i
DARIPADA KELEMBABAN RELATIF 50% DAN 60%
MEMPERLAMBAT PENINGKATAN FREKUENSI
DENYUT NADI, SUHU TUBUH, ASAM LAKTAT DARAH,
DAN TEKANAN DARAH LATIHAN
PADA MAHASISWA IKIP PGRI BALI
I NENGAH SANDI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
DARIPADA KELEMBABAN RELATIF 50% DAN 60%
MEMPERLAMBAT PENINGKATAN FREKUENSI
DENYUT NADI, SUHU TUBUH, ASAM LAKTAT DARAH,
DAN TEKANAN DARAH LATIHAN
PADA MAHASISWA IKIP PGRI BALI
I NENGAH SANDI NIM: 0990271027
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
TEKANAN DARAH LATIHAN
PADA MAHASISWA IKIP PGRI BALI
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I NENGAH SANDI NIM 0990271027
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
iv
TANGGAL 8 MARET 2016
Promotor
Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH NIP. 19471211 197602 1 001
Kopromotor I Kopromotor II
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc. Prof. Dr. dr. I P. Gede Adiatmika, M.Kes
NIP. 19440201 196409 1 001 NIP. 19660309 199802 1 003
Mengetahui
Ketua Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
Dr. dr. Bagus Komang Satriasa, M.Repro. Prof. Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K).
v
Universitas Udayana No: 395/UN14.4/HK/2016 Tanggal 19 Januari 2016
Ketua: Prof. dr. Ketut Tirtayasa, M.Sc, AIF
Anggota:
1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH
2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And
3. Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M.Kes
4. Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.Biok 5. Prof. dr. I Dewa Putu Sutjana, PFK, M.Erg
6. Prof. dr. N.Tigeh Suryadhi, M.PH. Ph.D
vi Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : I Nengah Sandi, S.Si, M.For
NIM : 0990271006
Program Studi : Doktor Ilmu Kedokteran
Konsentrasi : Fisiologi Olahraga
Alamat : Jalan Singasari Utara, Gang IV/ 24 Denpasar Utara
Telp/HP : (0361) 9961513 / 081805691913
Dengan ini menyatakan bahwa disertasi yang saya buat dalam rangka
pendidikan Program Doktor Ilmu Kedokteran bukan merupakan jiplakan sebagian atau
seluruhnya dari karya seseorang.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya unsur plagiat, maka gelar yang telah
saya terima bersedia untuk dicabut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan dengan
segala konsekuensinya.
Denpasar, 8 Maret 2016
vii
Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan disertasi
ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Disertasi ini ditulis dalam rangka
memenuhi syarat untuk mencapai derajat strata tiga (doktor) pada Program Studi
Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana. Disertasi ditulis
dengan judul “Kelembaban Relatif 40% Lebih Baik daripada Kelembaban Relatif 50%
dan 60% Memperlambat Peningkatan Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam
Laktat Darah, dan Tekanan Darah Latihan pada Mahasiswa IKIP PGRI BALI”.
Penulisan disertasi ini tidak terlepas dari dorongan, semangat, petunjuk, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis menyampaikan terima kasih
kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan yang sama
juga penulis sampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas segala kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor Ilmu Kedokteran Universitas
Udayana. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Asdir I Prof. Dr. Made
Budiarsa, M.A., Asdir II Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D, dan Ketua Program
Studi Doktor Ilmu Kedokteran Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro, atas
kesempatan dan dorongannya untuk menuntut ilmu di Program Doktor Ilmu
Kedokteran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K), M.Kes, atas dorongan dan
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program
Studi Doktor Ilmu Kedokteran Universitas Udayana.
Dalam penulisan disertasi ini penulis mendapat bimbingan, dorongan dan
petunjuk dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof.
viii
dr. I Dewa Putu Sutjana, M.Erg dan Prof. Dr. Drs. I Made Sutajaya, M.Kes selaku
penguji yang telah banyak memberikan masukan, kritik dan saran.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IKIP PGRI Bali dan
Dekan FPOK IKIP PGRI Bali, atas ijin yang diberikan kepada penulis mengadakan
penelitian dengan menggunakan semua peralatan laboratorium yang ada, yang
melibatkan para mahasiswa pemain bulutangkis, kepada Pembantu Dekan I, Pembantu
Dekan II, dan pembantu Dekan III, serta kepada Pegawai dan mahasiswa IKIP PGRI
Bali yang ikut terlibat dalam penelitian ini. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan
kepada para dosen dan mahasiswa Jurusan Keperawatan Poltekkes Negeri Bali, atas
keikutsertaannya dalam pemeriksaan kesehatan dan pengukuran variabel penelitian.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar yang telah
memotivasi dengan tulus serta istri tercinta Ni Ketut Murtini, anak Putu Dicky
Heryawan, Kadek Dina Heryanti, dan Komang Della Trisnadewi yang telah
memberikan dorongan dan semangat, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Penulis sadar bahwa isi dari disertasi ini masih jauh dari sempurna, sehingga
bila terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan dan lain-lain yang tentunya
dilakukan secara tidak sengaja, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan
sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. Sebagai penutup penulis sampaikan semoga
disertasi ini bermanfaat bagi dunia pendidikan terutama bidang fisiologi olahraga.
Denpasar, Maret 2016 Penulis
ix
LAKTAT DARAH, DAN TEKANAN DARAH LATIHAN PADA MAHASISWA IKIP PGRI BALI
Pengeluaran cairan tubuh berlebih merupakan reaksi tubuh untuk mengeluarkan panas akibat dari latihan berkepanjangan pada kelembaban relatif (KR) yang tinggi. Keadaan ini dapat menyebabkan peningkatan frekuensi denyut nadi, suhu tubuh, asam laktat darah, dan tekanan darah latihan apabila tanpa diimbangi dengan mengkonsumsi cairan yang cukup. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa KR 40% lebih baik daripada KR 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan frekuensi denyut nadi (FDN), suhu tubuh (ST), asam laktat darah (ALD), tekanan darah sistolik (TDS), dan tekanan darah diastolik (TDD) latihan.
Penelitian menggunakan rancangan randomized pre and post test control group design. Sampel berjumlah 54 mahasiswa IKIP PGRI Bali dibagi menjadi tiga kelompok, kemudian masing-masing kelompok diberikan latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2X30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit. Kelompok-1 bersepeda pada KR 40%, Kelompok-2 pada KR 50%, dan Kelompok-3 pada KR 60%. FDN, ST, ALD, TDS, dan TDD diukur sebelum dan saat latihan. Data dianalisis dengan uji One-way Anova yang dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) dan uji Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
Kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan, rerata FDN latihan Kelompok-1 = 139,00 ± 2,53 X/mt, Kelompok-2 = 148,89 ± 2,77 X/mt, dan Kelompok-3 = 159,22 ± 3,70 X/mt yang berbeda bermakna dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Rerata ST latihan Kelompok-1 = 36,63 ± 0,06 oC, Kelompok-2 = 36,89 ± 0,79 oC, dan Kelompok-3 = 37,26 ± 0,09 oC yang berbeda bermakna dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Rerata ALD latihan Kelompok-1 = 3,38 ± 0,19 mM/L, Kelompok-2 = 4,17 ± 0,16 mM/L, dan Kelompok-2 = 5,12 ± 0,31 mM/L juga berbeda bermakna dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Rerata TDS latihan Kelompok-1 = 153,56 ± 2,37 mmHg, Kelompok-2 = 153,22 ± 1,75mmHg, dan Kelompok-3 = 156,28 ± 2,08 mmHg yang secara statistik tidak berbeda bermakna dengan nilai p = 0,514 (p > 0,05). Rerata TDD latihan Kelompok-1 = 78,78 ± 1,58 mmHg, Kelompok-2 = 79,94 ± 1,63 mmHg, dan Kelompok-3 = 76,94 ± 1,53 mmHg yang tidak berbeda bermakna dengan nilai p = 0,406 (p > 0,05).
