BAB 5. PEMBAHASAN
5.5 Pengaruh Komponen Sosial dalam Pemberdayaan Keluarga melalui
Provinsi Sumatera Utara
Komponen sosial dalam hal penanganan pasien gangguan jiwa adalah
meningkatkan penggunaan dukungan jaringan formal atau informal untuk pasien dan
keluarga. Hasil penelitian menunjukkan persentase terbanyak pada kategori kurang
dan sedang yaitu masing-masing sebesar 38,5%. Dari seluruh pertanyaan tentang
komponen sosial ditemukan 51,3% responden yang tidak tahu tentang dukungan yang
diterima dari organisasi kesehatan jiwa dalam penanganan pasien gangguan jiwa.
Rendahnya pengetahuan responden tentang dukungan organisasi kesehatan jiwa
terkait dengan masih rendahnya dukungan dari organisasi sosial atau lembaga
pemerintah telah mengatur tentang hal tersebut dalam Kepmenkes No 220 tahun 2002
tentang pedoman umum tim Pembina, tim pengarah dan tim pelaksana kesehatan jiwa
masyarakat yang menyebutkan bahwa masalah kesehatan jiwa tidak dapat dan tidak
mungkin diatasi oleh pihak kesehatan jiwa saja, tetapi membutuhkan suatu kerjasama
yang luas secara lintas sektor, yang melibatkan berbagai departemen, termasuk peran
serta masyarakat dan kemitraan swasta.
Secara statistik pada analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara
pengetahuan tentang komponen sosial dalam pemberdayaan melalui edukasi dengan
kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.
Analisis multivariat menunjukkan besarnya kemungkinan atau nilai Odds Ratio (OR) sebesar 47,229, artinya bahwa besarnya kemungkinan (peluang) keluarga mampu merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Sumatera Utara pada keluarga yang mempunyai pengetahuan
komponen sosial kategori baik lebih besar 47 sampai 48 kali dibandingkan dengan
keluarga yang mempunyai pengetahuan komponen sosial kategori kurang.
Kembali ke rumah setelah dinyatakan sembuh dari sakit jiwa berbeda dengan
pulang sembuh dari rumah sakit non jiwa (umum). Beban lain perlu di atasi oleh
pasien yaitu rasa malu dan rendah diri karena stigma ’sakit ingatan’ yang pernah
diderita. Pasien merasa dirinya akan menjadi bahan gunjingan, mungkin jadi bahan
olokan, atau akan ditolak dalam kegiatan sosial dan kekhawatiran lepasnya peran
tersebut, bayangan dan perasaan negatif ini saja sudah cukup membebani pasien.
Keluarga harus segera menyadari hal ini dan melakukan perlindungan terhadap
perasaan negatif ini dengan menjadi yang terdepan memberi rasa aman, rasa positif,
rasa memerlukan pasien, bersikap terbuka. Perilaku minimal adalah anda jangan
berbisik-bisik dengan anggota keluarga lain atau orang lain di depan pasien. Hal ini
akan membuka peluang pasien untuk menciptakan prasangka negatif tentang dirinya,
menumbuhkan rasa curiga, dan akhirnya suasana tidak sehat karena hubungan dan
interaksinya tumbuh berdasarkan prasangka. Perilaku yang didasari prasangka
pastilah salah. Perilaku yang salah cenderung akan direspon salah jika tidak terjalin
suasana terbuka.
Selanjutnya keluarga sebagai lingkaran terdalam dari interaksi pasien
bertanggung jawab untuk melakukan ’edukasi’ terhadap komunitas lingkaran llebih
luar dari interaksi pasien dengan melakukan pendekatan-pendekatan melalui
kemungkinan kesempatan yang ada ataupun kesempatan yang direncanakan.
Mengidentifikasi dan mengenali orang penting pasien diluar keluarga dan
mengoptimalkan perannya dalam perubahan komunitas interaksi pasien. Sebelum
pasien tiba di rumah menjelaskan secara terbuka tentang apa yang terjadi dan peran
yang diharapkan atas mereka.
Permasalahan sosial yang dihadapi dalam penanganan penderita gangguan
jiwa di masyarakat adalah mispersepsi, sebagaimana dijelaskan Wicaksana (2008)
bahwa berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespon kehadiran
ketidaktahuan publik. Terdapat logika yang salah di masyarakat, kondisi mispersepsi
tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu percepatan
kesembuhan si penderita. Masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan
mental sebagai sampah sosial.
