• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KURIKULUM DAN KUALITAS PENDIDIKAN PRASEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA

DINI

Effect of model and preschool education’s quality to childhood emotional intelligence

Dian Anggari, Dwi Hastuti, Ratna Megawangi Abstrak

Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh kualitas pendidikan prasekolah terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 dan dilakukan di enam pendidikan prasekolah yang terdiri dari tiga model yaitu dua model yang termasuk dalam PAUD non formal , dua Semai Benih Bangsa (SBB) yang merupakan binaan

Indonesia Heritage Foundation (IHF) dan dua Taman Kanak-kanak (TK).

Keenam sekolah ini berada di kabupaten Bogor. Pengumpulan data melalui metode wawancara dan observasi (pengamatan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pendidikan prasekolah SBB menghasilkan anak-anak dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari model pendidikan prasekolah lainnya. Penggunaan kurikulum yang menggunakan pendekatan yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) berpengaruh sangat positif terhadap kecerdasan emosional anak. Selain itu analisis statistik menunjukkan bahwa semakin tinggi umur anak dan semakin baik kualitas pendidikan guru serta semakin diterapkannya model pendidikan prasekolah SBB semakin baik pula kecerdasan emosional anak usia dini.

Kata kunci : Developmentally Appropriate Practices (DAP), Kecerdasan emosional (EQ).

Abstract

The study examines the influence of quality of preschool education on early childhood emotional intelligence. The study took place from June to August 2013 and located in six preschool education that consists of three models : two non-formal early childhood program (namely PAUD), two early chilhood education programs using holistic education approach and Developmentally Appropriate Practices/DAP (namely Semai Benih Bangsa) and two Kindergartens which were selected purposively. These six schools are located Bogor district. Data collection was conducted through interviews and observation. The result showed that the SBB children have highest emotional intelligence than children of two other models. The use of Developmentally Appropriate Practices/DAP

that the higher the age of child and the better quality of teacher education and the implementation models of SBB give positive impact to child’s emotional intelligence.

Keywords : Developmentally Appropriate Practices (DAP), emotional intelligence (EQ).

Pendahuluan Latar Belakang

Kecerdaan emosional merupakan komponen yang sangat menentukan kesuksesan seseorang. Pernyataan yang menyebutkan bahwa IQ merupakan segalanya sudah terpatahkan bahkan Goleman (1997) menyatakan bahwa EQ justru menyumbangkan 80 persen terhadap kompetensi seseorang dalam mencapai kesuksesan dan sisanya sebesar 20 persen ditentukan oleh IQ. Sementara saat ini banyak terjadi perilaku-perilaku negatif di masyarakat terutama di kalangan remaja seperti tawuran, bullying, penyalah gunaan narkoba, dan lain-lain yang mengindikasikan adanya ketidak mampuan seseorang dalam mengontrol diri, mengendalikan dan mengekspresikan emosi dengan benar. Menurut teori ekologi (Bronfenbrener 1994), sekolah termasuk dalam lingkungan terdekat selain lingkungan keluarga dari seorang anak, atau yang biasa disebut dengan mikrosistem. Di sekolah melalui proses pembelajarannya serta lingkungannya, seorang anak akan mendapatkan stimulasi baik stimulasi fisik, kognitif, moral, sosial, dan emosi. Salah satu studi menunjukkan bahwa pemahaman emosi anak-anak pada usia lima tahun signifikan terhadap kompetensi akademik pada usia sembilan tahun, bahkan dalam mengendalikan kemampuan verbal dan temperamen (Izard C.Fine S. Schultt D. Moslow. A, Ackerman B & Youngstorm E 2001). Kesulitan emosional dan perilaku pada usia dini berdampak negatif terhadap akademik siswa, baik pada saat ini maupun jangka panjang seperti depresi, putus sekolah, pengangguran dan anti sosial atau kekerasan (Denham dan Weissberg 2004; Kramer et al 2004).

