• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK, DUKUNGAN KELUARGA DAN KEBUTUHAN PASIEN STRES PASCA-TRAUMA

TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN DI TRAUMA CENTER LHOKSUKON

KABUPATEN ACEH UTARA

T E S I S

Oleh RACHMADIANY

067012050/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH KARAKTERISTIK, DUKUNGAN KELUARGA DAN KEBUTUHAN PASIEN STRES PASCA-TRAUMA

TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN DI TRAUMA CENTER LHOKSUKON

KABUPATEN ACEH UTARA

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RACHMADIANY 067012050/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK, DUKUNGAN KELUARGA DAN KEBUTUHAN PASIEN STRES PASCA-TRAUMA TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN DI TRAUMA CENTER LHOKSUKON KABUPATEN ACEH UTARA

Nama Mahasiswa : Rachmadiany Nomor Pokok : 067013050

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof.dr.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K)) (dr. Ria Masniari Lubis, MSi) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 10 Desember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K) Anggota : 1. dr. Ria Masniari Lubis, MSi

2. Prof. Dr. Ida Yustina, MSi

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KARAKTERISTIK, DUKUNGAN KELUARGA DAN KEBUTUHAN PASIEN STRES PASCA TRAUMA

TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN DI TRAUMA CENTER LHOKSUKON

KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2008

(6)

ABSTRAK

Gangguan kesehatan jiwa masyarakat akibat konflik militer dan bencana alam di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam mengalami peningkatan yang cukup besar. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi tenaga kesehatan dalam melakukan penanganan secara terpadu dan komprehensif. Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara didirikan dalam upaya membantu penderita stres pasca-trauma sebagai sarana dan upaya untuk penanganannya. Pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon tahun 2007 sebesar 41% yang tidak menyelesaikan pengobatan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh terapis.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh karakteristik (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan penghasilan), dukungan keluarga dan kebutuhan (perasaan subjektif dan evaluasi klinis) terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon. Jenis penelitian adalah survei explanatory, denga jumlah sampel sebanyak 48 orang pasien stres pasca-trauma, yang diambil secara simple random sampling. Analisis data menggunakan uji Chi Square dan regresi logistik.

Hasil penelitian dengan uji Chi Square menunjukkan variabel yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan Trauma Center Lhoksukon adalah pendidikan, penghasilan, dukungan keluarga, perasaan subjektif dan evaluasi klinis, sedangkan yang tidak berhubungan adalah umur, jenis kelamin dan status perkawinan. Dari hasil uji regresi logistik hanya variabel penghasilan dan dukungan keluarga yang berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan Trauma Center Lhoksukon 79,2%.

Kepada petugas Trauma Center Lhoksukon supaya memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga pasien sehingga mempunyai pengetahuan akan pentingnya pengobatan stres pasca-trauma, dalam memberikan dukungan berupa materi untuk biaya transportasi dan makan selama menjalani pengobatan, serta mengingatkan kepada keluarga pasien agar mendampingi pasien saat melakukan kunjungan ke Trauma Center Lhoksukon.

(7)

ABSTRACT

Mental health disorder in the community resulted from military conflict and natural disaster in the area of Nanggroe Aceh Darussalam has experienced a significant increase that becomes a challenge faced by the health workers in doing an integrated and comprehensive handling it. Lhoksukon Trauma Center is built by the local government to help the patients of Post-Traumatic Stress Disorder as a treatment place for handling. In 2007, 41% of the patients who used the service provided by Lhoksukon Trauma Center did not accomplish their treatment according to what was determined by the therapist.

The purpose survey of this explanatory study is to analyze the influence of characteristics (age, sex, marital status, education, and income), family support and need (subjective feeling and clinical evaluation) on the use of the service provided by Lhoksukon Trauma Center. The kind of the research is ex planatory survey of the samples for this study were 48 post-traumatic stress disorder patients selected through simple random sampling technique. The data obtained were analyzed through Chi-square and logistic regression tests.

The result of Chi-square test shows variable that education, income, family support, subjective feeling and clinical evaluation, that have relation to the use of service provided by Lhoksukon Trauma Center, are education, income, family support, subjective feeling and clinical evaluation, while the things that do not have any relations are age, sex and marital status. The result of logistic regression test shows that only variable income and family support which have an influence.

The management of Lhoksukon Trauma Center is suggested to provide extension on the importance of post-traumatic stress disorder treatment to the patients and their family, to advise the family of the patients to support the patients by providing the cost of transportation and money for food during treatment, and to remind the family of the patients to accompany the patients when visiting Lhoksukon Trauma Center.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta

hidayah-Nya sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan mula dari perkuliahan

hingga selesainya tesis ini dengan judul "Pengaruh Karakteristik, Dukungan Keluarga dan Kebutuhan pasien Stres Pasca-trauma Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara".

Dengan ridho Allah SWT serta dengan ketulusan hati dan keikhlasan, penulis

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), sebagai Rektor

Universitas Sumatera Utara.

Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, sebagai Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, sebagai Ketua Program Studi Administrasi

dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ibu Prof. Dr. Ida Yustina, MSi, sebagai Sekretaris Program Studi Administrasi

dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

sekaligus sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan

demi kesempurnaan tesis ini.

Bapak Prof. dr. H.M. Yusuf Simbolon, Sp.KJ(K), selaku Ketua Komisi

(9)

mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal

hingga penulisan tesis selesai.

Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan

waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

Ibu Raras Sutatminingsih, S.Psi, Msi selaku sebagai komisi penguji yang telah

banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.

Bapak Bupati Aceh Utara, yang telah berkenan memberikan kesempatan

kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin tugas

belajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bapak Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Aceh Utara beserta staf

yang telah banyak membantu dan memberi dukungan kepada penulis dalam rangka

menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara beserta staf yang telah

banyak membantu dan memberi dukungan kepada penulis dalam rangka

menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Sekolah

Pascasarjana Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan khususnya

Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

Rekan-rekan mahasiswa Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah

(10)

Teristimewa buat suami tercinta Taufiq Diah, ST dan anakku Arief, Rafli,

Syifa, yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do'a serta memotivasi dan

memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.

Orangtua, Mertua serta saudara-saudaraku yang telah banyak memberikan

bantuan dan memberi dorongan moril serta do'a yang tak terbatas selama penulis

menjalani pendidikan.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan

kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan

harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan,

dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Desember 2008 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Rachmadiany, lahir pada tanggal 13 November 1970 di Medan Propinsi

Sumatera Utara, anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda

OK.Achmaddin dan Ibunda (alm) Asmita.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di SDN

060942 Medan selesai tahun 1982, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN)

18 Medan selesai tahun 1985, Sekolah Menengah Atas (SMAN) 15 Medan selesai

tahun 1988, Akademi Penilis Kesehatan (APK) Kabanjahe selesai tahun 1991, S-1 di

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan selesai tahun

2003 dan Sekolah Pascasarjana AKK Universitas Sumatera Utara tahun 2008.

Mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil Pusat sejak tahun 1992 di Dinas

Kesehatan Kabupaten Aceh Utara sampai saat ini.