Disimpulkan bahwa KR 40% lebih baik daripada KR 50% dan KR 60% dalam memperlambat peningkatan FDN, ST, dan ALD latihan bersepeda selama 2X30 menit. Disarankan untuk dilakukan pada KR 40% apabila berlatih dalam waktu yang lama pada ruangan tertutup.
x
BODY TEMPERATURE, BLOOD LACTIC ACID, AND BLOOD PRESSURE DURING EXERCISE OF IKIP PGRI BALI STUDENTS
Discharge of excess body fluid is a reaction of the body to remove the heat resulting from prolonged exercise at a high relative humidity (RH). This situation led to an increase in pulse rate, body temperature, blood lactic acid, and blood pressure during exercise if it is not offset by consuming enough fluids. The purpose of this study was to prove that a RH of 40% was better than RH of 50% and RH of 60% in inhibiting the increase of the pulse rate (PR), body temperature (BT), blood lactic acid (BLA), systolic blood pressure (SBP), and diastolic blood pressure (DBP) during exercise.
This study was an experimental research with randomized pre and posttest control group design. Samples numbered 54 of IKIP PGRI Bali students were divided into three groups, and each group was given cycling whit an exercises load 80 Watt for 2X30 minutes with rest between sets for five minutes. Group-1 cycling at 40% RH, Group-2 cycling at 50% RH, and group-3 cycling at 60% RH. PR, BT, BLA, SBP, and DBP measured before and during exercise. The Data were analyzed by One-way ANOVA test continued by Least Significant Difference test (LSD) and the Kruskal-Wallis test continued by Mann-Whitney test. Significance used was α = 0.05.
The Results showed, the mean of PR during exercise Group-1 = 139.00 ± 2.53 beats/minute, Group-2 = 148.89 ± 2.77 beats/minute, and Group-3 = 159.22 ± 3.70 beats/minute were significantly different with p = 0.000 (p < 0.05). The mean of BT during exercise Group-1 = 36.63 ± 0.06 °C, Group-2 = 36.89 ± 0.79 °C, and Group-3 = 37.26 ± 0.09 °C were significantly different with p = 0.000 (p < 0.05). The mean of BLA during exercise Group-1 = 3.38 ± 0.19 mM/L, Group-2 = 4.17 ± 0.16 mM/L, and Group-3 = 5.12 ± 0.31 mM/L also different significant with p = 0.000 (p < 0.05). The mean of SBP during exercise Group-1 = 153.56 ± 2.37 mmHg, Group-2 = 153.22 ± 1,75 mmHg, and Group-3 = 156.28 ± 2.08 mmHg were not statistically significantly different with p values = 0.514 (p> 0.05). The mean of DBP during exercise Group-1 = 78.78 ± 1.58 mmHg, Group-2 = 79.94 ± 1.63 mmHg, and Group-3 = 76.94 ± 1.53 mmHg which was not significantly different with p = 0.406 (p > 0.05).
It was concluded that the RH of 40% was better than 50% RH and 60% RH in inhibiting the increase of PR, BT, and BLA during cycling exercises for 2X30 minutes. Therefore, it was recommended for exercising for a long time in a close room with 40% RH.
xi
LEMBAR PRASYARAT ... ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BUKAN PLAGIAT ... v
xii
2.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penampilan Fisik dalam Olahraga ... 69
2.9.1 Faktor Internal ... 69
2.9.2 Faktor Eksternal ... 72
2.10 Pemanasan ... 74
2.11 Pendinginan ... 76
BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 77
xiii
4.9 Analisis Data ... 103
BAB V. HASIL PENELITIAN ... 105
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 105
5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data ... 107
5.3 Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Sebelum dan Saat Lattihan ... 109
5.4 Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut Nadi Latihan antar Kelompok ... 111
5.5 Uji Beda Rerata Tingkat Zona Latihan antar Kelompok ... 111
5.6 Uji beda Rerata Suhu Tubuh Latihan Antar Kelompok ... 112
5.6 Uji Beda Rerata Asam Laktat Latihan antar Kelompok ... 113
BAB VI. PEMBAHASAN ... 114
6.1 Karateristik Subjek Penelitian ... 114
6.2 Perbedaan Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Sebelum Latihan ... 116
6.3 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Frekuensi Denyu Nadi ... .. 118
6.4 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Zona Latihan ... 122
6.5 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Suhu Tubuh ... 124
6.6 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Asam Laktat Darah ... 128
6.7 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Tekanan Darah ... 132
6.8 Kebaruan Penelitian (Novelty) ... 137
6.8 Keterbatasan Penelitian ... 138
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 139
7.1 Simpulan ... 139
7.2 Saran ... 139
DAFTAR PUSTAKA ... 141
xiv
Tabel 2.1 Kategori Indeks WBGT ... 22
Tabel 2.2 Sumber Asupan Cairan Tubuh ….……….. 31
Tabel 2.3 Pengeluaran Cairan Tubuh ……… 32
Tabel 2.4 Pengeluaran Cairan Tubuh pada Perubahan Suhu dan Aktivitas ..…. 32
Tabel 2.5 Frekuensi Denyut Nadi Istirahat Sesuai Umur dan Jenis Kelamin …. 42 Tabel 2.6 Curah Jantung dari Berbagai Tingkat Latihan …..………. 43
Tabel 2.7 Klasifikasi Tekanan Darah Untuk Orang Dewasa ………. 45
Tabel 2.8 Pendistribusian Darah pada Berbagai Intensitas Latihan ……… 49
Tabel 5.1 Karakteristik Fisik Subjek Penelitian ...……… 105
Tabel 5.2 Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Sebelum Latihan ... ...………...…… 106
Tabel 5.3 Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Latihan ...………... 107
Tabel 5.4 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Sebelum Latihan .…. 108 Tabel 5.5 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Saat Latihan .…... 108
Tabel 5.6 Hasil Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Sebelum Perlakuan ... 110
Tabel 5.7 Hasil Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Latihan ... ..…………. 110
Tabel 5.8 Hasil Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut Nadi Latihan antar Kelompok 111 Tabel 5.9 Hasil Uji Beda Rerata Tingkat Zona Latihan antar Kelompok ... 112
Tabel 5.10 Hasil Uji Beda Rerata Suhu Tubuh Latihan antar Kelompok ... 113
xv
Gambar 3.1 Konsep Penelitian …...………. 79
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ………... 81
xvi
DOMS = delayed onset muscle soreness
dt = detik
FAD = flavine adenine dinucleotide
FDN = frekuensi denyut nadi
FPOK = Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
g = percepatan gravitasi
IKIP = Institut Keguruan Ilmu Pendidikan
IMT = indeks massa tubuh
xvii
NAD = nicotinemide adenine dinucleotide
O2 = oksigen
o
C = derajat celsius
OVLT = organum vaskulasum laminae terminal
P = populasi
p = probabilitas
PC = pospokreatin
PGRI = Persatuan Guru Republik Indonesia
xviii
S = sampel
SBP = systolic blood pressure
Sig = significant
SO42- = sulfat
SON = supra optic neuron
ST = suhu tubuh
SV = stroke volume
TB = tinggi badan
TD = tekanan darah
TDD = tekanan darah diastolik
TDS = tekanan darah sistolik
th = tahun
USA = United State American
USATF = United State of Amecican Track and Field
VO2-Max = volume O2 maximum
WBGT = Wet Bulb Globe Temperature Index
Wita = Waktu Indonesia Tengah
α = alpha
β = beta
μ = mu
xix
Lampiran-1 Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearence) ……… 155
Lampiran-2 Surat Ijin Penelitian ……… 156
Lampiran-3 Inform Consent ……… 157
Lampiran-4 Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ……… 160
Lampiran-5 Data Hasil Penelitian Pendahuluan ……… 161
Lampiran-6 Data Karakteristik Fisik Subjek Penelitian ……… 162
Lampiran-7 Hasil Penelitian Tekanan Darah, Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, dan Kadar Asam Laktat Darah ……… 165
Lampiran-8 Hasil Analisis Data ………... 168
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada saat menjalani kehidupan sehari-hari seseorang perlu sehat, baik sehat
fisik, mental, sosial, maupun terbebas dari segala penyakit. Untuk meningkatkan derajat
kesehatan, dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti berolahraga secara teratur dan
terencana dengan memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhinya, di antaranya
adalah faktor lingkungan.
Lingkungan olahraga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan karena
faktor lingkungan dapat mempengaruhi penampilan fisik. Faktor lingkungan ini
menyangkut suhu lingkungan, kelembaban relatif udara, ketinggian tempat, dan
lain-lain (Birch dkk., 2005). Pengaruh lingkungan terdiri dari suhu lingkungan, kelembaban
relatif, radiasi, dan kecepatan angin (Powers dan Howley, 2009).
