian... 9
1.5. Manfaat Penelitian ... 9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 11
2.1. Trauma Centre Lhoksukon... 11
2.2. Stres Pasca-trauma ... 12
2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanganan Stres Pasca-trauma... 21
2.4. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ... 23
2.5. Landasan Teori... 28
2.6. Kerangka Konsep Penelitian ... 29
BAB 3 METODE PENELITIAN... 30
3.1. Jenis Penelitian... 30
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30
3.3. Populasi dan Sampel ... 30
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 32
3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 34
3.6. Metode Pengukuran Variabel... 35
3.7. Metode Analisis Data... 37
BAB 4 HASIL PENELITIAN... 38
4.1. Deskripsi lokasi Penelitian... 38
4.2. Karakteristik Responden ... 40
4.3. Dukungan Keluarga ... 42
4.4. Kebutuhan ... 44
4.4.2. Evaluasi Klinis ... 46
4.5. Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 48
4.6. Analisis Bivariat (Uji Chi Square) ... 49
4.6.1. Hubungan Karakteristik dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 49
4.6.2. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 51
4.6.3. Hubungan Kebutuhan dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 52
4.7. Analisis Multivariat... 53
BAB 5 PEMBAHASAN... 55
5.1. Pengaruh Karakteristik Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 55
5.1.1. Pengaruh Umur Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 55
5.1.2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 56
5.1.3. Pengaruh Status Perkawinan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 58
5.1.4. Pengaruh Pendidikan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 59
5.1.5. Pengaruh Penghasilan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 59
5.2. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 60
5.3. Pengaruh Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 62
5.3.1. Pengaruh Perasaan Subjektif Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 62
5.3.2. Pengaruh Evaluasi Klinis Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 63
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 65
6.1. Kesimpulan ... 65
6.2. Saran ... 65
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Skala Pengukuran Variabel Independen ... 35
3.2. Skala Pengukuran Variabel Dependen ... 36
4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakterisitik di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 41
4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 43
4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Dukungan Keluarga di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 43
4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Perasaan Subjektif di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 44
4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Perasaan Subjektif di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara... 45
4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Evaluasi Klinis di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 47
4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Evaluasi Klinis di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 47
4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 48
4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 49
4.10. Hubungan Karakteristik Responden dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 50
4.12. Hubungan Kebutuhan Responden dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 52
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 70
2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 73
3 Uji Bivariat (Chi Square) ... 79
4 Uji Multivariat (Regresi Logistik) ... 87
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan kesehatan masyarakat akibat konflik militer dan bencana alam
di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam mengalami peningkatan yang cukup besar.
Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi tenaga kesehatan dalam melakukan
penanganan secara terpadu dan komprehensif.
Terjadinya gejolak yang merupakan konflik antara masyarakat Aceh dan
pemerintah pusat dan terkadang pula antar masyarakat Aceh itu sendiri berlangsung
terus di masa orde baru. Ketidak tentraman hidup masyarakat Aceh semakin menjadi
ketika pemerintah RI memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM)
di tahun 1989. Inilah penderitaan yang tidak akan pernah terlupakan oleh masyarakat
Aceh, pengolok-olokan, kekerasan, kebrutalan, penyiksaan, penganiayaan,
pemerkosaan, pembunuhan, penculikan dan pembantaian terjadi di mana-mana
di Aceh (Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2005).
Akibat Daerah Operasi Militer (DOM) masyarakat Aceh mengalami trauma
yang berkepanjangan. Dengan tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, Daerah
Operasi Militer dicabut. Kekerasan dan pembunuhan tidak hilang, bahkan semakin
merajalela. Ketakutan demi ketakutan yang terus menerus dialami masyarakat Aceh
ini sebenarnya sudah merupakan trauma yang sulit dihapuskan (Direktorat Kesehatan
Kondisi masyarakat akibat dampak Daerah Operasi Militer yang begitu
tertekan, semakin diperparah dengan terjadinya bencana alam gempa bumi yang
diikuti dengan gelombang tsunami yang begitu dahsyat.
Pada 26 Desember 2004 hampir seluruh Nanggroe Aceh Darussalam, negeri
yang didambakan sebagai rumah damai, telah porak poranda oleh gempa bumi dan
gelombang tsunami. Bencana yang seakan menjadi puncak segala derita
menimbulkan ketakutan yang jauh lebih mendalam (Laporan perkembangan Trauma
Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara, 2005).
Berdasarkan beberapa peristiwa yang terjadi di atas di Nanggroe Aceh
Darussalam maka salah satu kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian
Pemberdayaan Perempuan maka didirikan Trauma Center Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam di Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie dalam rangka
menangani masyarakat yang mengalami stres pasca-trauma.
Stres pasca-trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah
mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa
trauma, seperti: perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan
yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak
berdaya dan mengerikan (Warmasif, 2007).
Sebagian orang sepanjang masa hidupnya pernah mengalami peristiwa
traumatik, seperti kecelakaan pesawat, kebakaran, banjir, dan bencana alam lainnya.
Sebagian besar hanya akan mengalami distres mental yang sifatnya sementara, tetapi
gangguan yang berat yang sangat mengganggu kualitas hidup individu dan apabila
tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan
berkembang menjadi gangguan stres pasca yang kompleks dan/atau gangguan
kepribadian (Warmasif, 2007).
Hasil penelitian Syahrial (2007) di Banda Aceh menyimpulkan pasien stres
pasca-trauma yang berkunjung ke puskesmas hanya sebesar 9.3%, sedangkan 90,7%
pasien stres pasca-trauma ternyata tidak mendapatkan penanganan medik psikistrik
untuk gangguannya di puskesmas, hal ini terjadi dikarenakan para petugas kesehatan
di lini terdepan umumnya lebih terfokus dalam menangani masalah fisik, sehingga
problem psikiatrik menjadi luput dari perhatian.
Rendahnya persentase kunjungan pasien pasca-trauma ke puskesmas di
Banda Aceh menunjukkan pentingnya peran sarana pelayanan seperti Trauma Center
dalam menanggulangi masalah masyarakat yang mengalami gangguan stres
pasca-trauma (Trauma Center Lhoksukon, 2007).
Menurut Dharmono dkk (2008), stres pasca-trauma pada awalnya mengalami
gejala-gejala distres mental, hanya sekitar 10-20% yang mengalami gangguan mental
bermakna seperti gangguan stres pasca-trauma, ganguan depresi, gangguan panik,
dan berbagai gangguan anxietas terkait.
Faktor yang dapat meningkatkan keparahan stres pasca-trauma antara lain:
(a) dukungan lingkungan yang kurang, (b) sikap dan perilaku yang keliru dari
lingkungan yang secara terus menerus memperlakukan individu sebagai korban,
traumatik agar korban tidak teringat dengan peristiwa itu, akibatnya bagi korban ia
merasa sendirian dalam menghadapi traumanya, (d) strategi menyesuaikan diri yang
tidak efektif, (e) tidak mendapatkan pertolongan yang efektif (Dharmono dkk, 2008).