Tanggal 3 Agustus 1996, penulis menikah dengan Taufiq Diah, ST putra

keempat dari enam bersaudara, anak dari Bapak Zamhuri dengan Ibu (Alm)

Kamsinah, dan penulis dikaruniai dua orang putra, yaitu Arief Perdana, Muhammad

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Hipotesis Penelitian... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1. Trauma Centre Lhoksukon... 11

2.2. Stres Pasca-trauma ... 12

2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanganan Stres Pasca-trauma... 21

2.4. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ... 23

2.5. Landasan Teori... 28

2.6. Kerangka Konsep Penelitian ... 29

BAB 3 METODE PENELITIAN... 30

3.1. Jenis Penelitian... 30

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.3. Populasi dan Sampel ... 30

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 32

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 34

3.6. Metode Pengukuran Variabel... 35

3.7. Metode Analisis Data... 37

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 38

4.1. Deskripsi lokasi Penelitian... 38

4.2. Karakteristik Responden ... 40

4.3. Dukungan Keluarga ... 42

4.4. Kebutuhan ... 44

(13)

4.4.2. Evaluasi Klinis ... 46

4.5. Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 48

4.6. Analisis Bivariat (Uji Chi Square) ... 49

4.6.1. Hubungan Karakteristik dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 49

4.6.2. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 51

4.6.3. Hubungan Kebutuhan dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 52

4.7. Analisis Multivariat... 53

BAB 5 PEMBAHASAN... 55

5.1. Pengaruh Karakteristik Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 55

5.1.1. Pengaruh Umur Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 55

5.1.2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 56

5.1.3. Pengaruh Status Perkawinan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 58

5.1.4. Pengaruh Pendidikan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 59

5.1.5. Pengaruh Penghasilan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 59

5.2. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 60

5.3. Pengaruh Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 62

5.3.1. Pengaruh Perasaan Subjektif Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 62

5.3.2. Pengaruh Evaluasi Klinis Terhadap Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon... 63

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 65

6.1. Kesimpulan ... 65

6.2. Saran ... 65

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Skala Pengukuran Variabel Independen ... 35

3.2. Skala Pengukuran Variabel Dependen ... 36

4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakterisitik di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 41

4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 43

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Dukungan Keluarga di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 43

4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Perasaan Subjektif di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 44

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Perasaan Subjektif di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara... 45

4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Evaluasi Klinis di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 47

4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Evaluasi Klinis di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 47

4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 48

4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 49

4.10. Hubungan Karakteristik Responden dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara ... 50

(15)

4.12. Hubungan Kebutuhan Responden dengan Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon ... 52

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 70

2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 73

3 Uji Bivariat (Chi Square) ... 79

4 Uji Multivariat (Regresi Logistik) ... 87

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan kesehatan masyarakat akibat konflik militer dan bencana alam

di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam mengalami peningkatan yang cukup besar.

Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi tenaga kesehatan dalam melakukan

penanganan secara terpadu dan komprehensif.

Terjadinya gejolak yang merupakan konflik antara masyarakat Aceh dan

pemerintah pusat dan terkadang pula antar masyarakat Aceh itu sendiri berlangsung

terus di masa orde baru. Ketidak tentraman hidup masyarakat Aceh semakin menjadi

ketika pemerintah RI memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM)

di tahun 1989. Inilah penderitaan yang tidak akan pernah terlupakan oleh masyarakat

Aceh, pengolok-olokan, kekerasan, kebrutalan, penyiksaan, penganiayaan,

pemerkosaan, pembunuhan, penculikan dan pembantaian terjadi di mana-mana

di Aceh (Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2005).

Akibat Daerah Operasi Militer (DOM) masyarakat Aceh mengalami trauma

yang berkepanjangan. Dengan tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, Daerah

Operasi Militer dicabut. Kekerasan dan pembunuhan tidak hilang, bahkan semakin

merajalela. Ketakutan demi ketakutan yang terus menerus dialami masyarakat Aceh

ini sebenarnya sudah merupakan trauma yang sulit dihapuskan (Direktorat Kesehatan

(19)

Kondisi masyarakat akibat dampak Daerah Operasi Militer yang begitu

tertekan, semakin diperparah dengan terjadinya bencana alam gempa bumi yang

diikuti dengan gelombang tsunami yang begitu dahsyat.

Pada 26 Desember 2004 hampir seluruh Nanggroe Aceh Darussalam, negeri

yang didambakan sebagai rumah damai, telah porak poranda oleh gempa bumi dan

gelombang tsunami. Bencana yang seakan menjadi puncak segala derita

menimbulkan ketakutan yang jauh lebih mendalam (Laporan perkembangan Trauma

Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara, 2005).

Berdasarkan beberapa peristiwa yang terjadi di atas di Nanggroe Aceh

Darussalam maka salah satu kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian

Pemberdayaan Perempuan maka didirikan Trauma Center Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam di Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie dalam rangka

menangani masyarakat yang mengalami stres pasca-trauma.

Stres pasca-trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah

mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa

trauma, seperti: perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan

yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak

berdaya dan mengerikan (Warmasif, 2007).

Sebagian orang sepanjang masa hidupnya pernah mengalami peristiwa

traumatik, seperti kecelakaan pesawat, kebakaran, banjir, dan bencana alam lainnya.

Sebagian besar hanya akan mengalami distres mental yang sifatnya sementara, tetapi

(20)

gangguan yang berat yang sangat mengganggu kualitas hidup individu dan apabila

tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan

berkembang menjadi gangguan stres pasca yang kompleks dan/atau gangguan

kepribadian (Warmasif, 2007).

Hasil penelitian Syahrial (2007) di Banda Aceh menyimpulkan pasien stres

pasca-trauma yang berkunjung ke puskesmas hanya sebesar 9.3%, sedangkan 90,7%

pasien stres pasca-trauma ternyata tidak mendapatkan penanganan medik psikistrik

untuk gangguannya di puskesmas, hal ini terjadi dikarenakan para petugas kesehatan

di lini terdepan umumnya lebih terfokus dalam menangani masalah fisik, sehingga

problem psikiatrik menjadi luput dari perhatian.

Rendahnya persentase kunjungan pasien pasca-trauma ke puskesmas di

Banda Aceh menunjukkan pentingnya peran sarana pelayanan seperti Trauma Center

dalam menanggulangi masalah masyarakat yang mengalami gangguan stres

pasca-trauma (Trauma Center Lhoksukon, 2007).

Menurut Dharmono dkk (2008), stres pasca-trauma pada awalnya mengalami

gejala-gejala distres mental, hanya sekitar 10-20% yang mengalami gangguan mental

bermakna seperti gangguan stres pasca-trauma, ganguan depresi, gangguan panik,

dan berbagai gangguan anxietas terkait.

Faktor yang dapat meningkatkan keparahan stres pasca-trauma antara lain:

(a) dukungan lingkungan yang kurang, (b) sikap dan perilaku yang keliru dari

lingkungan yang secara terus menerus memperlakukan individu sebagai korban,

(21)

traumatik agar korban tidak teringat dengan peristiwa itu, akibatnya bagi korban ia

merasa sendirian dalam menghadapi traumanya, (d) strategi menyesuaikan diri yang

tidak efektif, (e) tidak mendapatkan pertolongan yang efektif (Dharmono dkk, 2008).

Korban stres pasca-trauma bukan hanya kehilangan harta benda dan sanak

saudara tetapi juga kehilangan pegangan hidup. Kondisi tersebut tentunya

membutuhkan kemampuan adaptasi yang luar biasa (Maramis dkk, 2005).

Pertimbangan pembentukan sarana pelayanan kesehatan untuk penanganan

pasien stres pasca-trauma di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam pada dua wilayah,

yaitu Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara dan Trauma Center

Kabupaten Pidie, terkait dengan kondisi konflik yang terjadi pada kedua wilayah

tersebut dirasakan lebih berat dibandingkan wilayah lainnya, artinya jumlah

masyarakat yang mengalami dampak langsung dari konflik yang terjadi paling

banyak pada Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie.

Dalam perkembanganya sejak difungsikannya Trauma Center pada 17 Juni

2003, ternyata Trauma Center Lhokskon Kabupaten Aceh Utara lebih memberikan

dampak yang positif dan berguna bagi masyarakat, hal ini dilihat dari adanya

dukungan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam hal penyediaan sarana,

prasarana maupun fasilitas yang dibutuhkan dalam penanganan pasien stres

pasca-trauma. Dengan memperhatikan perkembangan tersebut maka lokasi penelitian

difokuskan pada Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara.

Pada tahun 2005 jumlah pasien stres pasca-trauma yang mengunjungi Trauma

(22)

jumlah pasien pengunjung tiap bulannya sebagai berikut: bulan Januari sebanyak

63 orang, Februari 72 orang, Maret 55 orang, April 35 orang, Mei 25 orang, Juni 26

orang, Juli 47 orang, Agustus 28 orang, September 42 orang, Oktober 42 orang,

Nopember 18 orang dan Desember sebanyak 20 orang, dimana pasien yang drop out

pada tahun 2005 sebanyak 175 orang (37%) (Laporan Trauma Center Lhoksukon,

2005).

