• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh komposisi bahan baku dan kondisi bahan terhadap kualitas Biobriket dan biopelet yang dihasilkan

4. Pengaruh komposisi bahan baku dan kondisi bahan terhadap kualitas Biobriket dan biopelet yang dihasilkan.

Pada proses pembuatan biobriket, rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, faktor pertama komposisi perbandingan antara ampas kopi dan cangkang biji kopi dengan 5 taraf, sedangkan faktor kedua merupakan variasi kondisi bahan baku yang digunakan sebanyak 2 taraf. Ulangan dilakukan sebanyak 2 kali, sehingga total percobaan sebanyak 20 unit. Faktor A merupakan perbandingan komposisi yang digunakan adalah sebagai berikut :

13 a. A1 = 100% arang ampas kopi

b. A2 = 25% arang ampas kopi + 75% arang cangkang biji kopi. c. A3 = 50% arang ampas kopi + 50% arang cangkang biji kopi. d. A4 = 75% arang ampas kopi + 25% arang cangkang biji kopi. e. A5 = 100% arang cangkang biji kopi.

Faktor B merupakan kondisi bahan baku yang digunakan pada proses pembuatan biopelet yaitu sebagai berikut :

a. B1 = Ampas kopi (AK) : cangkang biji kopi yang dipirolisis pada suhu 200oC (KK 200).

b. B2 = Arang ampas kopi (AAK): cangkang biji kopi yang dipirolisis pada suhu 400oC (KK 400)

14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ampas kopi dan cangkang biji kopi merupakan bahan baku pembuatan biopelet dan biobriket, dan tepung kanji digunakan bahan perekat, ketiga bahan tersebut terlebih dahulu dianalisa. Kedua bahan baku ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisa bahan baku ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik ampas kopi dan cangkang biji kopi yang akan digunakan. Hasil karakterisasi ketiga bahan dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Karakteristik bahan baku awal biopelet dan biobriket

Karakteristik Ampas Kopi Cangkang biji kopi Perekat (Tepung Tapioka) Kadar Air (%) 8 13,44 13,1

Kadar Zat Mudah Menguap (%)

71 60,9 83,6

Kadar Abu (%) 2,3 4,2 0,15

Kadar Karbon Terikat (%) 18,7 21,4 3,16

Nilai Kalor (Kal/gr) 4474 4019.33 250

Kedua bahan baku tersebut kemudian digiling dan disaring dengan menggunakan saringan 60 mesh, bahan yang digunakan merupakan bahan yang lolos ayakan 60 mesh. kondisi bahan baku yang lolos ayakan 60 mesh dapat dilihat pada lampiran 1. Proses pengkonversian biomassa dapat dilakukan dalam beberapa proses. Proses yang umum digunakan yaitu densifikasi, gasifikasi, anaerobic digestion dan pirolisis. Proses densifikasi menggunakan metode kompresi untuk memproduksi pelet atau briket sehingga bisa meningkatkan nilai kalor per volume dan untuk mendapatkan bentuk seragam sehingga memudahkan dalam proses akomodasi untuk penyimpanan dan distribusi. Gasifikasi adalah pengubahan bahan cair atau bahan padat menjadi bahan bakar cair dengan suhu tinggi dan menghasilkan hidrogen yang langsung dapat digunakan pada tungku. Anaerobic digestion adalah proses konversi biomassa menggunakan mikroorganisme dalam kondisi anaerob dan menghasilkan metana dan karbon dioksida. Proses pirolisis merupakan pengubahan biomassa ke arang pada suhu tinggi didalam suatu tungku, proses ini merupakan proses dekomposisi kimia tanpa membutuhkan oksigen. (Kusumaningrum dan Munawar 2014).