Suhu dan kelembaban relatif yang tinggi, akan meningkatkan indeks wet-
bulb-globe-temperature (WBGT). Indeks WBGT merupakan bilangan yang menunjukkan
peran dari suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi dan kecepatan angin. Indeks
WBGT mencapai setinggi 28 oC dapat menyebabkan heat stress (Giriwijoyo, 2007).
Peningkatan indeks WBGT menyebabkan dehidrasi dan diakhiri dengan tidak sadarkan
diri, seperti yang dialami oleh pelari marathon Inggris Jim Peters pada Common Wealth
Games tahun 1954 di Vancouver dan pelari marathon Gabriela Anderson-Hhiers pada
Olimpiade Los Angeles 1984 (FPOK, 2010b).
Heat stress juga mengakibatkan berbagai permasalahan kesehatan hingga
kematian. Pada tahun 1995 sebanyak 100 orang penduduk Chicago meninggal karena
gelombang panas dan sebanyak 400 orang di Amerika meninggal setiap tahun akibat
heat stress. Dari tahun 1995-2001 di Amerika tercatat 21 orang pemain sepak bola
meninggal karena heat stroke. Di Jepang dari tahun 2001-2003 sebanyak 483 orang
Keadaan heat stress akan diperberat apabila latihan dilakukan dalam ruangan
tertutup seperti pada cabang bulutangkis. Hal ini disebabkan karena dalam ruangan
tertutup jarang dilengkapi dengan sistem pengkondisian udara sehingga suhu udara
menjadi tinggi, kelembaban relatif tinggi, dan tidak ada aliran udara yang dapat
mempercepat pengeluaran panas tubuh. Apalagi permainan bulutangkis menuntut daya
tahan tubuh karena pemainnya harus berlari, melompat, bereaksi dengan cepat, dan
memukul dengan tepat. Di samping itu juga dituntut kecerdikan, ketelitian, kerjasama
dengan pasangan, dan disiplin. Jadi permainan bulutangkis menuntut kebugaran fisik
yang prima, yang merupakan kombinasi dari gerakan aerobik dan anaerobik (Nugroho,
2008; Subarjah, 2013).
Kenyataan di lapangan yang tidak tercatat pada beberapa pemain bulutangkis di
Indonesia banyak yang meninggal pada saat berlatih. Kapolsek Kemuning di Riau
Erwinsiah meninggal setelah latihan (Antara, 2010). Juga dilaporkan oleh KONI
Surabaya (2011), ketua KONI Surabaya Horoe Pournomohadi meninggal setelah
latihan. Fardi dari Banjarmasin mengalami kejang-kejang dan akhirnya meninggal
setelah latihan (Metro-7 Online, 2013). Pada tahun 2014 tercatat beberapa kejadian saat
bermain bulu tangkis seperti Kusudianto dari Jawa Timur meninggal setelah istirahat
antar set (Hartono, 2014), Adam juga meninggal saat latihan (Humas Polres Kulon
Projo, 2014). Di Sulawesi Barat, Karma juga meninggal saat pertandingan antar dusun
(Polewati dan Junaedi, 2014). Dilaporkan juga di Jawa Barat seorang yang sedang
berlatih muntah-muntah dan akhirnya meninggal (Primanna, 2014). Direktur Reskrim
Khusus Polda Papua Ade Sutiana meninggal setelah latihan (Mikailfatihah, 2014).
Kapolres Tapin di Riau juga meninggal setelah latihan (Rahma, 2014). Dilihat dari
ciri-ciri kejadian, maka heat stress merupakan penyebab dari kematian.
Perubahan fisiologis tubuh saat latihan fisik dalam waktu yang lama disebabkan
menurunya volume cairan tubuh melalui keringat bersamaan dengan pengeluaran panas
tubuh (Cameron dkk., 2012). Hasil penelitian Cheuvront dkk. (2010), latihan secara
tubuh saat latihan menyebabkan meningkatnya viskositas darah yang meyebabkan
meningkatnya kerja jantung (Gabriel, 2012). Kalau tidak diimbangi dengan
mengkonsumsi cairan yang cukup, akan mempersulit pengeluaran panas tubuh melalui
konveksi (Wilmore dkk., 2008; Almatsier, 2013).
Latihan fisik dalam waktu lama pada kelembaban relatif yang tinggi akan
meningkatkan pengeluaran cairan tubuh dan berdampak terhadap peningkatan frekuensi
denyut nadi (Janssen, 1993). Menurunnya cairan tubuh sebesar 2-6% mengakibatkan
meningkatnya kerja jantung yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi denyut nadi
(Wikipedia, 2014). Selanjutnya disampaikan oleh WHO (2011), bahwa kehilangan
cairan tubuh berlebih saat latihan akan memperberat kerja jantung dan dapat
menyebabkan kematian. Hasil penelitian Muplichatun (2006) terhadap 41 orang pekerja
pamdai besi di Donorejo Batang, didapatkan terjadi hubungan bermakna antara paparan
panas dengan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya Telan (2012) melakukan penelitian
terhadap 50 pekerja pandai besi, didapatkan terjadi peningkatan frekuensi denyut nadi
dibandingkan dengan sebelum diberikan paparan panas. Hasil yang sama juga
didapatkan dari penelitian Adiningsih (2013), terhadap 33 orang pekerja bahwa terjadi
peningkatan frekuensi denyut nadi setelah diberikan paparan panas.
Meningkatnya frekuensi denyut nadi latihan akan meningkatkan tingkat zona
latihan (McBrian, 2008). Tingkat zona latihan dapat diklasifikasikan menjadi lima
tingkatan yaitu: healty training zone dengan denyut nadi antara 50-60% HR-Max,
temperate zone (60-70% HR-Max), aerobic zone (70-80% HR-Max), anaerobic zone
(80-90% HR-Max), dan red line zone (90-100% HR-Max) (Edward, 2007). HR-Max
dihitung dengan persamaan HR-Max = 220-umur (Robbins, 2008).
Suhu tubuh meningkat dari 37 oC mencapai 40 oC pada latihan berat selama 20
menit (Kusnanik dkk., 2011). Hasil penelitian yang mendukung adalah
Gonzalez-Alonso dkk. (2003), bahwa suhu tubuh meningkat mencapai 40 oC saat latihan fisik
berkepanjangan pada lingkungan lembab. Hasil penelitian Saunders dkk. (2005), terjadi
kelembaban relatif 59% terhadap sembilan subjek setelah bersepeda selama dua jam.
Pernyataan ini didukung oleh Yashasi dkk. (2006) bahwa latihan fisik pada kelembaban
relatif yang tinggi menyebabkan suhu inti tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan pada
kelembaban relatif yang rendah.
Latihan fisik pada kelembaban relatif yang tinggi secara akut akan
meningkatkan tekanan darah. Hal ini disebabkan karena tubuh kehilangan banyak
cairan untuk memindahkan panas ke permukaan tubuh (Gawron, 2008; Ganong, 2012).
Kehilangan cairan tubuh sebesar 2% dari berat badan mengakibatkan terganggunya
penampilan fisik yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah (WHO, 2011).
Hasil penelitian Cianci dkk. (2006) terhadap 28 penderita hipertensi, didapatkan terjadi
peningkatan tekanan darah pada penurunan volume cairan tubuh. Terjadi peningkatan
tekanan darah sistolik dari 120 mmHg menjadi 140-250 mmHg pada latihan daya tahan
dengan intensitas maksimum (Kusnanik dkk., 2011). Menurunnya volume cairan tubuh,
darah menjadi lebih pekat sehingga akan meningkatkan viskositas darah. Peningkatan
viskositas darah akan meningkatkan tekanan darah (Irawati, 2010; Gabriel, 2012).