Pendidikan prasekolah merupakan jembatan yang menghantarkan anak usia dini kepada jenjang pendidikan selanjutnya. Penelitian-penelitian terdahulu memberikan bukti bahwa pendidikan usia dini memberi efek yang positif terhadap perkembangan anak baik perkembangan fisik, kognitif, moral, sosial dan emosional. Kesalahan yang sering dilakukan pada rentang usia ini akan berdampak pada perkembangan anak pada masa selanjutnya. Sebaliknya, apabila pada rentang masa ini, anak menerima stimulasi yang optimal maka diharapkan akan mampu menggali seluruh potensi yang ada dalam diri anak tersebut. Ketidak sempurnanya stimulasi yang diterima anak-anak Indonesia berakhir pada ketidak sempurnaan kualitas manusia Indonesia yang dihasilkan dan ini dibuktikan dengan rendahnya HDI (Human Development Index). Menuruti laporan UNDP pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat 121 dari 175 negara. Di wilayah Asia Tenggara, HDI negara Indonesia bahkan masih dibawah negara-negara tetangga seperti Malaysia (64), Thailand (103), Filipina (114). Untuk mengatasi permasalahan rendahnya mutu manusia Indonesia, pemerintah mendirikan PAUD (pendidikan anak usia dini) di seluruh wilayah Indonesia.

41

Menurut Heckman (2007), keuntungan dan investasi yang diperoleh dari pendidikan pada usia dini merupakan investasi jangka panjang yang antara lain dapat menurunkan tingkat problem-problem sosial seperti kriminalitas, menurunkan angka drop out pada sekolah menengah, kehamilan usia remaja serta kondisi kesehatan yang dapat menurunkan tingkat kemampuan dan ketrampilan di masyarakat.

Jumlah anak usia dini di Indonesia yang cukup tinggi yaitu sebanyak 28,8 juta pada tahun 2009, dan ternyata dari angka tersebut baru sekitar 53,7 persen yang memperoleh layanan PAUD. Pemerintah terus berusaha setiap tahun meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD. Tercatat pada tahun 2004 jumlah APK-PAUD baru mencapai 12,7 juta (27%) dan tahun 2008 APK-PAUD telah mencapai 15,1 juta (50,6%) serta diharapkan pada tahun 2009 akan mencapai 15,3 juta (53,6%). Berdasarkan kondisi tersebut pemerintah telah menetapkan rencana 5 tahun ke depan APK-PAUD diharapkan mencapai 21,3 juta (72,6%). . Berangkat dari hal-hal tersebut diatas, pemerintah merasa perlu untuk meningkatkan Angka Partisipasi PAUD melalui program-program yang dirancang baik oleh pihak pemerintah maupun swasta. Tingginya angka PAUD-PAUD di seluruh Indonesia tampaknya belum diimbangi dengan kualitasnya. Tidak sedikit PAUD masih menggunakan sarana dan prasarana yang seadanya, kualitas (kompetensi) guru yang tidak memadai serta kurikulum yang tak mengindahkan tahap perkembangan anak yang akhirnya akan berdampak pada kualitas anak yang dihasilkan (Hastuti 2010).

Developmentally Appropriate Practices (DAP) merupakan kurikulum

pendidikan yang patut sesuai dengan tahapan perkembangan anak . DAP muncul pada tahun 1980 yang diprakarsai oleh Sue Bredekamp melalui NAEYC (National Associatio for the Education of Young Children). Prakarsa ini disebabkan karena pada kurun waktu tahun 1960 sampai dengan 1970, kurikulum yang berlaku di sekolah-sekolah di Amerika tidak sesuai dengan perkembangan anak (terutama anak dibawah usia 8 tahun), dimana ciri-ciri pada kurikulum lama antara lain anak lebih banyak menghafal, latihan soal, lebih banyak mengandalkan kognitif dan sedikit melibatkan sosial, emosi dan spiritual, materi pelajaran yang tidak terintegrasi, tidak relevan , tidak kontekstual dan tidak sesuai dengan dunia nyata, sehingga menghasilkan anak yang pasif, membosankan sehingga mematikan motivasi dan gairah anak untuk terus belajar (lifelong learner). Perubahan kurikulum ini menghasilkan kurikulum yang kemudian dinamakan Developmentally Appropriate Practices (DAP), dimana penerapan kurikulum ini memungkinkan anak menjadi individu yang utuh dengan melibatkan 4 komponen dasar yaitu pengetahuan, ketrampilan, sifat alamiah dan perasaan. Terdapat tiga dimensi dalam DAP yang saling terkait yaitu patut menurut umur, patut menurut lingkungan sosial budaya dan patut menurut anak sebagai individu yang unik. Adapun landasan teoritis kurikulum DAP berakar dari teori-teori perkembangan anak baik teori perkembangan kognitif Piaget, teori perkembangan emosi Erik Erikson, teori sosio kultural Vygotsky, teori perkembangan moral Kohlberg dan Thomas Lickona serta teori ekologi Bronfenbrener.