Korban stres pasca-trauma bukan hanya kehilangan harta benda dan sanak
saudara tetapi juga kehilangan pegangan hidup. Kondisi tersebut tentunya
membutuhkan kemampuan adaptasi yang luar biasa (Maramis dkk, 2005).
Pertimbangan pembentukan sarana pelayanan kesehatan untuk penanganan
pasien stres pasca-trauma di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam pada dua wilayah,
yaitu Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara dan Trauma Center
Kabupaten Pidie, terkait dengan kondisi konflik yang terjadi pada kedua wilayah
tersebut dirasakan lebih berat dibandingkan wilayah lainnya, artinya jumlah
masyarakat yang mengalami dampak langsung dari konflik yang terjadi paling
banyak pada Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie.
Dalam perkembanganya sejak difungsikannya Trauma Center pada 17 Juni
2003, ternyata Trauma Center Lhokskon Kabupaten Aceh Utara lebih memberikan
dampak yang positif dan berguna bagi masyarakat, hal ini dilihat dari adanya
dukungan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam hal penyediaan sarana,
prasarana maupun fasilitas yang dibutuhkan dalam penanganan pasien stres
pasca-trauma. Dengan memperhatikan perkembangan tersebut maka lokasi penelitian
difokuskan pada Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara.
Pada tahun 2005 jumlah pasien stres pasca-trauma yang mengunjungi Trauma
jumlah pasien pengunjung tiap bulannya sebagai berikut: bulan Januari sebanyak
63 orang, Februari 72 orang, Maret 55 orang, April 35 orang, Mei 25 orang, Juni 26
orang, Juli 47 orang, Agustus 28 orang, September 42 orang, Oktober 42 orang,
Nopember 18 orang dan Desember sebanyak 20 orang, dimana pasien yang drop out
pada tahun 2005 sebanyak 175 orang (37%) (Laporan Trauma Center Lhoksukon,
2005).
Pada tahun 2006 jumlah pasien stres pasca-trauma yang mengunjungi Trauma
Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara mencapai 304 orang dengan rincian jumlah
pasien pengunjung tiap bulannya sebagai berikut: bulan Januari sebanyak 33 orang,
Februari 52 orang, Maret 16 orang, April 20 orang, Mei 23 orang, Juni 14 Orang, Juli
11 orang, Agustus 22 orang, September 21 orang, Oktober 26 orang, Nopember
31 orang dan Desember sebanyak 35 orang, dimana pasien yang drop out pada tahun
2006 sebanyak 122 orang (40%) (Laporan Trauma Center Lhoksukon, 2006).
Tahun 2007 jumlah pasien stres pasca-trauma yang mengunjungi Trauma
Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara mencapai 367 orang dengan rincian jumlah
pasien pengunjung tiap bulannya sebagai berikut: bulan Januari sebanyak 35 orang,
Februari 39 orang, Maret 34 orang, April 29 orang, Mei 29 orang, Juni 31 Orang, Juli
38 orang, Agustus 24 orang, September 37 orang, Oktober 31 orang, Nopember 21
orang dan Desember sebanyak 19 orang, dimana pasien yang drop out pada tahun
2007 sebanyak 150 orang (41%) (Laporan Trauma Center Lhoksukon, 2007).
Hasil penelitian Hasanuddin (2005) intervensi dan pengobatan Gangguan
terhadap trauma spesifik, yakni bencana alam (3,7% laki-laki, 5,4% wanita), korban
kriminalitas (1,8% laki-laki, 21,8% wanita), peperangan (38% laki-laki, 18% wanita),
perkosaan (40,5% laki-laki, 65% wanita). Secara umum 10-20% seseorang terpapar
trauma akan berkembang menjadi GSPT. Namun jika tidak terjadi GSPT, 77%
korban berisiko terjadi gangguan depresi mayor. Upaya intervensi dan penanganan
yang yang dilakukan melalui psikoterapi individual yang melakukan pengamatan
yang lengkap terhadap karakteristik pasien, juga dilakukan psikoterapi kelompok
meliputi beberapa model, yakni psikoterapi kelompok suportif, terapi kelompok
berorientasi analitik, psikoanalisis kelompok, terapi kelompok transaksional dan
terapi kelompok perilaku.
Penelitian terdahulu menunjukkan pengaruh faktor karakteristik, dukungan
keluarga dan kebutuhan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, seperti pelayanan
kesehatan mental seperti diuraikan berikut ini. Penelitian Bovier, dkk (2001)
menyimpulkan bahwa faktor umur tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan mental.
Penelitian Rhodes (2002) tentang jenis kelamin dan pasien yang keluar dari
pelayanan kesehatan mental menyimpulkan faktor jenis kelamin berpengaruh
terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan mental, dimana wanita hampir 2 kali lebih
sering daripada laki-laki dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan mental.
Penelitian Ogrodnick (2004) tentang faktor yang mempengaruhi pemanfaatan
pelayanan kesehatan pada gengguan emosi atau kesehatan mental pada kelompok
memanfaatkan pelayanan kesehatan mental daripada yang tidak dilakukan diagnosa
klinis. Serta perasaan subjektif merupakan faktor predisposisi yang paling kuat
terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan mental.
Penelitian Schimmele (2005) tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh
kelompok imigran, menyimpulkan bahwa faktor jenis kelamin tidak berpengaruh
terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan, karena jenis kelamin perempuan maupun
laki-laki tidak berbeda jumlah kunjungan ke pelayanan kesehatan pemerintah maupun
pelayanan kesehatan alternatif. Faktor pendidikan tidak berpengaruh terhadap
pemanfaatan pelayanan kesehatan, karena semakin tinggi tingkat pendidikan justru
menurun angka kunjungan ke pelayanan kesehatan pemerintah, tapi justru meningkat
ke pelayanan kesehatan alternatif. Faktor penghasilan berpengaruh terhadap
pemanfaatan pelayanan kesehatan swasta, karena masyarakat yang mempunyai
pendapatan tinggi lebih banyak berkunjung ke pelayanan kesehatan swasta daripada
ke pelayanan kesehatan alternatif.
Faktor karakteristik, dukungan keluarga dan kebutuhan pasien yang
mengalami stres pasca-trauma seperti yang telah dijelaskan merupakan faktor yang
mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Trauma Center sehingga banyak
yang drop out sebelum selesai menjalani proses penanganan, dapat dilihat dari data
sebagai berikut. Latar belakang pasien stres pasca-trauma yang berkunjung ke
Trauma Center Lhoksukon cukup beragam, misalnya dilihat dari umur umumnya di
atas 40 tahun, dan jenis kelamin perempuan. Pekerjaan beragam, seperti petani/buruh
pendidikan pasien stres pasca-trauma mayoritas SMP. Demikian juga dengan faktor
sosio ekonomi pasien stres pasca-trauma umumnya mempunyai penghasilan yang
rendah, hal ini terkait dengan jenis pekerjaan petani dan buruh tani. Rendahnya
penghasilan masyarakat juga dipengaruhi tingkat pendidikan yang rendah yaitu
tamatan sekolah dasar yang mengakibatkan kemampuan untuk mendapatkan jenis
pekerjaan dengan penghasilan lebih tinggi sangat terbatas (Trauma Center
Lhoksukon, 2006)
Hal inilah menjadi dasar ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian
tentang pengaruh faktor karakteristik, dukungan keluarga, dan kebutuhan pasien
stres pasca-trauma yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan di Trauma Center
Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara.