Hasil penelitian Bloomer dan Cole (2009) terhadap sekelompok laki-laki aktif
pada latihan bench press, secara akut dapat meningkatkan asam laktat darah antara sebelum dengan sesudah latihan. Peningkatan asam laktat darah yang diikuti oleh
peningkatan CO2 dapat mengganggu kontraksi otot (Sharkey, 2012). Cairan
ekstraselular berfungsi sebagai pengangkut hasil metabolisme ke hati untuk segera
didaur ulang sebagai sumber energi, sehingga asam laktat dalam darah menurun
(Darwis dkk., 2007). Pendapat lain yang sejalan adalah, bahwa cairan tubuh berperan
mengangkut hasil metabolisme seperti CO2 dan asam laktat (WHO, 2011; Syaifuddin,
2012). Kecepatan pengeluaran keringat akan menurunkan volume cairan tubuh,
sehingga akan mempercepat peningkatan asam laktat darah (Janssen, 1993). Menurut
Kusnanik dkk. (2011), penurunan cairan tubuh akan berakibat terhadap penurunan
konsentrasi O2 darah. Penurunan konsentrasi O2 akan menurunkan glikolisis pada hati,
Penurunan kelembaban relatif dalam ruangan tertutup dapat diperoleh dengan
menggunakan air conditioning (AC). Penurunan kelembaban relatif pada ruangan
ber-AC disebabkan karena udara sebelumnya telah didinginkan pada sirip evaporator
sampai mengembun. Embun tersebut berkumpul dan disalurkan keluar melalui saluran
pipa. Dengan demikian kelembaban relatif udara yang masuk ke dalam ruangan
menjadi berkurang (Gabriel, 2013).
Kelembaban relatif yang rendah akan mempercepat perpindahan panas tubuh ke
lingkungan melalui evaporasi (Gabriel, 2012). Kelembaban relatif yang rendah akan
mempercepat kehilangan panas tubuh sehingga panas tubuh masih dalam batas
kenyamanan dan latihan masih tetap terasa nyaman (Giriwijoyo, 2007).
Oleh karena itu, dalam latihan dibutuhkan kelembaban relatif yang
menyebabkan iklim nyaman terhadap tubuh seseorang. Kelembaban relatif yang
nyaman dalam ruangan adalah antara 40 - 60% sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No: 1077/MENKES/PER /V/2011 (Menkes, 2011).
Kelembaban relatif merupakan hal yang harus diperhatikan karena kelembaban
relatif dapat menyebabkan terjadinya pengeluaran keringat berlebih, sehingga dapat
menimbulkan efek secara akut terhadap peningkatan frekuensi denyut nadi, suhu tubuh,
asam laktat darah, tekanan darah sistolik, dan tekanan darah diastolik latihan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka latihan fisik pada kelembaban relatif 40%, 50%,
dan 60% di dalam ruangan tertutup perlu diteliti lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut:
1. Apakah kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan
60% dalam memperlambat peningkatan frekuensi denyut nadi latihan bersepeda
dengan beban 80 Watt selama 2 X 30 menit dengan istirahat antar set selama
2. Apakah kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan
60% dalam memperlambat peningkatan suhu tubuh latihan bersepeda dengan
beban 80 Watt selama 2 X 30 menit dengan istirahat antar set selama lima
menit?
3. Apakah kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan
60% dalam memperlambat peningkatan asam laktat darah latihan bersepeda
dengan beban 80 Watt selama 2 X 30 menit dengan istirahat antar set selama
lima menit?
4. Apakah kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan
60% dalam memperlambat peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik
latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2 X 30 menit dengan istirahat
antar set selama lima menit?
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menemukan kelembaban relatif tempat latihan yang paling baik untuk
menurunkan pengeluaran keringat sehingga frekuensi denyut nadi, suhu tubuh, asam
laktat darah, tekanan darah sistolik, dan tekanan darah diastolik tidak terlalu tinggi
peningkatannya pada saat latihan, sehingga latihan aman dilakukan dalam waktu yang
lebih lama dan tidak berefek negatif terhadap perubahan fungsi tubuh.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban dari rumusan masalah di atas,
yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk membuktikan kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban
relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan frekuensi denyut nadi
latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2X30 menit dengan istirahat
2. Untuk membuktikan kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban
relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan suhu tubuh latihan
bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2X30 menit dengan istirahat antar set
selama lima menit.
3. Untuk membuktikan kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban
relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan asam laktat darah latihan
bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2X30 menit dengan istirahat antar set
selama lima menit.
4. Untuk membuktikan kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban
relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan tekanan darah sistolik
dan diastolik latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2 X 30 menit
dengan istirahat antar set selama lima menit.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Secara teoritis memperoleh konsep ilmiah tentang lingkungan tempat latihan
khususnya kelembaban relatif udara yang tepat untuk menurunkan pengeluaran
keringat sehingga frekuensi denyut nadi, suhu tubuh, asam laktat darah, tekanan
darah sistolik, dan tekanan darah diastolik tidak cepat meningkat saat latihan
yang dilakukan di dalam ruangan tertutup.
2. Secara praktis dapat dipergunakan sebagai pedoman oleh pelatih olahraga, guru
olahraga, dan atlet serta masyarakat umum untuk diterapkan di dalam ruangan
tertutup dalam rangka menurunkan pengeluaran keringat sehingga frekuensi
denyut nadi, suhu tubuh, asam laktat darah, tekanan darah sistolik, dan tekanan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah aktivitas yang terjadi sebagai akibat dari kontraksi otot
dengan menggunakan energi secara proporsional, yang sangat erat kaitannya dengan
kebugaran fisik. Aktivitas fisik menyangkut sistem lokomotorik untuk menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas fisik tersebut dilakukan dengan tujuan dan
aturan tertentu secara sistematis seperti adanya aturan waktu, target latihan, jumlah
pengulangan, dan lain-lain. Ditambahkan juga aktivitas fisik yang dilakukan secara
bertahap melalui suatu persiapan untuk mencapai penampilan puncaknya, disebut
pelatihan (Bompa dan Haff, 2009). Pelatihan adalah aktivitas fisik yang dilakukan
secara sistematik dan berulang-ulang dalam waktu lama dengan peningkatan
pembebanan secara progresif dan individual, bertujuan untuk memperbaiki fungsi
tubuh agar saat kompetisi mencapai kemampuan yang optimal (Ananto, 2000).
Selanjutnya Nala (2011) menyatakan, pelatihan fisik merupakan gerakan fisik
dan atau aktivitas mental secara sistimatik dan berulang-ulang (repetitif), dalam waktu
(durasi) lama dengan pembebanan meningkat secara progresif dan individual yang
bertujuan untuk memperbaiki fisiologis dan psikologis tubuh agar pada saat latihan
dapat mencapai penampilan yang optimal. Sistematis merupakan cara pelatihan yang
teratur dan terencana. Repetitif adalah gerakan yang dilakukan secara berulang-ulang
lebih dari satu kali gerakan. Durasi merupakan lamanya aktivitas yang dilakukan dalam
satu sesi, termasuk pemanasan, latihan inti, istirahat dan pendinginan. Progresif adalah
penambahan atau peningkatan beban pelatihan secara bertahap, yang diawali dengan
menggunakan beban ringan kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan
kemampuan atlet yang bersangktan dan. Individual adalah peningkatan pembebanan
yang disesuaikan dengan kemampuan atlet yang dilatih, di mana pemberian beban tidak
dapat disamakan antara atlet satu dengan yang lainnya walaupun berada pada cabang
Kementrian Pelajaran Malaysia (2010) mengatakan, pelatihan fisik mempunyai
lima prinsip yaitu: prinsip pembebanan berlebih, prinsip individual, prinsip
spesialisasi/kekhususan, prinsip berkesinambungan, dan prinsip variasi. Nala (2011)
berpendapat, pelatihan mempunyai beberapa prinsip di antaranya adalah: prinsip aktif
dan bersungguh-sungguh, prinsip pengembangan multilateral, prinsip spesialisasi,
prinsip individualisasi, prinsip variasi atau keserbaragaman, prinsip penggunaan model
dalam pelatihan, dan prinsip peningkatan beban secara progresif.
Aktivitas fisik sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia sehari hari, di
mana manusia sebagai makluk sosial perlu aktivitas. Tujuan dari aktivitas fisik
dipisahkan menjadi tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang yang pada intinya
adalah untuk menurunkan berat badan dan glukose darah (Barnes, 2012). Aktivitas fisik
mengakibatkan terjadinya perubahan pada fungsi tubuh, baik secara sementara maupun
secara menetap (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009). Aktivitas fisik secara teratur dalam
waktu kurang lebih 30 menit dapat menurunkan tekanan darah dan denyut nadi istirahat
(Divine, 2012). Peningkatan jumlah aktivitas fisik bermanfaat terhadap penurunan
risiko penyakit jantung (Durstine, 2012). Aktivitas fisik juga meningkatkan konsumsi
oksigen yang akan mencapai keadaan maksimal yang dikenal dengan konsumsi oksigen
maksimal (VO2-Max). Keadaan ini dibatasi oleh sistem respirasi, kardiak output, dan
kemampuan otot untuk berkontraksi (Bompa dan Haff, 2009).