Dampak perubahan yang diakibatkan oleh prinsip-prinsip tersebut diatas terhadap perubahan metode belajar adalah terciptanya lingkungan belajar yang menyenangkan dengan melibatkan seluruh aspek fisiologis anak, kurikulum yang

dapat menumbuhkan minat anak dan kontekstual sehingga anak mengerti arti yang dipelajari, suasana belajar yang bebas tekanan tetapi tetap menantang dan pelajaran dengan melibatkan pengalaman dan konkrit terutama dalam pemecahan masalah. Adapun keberhasilan dari penerapan kurikulum ini adalah suasana belajar yang lebih menyenangkan bagi anak, anak tidak mengalami tekanan dan stres, tingkat stres yang lebih rendah, anak lebih kreatif, memiliki kemampuan bahasa yang lebih unggul, serta anak lebih percaya diri.

Berangkat dari permasalah tersebut diatas peneliti tertarik untuk melihat pengaruh kurikulum yang diberlakukan di beberapa model pendidikan prasekolah terhadap kecerdasan emosional anak usia dini.

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

1) Mengidentifikasi kualitas pendidikan prasekolah (PAUD, SBB dan TK) yang diukur dari sarana prasarana, kurikulum (DAP), potensi guru dan ratio guru murid.

2) Mengidentifikasi kecerdasan emosional anak contoh pada ketiga model pendidikan prasekolah.

3) Menganalisis pengaruh pendidikan prasekolah (PAUD, SBB dan TK) terhadap kecerdasan emosional anak.

Metode Penelitian Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian

Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di enam PAUD yang terdiri dari dua Taman Kanak-kanak, dua sekolah Semai Benih Bangsa (SBB) binaan Indonesia Heritage Foundation dan dua PAUD yang berada di kabupaten Bogor. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013.

Tehnik Penarikan Contoh

Populasi contoh dalam penelitian ini adalah anak usia dini yang mengikuti pembelajaran di PAUD di kabupaten Bogor yang terdiri dari dua Taman Kanak- kanak (TK) yaitu TK Al Husna (Leuwiliang) dan TK Firdaus Albana (Rumpin), dua sekolah Semai Benih Bangsa (SBB) binaan Indonesia Heritage Foundation yaitu SBB Pinus dan SBB Cendana dan dua PAUD non formal yaitu PAUD Bai Bara dan PAUD Darur Rohmah. Pengambilan contoh PAUD dilakukan secara purposive. Sampel penelitian ini adalah anak usia dini yang diambil sebanyak 105 anak tanpa membedakan jenis kelamin yang dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) dengan masing-masing sebanyak 35 anak usia dini pada setiap jenis sekolah. Pemilihan contoh dilakukan dengan menggunakan metode kluster acak sederhana (cluster simple random sampling)

43

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data berupa data primer dan sekunder yang dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner (wawancara) untuk mengukur kecerdasan emosional anak maupun pengamatan kesekolah (baik pembelajaran maupun kelengkapan sarana prasarana serta potensi guru).

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, scoring, entry, cleaning dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for windows. Analisis data yang digunakan meliputi uji korelasi Pearson, analisis regresi linier berganda serta analisis faktor. Analisis regresi dilakukan tanpa menggunakan dummy tetapi dengan menggunakan model pendidikan prasekolah dengan jenis ordinal karena model pendidikan prasekolah SBB sudah tercakup didlam variabel proses pembelajaran (DAP), sehingga apabila digunakan dummy akan terjadi multi kolinieritas. Pengujian instrument dilakukan sebelum penelitian dengan menggunakan uji realibilitas dan validitas. Nilai Cronbach’s alpha variabel kecerdasan emosional anak usia dini adalah 0.649 yang dikembangkan oleh peneliti. Sedangkan variabel proses pembelajaran (DAP) diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Hastuti (2010) dan dimodifikasi oleh peneliti.