1.2. Permasalahan
Tingginya angka drop out pasien stres pasca-trauma di Trauma Center
Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara merupakan masalah dalam program penanganan
pasien. Dalam penelitian ini faktor yang diasumsikan mempengaruhi pemanfaatan
pelayanan pasien stres pasca-trauma adalah faktor karakteristik (umur, jenis kelamin,
status perkawinan, pendidikan dan penghasilan), dukungan keluarga dan kebutuhan
(perasaan subjektif dan evaluasi klinis).
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor
penghasilan), dukungan keluarga dan kebutuhan (perasaan subjektif dan evalausi
klinis) terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten
Aceh Utara.
1.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka sebagai hipotesis dalam penelitian
ini adalah "terdapat pengaruh faktor karakteristik (umur, jenis kelamin, status
perkawinan, pendidikan dan penghasilan), dukungan keluarga dan kebutuhan
(perasaan subjektif dan evalausi klinis) terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma
Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ke berbagai pihak
antara lain:
1. Manfaat praktis sebagai bahan informasi bagi para pengambil kebijakan dalam
menangani pasien stres pasca-trauma di Trauma Center Lhoksukon kabupaten
Aceh Utara, dengan melakukan proses konseling maupun pengobatan yang sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan.
2. Manfaat praktis untuk pengembangan konsep-konsep kebijakan kesehatan
khususnya dalam menangani masalah pasien stres pasca-trauma, sehingga dapat
3. Manfaat teoritis sebagai kontribusi pada bidang ilmu Adiministrasi Kebijakan
Kesehatan, khususnya pengembangan manajemen penanganan pasien
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Trauma Center Lhoksukon
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada
tanggal 27 Pebruari 2003 telah memprakarsai dan memfasilitasi berdirinya Trauma
Center di Kabupaten Aceh Utara. Penanggung jawab operasional Trauma Center ini
diserahkan kepada Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Kabupaten Aceh
Utara.
Tujuan Utama berdirinya Trauma Center tersebut adalah untuk memberikan
pelayanan berupa konsultasi, terapi psikologis dan psikofarmaka, kepada korban
tindak kekerasan akibat berbagai musibah seperti konflik militeristik, problematika
dalam keluarga, problematika sosial di masyarakat maupun korban bencana alam
gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004
yang lalu. Berdasarkan tujuan pelayanan tersebut diupayakan berbagai program untuk
penanganan kepada masyarakat yang mengalami stres pasca-trauma, khususnya pada
wilayah-wilayah yang dianggap persentase masyarakat yang mengalaminya cukup
tinggi akibat berbagai konflik politik seperti Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Penderitaan dan tekanan yang diterima warga Aceh sejak orde baru, telah
menimbulkan trauma yang sulit disembuhkan. Tanpa disadari masyarakat Aceh yang
penuh kebanggaan diri menjadi masyarakat yang rendah internal locus of controlnya.
segala keputusan dan keadaan yang dialami adalah karena dirinya, sedangkan kalau
seseorang meyakini bahwa keadaan yang dialami adalah karena orang lain atau faktor
di luar dirinya maka disebut external locus of control. Jadi pada masyarakat Aceh,
dirasakan bahwa semua kejadian adalah disebabkan faktor - faktor di luar kendalinya
(Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2005).
2.2. Stres Pasca-trauma
Stres pasca-trauma pertama kali diperkenalkan secara resmi sebagai gangguan
psikiatrik tahun 1980, dalam DSM-III. Sejak itu setiap kali DSM memodifikasi
kriteria diagnosis untuk gangguan ini. DSM-III R adalah versi pertama yang
memasukkan bagian-bagian serta diperluas dengan definisi stresor traumatik dan
perubahan serta pengaturan kembali bagian-bagian pada ketiga simtom kluster.
Akhirnya adanya peningkatan jumlah dari simtom-simtom penghindaran dan
penumpulan yang dibutuhkan untuk memenuhi kriteria diagnosis dari satu menjadi
tiga (Cohen, 2005).
Stres pasca-trauma diklasifikasikan dalam Diagnostic and Statistical manual
of Mental Disosders edisi keempat (DSM-IV) dengan lama gejala minimal untuk
gangguan stres selama satu bulan. Supaya seseorang dapat diklasifikasikan sebagai
penderita stres pasca-trauma, harus mengalami suatu stres emosional yang akan
bersifat traumatik (Kaplan, et al, 2003).
Keaadan stres pasca-trauma timbul sebagai respons yang berkepanjangan
maupun berkepanjangan) dari yang bersifat katastrofik dan menakutkan, yang
cenderung menyebabkan distres pada hampir setiap orang (Depkes RI, 1993).
Menurut Maramis, dkk (2005), pengalaman traumatik secara sederhana
merupakan luka yang sangat menyakitkan secara psikologik berarti pengalaman
mental yang laur biasa menyakitkan, melampaui ambang kemampuan rata-rata orang
untuk menanggungnya, mengakibatkan perubahan yang drastis dalam kehidupan
seseorang, dapat mengubah persepsi terhadap kehidupan, mengubah perilaku dan
kehidupan emosi seseorang.
Beberapa faktor risiko berkembangnya stres pasca-trauma termasuk level
pemaparan trauma, kedekatan hubungan dengan korban dan maternal emotional
distres. Peningkatan level pemaparan pada trauma serta kurangnya dukungan sosial
kepada korban diprediksikan akan menimbulkan kegawat daruratan stres
pasca-trauma serta dapat menimbulkan simtom-simtom psikopatologik yang lain (Sadok et
al, 2007).
Menurut Cohen (2005), stres pasca-trauma merupakan satu-satunya diagnoss
dalam DSM-IV-TR yang memerlukan pemunculan dari agen etiologis yaitu kejadian
traumatik yang serius.
Diperlukan lebih dari kejadian atau pengalaman untuk menimbulkan stres
pasca-trauma, kalau tidak bagaimana menjelaskan fakta bahwa stresor yang sama
dapat memunculkan simtom pada seseorang, tetapi tidak kepada orang lain. Jadi
faktor–faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah: (a) durasi dan keparahan dari
teror, (b) stabilitas emosional orang tersebut, (c) reaksi yang ditunjukkan anggota
keluarga lainnya, (c) hubungan kehidupan dari komunitas sosial, (d) kultural dan
faktor politik, (e) trauma tunggal, trauma berulang atau stresor yang kronis (Morison,
2003).