Latihan fisik yang dilakukan secara teratur dan terprogram secara akut dapat
meningkatkan frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, dan suhu
tubuh. Di samping itu secara kronis juga dapat meningkatkan massa otot dan massa
tulang, pertahanan antioksidan dan penurunan frekuensi denyut nadi istirahat (Kuntaraf
dan Kuntaraf, 2009).
Akibat dari aktivitas fisik yang diberikan, seseorang akan mengalami
peningkatan kemampuan fungsionalnya. Peningkatan ini dapat berupa berbagai
2010), yaitu: daya tahan, kekuatan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan,
ketepatan, waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi.
1. Daya tahan (endurance) menyangkut daya tahan umum dan daya tahan otot. Daya
tahan umum atau daya tahan respirasi-kardiovaskular adalah kemampuan tubuh
untuk melakukan aktivitas dalam waktu lama yaitu lebih dari 10 menit tanpa
kelelahan yang berarti. Daya tahan otot adalah kemampuan otot skeletal untuk
melakukan kontraksi berulang-ulang dalam waktu yang lama.
2. Kekuatan (strength) adalah kemampuan otot skeletal untuk melakukan gerakan
kontraksi atau tegangan maksimal dalam menerima pembebanan waktu
melakukan aktivitas fisik.
3. Daya ledak (explosive strength) adalah kemampuan untuk melakukan gerakan
atau aktivitas secara cepat dengan menggunakan seluruh kekuatan otot dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
4. Kecepatan (speed) kemampuan tubuh untuk melakukan gerakan berulang-ulang
yang sama dan berkesinambungan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
5. Kelentukan (flexibility) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk
melakukan penjuluran ke daerah tertentu atau menempuh beberapa sendi
seluas-luasnya.
6. Kelincahan (agility) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk
mengubah arah gerakan secara mendadak atau tiba-tiba dalam kecepatan yang
setinggi-tingginya.
7. Ketepatan (accuracy) adalah kemampuan tubuh untuk melakukan atau
mengemdalikan gerakan menuju ke suatu sasaran tertentu.
8. Waktu reaksi (Reaction time) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh
untuk melakukan reaksi secepat-cepatnya ketika adanya rangsangan, baik
9. Keseimbangan (balance) adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan sikap
dan posisinya dari berbagai keadaan sehingga tubuh tetap dalam keadaan stabil
dan terkendali.
10.Koordinasi (coordination) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh
untuk mengkoordinasikan berbagai gerakan yang berlainan menjadikan suatu
gerakan yang tunggal, harmonis, dan efektif.
2.2 Lingkungan Olahraga
Lingkungan olahraga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam
berolahraga. Lingkungan olahraga menyangkut: suhu lingkungan, kelembaban relatif,
ketinggian tempat dari permukaan laut, dan lain-lain (Birch dkk., 2005; Powers dan
Howley, 2009). Menurut Giriwijoyo (2007), pengaruh lingkungan terdiri dari suhu
lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan kecepatan angin.
Lingkungan dalam olahraga terdiri dari lingkungan fisik, biologis, kimia, dan
lingkungan sosial. Untuk dapat beraktivitas secara optimal, aspek lingkungan harus
diperhatikan dan diperkenalkan kepada atlet sehingga terbiasa bekerja dalam
lingkungan tersebut (Adiputra, 2010).
Dalam suatu aktivitas fisik, keadaan lingkungan ini dapat dioptimalkan dengan
aklimatisasi terhadap lingkungan baru yang bertujuan untuk melatih dan membiasakan
tubuh terhadap lingkungan tersebut (Giriwijoyo, 2007).
Suhu adalah suatu keadaan panas dinginnya sesuatu yang dinyatakan dengan
thermometer (Muda, 2008). Suhu merupakan bentuk energi yang bisa berpindah dari
suhu yang lebih tinggi ke suhu yang lebih redah (Gabriel, 2013). Suhu lingkungan
adalah tingkat panasnya udara di suatu tempat yang dinyatakan dalam derajat celcius
(oC) (Kanginan, 2000). Latihan pada lingkungan panas perlu memperhatikan berbagai
hal, di antaranya adalah faktor lingkungan, pengaruh tekanan panas, dan aklimatisasi
2.2.1 Faktor Lingkungan yang Harus Diperhatikan
Ada dua hal yang harus diperhatikan terhadap faktor lingkungan yang
menyangkut karakteristik lingkungan dan karakteristik indipidu.
a). Karakteristik lingkungan
Kondisi lingkungan yang panas dan kering seperti di padang pasirditandai oleh
suhu udara yang tinggi dengan kelembaban relatif udara yang rendah dan radiasi
matahari yang tinggi. Dalam keadaan ini, pembuangan panas melalui radiasi, konduksi
dan konveksi menjadi sulit, tetapi udara yang kering memudahkan penguapan keringat
(Kanginan, 2000). Kondisi panas dan lembab atau kondisi tropis, suhu lingkungan
tinggi dan kelembaban udara tinggi, pembuangan panas melalui evaporasi keringat
menjadi kurang efektif dan keringat menetes dari kulit tanpa menguap (FPOK, 2010b).
Skala yang dipakai untuk menilai tingkat kenyamanan lingkungan adalah index
wet bulb-globe-temperature (WBGT). Indeks WBGT ini merupakan gabungan dari
dampak radiasi matahari dan bumi, suhu lingkungan, kelembaban relatif udara, dan
kecepatan angin. Index WBGT (di luar ruangan) = 0.7 X suhu bola basah + 0.2 X suhu
bola hitam + 0.1 X suhu bola kering. Indeks yang sederhana ini penting untuk menilai
jumlah dan tingkat latihan yang dapat dilakukan dalam kondisi panas untuk
keselamatan atlet. Pada saat, dianjurkan untuk berhati-hati bila index WBGT mencapai
25 oC, dan olahraga dianggap tidak aman bila index WBGT mencapai 28 oC bagi yang
tidak terlatih atau belum beraklimatisasi. Untuk kegiatan dengan tingkat aktivitas yang
tinggi seperti lari jarak jauh diharapkan tidak dilakukan bila index WBGT > 28 oC
(Giriwijoyo, 2007).
Faktor lain yang mempengaruhi kehilangan panas tubuh adalah kecepatan
hembusan angin dan faktor air (Kusnanik dkk, 2011). Kecepatan hembusan angin yang
lebih tinggi menyebabkan peningkatan pembekuan jaringan. Cuaca dingin saja tidak
terlalu membebani sistem pengaturan panas tubuh, akan tetapi lebih tinggi
pembebanannya apabila cuaca dingin ditambah dengan kecepatan angin yang tinggi.
kehilangan panas tubuh di air 26 kali lebih cepat dibandingkan dengan di udara. Akan
tetapi transfer panas tubuh pada temperatur yang sama di dalam air empat kali lebih
cepat dibandingkan dengan di udara.
b). Karakteristik individu
Karakteristik individu menyangkut bentuk tubuh, komposisi tubuh, umur, dan
jenis kelamin. Bentuk tubuh yang umum dipergunakan dalam penelitian mengenai
toleransi panas adalah rasio luas permukaan tubuh terhadap massa tubuh (LPT/MT).
Anak usia pubertas mempunyai rasio sampai 50% lebih besar daripada laki-laki
dewasa, sedangkan wanita, nilai itu dapat mencapai 10% lebih besar. Mereka yang
mempunyai bentuk tubuh ramping (ectomorph) mempunayi rasio lebih tinggi dari pada
yang berotot (mesomorph) apalagi dengan yang gemuk (endomorph). Bila berolahraga
dengan beban yang sama, orang yang lebih besar akan membentuk panas lebih tinggi
dari pada yang lebih ramping per satuan luas permukaan tubuhnya. Oleh karena itu
pada kondisi yang panas dan lembab, orang yang lebih besar akan menimbun panas
sedangkan yang lebih kecil dapat dengan mudah mempertahankan keseimbangan
panas. Pada panas lingkungan yang ekstrim, orang dengan rasio LPT/MT yang lebih
tinggi akan membentuk panas yang lebih sedikit daripada yang mempunyai rasio
LPT/MT yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena produksi panas yang rendah dan
pembuangan panas yang lebih baik pada semua cara (FPOK, 2010b).