Hasil Karakteritik Contoh dan Keluarga

Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1 Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik

No. Karakteristik contoh dan keluarga

PAUD SBB TK P Value

1. Umur Anak (bulan)

Min – Max 50,00 – 81,00 48,00 – 84,00 57,00 –80,00 0,871 Rataan SD 67,86 8,00 67,97 9,15 67,06 6,11

2. Umur Ibu (tahun) Min – Max Rataan SD 25 – 44 32,31 5,63 21 – 49 31,40 6,37 22 – 44 32,23 5,30 0,766 3. Besar Keluarga (orang) Min – Max Rataan SD 3 – 11 5,09 1,75 2 – 10 5,09 1,90 3 – 7 4,43 1,01 0,152 4. Pendapatan Perkapita Perbulan (Rupiah) Min – Max Rataan SD 137.143- 2.000.000 575.000 373.064 72.000- 4.250.000 515.244 720.261 114.286- 6.250.000 1.561.837 1.630.812 0,000*

Usia contoh berkisar antara 4 – 6 tahun dan berjumlah total 105 anak. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin anak usia dini pada model sekolah PAUD lebih banyak perempuan (54,29 %) dibanding siswa laki-lakinya (45,71 %), sebaliknya pada model sekolah SBB jumlah siswa laki-laki (65,7%) lebih banyak daripada jumlah siswa perempuan (34,29 %) sedangkan pada model sekolah TK sama seperti pada model sekolah PAUD dimana siswa perempuan (60,00 %) lebih banyak daripada siswa laki-laki (40,00 %). Fakta penelitian menunjukkan bahwa rata-rata dan selang umur ibu dari contoh ketiga model sekolah hampir sama dan analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan diantara ketiga model tersebut. Besar keluarga contoh dari model sekolah TK paling sedikit (rata-rata 4,43 orang) dan rata-rata contoh dari keluarga model sekolah ini memiliki pendapatan perkapita perbulan rata-rata paling tinggi yaitu Rp. 1.561.837. Apabila dilihat dari status kerja ibu, secara total sebanyak 32,4 persen ibu-ibu contoh bekerja, dan apabila dipisahkan berdasarkan model prasekolah, ibu-ibu pada model prasekolah SBB terbanyak bekerja (40 persen) diikuti oleh ibu-ibu dari model prasekolah TK (37,1 persen) dan PAUD sebanyak 20 persen. Dengan melihat p_value diantara ketiga model prasekolah tersebut, ternyata hanya variabel pendapatan perkapita perbulan yang memiliki perbedaan yang signifikan diantara ketiga model tersebut.

Kualitas Pendidikan Prasekolah

Kualitas pendidikan prasekolah terukur dari kelengkapan sarana prasarana yang tersedia, kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally

Appropriate Practices/DAP) yang digunakan dan kompetensi guru yang meliputi

pendidikan formal guru dan ratio guru murid .

Tabel 6.2 Sebaran contoh sekolah berdasarkan kualitas PAUD

Model Pendidikan Prasekolah Total

PAUD SBB TK

Mean Std Mean Std Mean Std Mean Std Pendidikan Guru 12,58 0,09 13,20 1,18 12,45 1,35 12,74 1,08 Ratio Guru/murid 5.,8 0,76 7,11 1,35 6,48 0,85 6,52 1,11 Sarana Prasarana (%) 43,52 6,76 44,57 15,21 57,81 13,48 48,3 13,88 Kurikulm (%) 55,63 2,82 75,29 4,18 59,97 7,96 63,63 10,04

Dari Tabel 6.2 terlihat bahwa model sekolah SBB memiliki guru-guru dengan lama pendidikan terlama yaitu 13,20 tahun, yang kemudian diikuti oleh model sekolah PAUD (12,58 tahun) dan terakhir model sekolah TK (12,45 tahun) yaitu setara dengan lulus SMU. Secara total lama pendidikan guru-guru di keenam sekolah sampel adalah 12,74 tahun yaitu setara dengan lulus SMU. Rata-rata ratio guru dan murid di enam sekolah secara total adalah 6,52 dengan standar deviasi 1,11. Dari ketiga model sekolah, ternyata SBB memiliki rata-rata ratio guru murid yang tertinggi yaitu 7,11 dengan standar deviasi 1,35. Diikuti oleh model sekolah TK dengan rata-rata ratio guru murid 6,48 dengan standar deviasi 0,85 dan terakhir adalah PAUD dengan rata-rata ratio guru murid 5,98 dengan standat deviasi 0,76. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model sekolah TK memiliki

45

sarana prasaran terbaik dibandingkan kedua model yang lain yaitu 57,81 persen dengan standar deviasi 13,48, diikuti oleh SBB dengan rata-rata 44,5 persen dengan standar deviasi 15,21 dan terakhir PAUD dengan rata-rata 43,52 persen dengan standar devisi 6,76. Sedangkan secara total memiliki nilai 48,63 persen dengan standar deviasi 13,88.