Studi Cohen (2005) melaporkan prevalensi stres pasca-trauma di Amerika
Serikat pada anak pra sekolah usia 4-5 tahun sekitar 1,3%, pada anak usia 9-17 tahun
sekitar 0,5-4%, serta pada orang dewasa sekitar 1,3–8%. Wanita juga diprediksikan
mempunyai risiko tinggi untuk mengalami stres pasca-trauma. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa kelompok risiko tinggi untuk mengalami stres pasca-trauma
adalah anak-anak, perempuan dan lanjut usia.
Faktor pencetus stres pasca-trauma dilihat dari aspek psikologis meliputi
clasical conditioning dan operant conditioning diimplikasikan ke dalam
perkembangan stres pasca-trauma. Stresor yang ekstrim secara tipikal memproduksi
emosi yang negatif (teror, kemarahan, kesedihan) begitu juga hyperarausal
psikologis dari aktivitas sistem nervus simpatis (the flight-orfight response). Clasical
conditioning muncul apabila benda-benda (hal-hal) yang netral yang berada di tempat
kejadian trauma dapat bergabung menjadi pasangan dengan peristiwa traumatis
dimana mereka juga bisa memicu reaksi-reaksi psikologis yang intens dan begitu juga
reaksi-reaksi fisiologis (Maramis, dkk, 2005).
Tidak adanya dukungan sosial yang kuat dapat meningkatkan risiko
timbulnya stres pasca-trauma setelah pemaparan peristiwa traumatik. Oleh karena itu
Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian
besar masyarakat dunia umumnya dan Indonesia pada khususnya. Masyarakat yang
mengalami krisis ekonomi tidak saja akan mengalami gangguan kesehatan fisik tetapi
juga dapat mengalami gangguan kesehatan jiwa seperti stres pasca-trauma yang
akhirnya dapat menurunkan produktifitas kerja, dan kualitas hidup secara nasional
(Rasmun, 2001).
Kecenderungan semakin meningkatnya penduduk yang mengalami stres
pasca-trauma seiring dengan terus berubahnya situasi ekonomi dan politik ke arah
yang tidak menentu, prevalensinya bukan saja pada kalangan menengah kebawah
sebagai dampak langsung dari kesulitan ekonomi, tetapi juga kalangan menengah
keatas sebagai dampak langsung atau tidak lansung ketidak mampuan individu dalam
penyesuaian diri terhadap perubahan sosial yang terus berubah (Rasmun, 2001).
Kecendrungan meningkatnya angka stres pasca-trauma dikalangan masyarakat saat
ini dan yang akan datang akan terus menjadi masalah sekaligus tantangan bagi tenaga
kesehatan.
Definisi Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dalam DSM IV-TR mengharuskan
adanya penjabaran akan keutuhan fisik dari diri sendiri atau orang lain dan reaksi
emosional yang diakibatkannya, termasuk keadaan tidak berdaya atau ketakutan.
Orang tersebut bereaksi terhadap pengalaman ini dengan ketakutan dan
ketidakberdayaan, mengenang kejadian tersebut secara menetap, dan mencoba
Menurut Depkes RI (1993), yang termasuk PTSD dalam adalah:
1. Keadaan yang dialami kembali (seperti mimpi buruk dan kilas balik)
2. Hyperarausal, seperti peningkatan refleks kaget, cepat marah atau waspada yang
berlebihan, dan
3. Tidak mau mendengar atau menghindari kejadian / situasi yang mirip – walaupun
hanya simbolis saja trauma atau ketidak mampuan bersosial / bekerja makin
meningkat dari sebelumnya.
Pengertian stres pasca-trauma adalah: (a) reaksi normal dari individu terhadap
kejadian yang luar biasa, (b) akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa
yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh diluar peristiwa yang bersifat amat hebat
dan luar biasa dialami banyak orang, bukan pengalaman yang normal bagi seseorang
(Maslim, 2001).
Penyebab gangguan bervariasi, tetapi perdefinisi, stresor harus sedemikian
berat sehingga cenderung menimbulkan trauma psikologis pada kebanyakan orang
normal, walaupun tidak berarti bawa semua orang harus mengalami gangguan akibat
trauma ini. Faktor psikologis, fisik, genetik dan sosial ikut berpengaruh pada
gangguan ini (Syamsir, 1991).
Menurut RPuK (2002) ada 3 bentuk proses timbulnya trauma, yaitu: (a) akut
stress, terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah pengalaman trauma terjadi dan
kekebalan, orang tidak akan mengira kalau pengalaman itu dirasakan oleh pribadinya
sehingga dia tidak siap dan shock, (b) reaksi stres pasca-trauma membuat perilaku
orang yang mengalaminya dianggap aneh oleh orang lain, semua orang dianggap
jelek dan musuh, dia merasa bersalah karena tidak berhasil melindungi keluarganya,
(c) kesadaran menjadi sempit dan kejadian ini banyak ditemui pada stres berikutnya.
Jenis stresor antara lain: bencana alam; banjir, gempa bumi, bencana
kecelakaan oleh karena manusia (accidental made-man disasters), kecelakaan
industri, kecelakaan mobil, kebakaran, bencana oleh karena manusia yang disengaja
(deliberate manmadedisasters), kamp konsentrasi tahanan/tawanan, penganiayaan,
pemboman (Maslim, 2001).
Macam-macam stressor traumatik: menyaksikan peristiwa yang berakibat luka
fisik atau kematian yang menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah
longsor, terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau bom, kepala
terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau tindakan berutal di luar batas
kemanusiaan, Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau keselamatan
jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana, tsunami, air bah atau gunung
meletus, peperangan, berbagai tindak kekerasan, usaha pembunuhan, penganiayaan
fisik dan jiwa-emosional, penyanderaan, penculikan, perampokan atau pun
kecelakaan. Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga. Mengalami secara aktual
atau terancam mengalami perkosaan, pelecehan seksual yang mengancam integritas
fisik dan harga diri seseorang. Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan.
Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam atau kecelakaan hebat,
Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman. Mendadak berada dalam
keadaan terasing, tercabut dari lingkungan fisik, budaya, kerabat, teman sebaya yang
dikenal. Terputus hubungan dengan dunia luar, dilarang melakukan berbagai adat
atau kebiasaan. Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privacy (hak pribadi).
Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal, kesehatan (Maslim,
2001)
Pasien dengan gangguan stres pasca-trauma mempunyai kecenderungan
bereaksi otonomik secara berlebihan terhadap stres. Trauma mengaktifkan kembali
konflik yang tidak terselesaikan pada masa kanak, termasuk trauma emosional yang
tidak disadari (Syamsir, 1991).
