• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.3 Kelembaban Udara

2.3.4 Pengaruh Kelembaban Relatif Udara

Kelembaban relatif udara sangat penting diperhatikan mengingat kelembaban ini sangat berpengaruh terhadap proses industri, kelangsungan hidup organisme, dan kesehatan. Dalam industri pengawetan dan pemrosesan makanan atau minuman seperti roti dan jenis kue membutuhkan kelembaban relatif antara 40 - 80%, penyimpanan alat-alat listrik membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 70%, sedangkan industri farmasi membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 50% (Carrier Air Conditioning Company dalam Muchammad, 2006).

Olahraga dalam ruangan tertutup seperti olahraga bulutangkis, bola voli, tenis meja, dan lain-lain kelembaban relatif udara sangat tinggi perannya. Hal ini terlihat dari

indeks WBGT yang ditentukan oleh suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan kecepatan hembusan angin. Indeks WBGT dapat dituliskan dengan persamaan (Muchammad, 2006):

WBGT oC = 0,7 WB + 0,2 G + 0,1 DB (di luar ruangan)

WBGT oC = 0,7 WB + 0,3 G (di dalam ruangan)

di mana:

WB = suhu bola basah

G = suhu bola hitam

DB = suhu bola kering

Suhu lingkungan ditunjukkan oleh suhu thermometer bola kering, daya pancaran matahari dan lingkungan ditunjukkan oleh thermometer bola hitam, sedangkan kelembaban relatif udara ditunjukkan oleh thermometer bola kering dan kecepatan angin (Megasari dan Juniani, 2010). Dari uraian tersebut, maka peran dari kelembaban relatif udara terhadap indeks WBGT sangatlah penting. Hal ini dinyatakan oleh (President Council on Physical Fitness and Sport (2007), bahwa kelembaban relatif udara adalah faktor terpenting yang mempengaruhi kejadian heat stress. Hal ini disebabkan karena apabila kelembaban relatif udara tinggi ditambah dengan tidak adanya aliran udara maka evaporasi keringat sangat rendah, yang menyebabkan suhu kulit meningkat. Tingginya suhu kulit menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh ke permukaan kulit menjadi tidak lancer. Gagalnya konduksi panas dari inti tubuh ke kulit dapat menyebabkan heat stress.

Selanjutnya Takarosha (2005) menyatakan, bahwa untuk menciptakan kenyamanan dalam beraktivitas di dalam ruangan tertutup perlu diperhatikan suhu udara, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin, serta faktor individual yang menyangkut aklimatisasi, pakaian, jenis kelamin, usia, tingkat kesehatan, tingkat kegemukan, warna kulit, serta minuman yang dikonsumsi.

Indeks WBGT sesuai dengan American Collage of Sport Medicin (ACSM) terbagi menjadi empat kategori dengan masing-masing disertai dengan tanda dan status

serta kejadian yang dapat atau akan dialami oleh peserta yang beraktivitas baik di dalam ruangan maupun dalam area terbuka (Fox, 1983). Kategori indeks WBGT ditampilkan seperti Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kategori Indeks WBGT

No: Tanda/Status Indeks WBGT Keterangan

1 Merah / Risiko tinggi 23 – 28 oC Peserta harus waspada akan

kemungkinan kegawatan panas. Orang yang peka terhadap suhu dan kelembaban tinggi

sebaiknya tidak diikutkan.

2 Jingga / Risiko sedang 18 – 23 oC Perlu diingat bahwa indeks

WBGT meningkat sesuai perjalanan waktu.

3 Hijau / Risiko rendah 10 – 18 oC Masih tidak dapat menjamin

tidak terjadi kegawatan panas

4 Putih / Risiko Rendah Di bawah 10 oC Kemungkinan hyperthermia

kecil tetapi dapat terjadi hypothermia.