Pirolisis merupakan tahap awal dalam pembakaran, dapat difenisikan sebagai thermal degradation (de-volatization) dalam ruangan yang tidak mendapatkan aliran udara masuk. Pada suhu antara 200oC- 600oC merupakan suhu proses pirolisis berlangsung. Arang (Char), tar dan sedikit gas (CO dan CO2) merupakan produk hasil proses pirolisis. Variabel-variabel yang mempengaruhi jumlah dan sifat dari produk yang terbentuk antara lain tipe bahan bakar, temperatur, tekanan, laju pemanasan dan waktu reaksi (Saparuddin et al. 2015). Azhar dan Rustamadji (2009) menyatakan bahwa proses torefaksi merupakan pengolahan secara termal terhadap biomassa pada temperatur 230oC-280oC dalam keadaan vakum udara dan dalam waktu yang singkat, pada proses ini yang terdegradasi adalah hemiselulosa, sedangkan kandungan lignin dan selulosanya tetap. Biomassa yang telah

15 mengalami proses torefaksi memiliki beberapa kelebihan yaitu kadar airnya menjadi rendah, sedikit mengeluarkan asap dan nilai panasnya meningkat.

Saparuddin et al. 2015 menjelaskan bahwa proses pirolisis dibagi menjadi 2, yaitu: fast pirolysis dan slow pirolysis. Fast pirolysis adalah proses yang mana biomassa dipanaskan dengan cepat ke temperatur 450°C-600°C dalam kondisi tanpa udara. Laju pemanasannya mencapai 100°K/dt. Pada kondisi ini akan menghasilkan uap organik, gas pirolisis dan bioarang. Pada proses ini 70% berat biomassa dirubah menjadi biooil, sedangkan slow pirolysis adalah suatu metode yang sesuai untuk meningkatkan kualitas biomassa sebagai bahan bakar. Slow pirolysis adalah proses yang mana biomassa dipanaskan dengan laju temperatur yang lambat dalam inert atmosphere ke temperatur maksimum 300°C. Proses ini juga disebut dengan mild pirolysis yaitu menghilangkan kandungan produksi asap dan pembentukan produk yang solid. Pada proses ini dapat dihasilkan solid uniform product dengan kandungan air yang rendah dan kandungan energi yang lebih tinggi dari biomassa awal. Metode ini akan mendapatkan produk dengan ± 70% dari berat awal dan 90% dari kandungan energi biomassa awal.

Penelitian ini menggunakan kombinasi jenis bahan baku untuk pembuatan biopelet dan biobriket. Ampas kopi dan cangkang biji kopi dikondisikan sesuai dengan kombinasi yang terdapat pada Gambar 1. Kedua bahan baku ini dipirolisis pada suhu yang berbeda. Ampas kopi diarangkan pada suhu 400oC untuk selanjutnya akan disingkat AAK, sedangkan cangkang biji kopi diarangkan pada dua kondisi temperatur yang berbeda yaitu 200oC dan 400oC. Cangkang biji kopi yang diarangkan pada suhu 200oC selanjutnya disingkat dengan KK 200, sedangkan cangkang biji kopi yang diarangkan pada suhu 400oC akan disingkat dengan KK 400. Hasil pengarangan kemudian dikarakteristik yang terdapat pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Karakteristik bahan baku arang ampas kopi dan arang cangkang biji kopi.

Karakteristik AAK KK 200 KK 400

Kadar Air (%) 4,78 3,97 2,62

Kadar Zat Mudah Menguap (%)

24,60 76,50 24,82

Kadar Abu (%) 15,56 2,99 7,76

Kadar Karbon Terikat (%) 55,05 16,5 64,79

Nilai Kalor (Kal/gr) 6.922,54 4.896,337 6.656,63 Dari hasil pengarangan cangkang biji kopi pada suhu 200oC (KK 200) terjadi perubahan warna menjadi kecoklatan tapi belum berupa arang, sedangkan cangkang biji kopi yang mengalami pengarangan pada suhu 400oC (KK 400) mengalami perubahan warna menjadi hitam berupa arang. Gambar 4 menunjukkan kondisi hasil pengarangan bahan baku. Thoha dan Fajrin (2010) menjelaskan bahwa proses pirolisis merupakan proses pembakaran biomasaa pada kondisi tanpa oksigen yang berfungsi untuk menaikkan nilai kalor dari biomassa. Proses ini bertujuan untuk melepaskan kadar zat mudah menguap (volatile matter) yang terkandung pada biomassa, sedangkan karbonnya tetap tinggal. Faktor suhu pada pirolisis akan sangat berpengaruh terhadap kualitas arang yang dihasilkan. Besarnya rendemen ampas kopi yang terkonversi menjadi arang pada suhu pirolisis