Menurut Patel (2001) peristiwa traumatis adalah suatu peristiwa yang
membuat seseorang takut dalam hidupnya, atau menyebabkan tekanan yang sangat
hebat. Ada beberapa jenis peristiwa traumatis, yaitu: (a) trauma pribadi merupakan
peristiwa yang mengancam orang-orang tertentu, seperti: diperkosa, kehilangan
seseorang yang dicintai, menjadi korban kejahatan, atau ikut mengalami kecelakaan
lalulintas, (b) perang dan terorisme: ketakutan perang dapat menjadi penyebab
trauma, baik pada tentara maupun penduduk sipil, (c) tekanan yang besar:
bencana-bencana seperti: jatuhnya pesawat terbang, kebakaran dan gempa bumi dapat
menyebabkan trauma pada sejumlah besar orang dalam waktu yang bersamaan.
bahkan pada orang-orang yang hanya menyaksikan apa yang terjadi dapat mengalami
efek kesehatan juga.
Reaksi individu terhadap kejadian hebat dan luar biasa ini amat bervariasi
antar individu, tampak tidak berpengaruh sama sekali, mengalami reaksi ringan -
menampilkan reaksi dalam waktu singkat, menunjukkan reaksi hebat dan menetap
dalam waktu yang cukup lama,disebut gangguan stres pasca-trauma (Maslim, 2001).
Gejala-gejala gangguan stres pasca truama seperti hipervigilensi, mimpi
buruk, dan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus kecil yang mengingatkan kepada
kejadian traumatis, memberi tanda suatu arousal yang berlebihan dari amigdala yang
mendorong ingatan yang menakutkan dari trauma yang menyusup kesadaran ingatan
traumatis disimpan dalam amigdala sebagai rambut pencetus mental, siap untuk
mendengar suatu alarm fisiologis yang kecil yang menandakan bahwa trauma awal
terjadi kembali. Walapun gangguan stres pasca-trauma merupakan dampak dari suatu
episode tertentu, hasil yang sama dapat terjadi dari kekejaman yang dialami selama
bertahun-tahun (Goleman, 2000).
Gambaran klinis terjadinya suatu stresor menyebabkan gejala distres yang
bermakna pada hampir setiap orang, adanya gejala khas berupa episode dimana
bayangan kejadian traumatik tersebut terulang kembali atau dalam mimpi, terjadi
dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan yang beku (numbness)
dan penumpulan emosi, menjauhi orang lain, tidak responsif terhadap lingkungannya,
anhedonia dan menghindari aktifitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya,
survivor guilt (rasa bersalah karena lolos dari bencana), gejala depresi. Lazimnya ada
ketakutan dan menghindari hal-hal yang mengingatkannya kembali pada trauma yang
dialami, kadang-kadang bisa terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan,
panik atau agresif, yang dicetuskan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya
kembali pada trauma yang dialaminya serta reaksi asli terhadap trauma itu. Onset
terjadi setelah trauma dengan masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan (jarang sampai melampaui 6 bulan), Perjalanan keadaan ini
berfluktuasi dan pada kebanyakan kasus dapat diharapkan kesembuhan. Pada
sejumlah kecil pasien, perjalanan penyakit dapat menjadi kronis sampai beberapa
tahun dan terjadi transisi menuju suatu perubahan kepribadian yang berlangsung lama
(Maslim, 2001).
Berdasarkan kondisi stres pasca-trauma, penyedian pelayanan dilakukan
secara berjenjang yaitu untuk penanganan tingkat awal sampai rujukan tertinggi.
Tingkat pelayanan tersebut sebagai berikut :
1. Pelayanan tingkat masyarakat, dilakukan oleh relawan yang tergabung dalam
lembaga/organisasi masyarakat luas atau keagamaan maupun kader atau petugas
pemerintah di tingkat desa atau kecamatan,berupa :
a. Penyuluhan (KIE)
b. Bimbingan
c. Membentuk “kelompok tolong diri”
d. Rujukan
a. Konseling, dilakukan terhadap penderita yang berpotensi untuk mengalami
gangguan stres pasca-trauma. Dilakukan secara komprehensif bersama-sama
(tim) oleh konselor serta tenaga lain yang terkait dengan penanganan pasien
gangguan jiwa pasca-trauma.
b. Rujukan, pada kasus yang tak dapat ditangani dengan konseling awal dan
membutuhkan konseling lebih lanjut/psikoterapi atau penanganan lebih lanjut.
3. Pelayanan tingkat spesialistik
Penderita yang tak dapat ditangani di tingkat Puskesmas akan dirujuk ke RSJ
atau Bagian Psikiatri RSU Kelas A dan B. Di tingkat ini penderita akan dilayani
secara lebih spesialistik oleh seorang tenaga terampil (psikiater atau psikolog ) sesuai
dengan kebutuhan penderita. Penderita mungkin membutuhkan medikasi sementara
untuk membantu mengatasi masalahnya yang mendesak sehingga dapat dilakukan
konseling yang lebih mendalam (Syamsir, 1991).
Stres pasca-trauma dapat dideteksi sampai batas tertentu sehingga dapat
dicegah agar tidak menjadi gangguan yang kronik (menahun). Intervensi sedini
mungkin akan menghasilkan terapi yang lebih memuaskan dan akan mencegah
berkembangnya stres pasca-trauma menjadi gangguan stres pasca-trauma (Syamsir,
1991).
Sesuai dengan fokus penelitian yang telah diuraikan pada latar belakang,
maka penjelasan yang terkait dalam penanganan pasien stres pasca-trauma adalah:
aspek karakteristik, dukungan keluarga, dan kebutuhan pasien.
Menurut Wiguna dkk (2005) faktor umur sangat penting diperhatikan secara
khusus, karena faktor umur, seperti anak-anak biasanya hidup dalam tekanan, baik itu
dirumah maupun di tempat pengungsian, mereka cenderung lebih banyak menuntut
perhatian dan kasih sayang dari orangtua atau pengasuh bahkan juga dari gurunya.
Anak-anak juga lebih mudah menjadi cemas dan takut yang berlebihan terhadap
lingkungan mereka, sehingga perlu ditangani secara berkesinambungan.
Menurut Maramis dkk, (2005), secara karakteristik, kelompok yang risiko
tinggi mengalami stres pasca-trauma adalah anak-anak perempuan dan lanjut usia.
Perempuan biasanya ditempatkan dalam peran yang lebih rendah dalam masyarakat,
demikian juga dengan lanjut usia karena mengalami penurunan kemampuan fisik dan
mental
Menurut Sarwono (2001), faktor-faktor karakteristik yang dapat menyebabkan
gangguan pada diri seseorang adalah: (a) faktor umur dan seks, (b) status dalam
keluarga, (c) faktor meninggalnya orang tua atau pemisahan/ perceraian orang tua dan
keragu-raguan terhadap kepercayaan pada orang tua), (d) faktor geografis (penduduk
kota lebih tinggi “risk” dari penduduk desa dan keadaan perkotaan), (e) faktor suku
(ethnic factor), serta (f) penggolongan-penggolongan masyarakat (people
Anak-anak dari akibat pecahnya rumah tangga serta anak-anak yang
mempunyai cacat badaniah biasanya merasa sangat malu dan menderita batinnya.