Sumber: Fox (1983)

Kecepatan angin dalam ruangan juga berperan untuk menyatakan kenyamanan termal dalam ruangan. Semakin tinggi kelembaban dan suhu udara maka dibutuhkan kecepatan angin yang semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Macfarlane dalam Huda dan Pandiangan (2012), merumuskan sebuah persamaan untuk menentukan kecepatan angin yang dibutuhkan dengan memperhatikan kelembaban relatif dan suhu lingkungan:

CV = 0,15 (DBT – 27,2 ((RH - 60)/10) X 0,56) m/dt di mana:

CV = kecepatan hembusan angin yang dibutuhkan (m/dt)

DB = suhu bola kering (oC)

Kerlembaban Relatif udara berpengaruh langsung terhadap tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Hal ini dapat diterima karena pada kelembaban relatif udara yang tinggi terjadi peneluaran cairan tubuh saat latihan lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban relatif yang rendah. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatan kebutuhan darah ke kulit untuk mengeluarkan keringat (Fajrin dkk., 2014). Hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya peningkatan tekanan darah saat aktivitas fisik pada kelembaban relatif yang melebihi nilai ambang batas (NAB) adalah penelitian Sugiyarto (2011), terhadap 42 pekerja yang diberikan tekanan panas dan sebelum tekanan panas.

Peningkatan juga terjadi terhadap prekuensi denyut nadi latihan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purnomo dan Rizal (2000), terhadap 30 mahasiswa yang berumur di atas umur 20 tahun yang diberikan latihan fisik pada suhu ruangan 22oC dan 27oC. Didapatkan semakin meningkat kelembaban relatif udara maka grekuensi denyut nadi semakin meningkat, sebaliknya semakin menurun kelembaban relatif maka frekuensi denyut nadi semakin menurun. Pernyataan lain yang mendukung adalah Budiman dalam Jamaludin dkk. (2012), bahwa meningkatnya tekanan panas akan meningkatkan frekuensi denyut nadi. Peningkatan frekuensi denyut nadi ini disebabkan karena menurunnya cairan tubuh. Wikipedia (2014) menyatakan bahwa bila cairan tubuh menurun sebanyak 2 - 6% akan meningkatkan kerja jantung, ditandai dengan meningkatnya frekuensi denyut nadi.

Peningkatan suhu tubuh terjadi saat atau setelah melakukan aktivitas fisik. Peningkatan suhu tubuh lebih tinggi terjadi apabila kelembaban relatif udara meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guyton dan Hall (2012), bahwa suhu tubuh akan meningkat mencapai 40 oC pada suhu dan kelembaban relatif udara yang tinggi dan menurun mencapai 35,3 oC bila suhu dan kelembaban udara rendah. Selanjutnya Wilmore dkk. (2008) menyatakan, bahwa meningkatnya kelembaban relatif udara sangat berperan dalam peningkatan suhu tubuh dan menurunnya kelembaban relatif udara akan mempercepat penurunan suhu tubuh saat latihan.

Kelembaban relatif udara yang tinggi akan meningkatkan paparan panas, sebaliknya pada kelembaban relatif yang rendah suhu kulit akan menurun. Penurunan suhu kulit menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh meningkat dan tubuh menjadi lebih dingin (Cameron dkk., 2012). Pendapat ini didukung oleh McArdle (2010), bahwa konduksi panas dari inti tubuh ke kulit akan meningkat pada kelembaban yang rendah. Hal ini disebabkan karena terjadinya penguapan keringat pada kulit yang menyebabkan permukaan kulit menjadi dingin. Selanjutnya Janssen (1993) menyatakan, olahraga dalam kelembaban udara tinggi akan meningkatkan pengeluaran keringat yang berdampat terhadap peningkatan suhu tubuh.

Di samping terjadi peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut nadi, dan suhu tubuh, latihan berkepanjangan pada kelembaban relatif tinggi juga meningkatkan kadar asam laktat darah. Hal ini didukung oleh Sugiharto dan Sumartiningsih (2012), bahwa meningkatnya frekuensi denyut nadi akan diikuti dengan peningkatan kadar asam laktat darah. Peningkatan kadar asam laktat darah sangat berkaitan dengan peningkatan viskositas darah setelah terjadinya pengeluaran keringat berlebih. Peningkatan viskositas darah ini menyebabkan pasokan O2 ke bagisan tubuh yang aktif berkurang, yang menyebabkan pasokan energi aerobik menurun dan pasokan energi anaerobik meningkat. Peningkatan pasokan energi anaerobik akan meningkatkan asam laktat darah (Purnomo, 2011). Selanjutnya Brun dkk (1995) melalui penelitiannya, setelah latihan sepak bola dengan intensitas maksimum viskositas darah akan menurun. Didapatkan terjadi hubungan antara viskositas darah dengan kadar asam laktat darah dengan hubungan berbanding terbalik.

Dokumen terkait