16

400oC sebesar 38,12% sedangkan rendemen cangkang biji kopi yang terkonversi menjadi arang pada proses pirolisis pada suhu 200oC yaitu sebesar 84,35% dan pada cangkang biji kopi yang terkonversi menjadi arang pada proses pirolisis pada suhu 400oC menghasilkan rendemen sebesar 31,57%.

(a) (b)

(c)

Gambar 4. (a) Cangkang biji kopi hasil pengarangan 200oC (b) Cangkang biji kopi hasil pengarangan 400oC (c) Ampas kopi hasil pengarangan 400oC

Hasil penelitian yang terdapat pada Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa seiring dengan kenaikan suhu pada proses pirolisis terjadi penurunan kadar air dan kadar zat mudah menguap pada ampas kopi dan cangkang biji kopi. Kadar air yang terdapat pada ampas kopi mentah yaitu sebesar 8%, sedangkan kadar air sebesar 4,78% terdapat pada arang ampas kopi (AAK) yang mengalami pirolisis pada suhu 400oC. Penurunan kadar air juga terjadi pada cangkang biji kopi dari kondisi mentah sebesar 13,44% menjadi 3,97% pada kondisi pirolisis pada suhu 200oC (KK 200) dan semakin mengecil pada kondisi arang yaitu pirolisis pada suhu 400oC (KK 400).

Hal yang sama juga terjadi pada kadar zat mudah menguap, terjadi penurunan seiring dengan kenaikan suhu pada proses pirolisis kedua bahan baku. Pada kondisi mentah kadar zat mudah menguap ampas kopi sebesar 71% sedangkan pada AAK (arang ampas kopi) dengan kondisi pirolisis suhu 400oC menjadi 24,60%. Cangkang biji kopi mentah mempunyai kadar zat mudah menguap sebesar 60,9% sedangkan pada kondisi KK 400 menjadi 24,82%. Hal ini disebabkan oleh karena karbon yang terdapat pada bahan telah mengalami proses devotilisasi selama proses pirolisis pada suhu yang lebih tinggi. Hal yang berbeda terjadi pada kadar abu, kadar karbon terikat dan nilai kalor dimana terjadi peningkatan seiring dengan

17 kenaikan temperatur pirolisis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saparuddin et al. (2015).

Kusumaningrum dan Munawar (2014) menjelaskan bahwa kriteria bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil didasarkan kepada kelayakan ekonomis, ramah lingkungan, berkelanjutan, dan kelayakan teknis. Biopelet dari biomassa yang diproduksi dengan menggunakan proses densifikasi dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk pengganti bahan bakar padat seperti batu bara. Karakterisasi biopelet campuran limbah ampas kopi dan cangkang biji kopi yaitu analisis proximat yang terdiri dari kadar air, kadar abu, kadar zat mudah menguap (volatile matter), nilai kalor, kadar karbon terikat (fixed carbon), kerapatan (densitas) dan keteguhan tekan. Hasil karakterisasi ini dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia 8021:2014 tentang pelet kayu, dimana persyaratannya antara lain kadar air maksimum sebesar 12%, kerapatan minimum sebesar 0,8 g/cm3, kadar abu maksimum 1,5%, nilai maksimum zat yang mudah menguap sebesar 80%, kadar karbon minimal sebesar 14%, dan nilai kalor minimal sebesar 4000 kal/g. Karakterisasi biobriket campuran arang ampas kopi dengan arang cangkang biji kopi akan dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia 01-6235-2000 tentang briket arang kayu, dimana persyaratannya antara lain kadar air maksimum sebesar 8%, kadar abu maksimum 8%, nilai maksimum zat yang mudah menguap sebesar 15%, dan nilai kalor minimal sebesar 5000 kal/g.