Hari depannya merasa gelap tanpa harapan dan dirinya selalu dibayangi oleh
ketakutan dan kebimbangan. Timbul rasa rendah diri, tidak mempunyai kepercayaan
diri selalu gagal dalam setiap usaha, semangatnya jadi patah, ambisinya musnah dan
selalu saja dibayangi hubungan dengan gangguan jiwa (Sarwono, 2001).
Menurut Kaplan et al (2003), gangguan stres pasca-trauma dapat tampak pada
setiap usia, gangguan ini paling menonjol pada desawa muda, karena sifat situasi
yang mencetuskannya. Tetapi anak-anak juga dapat mengalami stres pasca-trauma.
Trauma untuk laki-laki biasanya pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita
paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Stres pasca-trauma
kemungkinan terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami
gangguan ekonomis atau menarik diri secara sosial.
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap
penyakitnya. Faktor psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan
lingkungan kerja.
Sesorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok
sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya.
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap
pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya (Tjiptoherijanto dan
Soestyo, 1994).
2.4. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Dever (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan atau
pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:
1. Faktor Sosiokultural
a. Norma dan nilai sosial yang ada di masyarakat.
Norma, nilai sosial dan keyakinan yang ada pada masyarakat akan
mempengaruhi seseorang dalam bertindak, termasuk dalam menggunakan
pelayanan kesehatan.
b. Teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan.
Kemajuan di bidang teknologi dapat mengurangi atau menurunkan angka
kesakitan sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi penggunaan
pelayanan kesehatan.
2. Faktor Organisasi.
a. Ketersediaan sumber daya.
Yaitu sumber daya yang mencukupi baik dari segi kuantitas dan kualitas,
sangat mempengaruhi penggunaan atau permintaan terhadap pelayanan
didapat tanpa mempertimbangkan sulit atau mudah penggunaannya. Suatu
pelayanan hanya bisa digunakan apabila jasa tersebut tersedia.
b. Keterjangkauan lokasi
Yaitu berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan
tempat diukur dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan.
Peningkatan akses yang dipengaruhi oleh berkurangnya jarak, waktu,
ataupun biaya tempuh mungkin mengakibatkan peningkatan pemakaian
pelayanan yang berhubungan dengan keluhan-keluhan penyakit ringan.
c. Keterjangkauan sosial.
Keterjangkauan sosial terdiri dari dua dimensi yaitu dapat diterima dan
terjangkau. Dapat diterima mengarah kepada faktor psikologis, sosial dan
budaya, sedangkan terjangkau mengarah kepada faktor ekonomi.
d. Karakteristik struktur organisasi formal dan cara pemberian pelayanan
kesehatan.
Bentuk-bentuk praktek pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek
tunggal, praktek bersama atau yang lainnya membawa pola pemanfaatan
yang berbeda-beda.
3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen.
Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berhubungan
Kebutuhan terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan diagnosa
klinis (evaluated need). Perceived need ini dipengaruhi oleh:
a. Faktor sosiodemografi, yang terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, bangsa,
status perkawinan, jumlah keluarga, dan status sosial ekonomi.
b. Faktor sosiopsikologis, yang terdiri dari persepsi sakit, gejala sakit dan
keyakinan terhadap perawatan medis atau dokter.
c. Faktor epidemiologis, yang terdiri dari mortalitas, morbiditas, dan faktor
resiko.
4. Faktor yang berhubungan dengan petugas kesehatan.
a. Faktor ekonomi.
Konsumen tidak sepenuhnya memiliki kemampuan yang cukup akan
pelayanan yang akan diterima, sehingga mereka menyerahkan hal ini
sepenuhnya ke tangan provider.
b. Karakteristik dari Petugas Kesehatan (Provider).
Yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, keahlian petugas, serta
fasilitas yang dimiliki oleh pelayanan kesehatan tersebut.
Menurut Sarwono (2007) yang mengutip mengutip Mechanic, sebelum
proses dalam diri individu yaitu: (a) dikenalinya atau dirasakannya
gejala-gejala/tanda-tanda yang menyimpang dari keadaan biasa, (b) banyaknya gejala yang
dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan bahaya, (c) dampak gejala tersebut
terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja, dan kegiatan sosial lainnya,
(d) frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak, (e) nilai ambang dari mereka
yang terkena gejala atau kemungkinan individu untuk diserang penyakit, (f) informasi
pengetahuan dan sumsi budaya terhadap penyakit, (g) perbedaan interpretasi terhadap
gejala yang dikenal, (h) adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi
gejala sakit, (i) tersedianya saran kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut,
tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial.
Menurut Anderson (1995), bahwa determinan individu terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan tergantung kepada: (a) predisposisi untuk menggunakan jasa
pelayanan kesehatan, (b) kemampuan untuk melaksanakannya, (c) kebutuhan
terhadap jasa pelayanan kesehatan.
Komponen predisposisi mencakup karakteristik keluarga sebelum kejadian
penyakit dimana terdapat kecenderungan yang berbeda dalam penggunaan pelayanan
kesehatan, meliputi variabel demografi (seperti: umur, jenis kelamin, status
perkawinan); variabel struktur sosial (seperti: pendidikan, pekerjaan, suku bangsa);
serta kepercayaan dan sikap terhadap perawatan medis, dokter dan penyakit.
Komponen kemampuan melaksanakan pemanfaatan pelayanan kesehatan
adalah suatu kondisi yang memungkinkan orang untuk memanfaatkan pelayanan
memberikan predisposisi untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, namun beberapa
faktor harus tersedia untuk menunjang pelaksanaannya yaitu faktor: kemampuan,
baik dari keluarga (misalnya: penghasilan dan asuransi kesehatan) dan dari komunitas
(misalnya: tersedianya fasilitas, petugas kesehatan, lamanya menunggu pelayanan
serta lamanya waktu yang digunakan untuk mencapai fasilitas pelayanan tersebut).
Komponen kebutuhan terhadap jasa pelayanan kesehatan yang dirasakan,
diukur dengan (a) perasaan subjektif terhadap penyakit (meliputi: jumlah hari sakit
yang dilaporkan, jumlah gejala-gejala penyakit yang dialami, dan laporan tentang
keadaan kesehatan umum); dan (b) evaluasi klinis terhadap penyakit (biasanya
didasarkan atas keluhan-keluhan yang mungkin memerlukan pengobatan menurut
kelompok usia.
2.5. Landasan Teori
Sebagai acuan dalam menentukan variabel penelitian serta menyusunnya
dalam suatu kerangka konseptual, maka keseluruhan teori-teori yang telah dipaparkan
di atas dirangkum dalam suatu landasan teori seperti diuraikan berikut ini.
Peningkatan stres pasca-trauma yang dialami masyarakat menuntut
dilakukannya program pelayanan dan penanganan secara terpadu dan komprehensif.
Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara sebagai unit pelayanan dan
penanggulangan masalah stres pasca-trauma diharapkan mampu memberikan
Penanganan pasien stres pasca-trauma yang dilakukan di sarana pelayanan
kesehatan seperti Trauma Center Lhoksukon dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
dari aspek predisposisi, kemampuan dan faktor kebutuhan. Faktor-faktor tersebut
memberikan pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Sesuai dengan konsep pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Anderson
(1995), bahwa faktor predisposisi keluarga untuk menggunakan jasa pelayanan
kesehatan, meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, penghasilan,
faktor selanjutnya adalah kemampuan untuk melaksanakan yaitu dukungan keluarga
serta kebutuhan terhadap jasa pelayanan yaitu perasaan subjektif dan evaluasi klinis
merupakan determinan individu dalam pemanfaatan pelayanan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila ada dukungan dari faktor
karakteristik, kemampuan dan kebutuhan, maka pasien akan memanfaatkan
pelayanan kesehatan dengan baik, sebaliknya apabila tidak ada dukungan faktor
2.6. Kerangka Konsep Penelitian Pasien Stres Pasca-trauma
di Trauma Center Lhoksukon Karakteristik
- Umur
- Jenis Kelamin - Status Perkawinan - Pendidikan
- Penghasilan
Dukungan Keluarga
Kebutuhan
a. Perasaan Subjektif b. Evaluasi Klinis
[image:47.612.122.542.106.540.2]Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah survei dengan menggunakan
pendekatan explanatory research yaitu penelitian yang menjelaskan pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen melalui pengujian hipotesis.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara
dengan alasan bahwa di jumlah pasien yang ditangani di Trauma Center Lhoksukon
lebih banyak dibandingkan Trauma Center Kabupaten Pidie, serta adanya
kelengkapan data pasien yang ditangani untuk mendukung penelitian.
Penelitian dimulai dengan penelusuran kepustakaan, survei awal, konsultasi judul,
penyusunan proposal, seminar kolokium, pengumpulan data, pengolahan data dan
penyusunan hasil penelitian serta seminar hasil penelitian, dilakukan selama
11 bulan, yaitu bulan Desember 2007 sampai November 2008.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua pasien stres pasca-trauma yang mendapatkan
penanganan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara berjumlah 367
Kriteria eksklusi dari populasi adalah yang berumur < 20 tahun, dengan alasan pasien
yang berumur < 20 tahun, sesuai dengan theory of psychosocial development dari
Erikson’s (1995) bahwa tahap dewasa dalam perkembangan sosial adalah usia ≥ 20
tahun.
Berdasarkan data terakhir dari Trauma Center Lhoksukon diketahui jumlah pasien
stres pasca-trauma sebanyak 367 orang, 34 orang diantaranya berumur < 20 tahun,
dengan demikian jumlah pasien yang menjadi populasi adalah 333 orang.
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus penentuan jumlah sampel dari
Lameshow (1997), sebagai berikut:
(Z1- /2 √ Po (1- Po) + Z1 -ß√ Pa (1-Pa)2) n =
(Pa - Po) 2 Keterangan :
= Tingkat kemaknaan = 0,05
Z1 - = Deviat baku normal untuk (Z1 – /2 = 1,96)
Po = Proporsi pasien yang memanfaatkan pelayanan Trauma Center
dengan tidak baik tahun 2007 = 0,41
ß = Power test = 80% Z1 -ß = 0,824
Pa – Po = Besarnya perubahan proporsi yang mempunyai makna = 0,20
Pa = 0,61
Berdasarkan perhitungan sampel menggunakan rumus di atas, diperoleh
besar sampel sebanyak 48 orang. Teknik pengambilan sampel secara simple random
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data primer dihimpun melalui wawancara langsung dengan pasien yang mengalami
stres pasca-trauma atau keluarganya yang dapat mewakili serta menjelaskan
pertanyaan terkait dengan pasien stres pasca-trauma. Data sekunder diperoleh dari
Trauma Center dan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, serta keterangan lain
yang mendukung penelitian.
Mengetahui apakah instrumen penelitian (kuesioner) yang dipakai cukup
layak digunakan sehingga mampu menghasilkan data yang akurat, maka dilakukan uji
validitas. Sugiono (2006) menyatakan bahwa instrumen dikatakan valid, apabila
instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
Pentingnya validitas kuesioner penelitian karena ketepatan pengujian hipotesa sangat
tergantung kepada kualitas data yang dikumpulkan melalui kuesioner penelitian. Data
yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari kuesioner yang dinyatakan valid.
Mengetahui validitas suatu instrumen (dalam kuesioner) dilakukan dengan
cara melakukan korelasi antara skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan
korelasi Pearson Product Moment ( r ).
a. Bila r hitung > r tabel maka Ho ditolak berarti pertanyaan valid
b. Bila r hitung < r tabel maka Ho gagal ditolak artinya pertanyaan tidak valid
Setelah uji validitas dilakukan, maka selanjutnya terhadap kuesioner yang akan
diujicobakan kepada responden dilakukan uji reliabilitas untuk melihat konsistensi
jawaban. Sugiono (2006) menyakatan bahwa suatu instrumen dikatakan reliable atau
menghasilkan data atau jawaban yang sama. Mengetahui reliabilitas dengan
membandingkan nilai r tabel dengan r hasil :
a. Bila r Alpha > r tabel maka pertanyaan tersebut reliable
b. Bila r Alpha < r tabel maka pertanyaan tersebut tidak reliable.
Hasil uji validitas dan reliabilitas terhadap semua butir pertanyaan yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut :
a). Variabel dukungan keluarga dengan 5 item pertanyaan dengan nilai korelasi
spearman p=<0,05 dengan nilai alpha cronbach = 0,7082>0,6, artinya item
pertanyaan untuk variabel dukungan keluarga valid dan reliabel untuk dilanjutkan
wawancara kepada responden.
b). Variabel perasaan subjektif dengan 4 item pertanyaan dengan nilai korelasi
spearman p=<0,05 dengan nilai alpha cronbach = 0,7695>0,6, artinya item
pertanyaan untuk pertanyaan perasaan subjektif valid dan reliabel untuk
dilanjutkan wawancara kepada responden.
c). Variabel evaluasi klinis dengan 5 item pertanyaan dengan nilai korelasi spearman
p=<0,05 dengan nilai alpha cronbach = 0,6863>0,6, artinya item pertanyaan
untuk variabel evaluasi klinis valid dan reliabel untuk dilanjutkan wawancara
kepada responden.
d). Variabel pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon dengan 3 item
pertanyaan dengan nilai korelasi spearman p=<0,05 dengan nilai alpha cronbach
Trauma Center Lhoksukon valid dan reliabel untuk dilanjutkan wawancara
kepada responden (hasil uji terlampir).
3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Umur adalah jumlah tahun hidup pasien stres pasca-trauma yang dihitung sejak
lahir sampai penelitian dilakukan.
2. Jenis Kelamin pasien stres pasca-trauma adalah laki-laki dan perempuan.
3. Status perkawinan adalah suatu keadaan yang menunjukkan pasien stres
pasca-trauma pernah, tidak pernah, atau sedang mempunyai pasangan hidup resmi.
4. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah
ditempuh pasien stres pasca-trauma.
