• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pelatihan Syukur Terhadap Peningkatan Subjective Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome

Down syndrome merupakan gangguan yang disebabkan oleh kegagalan

pada saat awal terbentuknya manusia. Anak down syndrome memiliki 47 kromosom dan bukan 46 seperti manusia normal. Kromosom ini tidak hanya menentukan penampilan diri kita tetapi juga menentukan ciri-ciri dan sifat manusia. Kromosom ini juga menentukan bentuk wajah kita, karakter, sifat, maupun bakat karena kromosom mengandung sifat-sifat keturunan. Oleh karena itu anak down syndrome memiliki wajah, sifat, dan karakter yang sama karena mereka memiliki kelainan pada kromosom.

Gangguan ini menyebabkan anak down syndrome mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik fisik yang khas seperti orang mongolisme membuat mereka mudah dikenali oleh orang awam. Gangguan ini juga menyebabkan mereka memiliki beberapa gangguan lain seperti lambatnya pertumbuhan dan perkembangan, kemampuan bahasa yang kurang, kemampuan intelektual yang kurang, sulitnya untuk berkonsentrasi sehingga memiliki gangguan belajar, dan keadaan sosial dan emosional mereka seringkali maladaptif seperti menyerang diri sendiri atau orang lain.

Karakteristik anak down syndrome ini menyebabkan ibu merasa direpotkan, jengkel, mudah marah, stres, depresi, cemas, dan tidak tenang. Aktivitas ibu menjadi terhambat karena terlalu fokus mengurus anak down syndrome ini. Ibu juga merasa malu kepada keluarga, teman, tetangga, dan orang-orang sekitar karena memiliki anak down syndrome. Hal ini menyebabkan ibu memberikan pemaknaan negatif terhadap hidupnya sehingga memiliki subjective well being yang rendah.

Ibu yang stres dan depresi karena memiliki anak down syndrome akan memberikan perlakuan yang berbeda dengan perlakuan terhadap anak pada umumnya. Rendahnya subjective well being akan membuat ibu cenderung menelantarkan anak. Mereka tidak mampu mendampingi pertumbuhan dan perkembangan anak karena menganggap anak down syndrome merupakan sebuah aib yang harus disembunyikan, bukan sebuah anugerah yang pantas disyukuri. Ibu justru cenderung lebih banyak merasakan stres, mudah marah, dan depresi karena tidak mampu mengambil kebaikan dari kehadiran anak down syndrome ini. Oleh karena itu, diperlukan suatu intervensi syukur untuk meningkatkan subjective well

being ibu agar ibu bisa lebih optimal dalam mendampingi anak down syndrome

ini.

Menurut Emmons dan McCullough (2004), gratitude atau syukur merupakan salah satu prediktor nyata dari subjective well being. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diener, dkk pada tahun 1999 yang menemukan bahwa faktor yang paling kuat mempengaruhi subjecive well being adalah faktor kepribadian. Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004)

menjelaskan hubungan syukur dan subjective well being sebagai afektif trait dan afektif state. McCullough (2001) menjelaskan bahwa afektif trait adalah kecenderungan seseorang dalam merepresentasikan emosi tertentu. Orang yang berada dalam keadaan syukur, meskipun dia terkadang mengalami keadaaan yang mengecewakan namun dia akan lebih cenderung untuk bersyukur ketika merespon sebuah kebaikan. Afektif state adalah keadaan yang muncul secara tiba-tiba karena pengalaman emosi tertentu seseorang. Menurut Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004) mengatakan bahwa hubugngan syukur dan afektif state terlihat jelas karena adanya syukur mampu meningkatkan mood atau suasana hati seseorang.

Intervensi syukur juga dapat meningkatkan afek positif yang merupakan komponen afek subjective well being sehingga meningkatkan subjective well

being (Diener, dkk., 2006a). Hal ini dijelaskan melalui beberapa proses sebagai

berikut. Pertama, syukur mempengaruhi subjective well being melalui manfaat emosional, ketika hal baik dipandang sebagai suatu kebaikan atau nikmat maka hal tersebut merupakan salah satu jalan syukur yang mampu berkontribusi terhadap subjective well being. Kedua, syukur memiliki kontribusi terhadap

subjective well being sebagai bentuk adaptasi seseorang dengan lingkungannya.

Ketiga, syukur mampu menjauhkan perhatian dari deprivasi relatif, yakni membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki lebih banyak kebaikan atau nikmat (McCullough, dkk. dalam Emmons dan McCullough, 2004). Keempat, penerapan syukur merupakan bentuk coping yang efektif. Penelitian Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004) membuktikan bahwa syukur merupakan

salah satu bentuk adaptif atas situasi hidup yang dianggap sulit. Kelima, salah satu cara bersyukur yakni mengingat kejadian menyenangkan dalam hidup akan mendorong subjective well being dan hal ini juga akan membuat seseorang memberikan toleransi tersendiri terhadap kejadian buruk yang terjadi. Terakhir, Watkins (dalam Emmons dan McCullough, 2004) menjelaskan bahwa syukur akan meningkatkan subjective well being melalui pencegahan episode depresi.

Watkins, dkk. (2003) menjelaskan bahwa keduanya bisa saling mempengaruhi, di mana syukur mempengaruhi subjective well being tetapi

subjective well being juga mempengaruhi syukur secara tidak langsung dan

keduanya membentuk lingkaran positif. Seseorang yang bersyukur akan merasa lebih bahagia karena menikmati segala manfaat yang didapatkan dalam hidup dan menerima setiap kejadian secara positif. Afek positif yang timbul akan membuat seseorang menganggap hidupnya sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan, dan orang yang bahagia akan mengakui hal baik yang diperoleh dari orang lain. Hal ini disebut sebagai respon syukur terhadap situasi hidup dan orang yang bahagia akan mudah menerima segala sesuatu yang datang dalam hidup sebagai suatu kebaikan atau nikmat (Watkins dalam Emmons dan McCullough, 2004).

Syukur dapat dimunculkan melalui dua proses berpikir (Emmons, 2007). Pertama, seseorang mengakui bahwa dirinya telah memperoleh kebaikan atau nikmat. Kedua seseorang mengakui bahwa ada sumber eksternal yang berperan sehingga kebaikan atau nikmat ini ada. Emmons (2007) kemudian menjabarkannya menjadi menghargai nikmat/kebaikan (recognize the benefit),

mengakui nikmat/kebaikan (acknowledge receiving its), dan mengembalikan tikdakan baik atau/budi/bersyukur (return the favor/appreciate).

Penjelasan di atas membuktikan bahwa syukur dapat ditingkatkan pada diri seseorang melalui suatu pelatihan. Pelatihan ini akan mengarahkan seseorang kepada sifat dan keadaan syukur sehingga akan terbentuk perilaku syukur dan seseorang menjadi mampu melihat nilai-nilai positif yang dimiliki di tengah segala kekurangan yang dimiliki dalam kehidupannya. Hal ini akan menumbukan afek positif pada pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidup, kepuasan hidup secara global maupun kepuasan atas ranah-ranah tertentu dalam kehidupan sehingga akan meningkatkan subjective well being.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka berpikir penelitian ini adalah:

Gambar 3

Kerangka Berpikir Pengaruh Pelatihan Syukur terhadap Subjective Well Being Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome

PELATIHAN

Dokumen terkait