Pada tahun 2006 jumlah pasien stres pasca-trauma yang mengunjungi Trauma

Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara mencapai 304 orang dengan rincian jumlah

pasien pengunjung tiap bulannya sebagai berikut: bulan Januari sebanyak 33 orang,

Februari 52 orang, Maret 16 orang, April 20 orang, Mei 23 orang, Juni 14 Orang, Juli

11 orang, Agustus 22 orang, September 21 orang, Oktober 26 orang, Nopember

31 orang dan Desember sebanyak 35 orang, dimana pasien yang drop out pada tahun

2006 sebanyak 122 orang (40%) (Laporan Trauma Center Lhoksukon, 2006).

Tahun 2007 jumlah pasien stres pasca-trauma yang mengunjungi Trauma

Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara mencapai 367 orang dengan rincian jumlah

pasien pengunjung tiap bulannya sebagai berikut: bulan Januari sebanyak 35 orang,

Februari 39 orang, Maret 34 orang, April 29 orang, Mei 29 orang, Juni 31 Orang, Juli

38 orang, Agustus 24 orang, September 37 orang, Oktober 31 orang, Nopember 21

orang dan Desember sebanyak 19 orang, dimana pasien yang drop out pada tahun

2007 sebanyak 150 orang (41%) (Laporan Trauma Center Lhoksukon, 2007).

Hasil penelitian Hasanuddin (2005) intervensi dan pengobatan Gangguan

(23)

terhadap trauma spesifik, yakni bencana alam (3,7% laki-laki, 5,4% wanita), korban

kriminalitas (1,8% laki-laki, 21,8% wanita), peperangan (38% laki-laki, 18% wanita),

perkosaan (40,5% laki-laki, 65% wanita). Secara umum 10-20% seseorang terpapar

trauma akan berkembang menjadi GSPT. Namun jika tidak terjadi GSPT, 77%

korban berisiko terjadi gangguan depresi mayor. Upaya intervensi dan penanganan

yang yang dilakukan melalui psikoterapi individual yang melakukan pengamatan

yang lengkap terhadap karakteristik pasien, juga dilakukan psikoterapi kelompok

meliputi beberapa model, yakni psikoterapi kelompok suportif, terapi kelompok

berorientasi analitik, psikoanalisis kelompok, terapi kelompok transaksional dan

terapi kelompok perilaku.

Penelitian terdahulu menunjukkan pengaruh faktor karakteristik, dukungan

keluarga dan kebutuhan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, seperti pelayanan

kesehatan mental seperti diuraikan berikut ini. Penelitian Bovier, dkk (2001)

menyimpulkan bahwa faktor umur tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan

pelayanan kesehatan mental.

Penelitian Rhodes (2002) tentang jenis kelamin dan pasien yang keluar dari

pelayanan kesehatan mental menyimpulkan faktor jenis kelamin berpengaruh

terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan mental, dimana wanita hampir 2 kali lebih

sering daripada laki-laki dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan mental.

Penelitian Ogrodnick (2004) tentang faktor yang mempengaruhi pemanfaatan

pelayanan kesehatan pada gengguan emosi atau kesehatan mental pada kelompok

(24)

memanfaatkan pelayanan kesehatan mental daripada yang tidak dilakukan diagnosa

klinis. Serta perasaan subjektif merupakan faktor predisposisi yang paling kuat

terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan mental.

Penelitian Schimmele (2005) tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh

kelompok imigran, menyimpulkan bahwa faktor jenis kelamin tidak berpengaruh

terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan, karena jenis kelamin perempuan maupun

laki-laki tidak berbeda jumlah kunjungan ke pelayanan kesehatan pemerintah maupun

pelayanan kesehatan alternatif. Faktor pendidikan tidak berpengaruh terhadap

pemanfaatan pelayanan kesehatan, karena semakin tinggi tingkat pendidikan justru

menurun angka kunjungan ke pelayanan kesehatan pemerintah, tapi justru meningkat

ke pelayanan kesehatan alternatif. Faktor penghasilan berpengaruh terhadap

pemanfaatan pelayanan kesehatan swasta, karena masyarakat yang mempunyai

pendapatan tinggi lebih banyak berkunjung ke pelayanan kesehatan swasta daripada

ke pelayanan kesehatan alternatif.

Faktor karakteristik, dukungan keluarga dan kebutuhan pasien yang

mengalami stres pasca-trauma seperti yang telah dijelaskan merupakan faktor yang

mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Trauma Center sehingga banyak

yang drop out sebelum selesai menjalani proses penanganan, dapat dilihat dari data

sebagai berikut. Latar belakang pasien stres pasca-trauma yang berkunjung ke

Trauma Center Lhoksukon cukup beragam, misalnya dilihat dari umur umumnya di

atas 40 tahun, dan jenis kelamin perempuan. Pekerjaan beragam, seperti petani/buruh

(25)

pendidikan pasien stres pasca-trauma mayoritas SMP. Demikian juga dengan faktor

sosio ekonomi pasien stres pasca-trauma umumnya mempunyai penghasilan yang

rendah, hal ini terkait dengan jenis pekerjaan petani dan buruh tani. Rendahnya

penghasilan masyarakat juga dipengaruhi tingkat pendidikan yang rendah yaitu

tamatan sekolah dasar yang mengakibatkan kemampuan untuk mendapatkan jenis

pekerjaan dengan penghasilan lebih tinggi sangat terbatas (Trauma Center

Lhoksukon, 2006)

Hal inilah menjadi dasar ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian

tentang pengaruh faktor karakteristik, dukungan keluarga, dan kebutuhan pasien

stres pasca-trauma yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan di Trauma Center

Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara.

1.2. Permasalahan

Tingginya angka drop out pasien stres pasca-trauma di Trauma Center

Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara merupakan masalah dalam program penanganan

pasien. Dalam penelitian ini faktor yang diasumsikan mempengaruhi pemanfaatan

pelayanan pasien stres pasca-trauma adalah faktor karakteristik (umur, jenis kelamin,

status perkawinan, pendidikan dan penghasilan), dukungan keluarga dan kebutuhan

(perasaan subjektif dan evaluasi klinis).

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor

(26)

penghasilan), dukungan keluarga dan kebutuhan (perasaan subjektif dan evalausi

klinis) terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten

Aceh Utara.

1.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka sebagai hipotesis dalam penelitian

ini adalah "terdapat pengaruh faktor karakteristik (umur, jenis kelamin, status

perkawinan, pendidikan dan penghasilan), dukungan keluarga dan kebutuhan

(perasaan subjektif dan evalausi klinis) terhadap pemanfaatan pelayanan di Trauma

Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ke berbagai pihak

antara lain:

1. Manfaat praktis sebagai bahan informasi bagi para pengambil kebijakan dalam

menangani pasien stres pasca-trauma di Trauma Center Lhoksukon kabupaten

Aceh Utara, dengan melakukan proses konseling maupun pengobatan yang sesuai

dengan pedoman yang ditetapkan.

2. Manfaat praktis untuk pengembangan konsep-konsep kebijakan kesehatan

khususnya dalam menangani masalah pasien stres pasca-trauma, sehingga dapat

(27)

3. Manfaat teoritis sebagai kontribusi pada bidang ilmu Adiministrasi Kebijakan

Kesehatan, khususnya pengembangan manajemen penanganan pasien

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Trauma Center Lhoksukon

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada

tanggal 27 Pebruari 2003 telah memprakarsai dan memfasilitasi berdirinya Trauma

Center di Kabupaten Aceh Utara. Penanggung jawab operasional Trauma Center ini

diserahkan kepada Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Kabupaten Aceh

Utara.