Komposisi tubuh. Respon ini dikaitkan pada sejumlah faktor yaitu: rasio
LPT/MT orang kurus lebih tinggi, panas jenis jaringan lemak jauh lebih rendah dari
pada jaringan tanpa lemak. Dengan demikian muatan panas per satuan massa tubuh
lebih meningkatkan suhu tubuh pada orang gemuk dari pada orang kurus. Kemampuan
yang diberikan terhadap panas pada orang gemuk akan lebih besar (Gabriel, 2012).
Umur. Apabila berolahraga di tempat panas, orang yang lebih tua menunjukkan suhu rektal yang lebih tinggi dari pada orang muda; perbedaan ini menjadi lebih besar
pada stress iklim yang lebih tinggi dan meningkatnya durasi pemaparan. FPOK (2010a)
banyak per derajat peningkatan suhu rektal dan mempunyai suhu kulit yang lebih
rendah daripada orang tua umur 45 - 70 tahun. Hal ini disebabkan karena pengeluaran
keringat pada orang muda terjadi lebih awal sehingga aliran darah ke kulit berkurang.
Jenis kelamin.Wanita kurang toleran untuk berolahraga pada tempat panas oleh
karena tingkat pengeluaran keringatnya yang lebih rendah. Akan tetapi wanita
mempunyai keuntungan karena cairan tubuh lebih dihemat (Cameron dkk., 2012).
2.2.2 Pengaruh Paparan Panas
Tekanan panas yang mengenai tubuh dapat mengakibatkan permasalahan
kesehatan hingga kematian. Kematian para atlet yang disebabkan karena latihan atau
pertandingan ditempat panas dan lembab disebabkan karena sistem mekanisme
pengaturan suhu tubuh tidak mampu dalam melindungi tubuh terhadap perubahan
cuaca, sehingga diperlukanlah adaptasi dalam waktu yang pendek dan adaptasi dalam
waktu yang lebih lama, beberapa bulan, beberapa tahun atau disebut dengan
aklimatisasi (Kusnanik dkk., 2011).
Ada beberapa kelainan patologi tubuh yang diakibatkan oleh suhu dan
kelembaban relatif yang tinggi di antaranya adalah (Arief, 2012)
1. Heat syncope (pingsan panas) adalah ganggunan induksi panas yang serius. Ciri
dari gangguan ini adalah pening dan pingsan akibat berolahraga dalam
lingkungan panas dan lembab dalam waktu yang lama. Kejadian ini timbul
dengan adanya vasodilatasi sistemik berlebihan. Penanggulangannya adalah
pendinginan dan diberikan minum air dingin dengan suhu antara 5-10 oC.
Pendinginan ini akan menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah
dan akhirnya akan menjadi normal.
2. Heat cramp (kejang panas). Gejala kelinan ini adalah rasa nyeri dan kejang
pada kaki, tangan, dan perut dan ditandai dengan pengeluaran keringat yang
banyak. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan cairan dan garam selama
dalam waktu lama, mengeluarkan banyak garam yang keluar bersamaan dengan
keringat yang hanya diganti dengan air putih.
3. Heat exhaustion (kelelahan panas) merupakan reaksi tubuh terhadap terpaan
panas dalam waktu yang lama (dapat berjam-jam atau berhari-hari) yang
diakibatkan oleh berkurangnya cairan tubuh atau volume darah. Kondisi ini
terjadi jika jumlah keringat yang dikeluarkan melebihi air yang diminum selama
terkena panas. Gejalanya adalah keringat sangat banyak, kulit pucat, lemah,
pening, mual, pernapasan pendek dan cepat, pusing dan pingsan. Suhu tubuh
berkisar antara 37 - 40 oC.
4. Heat stroke (kegawatan panas) adalah penyakit gangguan panas yang
mengancam nyawa yang berkaitan dengan olahraga pada lingkungan yang
panas dan lembab. Kelainan ini dapat menyebabkan koma dan kematian.
Gejalanya adalah detak jantung cepat, suhu tubuh sekitar 40 oC atau lebih, kulit
kering dan tampak kebiruan atau kemerahan, Tidak ada keringat di tubuh
korban, pening, menggigil, mual, pusing, kebingungan dan pingsan.
Kelainan yang diakibatkan oleh stres panas ini disebabkan karena naik
turunnya suhu inti tubuh. Bila berubah naik turun 2 oC dapat mengakibatkan gangguan
pada fungsi tubuh. Pada saat olahraga temperatur tubuh dapat mencapai 40 oC yang
menyebabkan meningkatkan metabolisme pada otot. Akan tetapi suhu inti tubuh yang
tinggi, akan mempengaruhi sistem saraf oleh hipotalamus yang menghambat pelepasan
panas tubuh (Ganong, 2012; Guyton dan Hall, 2012).
2.2.3 Aklimatisasi pada Lingkungan Olahraga
Aklimatisasi adalah adaptasi fisiologis terhadap sifat-sifat alamiah lingkungan
yaitu penyesuaian fungsi tubuh terhadap lingkungan yang baru yang berbeda dengan
kawasan hunian sebelumnya. Toleransi terhadap paparan panas dan lembab meningkat
dengan aklimatisasi sehingga diperlukan cukup waktu apabila seseorang melakukan
olahraga di tempat panas dan lembab, setelah bermukim di tempat dingin. Proses ini
pembuangan panas dan menurunkan suhu tubuh. Perbaikan kapasitas berkeringat dan
kemampuan berkeringat disertai dengan distribusi keringat yang lebih merata pada
permukaan tubuh. Mekanisme ini meningkatkan perbedaan suhu antara inti tubuh
dengan bagian perifernya. Dengan demikian pembuangan panas meningkat dengan
aliran darah lebih sedikit ke kulit (Silverthorn, 2004).
. Suhu dan kelembaban relatif yang lebih tinggi mempercepat perubahan fungsi
tubuh ke arah yang merugikan, sehingga orang yang belum teraklimatisasi dengan
lingkungan baru, dapat mempercepat bahaya. Oleh karena itu, aklimatisasi terhadap
lingkungan khususnya panas dan lembab perlu diperhatikan agar keadaan patologis
dapat dihindari (Giriwijoyo, 2007). Pengaturan suhu tubuh penting untuk
mempertahankan homeostasis yaitu pemeliharaan kondisi cairan tubuh agar tubuh
berfungsi dengan baik dalam aspek fisik maipun psikis (Guyton dan Hall, 2012).
Bersamaan dengan itu aliran darah yang lebih lancar dalam otot selama berolahraga
memungkinkan penyediaan energi secara aerobik. Dengan demikian orang yang telah
beraklimatisasi, selama olahraga yang intensif menurunkan pembentukan panas dan
durasipun dapat ditingkatkan.
Pendinginan melalui evaporasi terhambat oleh pakaian yang digunakan.
Meningkatnya kelembaban antara kulit dan pakaian, akan meningkatkan suhu kulit
disertai peningkatan pengeluaran keringat. Peningkatan suhu kulit pada bagian tubuh
yang ditutupi pakaian akan terjadi, diikuti kenaikan suhu rektal, pengeluaran keringat
meningkat, dan denyut nadi meningkat. Penurunan suhu rektal akan dipercepat bila
menggunakan pakaian kaos dari bahan jaring ikat (FPOK, 2010b).
Penggantian cairan yang hilang perlu dilakukan apabila volume cairan tubuh
berkurang secara signifikan oleh karena dehidrasi atau bila aliran darah ke otot harus
dibagi ke kulit seperti pada olahraga di tempat panas dan lembab, maka kerja fisik daya
tahan, dan pengaturan suhu menjadi terganggu. Menurunnya penampilan terlihat
setelah dehidrasi mencapai 2% dari berat badan. Pada tingkat dehidrasi yang lebih
cairan cukup 40-50% dari cairan yang hilang sudah cukup untuk mengurangi resiko
overheating dan gangguan penampilan daya tahan. Hal ini disebabkan karena tubuh
membentuk air selama olahraga (McArdle dkk., 2010).