5. Penghasilan adalah jumlah uang yang diperoleh keluarga dalam satu bulan oleh
pasien stres pasca-trauma.
6. Dukungan keluarga adalah dorongan dari anggota keluarga pasien stres
pasca-trauma melakukan kunjungan ke Trauma Center untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan.
7. Perasaan Subjektif adalah sesuatu yang dirasakan pasien stres pasca-trauma
terhadap penyakit yang dideritanya, meliputi: jumlah hari sakit, jumlah
gejala-gejala penyakit yang dialami.
8. Evaluasi klinis adalah penilaian pasien stres pasca yang didasarkan atas
9. Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah frekuensi pengobatan berdasarkan
ukuran yang telah ditentukan oleh terapis. Dikategorikan baik dan kurang baik,
dengan kriteria:
a. Baik apabila pasien stres pasca-trauma bisa menyelesaikan terapi sampai
kepada ukuran yang telah ditentukan oleh terapis.
b. Kurang baik apabila pasien stres pasca-trauma tidak bisa menyelesaikan terapi
sampai kepada ukuran yang telah ditentukan oleh terapis.
3.6. Metode Pengukuran Variabel
Variabel independen dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan
[image:53.612.110.519.388.700.2]beberapa item pertanyaan menggunakan skala nominal dan ordinal, seperti pada
Tabel 3.1
Tabel 3.1. Skala Pengukuran Variabel Independen
Variabel Jumlah
Pertanyaan Kriteria Kategori
Skala Data (Independen)
1.Umur
2.Jenis Kelamin
3.Status Perkawinan 1 1 1 ……Tahun - Pria - Wanita - Kawin
- Belum kawin
- Duda - Janda 20-40 41-60 (Erikson dalam Wikipedia, 2008) - - Ratio Nominal Nominal
Variabel Jumlah
Pertanyaan Kriteria Kategori
[image:53.612.111.524.446.698.2](Independen) 4.Pendidikan 5.Penghasilan 1 1 - SD - SMP - SMA - Akad/PT Rupiah/bln -
> UMP NAD
≤ UMP NAD
Ordinal
[image:54.612.114.525.121.529.2]Ordinal
Tabel 3.1. Lanjutan
6.Dukungan Keluarga 7.Perasaan Subjektif 8.Evaluasi Klinis 5 5 5 Jawaban: a=2 b=1 Jawaban: a=2 b=1 Jawaban: a=2 b=1
3.Baik (>75% dari nilai tertingi) 2.Sedang (40-75%
dari nilai tertinggi) 1.Buruk (< 40% dari
nilai tertinggi
3.Baik (>75% dari nilai tertingi) 2.Sedang (40-75%
dari nilai tertinggi) 1.Buruk (< 40% dari
nilai tertinggi
3.Baik (>75% dari nilai tertingi) 2.Sedang (40-75%
dari nilai tertingi) 1.Buruk (< 40% dari
nilai tertinggi
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Variabel dependen dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan
beberapa item pertanyaan menggunakan skala ordinal, seperti pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Skala Pengukuran Variabel Dependen
Variabel Jumlah
Pertanyaan Kriteria Kategori
Skala Data (Dependen)
Pemanfaatan 1
Kesesuaian Jumlah
[image:54.612.109.522.626.700.2]Pelayanan Trauma Center
yang ditetapkan oleh terapis
2. KurangBaik
3.7. Metode Analisis Data
Teknik analisa data yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor
karakteristik, dukungan keluarga dan kebutuhan pasien stres pasca-trauma terhadap
pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon menggunakan uji regresi
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Trauma Center Lhoksukon berada di wilayah Kabupaten Aceh Utara, dimana
wilayah ini merupakan salah satu kabupaten yang dijadikan sentra dalam penanganan
pasien stres pasca-trauma. Secara geografis Kabupaten Aceh Utara mempunyai luas
wilayah 3.266,86 km2. Wilayah Kabupaten Aceh Utara terdiri dari daerah pantai
(5%), dataran rendah (83%) dan sisanya 12% merupakan dataran tinggi, dengan
batas-batas sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Pemerintah Kota Lhokseumawe dan Selat Malaka
b. Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Timur
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Aceh Tengah
d. Sebelah Barat : Kabupaten Bireuen
Jumlah kecamatan yang terdapat di Kabupaten Aceh Utara sebanyak
24 kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan 910. Jumlah penduduk berdasarkan
data terakhir sebanyak 447.694 jiwa terdiri dari 219,034 laki-laki dan 228.660
perempuan dengan jumlah kepala keluarga 96.992 perbandingan jumlah laki-laki
terhadap perempuan sebesar 96%.
Dasar dari pelaksanaan kegiatan operasional Trauma Center Lhoksukon
1. Surat Menteri Pemberdayaan perempuan Republik Indonesia
No.B-225/Men.PP/Deputi V/II/2002 tanggal 25 Pebruari perihal Need Asesment dan
Trauma Center.
2. Keputusan Bupati Kabupaten Aceh Utara No.260/366/2002 tanggal 4
Desember 2002 tentang penetapan Eks Kantor Pembantu Bupati Lhoksukon
sebagai Trauma Center milik Pemerintah Kabupaten Aceh Utara
3. Surat Keputusan Bupati Kabupaten Aceh Utara No.260/175/2005 tentang
penunjukan pengelola atau pengurus Trauma Center Lhoksukon Kabupaten
Aceh Utara.
Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara dikelola oleh 7 (tujuh)
orang, yaitu penanggung jawab operasional 1 orang, dokter umum 1 orang, psikolog
2 orang, perawat 1 orang, administrasi 1 orang dan tenaga pendamping 1 orang.
Kegiatan Trauma Center Lhosukon pada awal tahun 2003 dilakukan dua kali
dalam seminggu, yaitu hari selasa dan sabtu, namun setelah terjadinya bencana alam
gempa bumi dan tsunami maka kegiatan Trauma Center menjadi 6 hari dalam
seminggu dengan jenis pelayanan yang diberikan berupa terapi psikologis dan
medikasi. Saat ini kegiatan Trauma Center kembali lagi berjalan 2 kali dalam
seminggu yaitu hari selasa dan sabtu. Pelayanan pengobatan di Trauma Center
Lhosukon tidak dipungut biaya.
Dalam kegiatan Trauma Center Lhosukon, mekanisme penanganan pasien
a. Pasien yang ditangani di Trauma Center Lhoksukon adalah pasien yang
dirujuk dari puskesmas dan pasien yang datang sendiri ke Trauma Center.
b. Apabila tingkat gangguan stres pasca-trauma dari pasien telah memasuki
tahap yang memprihatinkan dan tidak dapat di tangani oleh petugas di Trauma
Center maka pasien tersebut oleh dokter di rujuk ke Rumah Sakit Umum Cut
Meutia.
Dalam pelaksanannya Trauma Center Lhoksukon mendapat dukungan yang
bersifat moril maupun materiil dari dinas kesehatan mupun instansi yang terkait serta