Tujuan Utama berdirinya Trauma Center tersebut adalah untuk memberikan

pelayanan berupa konsultasi, terapi psikologis dan psikofarmaka, kepada korban

tindak kekerasan akibat berbagai musibah seperti konflik militeristik, problematika

dalam keluarga, problematika sosial di masyarakat maupun korban bencana alam

gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004

yang lalu. Berdasarkan tujuan pelayanan tersebut diupayakan berbagai program untuk

penanganan kepada masyarakat yang mengalami stres pasca-trauma, khususnya pada

wilayah-wilayah yang dianggap persentase masyarakat yang mengalaminya cukup

tinggi akibat berbagai konflik politik seperti Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Penderitaan dan tekanan yang diterima warga Aceh sejak orde baru, telah

menimbulkan trauma yang sulit disembuhkan. Tanpa disadari masyarakat Aceh yang

penuh kebanggaan diri menjadi masyarakat yang rendah internal locus of controlnya.

(29)

segala keputusan dan keadaan yang dialami adalah karena dirinya, sedangkan kalau

seseorang meyakini bahwa keadaan yang dialami adalah karena orang lain atau faktor

di luar dirinya maka disebut external locus of control. Jadi pada masyarakat Aceh,

dirasakan bahwa semua kejadian adalah disebabkan faktor - faktor di luar kendalinya

(Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2005).

2.2. Stres Pasca-trauma

Stres pasca-trauma pertama kali diperkenalkan secara resmi sebagai gangguan

psikiatrik tahun 1980, dalam DSM-III. Sejak itu setiap kali DSM memodifikasi

kriteria diagnosis untuk gangguan ini. DSM-III R adalah versi pertama yang

memasukkan bagian-bagian serta diperluas dengan definisi stresor traumatik dan

perubahan serta pengaturan kembali bagian-bagian pada ketiga simtom kluster.

Akhirnya adanya peningkatan jumlah dari simtom-simtom penghindaran dan

penumpulan yang dibutuhkan untuk memenuhi kriteria diagnosis dari satu menjadi

tiga (Cohen, 2005).

Stres pasca-trauma diklasifikasikan dalam Diagnostic and Statistical manual

of Mental Disosders edisi keempat (DSM-IV) dengan lama gejala minimal untuk

gangguan stres selama satu bulan. Supaya seseorang dapat diklasifikasikan sebagai

penderita stres pasca-trauma, harus mengalami suatu stres emosional yang akan

bersifat traumatik (Kaplan, et al, 2003).

Keaadan stres pasca-trauma timbul sebagai respons yang berkepanjangan

(30)

maupun berkepanjangan) dari yang bersifat katastrofik dan menakutkan, yang

cenderung menyebabkan distres pada hampir setiap orang (Depkes RI, 1993).

Menurut Maramis, dkk (2005), pengalaman traumatik secara sederhana

merupakan luka yang sangat menyakitkan secara psikologik berarti pengalaman

mental yang laur biasa menyakitkan, melampaui ambang kemampuan rata-rata orang

untuk menanggungnya, mengakibatkan perubahan yang drastis dalam kehidupan

seseorang, dapat mengubah persepsi terhadap kehidupan, mengubah perilaku dan

kehidupan emosi seseorang.

Beberapa faktor risiko berkembangnya stres pasca-trauma termasuk level

pemaparan trauma, kedekatan hubungan dengan korban dan maternal emotional

distres. Peningkatan level pemaparan pada trauma serta kurangnya dukungan sosial

kepada korban diprediksikan akan menimbulkan kegawat daruratan stres

pasca-trauma serta dapat menimbulkan simtom-simtom psikopatologik yang lain (Sadok et

al, 2007).

Menurut Cohen (2005), stres pasca-trauma merupakan satu-satunya diagnoss

dalam DSM-IV-TR yang memerlukan pemunculan dari agen etiologis yaitu kejadian

traumatik yang serius.

Diperlukan lebih dari kejadian atau pengalaman untuk menimbulkan stres

pasca-trauma, kalau tidak bagaimana menjelaskan fakta bahwa stresor yang sama

dapat memunculkan simtom pada seseorang, tetapi tidak kepada orang lain. Jadi

faktor–faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah: (a) durasi dan keparahan dari

(31)

teror, (b) stabilitas emosional orang tersebut, (c) reaksi yang ditunjukkan anggota

keluarga lainnya, (c) hubungan kehidupan dari komunitas sosial, (d) kultural dan

faktor politik, (e) trauma tunggal, trauma berulang atau stresor yang kronis (Morison,

2003).

Studi Cohen (2005) melaporkan prevalensi stres pasca-trauma di Amerika

Serikat pada anak pra sekolah usia 4-5 tahun sekitar 1,3%, pada anak usia 9-17 tahun

sekitar 0,5-4%, serta pada orang dewasa sekitar 1,3–8%. Wanita juga diprediksikan

mempunyai risiko tinggi untuk mengalami stres pasca-trauma. Secara umum dapat

disimpulkan bahwa kelompok risiko tinggi untuk mengalami stres pasca-trauma

adalah anak-anak, perempuan dan lanjut usia.

Faktor pencetus stres pasca-trauma dilihat dari aspek psikologis meliputi

clasical conditioning dan operant conditioning diimplikasikan ke dalam

perkembangan stres pasca-trauma. Stresor yang ekstrim secara tipikal memproduksi

emosi yang negatif (teror, kemarahan, kesedihan) begitu juga hyperarausal

psikologis dari aktivitas sistem nervus simpatis (the flight-orfight response). Clasical

conditioning muncul apabila benda-benda (hal-hal) yang netral yang berada di tempat

kejadian trauma dapat bergabung menjadi pasangan dengan peristiwa traumatis

dimana mereka juga bisa memicu reaksi-reaksi psikologis yang intens dan begitu juga

reaksi-reaksi fisiologis (Maramis, dkk, 2005).

Tidak adanya dukungan sosial yang kuat dapat meningkatkan risiko

timbulnya stres pasca-trauma setelah pemaparan peristiwa traumatik. Oleh karena itu

(32)

Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian

besar masyarakat dunia umumnya dan Indonesia pada khususnya. Masyarakat yang

mengalami krisis ekonomi tidak saja akan mengalami gangguan kesehatan fisik tetapi

juga dapat mengalami gangguan kesehatan jiwa seperti stres pasca-trauma yang

akhirnya dapat menurunkan produktifitas kerja, dan kualitas hidup secara nasional

(Rasmun, 2001).

Kecenderungan semakin meningkatnya penduduk yang mengalami stres

pasca-trauma seiring dengan terus berubahnya situasi ekonomi dan politik ke arah

yang tidak menentu, prevalensinya bukan saja pada kalangan menengah kebawah

sebagai dampak langsung dari kesulitan ekonomi, tetapi juga kalangan menengah

keatas sebagai dampak langsung atau tidak lansung ketidak mampuan individu dalam

penyesuaian diri terhadap perubahan sosial yang terus berubah (Rasmun, 2001).

Kecendrungan meningkatnya angka stres pasca-trauma dikalangan masyarakat saat

ini dan yang akan datang akan terus menjadi masalah sekaligus tantangan bagi tenaga

kesehatan.

Definisi Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dalam DSM IV-TR mengharuskan

adanya penjabaran akan keutuhan fisik dari diri sendiri atau orang lain dan reaksi

emosional yang diakibatkannya, termasuk keadaan tidak berdaya atau ketakutan.

Orang tersebut bereaksi terhadap pengalaman ini dengan ketakutan dan

ketidakberdayaan, mengenang kejadian tersebut secara menetap, dan mencoba

(33)

Menurut Depkes RI (1993), yang termasuk PTSD dalam adalah:

1. Keadaan yang dialami kembali (seperti mimpi buruk dan kilas balik)

2. Hyperarausal, seperti peningkatan refleks kaget, cepat marah atau waspada yang

berlebihan, dan

3. Tidak mau mendengar atau menghindari kejadian / situasi yang mirip – walaupun

hanya simbolis saja trauma atau ketidak mampuan bersosial / bekerja makin

meningkat dari sebelumnya.

Pengertian stres pasca-trauma adalah: (a) reaksi normal dari individu terhadap

kejadian yang luar biasa, (b) akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa

yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh diluar peristiwa yang bersifat amat hebat

dan luar biasa dialami banyak orang, bukan pengalaman yang normal bagi seseorang

(Maslim, 2001).