Keringat mengandung berbagai elektrolit seperti Na dan Cl tetapi dalam kadar
yang sangat rendah yaitu sepertiga dari kadarnya di dalam plasma darah. Pada orang
yang terlatih, kadar garam keringat lebih rendah dan kadarnya meningkat pada olahraga
berat bila keringatnya lebih banyak. Oleh karena tubuh kehilangan lebih banyak air
dibandingkan elektrolit selama latihan, maka cairan tubuh menjadi lebih pekat dan
mengganti air sangat diharapkan (FPOK, 2010b).
2.3 Kelembaban Udara
2.3.1 Pengertian Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah suatu besaran yang menunjukkan kandungan uap air
di dalam udara, yang merupakan bagian dari komponen iklim. Kelembaban udara ini
mempunyai pengaruh terhadap cuaca lingkungan. Ketika udara mengandung banyak
uap air, maka dikatakan udara tersebut mempunyai kelembaban yang tinggi (Kanginan,
2000). Kelembaban udara adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara yang
dinyatakan dalam gram per meter kubik atau dapat juga dinyatakan dalam persen.
Kelembaban udara secara bersamaan dengan suhu udara, kecepatan angin, dan radiasi
panas mempengaruhi tubuh dalam menerima panas dari lingkungan atau membuang
panas ke lingkungan (Uhud dkk., 2008).
Kelembaban udara ada dua macam yaitu kelembaban mutlak dan kelembaban
relatif. Kelembaban mutlak (absolute humidity) adalah banyaknya uap air yang
terkandung dalam satu meter kubik (m3) udara. Kelembaban ini dinyatakan dalam gram
per meter kubik (g/m3). Kelembaban relatif (relative humidity) adalah bilangan persen
yang menunjukkan perbandingan antara massa uap air yang berada dalam udara dan
massa uap air yang terkandung dalam udara jenuh pada tekanan dan suhu yang sama
(Bradshow, 2006). Kelembaban relatif udara biasa disebut dengan kelembaban udara
RH = m/mj X 100%.
di mana:
RH = kelembaban relatif
m = massa uap air udara
mj = massa uap air udara jenuh.
Kelembaban relatif meningkat apabila kandungan uap air atmosfer meningkat
ditambah dengan meningkatnya permukaan air terbuka, seperti: laut, sungai, danau, dan
permukaan air lainnya. Kelembaban udara juga berubah berbanding terbalik dengan
perubahan suhu udara, yaitu ketika udara didinginkan maka kandungan uap air akan
meningkat dan bila udara dipanaskan maka kandungan uap air akan menurun.
Pendinginan udara lebih lanjut sampai lebih kecil dari 5 oC, menyebabkan terjadinya
kelebihan uap air dalam udara dan akhirnya akan mengembun. pengembunan
menyebabkan uap air dalam udara berkurang. Hal ini sering terjadi di daerah kutub
dengan suhu udara di bawah 0oC tetapi mempunyai kelembaban relatif udara yang
sangat rendah (Kanginan, 2000).
2.3.2 Alat Ukur Kelembaban Udara
Untuk mengukur kelembaban relatif udara umumnya digunakan psikrometer
yang disebut dengan sling psychrometer (Suma’mur, 2014). Alat ini terdiri dari dua
buah termometer yaitu termometer bola basah dan termometer bola kering yang
dikemas dalam satu alat. Termometer kering mengukur suhu udara lingkungan dan
termometer basah mengukur suhu pada kapas yang dibasahi dengan air. Kepala
termometer basah ini dikipasi dengan cara memutar tombol kipas. Pengipasan ini
bertujuan untuk mempercepat penguapan (Umar, 2010). Kecepatan angin yang dipakai
dalam termometer basah ini berkisar antara 2 m/dt sampai dengan 5 m/dt (meter per
detik) (Japanes Industrial Standard dalam Tristomo, 2007). Kelembaban relatif udara
dapat ditentukan dengan menggunakan tabel, yaitu dengan mencari pertemuan antara
suhu bola basah dengan selisih antara suhu bola kering dengan suhu bola basah. Alat
analog dan hidrometer digital. Higrometer analog digunakan untuk mengukur
kelembaban relatif udara dengan menggunakan pembacaan jarum penunjuk sedangkan
higrometer digital menggunakan penunjuk angka (Sigar, 2010).
2.3.3 Pengaturan Kelembaban Udara
Di daerah tropis seperti Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa yaitu
antara 6o lintang utara dan 11o lintang selatan dengan suhu udara yang tinggi dan
kelembaban yang tinggi (Rosa dkk., 2010). Kondisi udara seperti ini sangat tidak cocok
untuk olahraga atau latihan fisik dalam ruangan tertutup. Hal ini akan diperberat oleh
jumlah penonton yang memenuhi kapasitas ruangan, sehingga peningkatan temperatur
dan kelembaban udara akan terjadi (Giriwijoyo, 2007).
Peningkatan kelembaban relatif udara dapat menimbulkan masalah terhadap
lingkungan sekitar, baik pada manusia, organisme maupun peralatan yang ada di
dalamnya. Terhadap manusia kelembaban relatif udara yang tinggi dapat menyebabkan
tekanan fisiologis berupa ketidaknyamanan dan dapat mengganggu kesehatan,
sedangkan terhadap lingkungan menyebabkan percepatan pertumbuhan organisme
seperti jamur dan spora serta dapat mempercepat mengkaratnya logam (Muchamad,
2006; Gabriel, 2013). Kelembaban relatif udara yang tinggi dapat menyebabkan
meningkatnya pengeluaran keringat sehingga akan meningkatkan penurunan cairan
tubuh yang berefek terhadap peningkatan beban kardiovaskular (Fajrin dkk., 2014).
Selanjutnya Megasari dan Juniani (2010) menyatakan, kelembaban relatif yang tinggi
merupakan beban bagi tubuh ditambah dengan meningkatnya beban kerja fisik. Kondisi
ini dapat berpengaruh terhadap penurunan tingkat kesehatan dan stamina.
Oleh karena itu kelembaban udara dalam ruangan yang dipakai untuk latihan
fisik perlu diatur pada kondisi nyaman. Menurut Menkes (2011), kelembaban relatif
yang nyaman untuk beraktifitas di dalam ruangan adalah berkisar antara 40 - 60%.
Untuk mendapatkan kelembaban udara di dalam ruangan sebesar itu maka perlu
dilakukan pengkondisian udara buatan yaitu dengan menggunakan air conditioning
udara dan kelembaban relatif udara yang benar sehingga merasa nyaman dan sehat.
Oleh karena itu, perlu pengkondisian udara sesuai standar yang telah ditetapkan. AC
berperan untuk mengatur suhu, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin sesuai
dengan yang diinginkan. Di samping itu AC juga menjadikan udara bersih dari debu,
melindungi peralatan, serta memberikan kenyamanan sehingga meningkatkan
produktivitas kerja dalam ruangan (Eddy, 2004).
Untuk menurunkan kelembaban relatif udara, dapat dilakukan dengan cara
menggunakan dehumidifier. Dehumidifier adalah proses yang dilakukan dengan
melewatkan udara pada alat desiccant yang berfungsi sebagai penyerap uap air dengan
menggunakan silica gel sehingga uap air yang berada dapam udara akan menerun
(Brundrett dalam Mucchammad, 2006).
Pengkondisian udara pada AC dilakukan dengan evaporator yang berada pada
bagian alat dalam ruangan (in-door). Apabila AC diaktifkan, maka kompresor bekerja
dan mengalirkan zat pendingin (refrigerant) ke evaporator. Evaporator didinginkan
oleh refrigerant dengan bantuan blower. Udara yang melewati evaporator, uap airnya
akan diembunkan pada sirip evaporator dan disalurkan keluar lewat pipa. Pengembunan
udara ini menyebabkan uap air udara dalam ruangan menjadi berkurang atau
kelembabannya menurun (Anonim, 2008).
2.3.4 Pengaruh Kelembaban Relatif Udara
Kelembaban relatif udara sangat penting diperhatikan mengingat kelembaban
ini sangat berpengaruh terhadap proses industri, kelangsungan hidup organisme, dan
kesehatan. Dalam industri pengawetan dan pemrosesan makanan atau minuman seperti
roti dan jenis kue membutuhkan kelembaban relatif antara 40 - 80%, penyimpanan
alat-alat listrik membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 70%, sedangkan industri
farmasi membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 50% (Carrier Air Conditioning
Company dalam Muchammad, 2006).