Hasil pengamatan proses pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran yang patut dan menyenangkan (DAP) di enam PAUD terlihat pada Tabel 6.3. Secara total model sekolah SBB memiliki skor tertinggi (75,29 persen ) diikuti oleh TK (59,97 persen) dan terakhir PAUD (55,64 persen). Hal tersebut disebabkan karena SBB merupakan pendidikan anak usia dini yang berbasis karakter dan merupakan binaan dari Indonesia Heritage Foundation (IHF) dimana guru-gurunya mendapatkan pelatihan dalam proses pembelajaran dan kurikulumnya. Skor tertinggi yang mencolok dibandingkan sekolah lainnya terlihat pada sekolah SBB Cendana. Apabila dilihat perdimensi pembelajaran (DAP), SBB memiliki keunggulan pada beberapa dimensi seperti dimensi partisipasi, pengakuan terhadap kompetensi, dukungan guru, dan guru menyusun tugas akademik. TK memiliki keunggulan pada dimensi perbuatan/penekanan evaluasi. Pada penilaian pembelajaran (DAP), PAUD dapat dikatakan tidak memiliki keunggulan pada dimensi-dimensi pembelajaran. Dari hasil uji beda Kruskal Walis terhadap pengamatan pembelajaran (DAP), terlihat terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga model pendidikan prasekolah tersebut (p=0,000).

Tabel 6.3 Skor capaian per dimensi pembelajaran (DAP) menurut model pendidikan prasekolah

DAP

PAUD SBB TK

1 2 1 2 1 2

Skor % Skor% Skor% Skor % Skor % Skor % Pilihan anak/inisiatif (3) 1 0,61 2 1,23 2 1,23 5 3,09 3 1,85 3 1,85 Partisipasi (3) 4 2,47 4 2,47 6 3,70 5 3,09 5 3,09 2 1,23 Afiliasi/kerjasama (2) 3 1,85 3 1,85 3 1,85 4 2,47 3 1,85 4 2,47 Pengakuan terhadap kompetensi (6) 1 0,61 5 3,09 7 4,23 6 3,70 2 1,23 3 1,85 Inquiry focus (5) 4 2,47 6 3,70 6 3,70 5 3,09 4 2,47 5 3,09 Perbuatan/penekanan evaluasi (8 ) 14 8,64 9 5,56 13 8,03 12 7,41 14 8,64 14 8,64 Manajemen kelas (6) 7 4,32 8 4,94 9 5,56 10 6,17 10 6,17 7 4,32 Dukungan guru (6) 10 6,17 7 4,32 8 4,94 12 7,41 10 6,17 7 4,32 Barang-barang kelas (4) 1 0,61 4 2,47 5 3,09 7 4,32 3 1,85 5 3,09 Guru menyusun tugas

akademik (5)

5 3,09 6 3,70 6 3,70 10 6,17 6 3,70 4 2,47 Suasana umum kelas (4) 6 3,70 7 4,32 7 4,32 7 4,32 7 4,32 6 3,70 Hubungan orangtua dengan

orangtua (2)

4 2,47 4 2,47 4 2,47 3 1,85 3 1,85 3 1,85 Rata-rata skor (%) Std 55,64 3,04 75,29 4,52 59,97 8,59

Untuk mereduksi dimensi dalam proses pembelajaran digunakan analisis faktor sehingga didapat faktor /komponen yang dapat mewakili dimensi-dimensi tersebut dengan diberi nama baru. Hasil uji analisis faktor terhadap korelasi dimensi-dimensi proses pembelajaran, dari 12 dimensi yang terdapat dalam proses pengamatan pembelajaran maka terekstrak menjadi 4 komponen. Tabel 6.4 menunjukkan hasil ekstraksi dimensi-dimensi tersebut, dimana setelah dilihat nilai koefisien korelasinya, maka dimensi-dimensi yang masuk dalam komponen (faktor) pertama adalah dimensi 1, 4, 7, 8, 9, 10 dan 11. Komponen (faktor) kedua terdiri dari dimensi 2 dan 12. Komponen (faktor) ketiga terdiri dari dimensi 6 dan komponen (faktor) keempat terdiri dari dimensi 5. Hasil ekstraksi dan pemberian nama baru komponen-komponen (faktor-faktor) yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 6.4 dibawah ini.