Penyebab gangguan bervariasi, tetapi perdefinisi, stresor harus sedemikian

berat sehingga cenderung menimbulkan trauma psikologis pada kebanyakan orang

normal, walaupun tidak berarti bawa semua orang harus mengalami gangguan akibat

trauma ini. Faktor psikologis, fisik, genetik dan sosial ikut berpengaruh pada

gangguan ini (Syamsir, 1991).

Menurut RPuK (2002) ada 3 bentuk proses timbulnya trauma, yaitu: (a) akut

stress, terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah pengalaman trauma terjadi dan

(34)

kekebalan, orang tidak akan mengira kalau pengalaman itu dirasakan oleh pribadinya

sehingga dia tidak siap dan shock, (b) reaksi stres pasca-trauma membuat perilaku

orang yang mengalaminya dianggap aneh oleh orang lain, semua orang dianggap

jelek dan musuh, dia merasa bersalah karena tidak berhasil melindungi keluarganya,

(c) kesadaran menjadi sempit dan kejadian ini banyak ditemui pada stres berikutnya.

Jenis stresor antara lain: bencana alam; banjir, gempa bumi, bencana

kecelakaan oleh karena manusia (accidental made-man disasters), kecelakaan

industri, kecelakaan mobil, kebakaran, bencana oleh karena manusia yang disengaja

(deliberate manmadedisasters), kamp konsentrasi tahanan/tawanan, penganiayaan,

pemboman (Maslim, 2001).

Macam-macam stressor traumatik: menyaksikan peristiwa yang berakibat luka

fisik atau kematian yang menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah

longsor, terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau bom, kepala

terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau tindakan berutal di luar batas

kemanusiaan, Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau keselamatan

jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana, tsunami, air bah atau gunung

meletus, peperangan, berbagai tindak kekerasan, usaha pembunuhan, penganiayaan

fisik dan jiwa-emosional, penyanderaan, penculikan, perampokan atau pun

kecelakaan. Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga. Mengalami secara aktual

atau terancam mengalami perkosaan, pelecehan seksual yang mengancam integritas

fisik dan harga diri seseorang. Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan.

(35)

Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam atau kecelakaan hebat,

Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman. Mendadak berada dalam

keadaan terasing, tercabut dari lingkungan fisik, budaya, kerabat, teman sebaya yang

dikenal. Terputus hubungan dengan dunia luar, dilarang melakukan berbagai adat

atau kebiasaan. Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privacy (hak pribadi).

Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal, kesehatan (Maslim,

2001)

Pasien dengan gangguan stres pasca-trauma mempunyai kecenderungan

bereaksi otonomik secara berlebihan terhadap stres. Trauma mengaktifkan kembali

konflik yang tidak terselesaikan pada masa kanak, termasuk trauma emosional yang

tidak disadari (Syamsir, 1991).

Menurut Patel (2001) peristiwa traumatis adalah suatu peristiwa yang

membuat seseorang takut dalam hidupnya, atau menyebabkan tekanan yang sangat

hebat. Ada beberapa jenis peristiwa traumatis, yaitu: (a) trauma pribadi merupakan

peristiwa yang mengancam orang-orang tertentu, seperti: diperkosa, kehilangan

seseorang yang dicintai, menjadi korban kejahatan, atau ikut mengalami kecelakaan

lalulintas, (b) perang dan terorisme: ketakutan perang dapat menjadi penyebab

trauma, baik pada tentara maupun penduduk sipil, (c) tekanan yang besar:

bencana-bencana seperti: jatuhnya pesawat terbang, kebakaran dan gempa bumi dapat

menyebabkan trauma pada sejumlah besar orang dalam waktu yang bersamaan.

(36)

bahkan pada orang-orang yang hanya menyaksikan apa yang terjadi dapat mengalami

efek kesehatan juga.

Reaksi individu terhadap kejadian hebat dan luar biasa ini amat bervariasi

antar individu, tampak tidak berpengaruh sama sekali, mengalami reaksi ringan -

menampilkan reaksi dalam waktu singkat, menunjukkan reaksi hebat dan menetap

dalam waktu yang cukup lama,disebut gangguan stres pasca-trauma (Maslim, 2001).

Gejala-gejala gangguan stres pasca truama seperti hipervigilensi, mimpi

buruk, dan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus kecil yang mengingatkan kepada

kejadian traumatis, memberi tanda suatu arousal yang berlebihan dari amigdala yang

mendorong ingatan yang menakutkan dari trauma yang menyusup kesadaran ingatan

traumatis disimpan dalam amigdala sebagai rambut pencetus mental, siap untuk

mendengar suatu alarm fisiologis yang kecil yang menandakan bahwa trauma awal

terjadi kembali. Walapun gangguan stres pasca-trauma merupakan dampak dari suatu

episode tertentu, hasil yang sama dapat terjadi dari kekejaman yang dialami selama

bertahun-tahun (Goleman, 2000).

Gambaran klinis terjadinya suatu stresor menyebabkan gejala distres yang

bermakna pada hampir setiap orang, adanya gejala khas berupa episode dimana

bayangan kejadian traumatik tersebut terulang kembali atau dalam mimpi, terjadi

dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan yang beku (numbness)

dan penumpulan emosi, menjauhi orang lain, tidak responsif terhadap lingkungannya,

anhedonia dan menghindari aktifitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya,

(37)

survivor guilt (rasa bersalah karena lolos dari bencana), gejala depresi. Lazimnya ada

ketakutan dan menghindari hal-hal yang mengingatkannya kembali pada trauma yang

dialami, kadang-kadang bisa terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan,

panik atau agresif, yang dicetuskan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya

kembali pada trauma yang dialaminya serta reaksi asli terhadap trauma itu. Onset

terjadi setelah trauma dengan masa laten yang berkisar antara beberapa minggu

sampai beberapa bulan (jarang sampai melampaui 6 bulan), Perjalanan keadaan ini

berfluktuasi dan pada kebanyakan kasus dapat diharapkan kesembuhan. Pada

sejumlah kecil pasien, perjalanan penyakit dapat menjadi kronis sampai beberapa

tahun dan terjadi transisi menuju suatu perubahan kepribadian yang berlangsung lama

(Maslim, 2001).

Berdasarkan kondisi stres pasca-trauma, penyedian pelayanan dilakukan

secara berjenjang yaitu untuk penanganan tingkat awal sampai rujukan tertinggi.

Tingkat pelayanan tersebut sebagai berikut :

1. Pelayanan tingkat masyarakat, dilakukan oleh relawan yang tergabung dalam

lembaga/organisasi masyarakat luas atau keagamaan maupun kader atau petugas

pemerintah di tingkat desa atau kecamatan,berupa :

a. Penyuluhan (KIE)

b. Bimbingan

c. Membentuk “kelompok tolong diri”

d. Rujukan

(38)

a. Konseling, dilakukan terhadap penderita yang berpotensi untuk mengalami

gangguan stres pasca-trauma. Dilakukan secara komprehensif bersama-sama

(tim) oleh konselor serta tenaga lain yang terkait dengan penanganan pasien

gangguan jiwa pasca-trauma.

b. Rujukan, pada kasus yang tak dapat ditangani dengan konseling awal dan

membutuhkan konseling lebih lanjut/psikoterapi atau penanganan lebih lanjut.

3. Pelayanan tingkat spesialistik

Penderita yang tak dapat ditangani di tingkat Puskesmas akan dirujuk ke RSJ

atau Bagian Psikiatri RSU Kelas A dan B. Di tingkat ini penderita akan dilayani

secara lebih spesialistik oleh seorang tenaga terampil (psikiater atau psikolog ) sesuai

dengan kebutuhan penderita. Penderita mungkin membutuhkan medikasi sementara

untuk membantu mengatasi masalahnya yang mendesak sehingga dapat dilakukan

konseling yang lebih mendalam (Syamsir, 1991).

Stres pasca-trauma dapat dideteksi sampai batas tertentu sehingga dapat

dicegah agar tidak menjadi gangguan yang kronik (menahun). Intervensi sedini

mungkin akan menghasilkan terapi yang lebih memuaskan dan akan mencegah

berkembangnya stres pasca-trauma menjadi gangguan stres pasca-trauma (Syamsir,

1991).

(39)

Sesuai dengan fokus penelitian yang telah diuraikan pada latar belakang,

maka penjelasan yang terkait dalam penanganan pasien stres pasca-trauma adalah:

aspek karakteristik, dukungan keluarga, dan kebutuhan pasien.

Menurut Wiguna dkk (2005) faktor umur sangat penting diperhatikan secara

khusus, karena faktor umur, seperti anak-anak biasanya hidup dalam tekanan, baik itu

dirumah maupun di tempat pengungsian, mereka cenderung lebih banyak menuntut

perhatian dan kasih sayang dari orangtua atau pengasuh bahkan juga dari gurunya.

Anak-anak juga lebih mudah menjadi cemas dan takut yang berlebihan terhadap

lingkungan mereka, sehingga perlu ditangani secara berkesinambungan.

Menurut Maramis dkk, (2005), secara karakteristik, kelompok yang risiko

tinggi mengalami stres pasca-trauma adalah anak-anak perempuan dan lanjut usia.

Perempuan biasanya ditempatkan dalam peran yang lebih rendah dalam masyarakat,

demikian juga dengan lanjut usia karena mengalami penurunan kemampuan fisik dan

mental

Menurut Sarwono (2001), faktor-faktor karakteristik yang dapat menyebabkan

gangguan pada diri seseorang adalah: (a) faktor umur dan seks, (b) status dalam

keluarga, (c) faktor meninggalnya orang tua atau pemisahan/ perceraian orang tua dan

keragu-raguan terhadap kepercayaan pada orang tua), (d) faktor geografis (penduduk

kota lebih tinggi “risk” dari penduduk desa dan keadaan perkotaan), (e) faktor suku

(ethnic factor), serta (f) penggolongan-penggolongan masyarakat (people

(40)

Anak-anak dari akibat pecahnya rumah tangga serta anak-anak yang

mempunyai cacat badaniah biasanya merasa sangat malu dan menderita batinnya.

Hari depannya merasa gelap tanpa harapan dan dirinya selalu dibayangi oleh

ketakutan dan kebimbangan. Timbul rasa rendah diri, tidak mempunyai kepercayaan

diri selalu gagal dalam setiap usaha, semangatnya jadi patah, ambisinya musnah dan

selalu saja dibayangi hubungan dengan gangguan jiwa (Sarwono, 2001).

Menurut Kaplan et al (2003), gangguan stres pasca-trauma dapat tampak pada

setiap usia, gangguan ini paling menonjol pada desawa muda, karena sifat situasi

yang mencetuskannya. Tetapi anak-anak juga dapat mengalami stres pasca-trauma.

Trauma untuk laki-laki biasanya pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita

paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Stres pasca-trauma

kemungkinan terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami

gangguan ekonomis atau menarik diri secara sosial.

Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit

dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap

penyakitnya. Faktor psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan

lingkungan kerja.

Sesorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok

sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya.

Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap

(41)

pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya (Tjiptoherijanto dan

Soestyo, 1994).

2.4. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut Dever (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan atau

pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:

1. Faktor Sosiokultural

a. Norma dan nilai sosial yang ada di masyarakat.

Norma, nilai sosial dan keyakinan yang ada pada masyarakat akan

mempengaruhi seseorang dalam bertindak, termasuk dalam menggunakan

pelayanan kesehatan.

b. Teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan.

Kemajuan di bidang teknologi dapat mengurangi atau menurunkan angka

kesakitan sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi penggunaan

pelayanan kesehatan.

2. Faktor Organisasi.

a. Ketersediaan sumber daya.

Yaitu sumber daya yang mencukupi baik dari segi kuantitas dan kualitas,

sangat mempengaruhi penggunaan atau permintaan terhadap pelayanan

(42)

didapat tanpa mempertimbangkan sulit atau mudah penggunaannya. Suatu

pelayanan hanya bisa digunakan apabila jasa tersebut tersedia.

b. Keterjangkauan lokasi

Yaitu berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan

tempat diukur dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan.

Peningkatan akses yang dipengaruhi oleh berkurangnya jarak, waktu,

ataupun biaya tempuh mungkin mengakibatkan peningkatan pemakaian

pelayanan yang berhubungan dengan keluhan-keluhan penyakit ringan.

c. Keterjangkauan sosial.

Keterjangkauan sosial terdiri dari dua dimensi yaitu dapat diterima dan

terjangkau. Dapat diterima mengarah kepada faktor psikologis, sosial dan

budaya, sedangkan terjangkau mengarah kepada faktor ekonomi.

d. Karakteristik struktur organisasi formal dan cara pemberian pelayanan

kesehatan.

Bentuk-bentuk praktek pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek

tunggal, praktek bersama atau yang lainnya membawa pola pemanfaatan

yang berbeda-beda.

3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen.

Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berhubungan

(43)

Kebutuhan terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan diagnosa

klinis (evaluated need). Perceived need ini dipengaruhi oleh:

a. Faktor sosiodemografi, yang terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, bangsa,

status perkawinan, jumlah keluarga, dan status sosial ekonomi.

b. Faktor sosiopsikologis, yang terdiri dari persepsi sakit, gejala sakit dan

keyakinan terhadap perawatan medis atau dokter.

c. Faktor epidemiologis, yang terdiri dari mortalitas, morbiditas, dan faktor

resiko.

4. Faktor yang berhubungan dengan petugas kesehatan.

a. Faktor ekonomi.

Konsumen tidak sepenuhnya memiliki kemampuan yang cukup akan

pelayanan yang akan diterima, sehingga mereka menyerahkan hal ini

sepenuhnya ke tangan provider.

b. Karakteristik dari Petugas Kesehatan (Provider).

Yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, keahlian petugas, serta

fasilitas yang dimiliki oleh pelayanan kesehatan tersebut.

Menurut Sarwono (2007) yang mengutip mengutip Mechanic, sebelum

(44)

proses dalam diri individu yaitu: (a) dikenalinya atau dirasakannya

gejala-gejala/tanda-tanda yang menyimpang dari keadaan biasa, (b) banyaknya gejala yang

dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan bahaya, (c) dampak gejala tersebut

terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja, dan kegiatan sosial lainnya,

(d) frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak, (e) nilai ambang dari mereka

yang terkena gejala atau kemungkinan individu untuk diserang penyakit, (f) informasi

pengetahuan dan sumsi budaya terhadap penyakit, (g) perbedaan interpretasi terhadap

gejala yang dikenal, (h) adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi

gejala sakit, (i) tersedianya saran kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut,

tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial.

Menurut Anderson (1995), bahwa determinan individu terhadap pemanfaatan

pelayanan kesehatan tergantung kepada: (a) predisposisi untuk menggunakan jasa

pelayanan kesehatan, (b) kemampuan untuk melaksanakannya, (c) kebutuhan

terhadap jasa pelayanan kesehatan.

Komponen predisposisi mencakup karakteristik keluarga sebelum kejadian

penyakit dimana terdapat kecenderungan yang berbeda dalam penggunaan pelayanan

kesehatan, meliputi variabel demografi (seperti: umur, jenis kelamin, status

perkawinan); variabel struktur sosial (seperti: pendidikan, pekerjaan, suku bangsa);

serta kepercayaan dan sikap terhadap perawatan medis, dokter dan penyakit.

Komponen kemampuan melaksanakan pemanfaatan pelayanan kesehatan

adalah suatu kondisi yang memungkinkan orang untuk memanfaatkan pelayanan

(45)

memberikan predisposisi untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, namun beberapa

faktor harus tersedia untuk menunjang pelaksanaannya yaitu faktor: kemampuan,

baik dari keluarga (misalnya: penghasilan dan asuransi kesehatan) dan dari komunitas

(misalnya: tersedianya fasilitas, petugas kesehatan, lamanya menunggu pelayanan

serta lamanya waktu yang digunakan untuk mencapai fasilitas pelayanan tersebut).