Olahraga dalam ruangan tertutup seperti olahraga bulutangkis, bola voli, tenis
indeks WBGT yang ditentukan oleh suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan
kecepatan hembusan angin. Indeks WBGT dapat dituliskan dengan persamaan
(Muchammad, 2006):
WBGT oC = 0,7 WB + 0,2 G + 0,1 DB (di luar ruangan)
WBGT oC = 0,7 WB + 0,3 G (di dalam ruangan)
di mana:
WB = suhu bola basah
G = suhu bola hitam
DB = suhu bola kering
Suhu lingkungan ditunjukkan oleh suhu thermometer bola kering, daya
pancaran matahari dan lingkungan ditunjukkan oleh thermometer bola hitam,
sedangkan kelembaban relatif udara ditunjukkan oleh thermometer bola kering dan
kecepatan angin (Megasari dan Juniani, 2010). Dari uraian tersebut, maka peran dari
kelembaban relatif udara terhadap indeks WBGT sangatlah penting. Hal ini dinyatakan
oleh (President Council on Physical Fitness and Sport (2007), bahwa kelembaban
relatif udara adalah faktor terpenting yang mempengaruhi kejadian heat stress. Hal ini
disebabkan karena apabila kelembaban relatif udara tinggi ditambah dengan tidak
adanya aliran udara maka evaporasi keringat sangat rendah, yang menyebabkan suhu
kulit meningkat. Tingginya suhu kulit menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh ke
permukaan kulit menjadi tidak lancer. Gagalnya konduksi panas dari inti tubuh ke kulit
dapat menyebabkan heat stress.
Selanjutnya Takarosha (2005) menyatakan, bahwa untuk menciptakan
kenyamanan dalam beraktivitas di dalam ruangan tertutup perlu diperhatikan suhu
udara, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin, serta faktor individual yang
menyangkut aklimatisasi, pakaian, jenis kelamin, usia, tingkat kesehatan, tingkat
kegemukan, warna kulit, serta minuman yang dikonsumsi.
Indeks WBGT sesuai dengan American Collage of Sport Medicin (ACSM)
serta kejadian yang dapat atau akan dialami oleh peserta yang beraktivitas baik di
dalam ruangan maupun dalam area terbuka (Fox, 1983). Kategori indeks WBGT
ditampilkan seperti Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kategori Indeks WBGT
No: Tanda/Status Indeks WBGT Keterangan
1 Merah / Risiko tinggi 23 – 28 oC Peserta harus waspada akan
kemungkinan kegawatan panas. Orang yang peka terhadap suhu dan kelembaban tinggi
sebaiknya tidak diikutkan.
2 Jingga / Risiko sedang 18 – 23 oC Perlu diingat bahwa indeks
WBGT meningkat sesuai perjalanan waktu.
3 Hijau / Risiko rendah 10 – 18 oC Masih tidak dapat menjamin
tidak terjadi kegawatan panas
4 Putih / Risiko Rendah Di bawah 10 oC Kemungkinan hyperthermia
kecil tetapi dapat terjadi hypothermia.
Sumber: Fox (1983)
Kecepatan angin dalam ruangan juga berperan untuk menyatakan kenyamanan
termal dalam ruangan. Semakin tinggi kelembaban dan suhu udara maka dibutuhkan
kecepatan angin yang semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Macfarlane dalam Huda dan Pandiangan (2012), merumuskan sebuah
persamaan untuk menentukan kecepatan angin yang dibutuhkan dengan memperhatikan
kelembaban relatif dan suhu lingkungan:
CV = 0,15 (DBT – 27,2 ((RH - 60)/10) X 0,56) m/dt
di mana:
CV = kecepatan hembusan angin yang dibutuhkan (m/dt)
DB = suhu bola kering (oC)
Kerlembaban Relatif udara berpengaruh langsung terhadap tekanan darah
sistolik dan tekanan darah diastolik. Hal ini dapat diterima karena pada kelembaban
relatif udara yang tinggi terjadi peneluaran cairan tubuh saat latihan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelembaban relatif yang rendah. Peningkatan ini disebabkan oleh
meningkatan kebutuhan darah ke kulit untuk mengeluarkan keringat (Fajrin dkk.,
2014). Hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya peningkatan tekanan darah saat
aktivitas fisik pada kelembaban relatif yang melebihi nilai ambang batas (NAB) adalah
penelitian Sugiyarto (2011), terhadap 42 pekerja yang diberikan tekanan panas dan
sebelum tekanan panas.
Peningkatan juga terjadi terhadap prekuensi denyut nadi latihan. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Purnomo dan Rizal (2000), terhadap 30 mahasiswa yang
berumur di atas umur 20 tahun yang diberikan latihan fisik pada suhu ruangan 22oC dan
27oC. Didapatkan semakin meningkat kelembaban relatif udara maka grekuensi denyut
nadi semakin meningkat, sebaliknya semakin menurun kelembaban relatif maka
frekuensi denyut nadi semakin menurun. Pernyataan lain yang mendukung adalah
Budiman dalam Jamaludin dkk. (2012), bahwa meningkatnya tekanan panas akan
meningkatkan frekuensi denyut nadi. Peningkatan frekuensi denyut nadi ini disebabkan
karena menurunnya cairan tubuh. Wikipedia (2014) menyatakan bahwa bila cairan
tubuh menurun sebanyak 2 - 6% akan meningkatkan kerja jantung, ditandai dengan
meningkatnya frekuensi denyut nadi.
Peningkatan suhu tubuh terjadi saat atau setelah melakukan aktivitas fisik.
Peningkatan suhu tubuh lebih tinggi terjadi apabila kelembaban relatif udara
meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guyton dan Hall (2012), bahwa suhu
tubuh akan meningkat mencapai 40 oC pada suhu dan kelembaban relatif udara yang
tinggi dan menurun mencapai 35,3 oC bila suhu dan kelembaban udara rendah.
Selanjutnya Wilmore dkk. (2008) menyatakan, bahwa meningkatnya kelembaban
relatif udara sangat berperan dalam peningkatan suhu tubuh dan menurunnya
Kelembaban relatif udara yang tinggi akan meningkatkan paparan panas, sebaliknya
pada kelembaban relatif yang rendah suhu kulit akan menurun. Penurunan suhu kulit
menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh meningkat dan tubuh menjadi lebih dingin
(Cameron dkk., 2012). Pendapat ini didukung oleh McArdle (2010), bahwa konduksi
panas dari inti tubuh ke kulit akan meningkat pada kelembaban yang rendah. Hal ini
disebabkan karena terjadinya penguapan keringat pada kulit yang menyebabkan
permukaan kulit menjadi dingin. Selanjutnya Janssen (1993) menyatakan, olahraga
dalam kelembaban udara tinggi akan meningkatkan pengeluaran keringat yang
berdampat terhadap peningkatan suhu tubuh.
Di samping terjadi peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut nadi, dan suhu
tubuh, latihan berkepanjangan pada kelembaban relatif tinggi juga meningkatkan kadar
asam laktat darah. Hal ini didukung oleh Sugiharto dan Sumartiningsih (2012), bahwa
meningkatnya frekuensi denyut nadi akan diikuti dengan peningkatan kadar asam laktat
darah. Peningkatan kadar asam laktat darah sangat berkaitan dengan peningkatan
viskositas darah setelah terjadinya pengeluaran keringat berlebih. Peningkatan
viskositas darah ini menyebabkan pasokan O2 ke bagisan tubuh yang aktif berkurang,
yang menyebabkan pasokan energi aerobik menurun dan pasokan energi anaerobik
meningkat. Peningkatan pasokan energi anaerobik akan meningkatkan asam laktat
darah (Purnomo, 2011). Selanjutnya Brun dkk (1995) melalui penelitiannya, setelah
latihan sepak bola dengan intensitas maksimum viskositas darah akan menurun.
Didapatkan terjadi hubungan antara viskositas darah dengan kadar asam laktat darah
dengan hubungan berbanding terbalik.
2.4 Cairan Tubuh
2.4.1 Pengertian Cairan Tubuh
Cairan tubuh (tissue fluid) adalah cairan suspensi dari tubuh yang berfungsi
mengangkut nutrisi baik karbohidrat, vitamin, dan mineral serta O2 ke sel-sel tubuh