Biopelet Campuran Ampas Kopi dan Cangkang biji kopi

Dari hasil penelitian diperoleh kadar air pada biopelet berkisar antara 2%-4%. Kadar air tertinggi diperoleh pada perbandingan komposisi ampas kopi dan cangkang biji kopi sebesar (25:75) dengan konsentrasi perekat sebanyak 20% yaitu sebesar 4,33%. Kadar air terendah sebesar 2,54% diperoleh pada komposisi (0:100) pada konsentrasi 20%. Pada konsentrasi perekat 10%, kadar air terendah diperoleh pada komposisi campuran ampas kopi dan cangkang biji kopi (75:25) yaitu sebesar 2,706%. Perlakuan konsentrasi perekat 20% untuk setiap komposisi memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi perekat yang lain. Gambar 5 menunjukkan kadar air rata- rata pada biopelet. Siregar et al. (2015) menyatakan bahwa perbedaan komposisi campuran pada masing- masing perlakuan menghasilkan jumlah pori pada permukaan biopelet yang berbeda. Hal ini juga disebabkan karena bahan baku biopelet memiliki pori yang lebih banyak dan masih mengandung komponen– komponen kimia seperti selulosa, lignin dan hemiselulosa. Hasil perhitungan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor komposisi bahan dan faktor konsentrasi perekat memberikan pengaruh nyata sedangkan interaksi kedua faktor menunjukkan perbedaan yang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air biopelet yang dihasilkan.

Budiawan et al. (2014) menjelaskan bahwa tingginya kadar air disebabkan oleh perbedaan luas permukaan dari cangkang biji kopi, dimana cangkang biji kopi mempunyai luas permukaan yang lebih besar daripada ampas kopi, semakin besar luas permukaan butiran serbuk cangkang biji kopi menyebabkan semakin mudah untuk mengikat air yang terdapat pada udara. Kadar air yang tinggi juga bisa disebabkan oleh proses pengeringan bahan yang belum sempurna, hal ini bisa terjadi karena waktu pengeringan yang belum tercukupi. Ukuran partikel bahan

18

penyusun biopelet dapat mempengaruhi kadar air yaitu, dimana semakin halus partikelnya semakin banyak menyerap air begitu juga sebaliknya (Usman 2007). Dari semua perlakuan kadar air rata – rata pada biopelet masih memenuhi standar SNI 8021:2014 dikarenakan berada dibawah kadar air maksimal yaitu sebesar 12 %. Munawar dan Subiyanto (2014) juga menjelaskan bahwa semakin rendah kadar air akan membuat pengapian pada biopelet lebih cepat dan menjadikan umur simpan biopelet lebih lama dikarenakan apabila kadar air tinggi pada bioplet dapat menyebabkan pertumbuhan jamur selama penyimpanan.

Gambar 5. Kadar air rata – rata biopelet ampas kopi dan cangkang biji kopi pada berbagai komposisi campuran dan konsentrasi perekat.

Kadar zat mudah menguap biopelet bervariasi antara 70% -75%. Kadar zat mudah menguap terendah yaitu 70,43% diperoleh dari perlakuan biopelet dengan komposisi 100% ampas kopi dengan konsentrasi perekat sebanyak 10%, pada konsentrasi perekat yang sama untuk komposisi campuran ampas kopi dan cangkang biji kopi (75:25) diperoleh nilai kadar zat menguap sebesar 71,852. Kadar zat mudah menguap tertinggi sebesar 75,72 % diperoleh dari komposisi 100% ampas kopi pada konsentarasi perekat 20%. Pada Gambar 6 juga terlihat kecenderungan nilai kadar zat mudah menguap rata- rata pada biopelet relatif tetap dengan konsentrasi perekat dan perbandingan komposisi campuran yang berbeda, tetapi nilai kadar zat mudah menguap masih memenuhi SNI 8021:2014 karena berada di bawah nilai maksimum yang ditetapkan yaitu sebesar 80%. Nilai kadar zat mudah menguap biopelet ampas kopi dan cangkang biji kopi nilainya cukup tinggi yang diperoleh dari penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulfian et al. (2015) yang disebabkan bahan baku biopelet tidak mengalami proses pirolisis sehingga zat mudah menguap yang dihasilkan relatif tinggi dan menghasilkan asap yang cukup banyak.

Tinggi rendahnya kadar zat mudah menguap dipengaruhi oleh komponen kimia dari bahan baku biopelet seperti zat ekstraktif dari bahan baku (Usman 2007). Hal yang sama juga dijelaskan oleh Sudiro dan Suroto (2014) dimana kadar zat mudah menguap pada biopelet merupakan senyawa-senyawa selain air, abu dan karbon. Zat yang menguap terdiri dari unsur hidrogen, hidrokarbon CO2 - CH4, metana dan karbon monoksida. Adanya unsur hidrokarbon (alifatik dan aromatik) akan menyebabkan makin tinggi kadar zat yang mudah menguap sehingga biopelet

0 2 4 6 8 10 12 (0:100) (25:75) (50:50) (75:25) (100:0) K adar A ir ( % )

Komposisi Campuran Ampas Kopi dan Cangkang Biji Kopi

10% 20% 30%

Standar Mutu SNI (Maks 12%)

19 akan menjadi mudah terbakar karena senyawa alifatik dan aromatik ini mudah terbakar. Pada penelitian ini kadar zat mudah menguap memiliki nilai yang cukup tinggi yang disebabkan oleh banyaknya senyawa alifatik dan senyawa aromatik yang terdapat di dalam ampas kopi.

Gambar 6. Kadar zat mudah menguap rata – rata biopelet ampas kopi dan cangkang biji kopi pada berbagai komposisi campuran dan konsentrasi perekat. Kadar abu biopelet campuran ampas kopi dan cangkang biji kopi bervariasi antara 2,7% sampai 4,5%. Kadar abu terendah sebesar 2,72% diperoleh dari perlakuan kombinasi ampas kopi dan cangkang biji kopi sebanyak (25:75) dengan konsentrasi perekat 20%, pada konsentrasi perekat yang sama pada komposisi (100:0) diperoleh kadar abu yang tertinggi yaitu sebesar 4,54%. Nilai kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini tidak memenuhi syarat (SNI 8021:2014) karena melebihi nilai kadar abu maksimal sebesar 1,5%.

Lamanda et al. (2015) menjelaskan bahwa kadar abu antara lain dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan dimana jumlah mineral setiap jenis bahan baku berbeda. Ampas kopi dan cangkang biji kopi merupakan bahan baku yang banyak mengandung zat ekstraktif yang tinggi, sehingga kandungan mineral-mineral dalam abu cukup tinggi seperti kalsium dan lainnya, sehingga pada proses pembakaran biopelet tersebut banyak meninggalkan abu sebagai sisa pembakaran. Kadar abu yang tinggi dapat mempengaruhi nilai kalori suatu biopelet. Sumangat dan Wisnu (2009) menjelaskan bahwa abu merupakan bagian yang tersisa dari proses pembakaran sudah tidak memiliki unsur karbon lagi. Unsur utama abu adalah silika dan pengaruhnya kurang baik terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka semakin rendah kualitas biopelet karena kandungan abu yang tinggi dapat menurunkan nilai kalor biopelet. Pada Gambar 7 terlihat turun naiknya nilai kadar abu biopelet yang diperoleh. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryono et al. (2013) yang menyatakan bahwa kadar abu meningkat dengan meningkatnya kadar perekat kanji yang digunakan dan kadar abu sebanding dengan kandungan bahan anorganik yang terdapat di dalam biopelet.

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor komposisi bahan memberikan pengaruh nyata, sedangkan faktor konsentrasi perekat dan interaksi kedua faktor memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kadar abu biopelet yang

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 (0:100) (25:75) (50:50) (75:25) (100:0) K adar Z at Muda h Me nguap (% )

Komposisi Campuran Ampas Kopi dan Cangkang Biji Kopi

10% 20% 30%

Standar Mutu SNI (Maks 80%)

20

dihasilkan. Penambahan bahan perekat akan memberikan penambahan nilai kadar abu pada biopelet, namun bahan perekat harus tetap digunakan dikarenakan biopelet yang tidak menggunakan bahan perekat akan menghasilkan kerapatannya rendah yang akan menyebabkan biopelet akan mudah hancur sehingga sukar dijadikan sebagai bahan bakar. Kadar abu yang tinggi akan menimbulkan kerak serta dapat menurunkan kualitas biopelet yang dihasilkan yang disebabkan oleh penurunan nilai kalor dan laju pembakaran dari biopelet (Maryono et al. 2013).

Gambar 7. Kadar abu rata – rata biopelet ampas kopi dan cangkang biji kopi pada berbagai komposisi campuran dan konsentrasi perekat.

Pada gambar 8 dapat dilihat nilai kadar karbon terikat biopelet ampas kopi dan cangkang biji kopi yang dihasilkan berkisar antara 16,06-22,30%. Nilai kadar karbon terikat terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi perekat 20% dengan komposisi ampas kopi dan kulit ari biji kopi (100:0) yaitu sebesar 16,06 % pada komposisi yang sama dengan konsentrasi perekat 10% diperoleh nilai kadar karbon terikat yang tertinggi. Pada perlakuan konsentrasi perekat 10% dan komposisi campuran (75:25) diperoleh nilai 21,62%. Nilai kadar karbon terikat rata - rata dari biopelet campuran ampas kopi dan cangkang biji kopi masih memenuhi persyaratan SNI 8021:2014 dikarenakan berada diatas nilai minimal kadar karbon terikat yaitu sebesar 14%. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor komposisi bahan dan faktor konsentrasi perekat memberikan pengaruh tidak nyata sedangkan interaksi kedua faktor menunjukkan perbedaan yang berpengaruh nyata terhadap nilai kadar karbon terikat biopelet yang dihasilkan. Zulfian et al. (2015) menjelaskan bahwa nilai kadar zat mudah menguap dan kadar abu mempengaruhi nilai kadar karbon terikat, semakin tinggi nilai kadar zat mudah menguap maka nilai kadar karbon terikat akan semakin rendah, begitu juga dengan sebaliknya. Hal yang sama juga terjadi dengan kadar abu, semakin tinggi kadar abu maka nilai karbon terikat juga akan semakin rendah. Kadar karbon terikat merupakan salah satu penentu baik tidaknya kualitas biopelet. Kadar karbon terikat yang tinggi menunjukkan kulitas biopelet yang baik dan begitu juga sebaliknya.

Dari hasil penelitian, nilai keteguhan tekan pada setiap perlakuan dapat dilihat pada gambar 9. Nilai keteguhan tekan bervariasi diantara 5-14%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keteguhan tekan tertinggi sebesar 14,06% diperoleh pada

0 2 4 6 (0:100) (25:75) (50:50) (75:25) (100:0) K adar A bu (% )

Komposisi Campuran Ampas Kopi dan Cangkang Biji Kopi

10%

20%

30%

Standar Mutu SNI (Maks 1,5%)

21 kombinasi perlakuan kombinasi ampas kopi dan cangkang biji kopi (100:0) dengan konsentrasi perekat sebesar 30%. Keteguhan tekan terendah dengan nilai 4,80% diperoleh dari perlakuan dengan komposisi (25:75) pada konsesntrasi perekat 20%.

Gambar 8. Kadar karbon terikat rata – rata biopelet ampas kopi dan cangkang biji kopi pada berbagai komposisi campuran dan konsentrasi perekat. .

Gambar 9. Keteguhan tekan rata – rata biopelet ampas kopi dan cangkang biji kopi pada berbagai komposisi campuran dan konsentrasi perekat.

Hasil perhitungan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor komposisi bahan, konsentrasi perekat dan interaksi kedua faktor memberikan pengaruh nyata terhadap keteguhan tekan biopelet yang dihasilkan. Keteguhan tekan biopelet merupakan kemampuan biopelet untuk memberikan daya tahan atau kekompakan biopelet terhadap pecah atau hancurnya biopelet jika diberikan beban pada biopelet tersebut. Nilai keteguhan tekan sangat dipengaruhi oleh jenis bahan, ukuran partikel, dersitas partikel, jenis perekat, tekanan pemampatan, dan kerapatan produk. Semakin tinggi nilai kerapatan suatu produk, maka semakin tinggi pula nilai keteguhan tekan yang dihasilkan (Siregar et al. 2015). Pada komposisi campuran ampas kopi dan cangkang biji kopi (0:100) dapat dilihat bahwa seriring dengan penambahan konsentrasi perekat maka nilai keteguhan tekan yang dihasilkan semakin besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

0 5 10 15 20 25 (0:100) (25:75) (50:50) (75:25) (100:0) K adar K ar bon Teri kat ( % )

Komposisi Campuran Ampas Kopi dan Cangkang Biji Kopi

10%

20%

30%

Standar Mutu SNI (Min.14%) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 (0:100) (25:75) (50:50) (75:25) (100:0) K et eguhan Tekan (K g/ cm 2)

Komposisi Campuran Ampas Kopi dan Cangkang Biji Kopi

10%

20%

22

Utomo dan Primastuti (2013) yang menyatakan bahwa semakin banyak konsentrasi perekat yang digunakan akan menghasilkan daya tahan terhadap benturan yang lebih kuat. Sumangat dan Wisnu (2009) menjelaskan bahwa semakin besar nilai kekuatan tekan berarti daya tahan atau kekompakan biopelet semakin baik. Penambahan kadar perekat akan menambah ikatan yang lebih kuat antara perekat dengan bahan pada biopelet. Semakin tinggi konsentrasi perekat ada kecenderungan semakin tinggi kekuatan pecahnya. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya kadar perekat maka ikatan partikel bahan semakin kuat.

Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai kerapatan biopelet yang diperoleh berkisar antara 0,8-1,1 g/cm3. Nilai kerapatan yang paling tinggi diperoleh pada perlakuan kombinasi perbandingan ampas kopi dan cangkang biji kopi (0:100) pada konsentrasi perekat 10% dan nilai kerapatan yang terendah diperoleh pada komposisi yang sama dengan konsentrasi perekat yang berbeda yaitu sebesar 30%. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor komposisi bahan, konsentrasi perekat dan interaksi kedua faktor memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kerapatan biopelet yang dihasilkan. Nilai kerapatan rata-rata biopelet campuran ampas kopi dan cangkang biji kopi memenuhi persyaratan SNI 8021:2014 dikarenakan berada diatas nilai minimun yaitu sebesar 0,8 g/cm3. Jittabuta (2015) juga menjelaskan bahwa kerapatan juga dipengaruhi oleh perbandingan komposisi bahan penyusun biopelet.

Gambar 10. Kerapatan rata – rata biopelet ampas kopi dan cangkang biji kopi pada berbagai komposisi campuran dan konsentrasi perekat.

Perbandingan antara berat dan volume biopelet menunjukkan nilai kerapatan dari suatu biopelet. Nilai kerapatan sangat dipengaruhi oleh ukuran dan kehomogenan bahan penyusun biopelet tersebut. Hal ini sesuai dengan Budiyanto

et al. (2014) yang menyatakan bahwa ukuran cangkang biji kopi cenderung lebih halus dan seragam yang mengakibatkan ikatan antar partikel lebih maksimal, sehingga menyebabkan kecenderungan untuk terdapatnya ruang-ruang kosong antar partikel sangat kecil. Partikel ampas kopi yang ukurannya lebih kasar dan tidak seragam memungkinkan turunnya nilai kerapatan biopelet, dikarenakan ikatan antar partikelnya tidak maksimal. Proses pengempaan dan penambahan perekat

Dokumen terkait