Tabel 6.4 Hasil ekstraksi dan nama baru faktor-faktor proses pembelajaran (Developmentally Appropriate Practices/DAP)

No Nama Faktor Kode

dimensi

Nama dimensi Faktor

loading

1. Kompetensi, tugas dan peran Dim1 Inisiatif ,948

Dim 4 Pengakuan kompetensi ,735

Dim 7 Manajemen kelas ,779

Dim 8 Dukungan guru ,779

Dim 9 Barang-barang kelas ,667

Dim 10 Guru menyusun tugas ,667

Dim 11 Suasana umum kelas ,865

2 Partisipasi dan interaksi Dim 2 Partisipasi ,591

Dim 12 Hubungan guru-orangtua ,892

3. Evaluasi Dim 6 Penekanan evaluasi ,766

4. Inquiry Dim 5 Inquiry focus ,610

Setelah dilakukan reduksi dimensi-dimensi dalam proses pembelajaran, dilakukan uji korelasi antara keempat faktor hasil proses ektraksi dengan variabel kecerdasan emosional. Hasil uji korelasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.5. Dari hasil uji korelasi faktor-faktor proses pembelajaran (DAP) dengan variabel kecerdasan emosional anak, terlihat secara total (tanpa membedakan model pendidikan prasekolah), ada hubungan yang signifikan antara faktor 4 (inquiry focus) dengan kecerdasan emosional. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ternyata diantara keempat faktor hasil ekstraksi dimensi-dimensi proses pembelajaran (DAP) hanya dimensi inquiry focus (fokus anak terhadap rasa ingin tahu) yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kecerdasan emosional anak usia dini.

Tabel 6.5 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor proses pembelajaran (DAP) dengan variabel kecerdasan emosional

Faktor

Model Pendidikan Prasekolah

Total PAUD SBB TK Faktor 1 -,312 ,112 ,108 ,116 Faktor 2 -,312 -,112 ,108 ,118 Faktor 3 -,312 -,112 ,108 -,018 Faktor 4 .312 -,112 ,108 ,253**

47

Dari tabel sebaran sekolah contoh berdasarkan dana yang diterima sekolah, terlihat terdapat selang yang cukup besar pada iuran sekolah yaitu dari 25.000 rupiah sampai 100.000 rupiah. Iuran sekolah tertinggi terdapat pada model sekolah TK, yang kemudian diikuti oleh PAUD dan yang termurah adalah model sekolah SBB. Begitu pula terlihat pada dana sumbangan pembangunan dimana model sekolah TK memungut DSP terbesar (900.000 rupiah dan 400.000 rupiah), diikuti oleh model sekolah PAUD dan yang termurah adalah SBB. Tidak ada satupun dari semua sekolah menerima bantuan dari pihak donator

Tabel 6.6 Rincian dana yang diterima sekolah menurut model pendidikan prasekolah

Jenis Sumber dana (Rp) PAUD SBB 1 2 1 2 1 2 Iuran perbulan (Rp) 35.000 30.000 25.000 25.000 100.000 80.000 DSP (Rp) 340.000 535.000 50.000 120.000 900.000 400.000 Uang kegiatan((Rp) - - - - Uang seragam (Rp) - - 120.000 270.000 - - Uang tabungan (Rp) - - - - Langganan Majalah 5.000 5.000 5.000 5.000 - - Bantuan donator(Rp) - - - - Kecerdasan Emosional

Skor capaian kecerdasan emosional contoh berdasarkan dimensi dan model sekolah, dimana secara total, model sekolah SBB justru memiliki skor capaian yang tertinggi (74,5 persen) dengan standar deviasi 1,79, diikuti oleh contoh dari model sekolah PAUD (70,7 persen) dengan standar deviasi 2,80 dan terakhir model pendidikan prasekolah TK dengan total rataan 66,8 persen dengan standar deviasi 2,71 (Tabel 6.7). Apabila kita lihat perdimensi kecerdasan emosional, ternyata anak dari model pendidikan prasekolah SBB memiliki skor tertinggi dibanding kedua model lainnya. Sebaliknya anak dari model pendidikan prasekolah TK selalu memiliki skor terendah dibanding kedua model lainnya. Berdasarkan hasil analisa statistik, secara total terdapat perbedaan yang signifikan antara ketiga model sekolah terhadap kecerdasan emosional anak,. Demikian pula apabila dipilah berdasarkan dimensi kecerdasan emosional, model pendidikan prasekolah memberikan pengaruh terhadap masing-masing dimensi kecerdasan emosional anak.

Tabel 6.7 Nilai skor kecerdasan emosional berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah Dimensi Kecerdasan Emosional PAUD (%) SBB (%) TK (%) Total(%) Rata ±SD Rata2 ±SD Rata2 SD Rata2 SD Kesadaran diri 94,2 0,82 96,6 0,62 92,6 0,69 94,4 0,71 Pengaturan diri 64,0 1,16 69,8 0,98 60,0 1,21 64,4 1,12 Motivasi 57,8 1,71 61,2 1,28 45,2 1,36 54,6 1,49 Empati 66,8 0,87 70,8 0,89 69,8 0,78 69,2 0,84 Total 70,7 2,50 74,5 1,79 66,8 2,71 70,7 2,43 P-Value 0,028*

Secara umum, kecerdasan emosional contoh dari ketiga model sekolah terbanyak berada pada kategori sedang , berturut turut terbanyak adalah SBB (82,86 persen) kemudian PAUD dan TK memiliki persentase 74,29 persen dan 65,71 persen. Yang terbanyak masuk dalam kategori baik adalah contoh dari model sekolah SBB (14,29 persen). Contoh dari model sekolah TK, merupakan yang terbanyak berada pada kategori kurang dibandingkan kedua model sekolah lainnya (22,86 persen). Selang skor kecerdasan emosional terpanjang ada pada model sekolah PAUD dan TK. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan diantara ketiga model sekolah apabila kecerdasan emosional anak dikategorikan menjadi kategori kurang (<60 persen), sedang (60 – 80 persen) dan baik (>80 persen) yaitu dengan nilai p=0,028 (Tabel 6.8).

Tabel 6.8 Sebaran contoh menurut kategori kecerdasan emosional

Kecerdasan Emosional

Model Pendidikan Prasekolah

PAUD SBB TK n % n % n % Kurang (<60%) 5 14,29 1 2,86 8 22,86 Sedang (60-80%) 26 74,29 29 82,86 23 65,71 Baik (>80%) 4 11,43 5 14,29 4 11,43 P-Value 0,047*

Keterangan : *signifikan pada p<0.05, **Signifikan pada p<0.01. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecerdasan emosional

Dari hasil statistik untuk melihat korelasi variabel-variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini, terlihat bahwa secara total kurikulum yang diberlakukan yang tepat dan menyenangkan menunjukkan korelasi positif yang signifikan terhadap kecerdasan emosional yang memiliki makna semakin diberlakukannya kurikulum yang patut dan menyenangkan maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional anak. Nilai koefisien korelasi faktor- faktor yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini dapat dilihat pada Tabel 6.9.

Tabel 6.9 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini

Karakteristik anak , keluarga dan sekolah

Kecerdasan Emosional

PAUD SBB TK Total

Sarana Prasarana ,312 ,112 -,108 ,066

Kurikulum ,312 ,112 ,108 ,238*

Pendidikan guru ,312 -,112 -,108 ,003

Ratio guru murid -,312 ,112 ,108 -,161

Hasil uji korelasi dimensi-dimensi proses pembelajaran dengan kecerdasan emosional anak usia dini didapat pada Tabel 6.10. Ternyata hasil uji tersebut menunjukkan bahwa dimensi-dimensi seperti inisiatif, inquiry focus, manajemen kelas, dukungan guru dan suasana umum kelas memiliki korelasi yang signifikan dengan kecerdasan emosional anak usia dini dengan nilai koefisien korelasi secara berturut-turut 0,253, 0,253, 0,217, 0,217 dan 0,275. Nilai-nilai tersebut memiliki

49

makna dengan semakin meningkatnya dimensi-dimensi tersebut sebesar satuan yang disebutkan maka akan meningkatkan kecerdasan emosional anak sebesar satuan tersebut. Ada beberapa dimensi yang memiliki hubungan yang negatif dengan kecerdasan emosional akan tetapi tidak signifikan seperti dimensi penekanan evaluasi dan dimensi kerjasama. Pada dimensi penekanan evaluasi, mungkin evaluasi yang dilakukan oleh guru lebih banyak kepada evaluasi kognitif

Dokumen terkait