Komponen kebutuhan terhadap jasa pelayanan kesehatan yang dirasakan,

diukur dengan (a) perasaan subjektif terhadap penyakit (meliputi: jumlah hari sakit

yang dilaporkan, jumlah gejala-gejala penyakit yang dialami, dan laporan tentang

keadaan kesehatan umum); dan (b) evaluasi klinis terhadap penyakit (biasanya

didasarkan atas keluhan-keluhan yang mungkin memerlukan pengobatan menurut

kelompok usia.

2.5. Landasan Teori

Sebagai acuan dalam menentukan variabel penelitian serta menyusunnya

dalam suatu kerangka konseptual, maka keseluruhan teori-teori yang telah dipaparkan

di atas dirangkum dalam suatu landasan teori seperti diuraikan berikut ini.

Peningkatan stres pasca-trauma yang dialami masyarakat menuntut

dilakukannya program pelayanan dan penanganan secara terpadu dan komprehensif.

Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara sebagai unit pelayanan dan

penanggulangan masalah stres pasca-trauma diharapkan mampu memberikan

(46)

Penanganan pasien stres pasca-trauma yang dilakukan di sarana pelayanan

kesehatan seperti Trauma Center Lhoksukon dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik

dari aspek predisposisi, kemampuan dan faktor kebutuhan. Faktor-faktor tersebut

memberikan pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Sesuai dengan konsep pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Anderson

(1995), bahwa faktor predisposisi keluarga untuk menggunakan jasa pelayanan

kesehatan, meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, penghasilan,

faktor selanjutnya adalah kemampuan untuk melaksanakan yaitu dukungan keluarga

serta kebutuhan terhadap jasa pelayanan yaitu perasaan subjektif dan evaluasi klinis

merupakan determinan individu dalam pemanfaatan pelayanan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila ada dukungan dari faktor

karakteristik, kemampuan dan kebutuhan, maka pasien akan memanfaatkan

pelayanan kesehatan dengan baik, sebaliknya apabila tidak ada dukungan faktor

(47)

2.6. Kerangka Konsep Penelitian Pasien Stres Pasca-trauma

di Trauma Center Lhoksukon Karakteristik

- Umur

- Jenis Kelamin - Status Perkawinan - Pendidikan

- Penghasilan

Dukungan Keluarga

Kebutuhan

a. Perasaan Subjektif b. Evaluasi Klinis

[image:47.612.122.542.106.540.2]

Pemanfaatan Pelayanan di Trauma Center Lhoksukon

(48)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah survei dengan menggunakan

pendekatan explanatory research yaitu penelitian yang menjelaskan pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen melalui pengujian hipotesis.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara

dengan alasan bahwa di jumlah pasien yang ditangani di Trauma Center Lhoksukon

lebih banyak dibandingkan Trauma Center Kabupaten Pidie, serta adanya

kelengkapan data pasien yang ditangani untuk mendukung penelitian.

Penelitian dimulai dengan penelusuran kepustakaan, survei awal, konsultasi judul,

penyusunan proposal, seminar kolokium, pengumpulan data, pengolahan data dan

penyusunan hasil penelitian serta seminar hasil penelitian, dilakukan selama

11 bulan, yaitu bulan Desember 2007 sampai November 2008.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah semua pasien stres pasca-trauma yang mendapatkan

penanganan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara berjumlah 367

(49)

Kriteria eksklusi dari populasi adalah yang berumur < 20 tahun, dengan alasan pasien

yang berumur < 20 tahun, sesuai dengan theory of psychosocial development dari

Erikson’s (1995) bahwa tahap dewasa dalam perkembangan sosial adalah usia ≥ 20

tahun.

Berdasarkan data terakhir dari Trauma Center Lhoksukon diketahui jumlah pasien

stres pasca-trauma sebanyak 367 orang, 34 orang diantaranya berumur < 20 tahun,

dengan demikian jumlah pasien yang menjadi populasi adalah 333 orang.

Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus penentuan jumlah sampel dari

Lameshow (1997), sebagai berikut:

(Z1- /2 √ Po (1- Po) + Z1 -ß√ Pa (1-Pa)2) n =

(Pa - Po) 2 Keterangan :

= Tingkat kemaknaan = 0,05

Z1 - = Deviat baku normal untuk (Z1 – /2 = 1,96)

Po = Proporsi pasien yang memanfaatkan pelayanan Trauma Center

dengan tidak baik tahun 2007 = 0,41

ß = Power test = 80% Z1 -ß = 0,824

Pa – Po = Besarnya perubahan proporsi yang mempunyai makna = 0,20

Pa = 0,61

Berdasarkan perhitungan sampel menggunakan rumus di atas, diperoleh

besar sampel sebanyak 48 orang. Teknik pengambilan sampel secara simple random

(50)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data primer dihimpun melalui wawancara langsung dengan pasien yang mengalami

stres pasca-trauma atau keluarganya yang dapat mewakili serta menjelaskan

pertanyaan terkait dengan pasien stres pasca-trauma. Data sekunder diperoleh dari

Trauma Center dan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, serta keterangan lain

yang mendukung penelitian.

Mengetahui apakah instrumen penelitian (kuesioner) yang dipakai cukup

layak digunakan sehingga mampu menghasilkan data yang akurat, maka dilakukan uji

validitas. Sugiono (2006) menyatakan bahwa instrumen dikatakan valid, apabila

instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.

Pentingnya validitas kuesioner penelitian karena ketepatan pengujian hipotesa sangat

tergantung kepada kualitas data yang dikumpulkan melalui kuesioner penelitian. Data

yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari kuesioner yang dinyatakan valid.

Mengetahui validitas suatu instrumen (dalam kuesioner) dilakukan dengan

cara melakukan korelasi antara skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan

korelasi Pearson Product Moment ( r ).

a. Bila r hitung > r tabel maka Ho ditolak berarti pertanyaan valid

b. Bila r hitung < r tabel maka Ho gagal ditolak artinya pertanyaan tidak valid

Setelah uji validitas dilakukan, maka selanjutnya terhadap kuesioner yang akan

diujicobakan kepada responden dilakukan uji reliabilitas untuk melihat konsistensi

jawaban. Sugiono (2006) menyakatan bahwa suatu instrumen dikatakan reliable atau

(51)

menghasilkan data atau jawaban yang sama. Mengetahui reliabilitas dengan

membandingkan nilai r tabel dengan r hasil :

a. Bila r Alpha > r tabel maka pertanyaan tersebut reliable

b. Bila r Alpha < r tabel maka pertanyaan tersebut tidak reliable.

Hasil uji validitas dan reliabilitas terhadap semua butir pertanyaan yang telah

dilakukan adalah sebagai berikut :

a). Variabel dukungan keluarga dengan 5 item pertanyaan dengan nilai korelasi

spearman p=<0,05 dengan nilai alpha cronbach = 0,7082>0,6, artinya item

pertanyaan untuk variabel dukungan keluarga valid dan reliabel untuk dilanjutkan

wawancara kepada responden.

b). Variabel perasaan subjektif dengan 4 item pertanyaan dengan nilai korelasi

spearman p=<0,05 dengan nilai alpha cronbach = 0,7695>0,6, artinya item

pertanyaan untuk pertanyaan perasaan subjektif valid dan reliabel untuk

dilanjutkan wawancara kepada responden.

c). Variabel evaluasi klinis dengan 5 item pertanyaan dengan nilai korelasi spearman

p=<0,05 dengan nilai alpha cronbach = 0,6863>0,6, artinya item pertanyaan

untuk variabel evaluasi klinis valid dan reliabel untuk dilanjutkan wawancara

kepada responden.

d). Variabel pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon dengan 3 item

pertanyaan dengan nilai korelasi spearman p=<0,05 dengan nilai alpha cronbach

(52)

Trauma Center Lhoksukon valid dan reliabel untuk dilanjutkan wawancara

kepada responden (hasil uji terlampir).

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Umur adalah jumlah tahun hidup pasien stres pasca-trauma yang dihitung sejak

lahir sampai penelitian dilakukan.