Salah satu upaya penting dalam pencegahan kekambuhan kembali adalah
dengan adanya dukungan sosial keluarga yang baik, baik dalam perawatan maupun
dalam pendampingan penderita gangguan jiwa berobat. Rendahnya dukungan sosial
keluarga terhadap anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa dapat dilihat
dari tingginya angka penderita gangguan jiwa. Hal ini disebabkan masih dianggapnya
penderita gangguan jiwa sebagai aib keluarga serta ketidakmampuan keluarga dalam
pentatalaksanaan penderita gangguan jiwa dalam keluarga (Notosoedirjo, 2005).
Nurdiana dkk. (2007), menyatakan bahwa keluarga berperan penting dalam
menentukan cara atau asuhan keperawatan yang diperlukan oleh pasien. Keluarga
memiliki fungsi strategis dalam meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya serta
pasien dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah
akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih
berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak
memiliki dukungan. Lingkungan keluarga berperan dalam merawat dan
meningkatkan keyakinan pasien akan kesembuhan dirinya dari skizofrenia sehingga
suasana di dalam keluarga yang mendukung akan menciptakan perasaan positif dan
berarti bagi pasien itu sendiri (Jenkins, et al 2006).
Mempunyai dukungan sosial yang kuat bagi penderita gangguan jiwa
merupakan salah satu kunci untuk hidup sehat. Termasuk disini adalah bisa
menghindar dari lingkungan yang tidak mendukung atau malahan merusak. Penderita
perlu mengurangi kontak dengan orang orang yang sering membuat orang lain jadi
merasa bersalah, malu atau mengecilkan hati. Penderita gangguan jiwa sebaiknya
perlu banyak memakai waktunya untuk bergaul dengan orang orang yang bisa
membuat perasaan menjadi tenteram dan menghargainya. Dukungan bagi penderita
gangguan jiwa harus dimulai dari rumah. Sangat penting untuk punya seseorang yang
bisa menolong atau mendukung ketika penderita gangguan jiwa sedang mengalami
krisis. perasaan terisolasi dan kesepian bisa mendorong terjadinya depresi.
Hasil penelitian Marsaulina (2012) di Badan Layanan Umum Daerah Rumah
Sakit Jiwa Medan menyimpulkan bahwa secara statistik dukungan sosial keluarga
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencegahan kekambuhan pasien
skizofrenia yang berobat jalan. Diperlukan penyuluhan bagi keluarga pasien
skizofrenia tentang pentingnya dukungan sosial keluarga, khususnya dukungan
emosional untuk proses kesembuhan dan pencegahan kekambuhan kembali.
Salah satu bentuk dukungan sosial yang penting diberikan kepada penderita
gangguan jiwa adalah dukungan dari aspek religius oleh tokoh-tokoh agama. Seperti
dinyatakan Fanani (2009) bahwa dengan kemajuan teknologi kedokteran saat ini
ditinjau dari faktor etiologi maupun faktor terapinya. Oleh karena itu, upaya untuk
menyempurnakan penyelesaian masalah gangguan jiwa terus dilakukan, sehingga
pada awal tahun 1980-an peran budaya, spiritual dan keagamaan mulai mendapat
perhatian. Sejak tahun 1994 secara resmi WHO memasukkan aspek spiritual sebagai
salah satu komponen dalam upaya memperoleh sehat jiwa, dan sejak itu konsep
holistik dilengkapi menjadi: bio-psiko-sosio-spiritual (Hawari, 2005).
Trujillo dan Kiresuk (2001) ketika membahas Cultural Psychiatry dalam Comprehensive Textbook of Psychiatry menyatakan bahwa faktor spiritualitas yang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa meliputi pelbagai aspek, termasuk di dalamnya
adalah aspek keagamaan. Juga dikatakan bahwa modalitas agama dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan keefektifan terapi personal nonspesifik terhadap pasien dengan
gangguan jiwa (Fanani, 2009).
Agama sangat penting dalam mengatasi masalah gangguan kejiwaan manusia
karena dengan agama manusia dibimbing dalam kehidupannya. Masalah gangguan
jiwa adalah akibat ketidakmapanan seseorang dalam berpersepsi dan
mengeksistensikan dirinya dalam kehidupan ini. Dengan agama orang akan positive thinking, self control & self esteem yang baik, memiliki cara penyelesaian masalah yang spesifik, sehingga daya tahan mentalnya menjadi lebih baik (Fanani, 2009).
5.6 Karakteristik Keluarga Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera