• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rataan rendemen penggilingan pada berbagai konfigurasi mesin penggilingan dan varietas padi dapat dilihat pada Tabel 10. Melalui data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa rendemen terbesar berdasarkan varietas adalah beras dengan varietas Cibogo, dilanjutkan dengan Ciherang, dan terendah adalah Hibrida. Jika dibandingkan dari konfigurasi mesin giling yang digunakan, maka konfigurasi H-S-P menghasilkan rendemen penggilingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan konfigurasi 2H-2P dan secara rata-rata, konfigurasi H-S-P memiliki rendemen tertinggi, yaitu sebesar 64.26%. Namun, penggilingan padi dengan konfigurasi H-2S-2P memberikan rendemen tertinggi untuk varietas Cibogo, yaitu sebesar 67.97%.

Tabel 10. Rendemen Lapang pada Berbagai Konfigurasi Mesin Penggilingan dan Varietas Padi

Varietas Perlakuan (%) Rata-rata Rendemen (%) 2H-2P H-S-P H-2S-2P Ciherang 62.15 62.96 62.73 62.61 Hibrida 59.91 62.04 60.39 60.78 Cibogo 67.67 67.77 67.97 67.81 Rata-rata (%) 63.25 64.26 63.70

Menurut Tjahjohutomo (2004), peningkatan rendemen giling akan mencapai 2.5%-5% jika konfigurasi penggilingan padi disempurnakan dari Husker-Polisher menjadi Dryer-Cleaner-Husker-Separator-Polisher (D-C-H-S-P). Berdasarkan data yang telah diperoleh (Tabel 10), menunjukkan bahwa penambahan alat pemisah gabah (separator) terbukti mampu meningkatkan rendemen penggilingan sebesar rata-rata 1.01%. Jika penggunaan alat separator ini sudah optimal maka diharapkan akan terus terjadi peningkatan rendemen penggilingan. Pada penggilingan beras HR (PB HR) ini,

35 penggunaan dryer belum optimal dan hanya dilakukan ketika tidak ada sinar matahari sehingga peningkatan rendemen belum mencapai 2.5%. Rendemen penggilingan diharapkan akan lebih tinggi jika dryer digunakan secara optimal dan ditambah dengan alat cleaner.

Besarnya rendemen penggilingan dari ketiga varietas padi dan konfigurasi mesin giling dapat dibandingkan secara sederhana seperti pada Gambar 14. Pada gambar tersebut dapat dilihat secara jelas adanya perbedaan rendemen pada masing-masing varietas. Varietas Cibogo menghasilkan rendemen tertinggi sebesar rata-rata 67.81%, sedangkan rendemen terendah dihasilkan oleh varietas Hibrida, yaitu rata-rata sebesar 60.78%. Perbedaan yang cukup tinggi ini disebabkan antara lain oleh sifat genetik dari masing-masing varietas, penanganan pra penggilingan, kualitas gabah sebelum digiling, dan lain-lain.

Gambar 15. Rendemen Lapang pada Berbagai Konfigurasi Mesin Penggilingan dan Varietas Padi

Permasalahan rendemen dan mutu giling juga tidak terlepas dari aspek budidaya padi (good farming practice) yang meliputi sifat genetik (varietas) dan perlakuan saat budidaya (benih, pupuk, penyiapan lahan, pemberantasan hama dan gulma, dan irigasi) yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap rendemen yang dihasilkan. Selain itu, cara dan ketepatan proses panen, faktor iklim dan cuaca, waktu panen, dan

36 penanganan pascapanen yang tepat serta kualitas fisik gabah juga berpengaruh langsung terhadap rendemen beras giling yang dihasilkan (Tjahjohutomo, 2004).

Padi varietas Cibogo dipanen pada waktu panen yang tepat, berbeda dengan Ciherang yang dipanen relatif muda dan Hibrida yang dipanen telah lewat matang. Padi varietas Ciherang dipanen lebih awal dikarenakan banyaknya hama tikus dan adanya pencurian oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Hasilnya adalah banyaknya butir gabah hijau dan mengapur pada varietas Ciherang. Gabah muda ini menyebabkan rendemen penggilingan menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan Cibogo padahal berasal dari induk yang hampir sama, yaitu IR64. Sedangkan Hibrida dipanen lewat matang karena terbatasnya tenaga panen untuk memanen banyak sawah pada musim panen raya ini. Gabah yang dipanen lewat matang ini kemudian mudah rontok di lahan dan mudah pecah saat digiling. Gabah yang mudah pecah saat digiling akan berpotensi menghasilkan menir lebih banyak yang kemudian dapat mudah terikut dengan lapisan bekatul. Hal ini merupakan salah satu penyebab menurunnya rendemen penggilingan.

Kondisi teknis yang terjadi pada saat proses penggilingan juga mempengaruhi besarnya perbedaan rendemen penggilingan pada masing-masing konfigurasi mesin penggilingan dan varietas padi. Pada saat penggilingan padi varietas Ciherang ternyata kondisi poros husker sudah agak aus sehingga diperlukan penggantian poros yang baru, sedangkan ketika penggilingan padi varietas Hibrida dan Cibogo sudah menggunakan poros yang baru sehingga kerja husker lebih maksimal. Keahlian operator penggilingan juga memberikan pengaruh terhadap rendemen penggilingan yang dihasilkan.

Berdasarkan analisis sidik ragam (anova) seperti pada Lampiran 5, menunjukkan bahwa konfigurasi mesin penggilingan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen penggilingan lapang. Sedangkan hasil analisa terhadap varietas padi menunjukkan bahwa varietas padi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rendemen penggilingan lapang (p<0.05). Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa varietas Cibogo secara sangat nyata memiliki

37 rendemen lapang tertinggi diikuti dengan Ciherang dan Hibrida (Tabel 12). Varietas padi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rendemen penggilingan yang dihasilkan dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya kualitas fisik gabah masing-masing varietas yang berbeda, waktu panen dan waktu tunggu yang berbeda, faktor iklim dan cuaca serta penanganan pascapanen yang berbeda pula.

Pengukuran rendemen penggilingan juga dilakukan di Laboratorium Balai Besar Pengembangan Pascapanen Pertanian. Rendemen penggilingan laboratorium ini digunakan sebagai pembanding atau kontrol untuk menentukan besarnya susut penggilingan. Data rendemen laboratorium dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rendemen Laboratorium pada Berbagai Konfigurasi Mesin Penggilingan dan Varietas Padi

Varietas Perlakuan (%) Rendemen (%) Rata-rata 2H-2P H-S-P H-2S-2P

Ciherang 65.99 66.35 65.79 66.04

Hibrida 62.87 64.83 63.72 63.81

Cibogo 69.23 69.26 69.15 69.21

Rata-rata (%) 66.03 66.81 66.22

Rendemen laboratorium memiliki nilai yang lebih besar dibanding dengan rendemen lapang dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya mesin yang digunakan di laboratorium memiliki ketelitian yang lebih tinggi dibanding dengan mesin penggilingan di lapang yang kapasitasnya lebih besar. Selain itu potensi gabah atau beras yang tercecer di lapang jauh lebih besar dibanding dengan di laboratorium, bahkan untuk penggilingan di laboratorium diasumsikan tidak ada gabah atau beras yang tercecer.

Perbandingan besarnya rendemen laboratorium pada masing-masing konfigurasi mesin penggilingan dan varietas padi sama dengan rendemen lapang dimana konfigurasi H-S-P adalah paling tinggi, dilanjutkan konfigurasi H-2S-2P dan 2H-2P, namun dengan perbedaan yang kecil. Jika dilihat dari varietas padi, maka varietas Cibogo memiliki rendemen

38 laboratorium yang juga terbesar, yaitu rata-rata sebesar 69.21%, dilanjutkan dengan Ciherang 66.04% dan Hibrida 63.81%.

Perbandingan besarnya rendemen penggilingan di laboratorium untuk ketiga konfigurasi mesin penggilingan dan varietas padi dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 16. Rendemen Laboratorium pada Berbagai Konfigurasi Mesin Penggilingan dan Varietas Padi

Rendemen penggilingan laboratorium menunjukkan indikasi yang sama dengan rendemen lapang bahwa konfigurasi mesin giling tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen penggilingan. Namun, varietas padi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rendemen penggilingan (p<0.05) seperti pada Lampiran 6. Berdasarkan uji lanjut dapat dilihat bahwa Cibogo secara nyata menghasilkan rendemen laboratorium tertinggi, dilanjutkan dengan varietas Ciherang dan Hibrida . Pada Tabel 12 dapat dilihat hasil uji dengan kombinasi konfigurasi mesin giling dan varietas padi. Melalui hasil uji tersebut dapat dilihat dapat dilihat bahwa Konfigurasi H-2S-2P pada varietas Cibogo mampu menghasilkan rendemen tertinggi.

39 Tabel 12. Rendemen Lapang, Rendemen Laboratorium, dan Susut

Penggilingan pada Berbagai Konfigurasi Mesin Penggilingan dan Varietas Padi

Angka dalam tabel yang diikuti dengan huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Waktu bekerjanya satu proses penggilingan (lama giling) adalah salah satu faktor yang dapat diamati berkaitan dengan besarnya rendemen penggilingan dan produktivitas atau kapasitas giling per hari dari suatu perusahaan penggilingan. Dengan waktu giling yang lebih singkat maka diharapkan kapasitas giling per hari dapat ditingkatkan. Tabel di bawah ini menunjukkan waktu yang diperlukan untuk melakukan proses penggilingan dengan tiga konfigurasi mesin giling dan varietas padi yang berbeda.

Tabel 13. Lama Penggilingan pada Berbagai Konfigurasi Mesin Penggilingan Perlakuan Lama Penggilingan (menit) / 100kg Gabah

2H-2P 26.33 H-S-P 20.33 H-2S-2P 22.78 Perlakuan Rendemen Lapang Laboratorium Rendemen Susut Ciherang 2H-2P 62.15±0.31b 65.99±0.12c 3.84±0.25d H-S-P 62.96±0.69b 66.35±0.41b 3.39±0.96d H-2S-2P 62.73±0.99b 65.79±0.06c 3.06±0.92d Hibrida 2H-2P 59.91±0.74c 62.87±0.20f 2.96±0.56cd H-S-P 62.04±0.65b 64.83±0.19d 2.79±0.47bcd H-2S-2P 60.39±0.56c 63.72±0.17e 3.33±0.72d Cibogo

2H-2P 67.67±0.87a 69.23±0.13a 1.56±0.93abc H-S-P 67.77±1.25a 69.26±0.14a 1.49±1.17ab H-2S-2P 67.97±0.71a 69.15±0.12a 1.18±0.60a

40 Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa waktu penggilingan untuk konfigurasi H-S-P adalah paling singkat, dilanjutkan dengan konfigurasi H-2S-2P dan 2H-2P. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan separator mampu mempersingkat waktu giling karena tidak perlu melakukan dua kali proses pecah kulit untuk keseluruhan gabah. Gabah yang dimasukkan ke dalam husker sebanyak dua kali hanyalah gabah yang belum terkupas kulitnya pada pengupasan pertama.

Menurut Tjahjohutomo (2004), pada konfigurasi yang menggunakan separator, tekanan roll karet pada husker pada proses pengupasan bisa dikurangi untuk mengurangi resiko beras patah sehingga walaupun jumlah gabah tidak terkupas menjadi lebih tinggi (bisa mencapai 30-40%) tetapi kemudian gabah tersebut dipisahkan oleh separator dan masuk kembali ke husker untuk proses pengupasan ulang.

Dengan adanya perbandingan waktu tersebut para pengelola penggilingan padi dapat memilih konfigurasi yang sesuai untuk meningkatkan kapasitas giling per hari. Namun, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas beras yang dihasilkan. Akan lebih baik memilih sistem penggilingan dengan waktu yang tidak terlalu cepat ataupun tidak terlalu lambat tetapi menghasilkan beras dengan kualitas yang bagus terutama penampakan fisiknya.

C. Pengaruh Konfigurasi Mesin Penggilingan dan Varietas Padi terhadap Susut Penggilingan

Susut penggilingan merupakan selisih antara rendemen penggilingan laboratorium dan rendemen penggilingan lapang. Rendemen penggilingan laboratorium dijadikan sebagai kontrol karena potensi kehilangan hasil berupa gabah atau beras yang tercecer hampir tidak ada. Data susut penggilingan untuk ketiga konfigurasi mesin penggilingan dan varietas padi tersebut tertera pada Tabel 14.

41 Tabel 14. Susut Penggilingan pada Berbagai Konfigurasi Mesin Penggilingan

dan Varietas Padi

Varietas Perlakuan (%) Rata-rata Susut (%) 2H-2P H-S-P H-2S-2P Ciherang 3.84 3.39 3.06 3.43 Hibrida 2.96 2.79 3.33 3.02 Cibogo 1.56 1.49 1.18 1.41 Rata-rata (%) 2.78 2.56 2.52

Data untuk susut pada tabel di atas dapat diinterpretasikan dalam bentuk diagram seperti di bawah ini sehingga galat baku untuk masing-masing perlakuan dan varietas dapat diamati.

Gambar 17. Susut Penggilingan pada Berbagai Konfigurasi Mesin Penggilingan dan Varietas Padi

Melalui gambar di atas dapat dilihat bahwa varietas padi yang menghasilkan susut terkecil adalah varietas Cibogo dengan konfigurasi H-2S-2P, yaitu sebesar 1.18%. Jika diamati perbandingan berat gabah dan beras pada ketiga konfigurasi dan varietas padi seperti pada Tabel 9, dapat dilihat besarnya rendemen ideal dari ketiga varietas padi tersebut. Seharusnya

Susut Penggiling

an (%

42 rendemen terbesar adalah untuk varietas Hibrida dengan konfigurasi 2H-2P, dan varietas Ciherang dengan konfigurasi H-S-P. Namun, kenyataannya tidak demikian yang terjadi pada saat proses penggilingan. Varietas yang memiliki rendemen ideal paling kecil adalah Cibogo yang angkanya tidak berbeda jauh dengan rendemen di lapang. Hal inilah yang menyebabkan varietas Cibogo memiliki susut terendah.

Beberapa kemungkinan yang mengakibatkan susut giling pada penggilingan padi kecil antara lain adalah tercecernya beras pecah kulit pada waktu pengangkutan ke mesin penyosoh, terikutnya gabah dan beras pada sekam, dan terikutnya beras dan menir pada katul atau dedak (Rathoyo, 1981). Untuk itulah pada pengujian di lapang ditimbang juga berat sekam dan berat dedak sebagai hasil samping dari penggilingan ini. Melalui cara ini diharapkan dapat diketahui proses yang menyebabkan banyaknya kehilangan hasil pada saat penggilingan. Berat keseluruhan mulai dari gabah, sekam, beras pecah kulit, beras sosoh, dan dedak tertera pada Lampiran 7.

Dari analisa sekam maupun dedak, diperoleh rata-rata banyaknya gabah atau beras yang terikut sekam adalah 1.74%. Sedangkan rata-rata banyaknya beras atau menir yang terikut dedak adalah sebanyak 1.27% (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa persentase kehilangan hasil atau susut lebih besar pada proses pengupasan kulit dibandingkan dengan pada saat proses penyosohan. Keahlian dan ketelitian operator tetap menjadi hal penting dan perlu diperhatikan karena operator inilah yang memindahkan beras pecah kulit dari husker atau separator ke polisher. Keterampilan operator dalam mengoperasikan mesin penggilingan padi juga menjadi hal utama dalam mengurangi susut pada tahap penggilingan.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (anova) menunjukkan bahwa konfigurasi mesin giling tidak berpengaruh signifikan terhadap susut penggilingan. Berbeda dengan hasil analisa pada varietas padi, yang menunjukkan bahwa varietas padi sangat nyata memberikan pengaruh terhadap besarnya susut penggilingan (Lampiran 10). Dengan uji lanjut, dapat dilihat bahwa varietas padi Cibogo dengan konfigurasi H-2S-2P mampu menekan susut atau menghasilkan susut penggilingan terendah (Tabel 12).

43 Hasil analisa susut yang didapatkan ini mendekati hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rathoyo (1981), bahwa jenis penggilingan (dalam hal ini PPK dan RMU) belum dapat dianggap mengakibatkan perbedaan susut giling.

Data susut penggilingan di atas dapat dirata-ratakan sehingga diperoleh nilai susut baik dari ketiga konfigurasi mesin giling maupun ketiga varietas yang nilainya sama, yaitu 2.62%. Data terbaru yang dapat digunakan pembanding adalah data sementara dari BPS (2007) dalam warta Agribisnis (2008), yang menyatakan bahwa susut penggilingan adalah sebesar 3.07%. Hal ini menunjukkan bahwa susut penggilingan lebih rendah sebanyak 0.45% jika dibandingkan dengan data BPS tahun 2007.

Studi yang dilakukan oleh ODA (1995) dan PERPADI (2002) secara terpisah menyatakan bahwa kehilangan butir gabah (quantitative grain losses) di penggilingan padi berkisar antara 1.9%-4.5% GKG. Hasil analisa susut pada penelitian ini sudah berada diantara angka tersebut, yaitu sebesar 2.62%. Namun, data susut yang diperoleh melalui penelitian ini belum dapat mewakili data susut secara nasional karena hanya dilakukan pada satu tempat dan satu jenis penggilingan padi. Tetapi diharapkan data yang diperoleh pada penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pengelola penggilingan padi dan menjadi acuan untuk data susut selanjutnya.

D. Mutu Beras

Beras sosoh atau beras putih merupakan hasil utama pada proses penggilingan padi. Kualitas dan mutu beras merupakan parameter kualitas sebuah pabrik atau usaha penggilingan padi. Menurut SNI (2008), beras merupakan hasil utama yang diperoleh dari proses penggilingan gabah hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas dan seluruh atau sebagian lembaga dan lapisan bekatulnya telah dipisahkan.

Persyaratan mutu beras itu sendiri dibagi menjadi syarat umum dan syarat khusus. Beras hasil penggilingan dengan varietas Ciherang, Hibrida dan Cibogo ini telah diuji berdasarkan syarat umum secara visual dan penciuman. Hasilnya adalah beras tersebut (i) bebas dari hama dan penyakit, (ii) bebas dari bau apek dan asam, (iii) bebas dari campuran dedak dan

44 bekatul, serta (iv) bebas dari bahan kimia yang membahayakan dan merugikan konsumen. Pengamatan syarat khusus atau syarat kualitatif mutu beras untuk ketiga varietas dan konfigurasi mesin giling tertera pada Tabel 15.

Pada pemutuan beras varietas Ciherang dan Hibrida dapat dilihat bahwa kadar air beras sudah sesuai dengan SNI-01-6128-2008 masuk ke dalam mutu V. Sedangkan varietas Cibogo memiliki kadar air yang berbeda dikarenakan kondisi pra penggilingan yang berbeda, seperti pada saat pengeringan yang lebih lama, ataupun penggunaan dryer sebagai pengering.

Melalui tabel 15 dapat dilihat bahwa beras kepala terbanyak untuk varietas Ciherang dan Hibrida adalah dengan menggunakan konfigurasi H-S-P. Hal ini dikarenakan pada konfigurasi ini hanya menggunakan satu kali pecah kulit dan satu kali sosoh. Sedangkan untuk varietas Cibogo, beras kepala terbanyak adalah dengan konfigurasi H-2S-2P. Namun, secara keseluruhan dapat diartikan bahwa dengan penambahan separator dapat meningkatkan persentase beras kepala.

Persentase butir patah paling besar untuk varietas Ciherang dan Hibrida adalah dengan konfigurasi H-2S-2P. Banyaknya butir patah ini disebabkan oleh perlakuan pada gabah yang lebih kompleks dengan dilakukannya dua kali proses pemisahan (separator) dan dua kali proses penyosohan (polisher). Seperti yang dijelaskan oleh Patiwiri (2006), bahwa beras patah terutama timbul saat proses penyosohan, yaitu pada saat menggosok permukaan beras untuk melepaskan lapisan katul. Pada beras varietas Cibogo, persentase butir patah paling banyak adalah pada konfigurasi H-S-P. Hal ini tidak hanya dikarenakan kurang tepatnya proses yang terjadi, namun juga saat pengeringan ataupun bahan dari beras Cibogo itu sendiri. Dalam analisis sebelumnya diketahui bahwa keretakan gabah tertinggi adalah gabah varietas Cibogo yaitu sebesar 7.10%, sehingga kemungkinan terjadinya beras patah dan menir untuk varietas Cibogo lebih besar.

45 Tabel 15. Mutu Beras pada Berbagai Konfigurasi Mesin Penggilingan dan Varietas Padi

Keterangan : Mutu beras yang dihasilkan termasuk pada mutu IV berdasarkan SNI 6128-2008 untuk berbagai konfigurasi mesin penggilingan dan varietas padi

Perlakuan Air (%) Kadar Sosoh (%) Derajat Kepala (%) Beras Patah (%) Butir Menir (%) Butir Kuning (%) Butir Mengapur (%) Butir Asing (%) Benda Gabah (%) Butir

Ciherang 2H-2P 14.76 77.00 77.75 22.04 0.21 0.92 2.63 - 0.45 H-S-P 14.96 72.50 79.96 19.76 0.28 0.61 1.14 - 0.1 H-2S-2P 14.06 73.50 70.50 29.39 0.45 0.97 1.19 0.09 0.09 Hibrida 2H-2P 14.00 96.00 70.61 29.05 0.34 0.27 3.51 - 0.19 H-S-P 14.90 93.50 72.08 27.63 0.29 0.41 5.08 - 0.31 H-2S-2P 14.62 100.00 70.02 29.74 0.24 0.43 3.62 - 0.41 Cibogo 2H-2P 12.48 73.00 71.43 28.09 0.48 1.47 1.41 - 0.58 H-S-P 13.36 71.50 66.07 32.98 0.95 1.49 2.88 - 0.13 H-2S-2P 13.28 80.00 75.97 23.50 0.53 1.27 1.68 - 0.15

46 Melalui data butir menir pada Tabel 15, dapat dilihat bahwa diantara ketiga varietas yang diamati, beras varietas Cibogo memiliki butir menir yang paling tinggi. Namun, jika dilihat dari butir menir yang dihasilkan, maka ketiga varietas beras di atas masuk ke dalam mutu II berdasarkan SNI.

Komponen mutu yang termasuk dalam syarat khusus yang lain dan penting untuk konsumen adalah derajat sosoh. Pengertian derajat sosoh menurut SNI (2008) adalah tingkat terlepasnya lapisan bekatul (pericarp, testa, dan aleuron) dan lembaga dari butir beras. Perbandingan derajat sosoh dari kofigurasi mesin giling dan varietas yang diamati dapat dilihat pada Tabel 15.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa konfigurasi mesin giling dapat mempengaruhi derajat sosoh beras. Pada masing-masing varietas terlihat adanya perbedaan antara beras yang disosoh satu kali dan yang disosoh sebanyak dua kali. Dari masing-masing varietas, beras yang memiliki derajat sosoh paling kecil adalah beras yang digiling dengan konfigurasi H-S-P sehingga membuktikan adanya pengaruh penggunaan jumlah polisher.

Derajat sosoh yang paling tinggi untuk ketiga varietas di atas adalah Hibrida dengan konfigurasi H-2S-2P, yaitu sebesar 100% dan dapat dipastikan masuk ke dalam mutu I SNI. Derajat sosoh 100% ini berarti tingkat terlepasnya seluruh lapisan bekatul, lembaga, dan sedikit endosperm dari butir beras. Sedangkan derajat sosoh yang paling rendah adalah varietas Cibogo dengan konfigurasi H-S-P, yaitu sebesar 71.50%. Angka ini dapat diartikan sebagai tingkat terlepasnya sebagian besar lapisan bekatul, lembaga, dan sedikit endosperm dari butir beras sehingga sisa yang belum terlepas sebesar 28.50%. Nilai derajat sosoh ini bahkan tidak masuk pada mutu V untuk standar SNI.

Konsumen sebagian besar menyukai beras dengan derajat sosoh yang tinggi karena lebih putih dan lebih menarik. Namun, sebenarnya dengan derajat sosoh yang tinggi, maka nilai gizi akan berkurang karena semakin banyak lapisan yang telah dihilangkan seperti lapisan aleuron. Menurut Kunze dan Calderwood (2004), beras dengan derajat sosoh yang tinggi lebih tahan dalam hal penyimpanan dibandingkan dengan beras derajat sosoh rendah,

47 karena beras dengan derajat sosoh rendah mudah mengalami ketengikan karena beras masih memiliki lapisan dedak aleuron yang memiliki kandungan lemak tinggi.

Semakin tinggi nilai derajat sosoh beras maka bobotnya akan semakin berkurang dan kemungkinan terbetuknya butir patah semakin besar. Hal ini menyebabkan para produsen merasa dirugikan jika menggiling beras sampai derajat sosoh yang tinggi. Untuk menyiasati hal ini, biasanya produsen menggiling beras sampai derajat sosoh tertentu yang dianggap masih menguntungkan. Hal inilah yang menjadi penyebab adanya varietas tertentu yang derajat sosohnya tidak mencapai 100%.

Komponen mutu beras yang lain yang perlu untuk diamati adalah butir merah, butir kuning/rusak, butir mengapur, dan benda asing. Komponen mutu beras ini lebih banyak disebabkan oleh kualitas bahan atau gabah yang akan digiling. Oleh karena itu yang akan dibandingkan terutama adalah bahan gabah yang digiling.

Data pada Tabel 15 menunjukkan bahwa persentase butir kuning terbesar adalah pada padi varietas Cibogo sebesar rata-rata 1.41%, varietas Ciherang sebesar 0.83%, dan untuk varietas Hibrida sebesar 0.37%. Penyebab utama warna kuning pada beras butir kuning adalah adanya peragian, pembusukan, atau pertumbuhan jamur karena kurang sempurnanya proses pengeringan gabah setelah panen. Gabah dari hasil panen musim hujan yang tidak sempat segera dikeringkan akan banyak menghasilkan butir kuning (Damardjati dan Purwani, 1991) dalam (Listyawati, 2007).

Beras Hibrida memiliki jumlah butir kuning yang rendah dikarenakan varietas ini lebih mudah kering sehingga pengeringannya lebih cepat dan mengurangi resiko tumbuhnya jamur. Beras Ciherang dan Hibrida masuk ke dalam beras mutu II dan Cibogo masuk dalam beras mutu III jika dilihat berdasarkan butir kuning/rusak.

48 Gambar 18. Pemutuan Beras (Butir Kuning, Butir Mengapur, Benda Asing

dan Butir Gabah)

Komponen mutu lain yang seharusnya diamati adalah butir merah. Namun, tidak ada satupun diantara varietas Ciherang, Hibrida, dan Cibogo yang mengandung butir merah. Sehingga jika dilihat dari kandungan butir merah, maka ketiga varietas beras tersebut masuk ke dalam mutu I SNI.

Butir mengapur dari ketiga varietas ini berbeda-beda. Untuk persentase butir mengapur tertinggi adalah adalah varietas Hibrida sebanyak rata-rata 4.07%, varietas Cibogo sebanyak 1.99%, dan paling rendah adalah varietas Ciherang sebanyak 1.65%. Beras varietas Hibrida memiliki persentase butir mengapur yang tinggi disebabkan oleh jumlah bahan berupa gabah hijau/mengapur dengan persentase yang paling besar dibandingkan dengan varietas lain.

Menurut Damardjati dan Purwani (1991) dalam Listyawati (2007), butir berkapur dapat berasal dari biji yang masih muda atau karena pertumbuhan yang kurang sempurna. Butir berkapur ini juga dapat disebabkan karena adanya faktor genetik. Adanya butir hijau dan butir mengapur merupakan sifat varietas disamping pengaruh lingkungan dan pengelolaan. Jarak tanam yang kurang rapat akan memperbanyak jumlah anakan yang akan

49 membentuk tunas-tunas lambat dan pada akhirnya menyebabkan kematangan padi tidak serempak sehingga persentase butir hijau meningkat.

Komponen mutu lain yang perlu diamati adalah adanya butir gabah. Adanya butir gabah selain disebabkan oleh sifat genetik dari bahan yang digunakan, dapat juga disebabkan oleh jenis konfigurasi mesin giling yang digunakan. Berdasarkan data pada Tabel 15, dapat dilihat bahwa butir gabah terbanyak adalah pada konfigurasi 2H-2P. Ini membuktikan bahwa dengan penambahan separator dapat mengurangi persentase butir gabah karena ada

Dokumen terkait