2. Jenis Kelamin pasien stres pasca-trauma adalah laki-laki dan perempuan.

3. Status perkawinan adalah suatu keadaan yang menunjukkan pasien stres

pasca-trauma pernah, tidak pernah, atau sedang mempunyai pasangan hidup resmi.

4. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah

ditempuh pasien stres pasca-trauma.

5. Penghasilan adalah jumlah uang yang diperoleh keluarga dalam satu bulan oleh

pasien stres pasca-trauma.

6. Dukungan keluarga adalah dorongan dari anggota keluarga pasien stres

pasca-trauma melakukan kunjungan ke Trauma Center untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan.

7. Perasaan Subjektif adalah sesuatu yang dirasakan pasien stres pasca-trauma

terhadap penyakit yang dideritanya, meliputi: jumlah hari sakit, jumlah

gejala-gejala penyakit yang dialami.

8. Evaluasi klinis adalah penilaian pasien stres pasca yang didasarkan atas

(53)

9. Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah frekuensi pengobatan berdasarkan

ukuran yang telah ditentukan oleh terapis. Dikategorikan baik dan kurang baik,

dengan kriteria:

a. Baik apabila pasien stres pasca-trauma bisa menyelesaikan terapi sampai

kepada ukuran yang telah ditentukan oleh terapis.

b. Kurang baik apabila pasien stres pasca-trauma tidak bisa menyelesaikan terapi

sampai kepada ukuran yang telah ditentukan oleh terapis.

3.6. Metode Pengukuran Variabel

Variabel independen dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan

[image:53.612.110.519.388.700.2]

beberapa item pertanyaan menggunakan skala nominal dan ordinal, seperti pada

Tabel 3.1

Tabel 3.1. Skala Pengukuran Variabel Independen

Variabel Jumlah

Pertanyaan Kriteria Kategori

Skala Data (Independen)

1.Umur

2.Jenis Kelamin

3.Status Perkawinan 1 1 1 ……Tahun - Pria - Wanita - Kawin

- Belum kawin

- Duda - Janda 20-40 41-60 (Erikson dalam Wikipedia, 2008) - - Ratio Nominal Nominal

Variabel Jumlah

Pertanyaan Kriteria Kategori

[image:53.612.111.524.446.698.2]
(54)

(Independen) 4.Pendidikan 5.Penghasilan 1 1 - SD - SMP - SMA - Akad/PT Rupiah/bln -

> UMP NAD

≤ UMP NAD

Ordinal

[image:54.612.114.525.121.529.2]

Ordinal

Tabel 3.1. Lanjutan

6.Dukungan Keluarga 7.Perasaan Subjektif 8.Evaluasi Klinis 5 5 5 Jawaban: a=2 b=1 Jawaban: a=2 b=1 Jawaban: a=2 b=1

3.Baik (>75% dari nilai tertingi) 2.Sedang (40-75%

dari nilai tertinggi) 1.Buruk (< 40% dari

nilai tertinggi

3.Baik (>75% dari nilai tertingi) 2.Sedang (40-75%

dari nilai tertinggi) 1.Buruk (< 40% dari

nilai tertinggi

3.Baik (>75% dari nilai tertingi) 2.Sedang (40-75%

dari nilai tertingi) 1.Buruk (< 40% dari

nilai tertinggi

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Variabel dependen dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan

beberapa item pertanyaan menggunakan skala ordinal, seperti pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Skala Pengukuran Variabel Dependen

Variabel Jumlah

Pertanyaan Kriteria Kategori

Skala Data (Dependen)

Pemanfaatan 1

Kesesuaian Jumlah

[image:54.612.109.522.626.700.2]
(55)

Pelayanan Trauma Center

yang ditetapkan oleh terapis

2. KurangBaik

3.7. Metode Analisis Data

Teknik analisa data yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor

karakteristik, dukungan keluarga dan kebutuhan pasien stres pasca-trauma terhadap

pemanfaatan pelayanan di Trauma Center Lhoksukon menggunakan uji regresi

(56)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Trauma Center Lhoksukon berada di wilayah Kabupaten Aceh Utara, dimana

wilayah ini merupakan salah satu kabupaten yang dijadikan sentra dalam penanganan

pasien stres pasca-trauma. Secara geografis Kabupaten Aceh Utara mempunyai luas

wilayah 3.266,86 km2. Wilayah Kabupaten Aceh Utara terdiri dari daerah pantai

(5%), dataran rendah (83%) dan sisanya 12% merupakan dataran tinggi, dengan

batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Pemerintah Kota Lhokseumawe dan Selat Malaka

b. Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Timur

c. Sebelah Selatan : Kabupaten Aceh Tengah

d. Sebelah Barat : Kabupaten Bireuen

Jumlah kecamatan yang terdapat di Kabupaten Aceh Utara sebanyak

24 kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan 910. Jumlah penduduk berdasarkan

data terakhir sebanyak 447.694 jiwa terdiri dari 219,034 laki-laki dan 228.660

perempuan dengan jumlah kepala keluarga 96.992 perbandingan jumlah laki-laki

terhadap perempuan sebesar 96%.

Dasar dari pelaksanaan kegiatan operasional Trauma Center Lhoksukon

(57)

1. Surat Menteri Pemberdayaan perempuan Republik Indonesia

No.B-225/Men.PP/Deputi V/II/2002 tanggal 25 Pebruari perihal Need Asesment dan

Trauma Center.

2. Keputusan Bupati Kabupaten Aceh Utara No.260/366/2002 tanggal 4

Desember 2002 tentang penetapan Eks Kantor Pembantu Bupati Lhoksukon

sebagai Trauma Center milik Pemerintah Kabupaten Aceh Utara

3. Surat Keputusan Bupati Kabupaten Aceh Utara No.260/175/2005 tentang

penunjukan pengelola atau pengurus Trauma Center Lhoksukon Kabupaten

Aceh Utara.

Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara dikelola oleh 7 (tujuh)

orang, yaitu penanggung jawab operasional 1 orang, dokter umum 1 orang, psikolog

2 orang, perawat 1 orang, administrasi 1 orang dan tenaga pendamping 1 orang.

Kegiatan Trauma Center Lhosukon pada awal tahun 2003 dilakukan dua kali

dalam seminggu, yaitu hari selasa dan sabtu, namun setelah terjadinya bencana alam

gempa bumi dan tsunami maka kegiatan Trauma Center menjadi 6 hari dalam

seminggu dengan jenis pelayanan yang diberikan berupa terapi psikologis dan

medikasi. Saat ini kegiatan Trauma Center kembali lagi berjalan 2 kali dalam

seminggu yaitu hari selasa dan sabtu. Pelayanan pengobatan di Trauma Center

Lhosukon tidak dipungut biaya.

Dalam kegiatan Trauma Center Lhosukon, mekanisme penanganan pasien

(58)

a. Pasien yang ditangani di Trauma Center Lhoksukon adalah pasien yang

dirujuk dari puskesmas dan pasien yang datang sendiri ke Trauma Center.

b. Apabila tingkat gangguan stres pasca-trauma dari pasien telah memasuki

tahap yang memprihatinkan dan tidak dapat di tangani oleh petugas di Trauma

Center maka pasien tersebut oleh dokter di rujuk ke Rumah Sakit Umum Cut

Meutia.

Dalam pelaksanannya Trauma Center Lhoksukon mendapat dukungan yang

bersifat moril maupun materiil dari dinas kesehatan mupun instansi yang terkait serta

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1
Tabel 3.2. Skala Pengukuran Variabel  Dependen
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tujuan penelitian ini, untuk mencari korelasi hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada pasien pasca stroke terdapat hubungan yang

Hasil penelitian di RSU HKBP Balige menunjukkan lebih dari separuh pasien pasca stroke mempunyai dukungan keluarga baik namun masih ada yang mendapat dukungan

Skripsi dengan judul “ Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemampuan Perawatan Diri (Self Care) pada Pasien Pasca Stroke ” ini disusun sebagai salah satu persyaratan

Menganalisis hubungan antara karakteristik Pengawas Minum Obat (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan) dan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum