• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Hubungan Pengaruh Perubahan Faktor terhadap Degradasi Sukrosa

5. Pengaruh lama pemanasan

Larutan invertase 0.01 g/l sebanyak 1.0 ml dimasukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi yang telah berisi air 0.4 ml, kemudian dipanaskan dengan waktu yang bervariasi yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60 dan 300 (detik). Setelah waktu yang diperlukan tercapai, tabung reaksi dikeluarkan dari penangas air dan didinginkan. Setelah itu ditambahkan ke dalamnya larutan kawao sebanyak 0.1 ml dan terakhir ditambahkan larutan sukrosa 50 g/l sebanyak 0.5 ml. Waktu reaksi dihitung saat sukrosa mulai ditambahkan ke dalam larutan enzim, reaksi berlangsung selama 5 menit pada suhu ruang (28 ± 2 oC). Pengukuran reaksi hidrolisis mengikuti prosedur sebelumnya.

d. Penentuan parameter kinetika

Penentuan parameter kinetika inhibisi sama halnya dengan penentuan perubahan faktor seperti telah dijelaskan sebelumnya. Analisis yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode DNS. Kondisi inhibisi invertase oleh kawao dilakukan pada pH 7 dan pada tiga titik suhu pengamatan (30oC, 40oC, dan 50oC) dengan berdasar pada perubahan konsentrasi substrat.

Hasil yang diperoleh kemudian diplotkan pada kurva kinetika (Lineweaver-Burk), hubungan antara 1/V dan 1/[S]. Nilai KM dan Vmaks dapat diperoleh dari persamaan linier plot kurva Lineweaver- Burk.Slope yang diperoleh merupakan KM/Vmaks, sedangkan intersep menunjukkan 1/Vmaks. Bentuk kurva Lineweaver-Burk yang diperoleh menunjukkan model kinetika inhibisi. Penentuan model kinetika pada penelitian ini menggunakan alat bantu berupa program SigmaPlot 2004 for Windows Version 9.01 dari Systat Software Inc. Program ini akan menentukan model kinetika inhibisi yang paling tepat berdasarkan nilai r2 tertinggi yang diperoleh.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian dikelompokkan sesuai dengan tahapan penelitian yang dilakukan. Penyajian grafik dalam bentuk garis dan batang, relatif lebih disukai untuk memudahkan dalam interpretasi data. Data-data pendukung lain yang bersifat teknis, dilampirkan pada akhir laporan ini.

A. Aktivitas Invertase

Aktivitas katalitik suatu enzim merupakan suatu karakterisasi yang diukur berdasarkan peningkatan laju reaksi konversi substrat menjadi produk pada suatu reaksi kimia spesifik oleh enzim tersebut. Hal ini merupakan karakterisasi kuantitas enzim secara umum, sedangkan secara khusus adalah penentuan aktivitas katalitik spesifik yang biasanya dilakukan pada pemurnian enzim, di mana aktivitas katalitik dibagi dengan massa protein.

Penentuan aktivitas invertase penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perubahan penurunan sukrosa (µmol) menjadi gula pereduksi setiap menit reaksi. Selain itu, nilai aktivitas enzim yang diketahui menunjukkan kemampuan enzim dalam mengkatalisis suatu reaksi. Aktivitas invertase terukur, digambarkan dalam bentuk kurva pada Gambar 14.

0 200 400 600 800 1000 1200 0 60 120 180 240 300 360

lama reaksi (detik)

k ons en tras i gluk os a+fru k to s a (uM)

Gambar 14. Kurva aktivitas invertase dengan nilai persamaan y = 3.2267 x dan koefisien regresi r2 = 0.9721

Aktivitas invertase berdasarkan nilai slope yang diperoleh adalah sebesar 3.2267 µM/detik, yang berarti bahwa invertase mampu menghidrolisis 3.2267 µM sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa dalam satu detik atau

perubahan 0.3872 µmol sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa dalam satu menit pada total volume larutan 2 ml.

Semakin besar nilai aktivitas yang diperoleh menunjukkan bahwa enzim yang dianalisa memiliki aktivitas yang tinggi pula, karena nilai tersebut menunjukkan banyaknya jumlah substrat yang dikatalisis oleh enzim dalam satu satuan waktu (menit). Kecepatan reaksi akan berlangsung lebih cepat, sehingga nilai Vmaks pun cepat tercapai.

Nilai aktivitas yang diperoleh tersebut dapat dikatakan rendah, namun hal tersebut bukan merupakan permasalahan dalam pengujian hubungan pengaruh perubahan faktor terhadap aktivitas enzim akibat penambahan kawao. Respon yang diberikan pada pengaruh perubahan faktor masih dapat diukur, walaupun menggunakan invertase dengan aktivitas yang rendah. B. Penentuan Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Kawao

Dalam penentuan pengaruh konsentrasi inhibitor, dilakukan penentuan rentang konsentrasi inhibitor yang mampu memberikan respon inhibisi atau daya hambat terhadap aktivitas invertase. Hal tersebut ditunjukkan dengan menurunnya gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) yang dibandingkan dengan kondisi kontrol (tanpa kawao). Analisis sidik ragam pada Lampiran 3 bagian A, menunjukkan bahwa konsentrasi kawao yang diujikan memberikan pengaruh nyata terhadap konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan.

Nilai konsentrasi gula pereduksi terendah adalah pada saat konsentrasi kawao 5% (v/v) yakni sebesar 103.727 µM, sedangkan konsentrasi gula pereduksi tertinggi adalah pada titik kontrol (tidak ada penambahan kawao) yakni sebesar 671 µM. Kurva pengaruh konsentrasi kawao terhadap aktivitas enzim invertase dapat dilihat pada Gambar 15.

0 200 400 600 800 0 2,5 5 10 15 20 25 Konsentrasi inhibitor (% v/v) K ons entras i g lukosa+f ru kt osa (uM)

Gambar 15. Kurva pengaruh konsentrasi kawao terhadap konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan

Berdasarkan hasil uji daya inhibisi, menunjukkan bahwa akibat penambahan kawao, gula pereduksi cenderung menurun, namun seiring dengan meningkatnya konsentrasi kawao hingga konsentrasi 25% (v/v), terlihat adanya peningkatan jumlah gula pereduksi, namun tidak melebihi nilai kontrol. Terlihat bahwa penambahan kawao mampu memberikan respon inhibisi aktivitas invertase dengan baik.

Gula pereduksi secara signifikan menurun dengan penambahan kawao 2.5% (v/v), selanjutnya penurunan masih terlihat secara landai pada penambahan kawao 5% (v/v). Penambahan kawao lebih dari 5% (v/v) hingga 20% (v/v) meningkatkan gula pereduksi secara tidak signifikan, namun pada penambahan kawao 25% (v/v) terjadi peningkatan secara signifikan. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 3 bagian A.

Peningkatan gula pereduksi terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi kawao yang ditambahkan, hal tersebut dapat diduga bahwa dalam kawao juga terdapat gula pereduksi ataupun golongan sakarida lain yang ikut terhidrolisis, dan perbandingannya dengan zat aktif inhibitor lebih besar. Pendugaan ini cukup beralasan karena hasil pengujian ekstrak kawao murni dengan pereaksi DNS tanpa adanya sukrosa dan invertase menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kawao, semakin tinggi pula gula pereduksi yang dihasilkan. Selain itu, didukung pula oleh hasil uji fitokimia kawao pada Lampiran 7 yang menunjukkan nilai positif untuk pemeriksaan glikosida.

Pada penambahan inhibitor 5% (v/v) diperoleh nilai gula pereduksi terendah, sehingga untuk selanjutnya jumlah inhibitor yang terpilih adalah sebesar 5% (v/v) untuk volume total sampel sebanyak 2 ml. Hasil pengujian kawao menunjukkan bahwa aktivitas invertase mampu dihambat. Inhibisi terhadap aktivitas enzim invertase diduga disebabkan oleh golongan alkaloid yang memberikan aksi penghambatan kepada substrat untuk memasuki daerah katalitik enzim, karena pada ekstrak kawao melalui pengujian fitokimia secara kualitatif mengandung bahan aktif berupa alkaloid. Hasil pengujian fitokimia kawao dapat dilihat pada Lampiran 7.

Trojanowicz et al. (2004) menyatakan bahwa selain ion-ion logam, terdapat bahan lain yang menjadi inhibitor bagi invertase, bahan tersebut antara lain adalah kelompok glikoprotein, polipeptida, dan alkaloid.

C. Hubungan Pengaruh Perubahan Faktor Terhadap Degradasi Sukrosa Telah dieksplorasi bagaimana suatu senyawa kimia yang berbeda yang berikatan dengan enzim dapat mempengaruhi laju reaksi katalisa enzim. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas katalitik, baik dengan cara mengganggu bentuk enzim, atau secara ionisasi. Berikut merupakan faktor yang turut mempengaruhi aktivitas invertase antara lain konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pH, suhu inkubasi dan lama pemanasan. Jika faktor tersebut berubah, maka aktivitas enzim juga berubah.

1. Pengaruh Konsentrasi Enzim

Kecepatan reaksi enzimatis turut ditentukan oleh konsentrasi enzim yang berperan sebagai katalisator dalam suatu reaksi enzimatis. Peningkatan konsentrasi enzim umumnya akan meningkatkan konsentrasi produk. Hal ini juga terjadi pada pengaruh perubahan konsentrasi invertase terhadap peningkatan konsentrasi glukosa dan fruktosa akibat penambahan kawao.

Konsentrasi invertase yang digunakan adalah 0 mg/l hingga 4.15 mg/l, dengan konsentrasi sukrosa yang digunakan sama, yakni 25 g/l. Hasil hidrolisis sukrosa menunjukkan bahwa nilai gula pereduksi semakin meningkat dengan kenaikan konsentrasi invertase, baik pada perlakuan

tanpa kawao (kontrol) maupun akibat penambahan kawao. Hasil perlakuan konsentrasi enzim ditunjukkan pada Gambar 16.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 0 0,15 0,85 1,65 2,5 3,35 4,15 Konsentrasi invertase (mg/l) Ko nsentr asi glukosa+fruk tosa (uM )

Perlakuan konsentrasi enzim tanpa kawao Perlakuan konsentrasi enzim dengan penambahan kawao

Gambar 16. Kurva pengaruh perubahan konsentrasi enzim terhadap

konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan

Pembentukan produk semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi enzim, karena semakin banyak sisi aktif enzim yang berikatan dengan substrat. Reaksi akan berhenti atau menjadi stabil jika semua substrat telah dikatalisis oleh enzim. Namun apabila konsentrasi enzim jauh lebih rendah daripada substrat, maka kondisi tersebut menjadikan substrat sangat berlebih, sehingga dapat membatasi laju reaksi katalisis enzim (Suryani dan Mangunwidjaya, 2002).

Peningkatan aktivitas pada perlakuan kontrol, terjadi pada rentang konsentrasi invertase 0 - 1.65 mg/l. Semakin banyak sisi aktif enzim yang berikatan dengan sukrosa sehingga semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan. Peningkatan masih terjadi hingga taraf konsentrasi enzim tertinggi yaitu 4.15 mg/l, baik pada perlakuan kontrol maupun dengan penambahan kawao.

Kecepatan reaksi dipengaruhi oleh konsentrasi enzim yang berperan sebagai katalisator di dalam suatu reaksi. Peningkatan konsentrasi enzim umumnya akan meningkatkan hidrolisis substrat menjadi produk (Simanjutak dan Silalahi, 2003). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi enzim yang diujikan menunjukkan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap gula pereduksi yang dihasilkan. Hasil uji statistik tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3 bagian B.

79,52 63,91 30,80 -2,17 -10,50 -7,56 -9,66 -20 0 20 40 60 80 100 0 0,15 0,85 1,65 2,5 3,35 4,15 konsentrasi enzim (mg/l) k emam pu an in h ib is i (%) 0 1 2 3 4 5 6 7 s ub s et

Gambar 17. Inhibisi aktivitas invertase oleh kawao pada konsentrasi enzim yang berbeda

Grafik batang pada Gambar 17 menunjukkan kemampuan inhibisi (%) akibat penambahan kawao pada rentang konsentrasi enzim yang berbeda. Grafik garisnya menunjukkan proyeksi uji beda pada selang konsentrasi enzim yang berdekatan, garis mendatar menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata, sedangkan pengaruh berbeda nyata ditunjukkan oleh garis yang meningkat. Inhibisi oleh kawao secara nyata terjadi pada saat konsentrasi enzim di atas 1.65 mg/l dan aktivitas penghambatan ini semakin meningkat secara nyata dengan konsentrasi enzim yang lebih tinggi, sedangkan pada konsentrasi enzim 0 – 1.65 mg/l belum terjadi inhibisi, terlihat persentase inhibisi menunjukkan angka negatif. Bahkan pada rentang konsentrasi tersebut, nilai gula pereduksi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa kawao. Hal ini disebabkan karena pada konsentrasi enzim rendah, efek inhibisi yang diberikan kurang dominan saat kuantitas enzim sangat rendah. Selain itu, seperti halnya pendugaan di awal bahwa pada kawao telah mengandung sejumlah kecil komponen gula sehingga nilai gula pereduksi pada rentang konsentrasi enzim 0 – 1.65 mg/l tampak lebih besar. Pada perbandingan jumlah enzim, substrat dan inhibitor yang tepat, maka efek inhibisi akan bekerja secara optimal. Hasil uji statistik persentase inhibisi

2. Pengaruh konsentrasi substrat

Selain konsentrasi enzim, umumnya konsentrasi substrat juga mempengaruhi aktivitas enzim. Semakin tinggi konsentrasi substrat, maka semakin meningkat pula konsentrasi produk yang dihasilkan. Hal ini juga terjadi pada pengaruh penambahan sukrosa terhadap aktivitas invertase yang ditunjukkan pada Gambar 18.

0 150 300 450 600 750 900 0 4,25 8,25 12,5 16,75 20,75 Konsentrasi sukrosa (g/l) K ons ent ras i g lu ko sa +f ru kto sa (u M)

Perlakuan konsentrasi substrat tanpa kawao

Perlakuan konsentrasi substrat dengan penambahan kawao

Gambar 18. Kurva pengaruh perubahan konsentrasi sukrosa terhadap

konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan

Konsentrasi akhir sukrosa yang diujikan pada percobaan ini adalah pada rentang 0 g/l hingga 25 g/l, dengan konsentrasi enzim yang sama, memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan. Peningkatan gula pereduksi pada perlakuan kontrol menurut hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan, secara signifikan meningkat pada setiap rentang konsentrasi, kecuali pada rentang konsentrasi 12.5 – 16.75 g/l. Peningkatan tersebut disebabkan karena dengan bertambahnya substrat, maka peluang substrat berikatan dengan sisi aktif enzim semakin besar, untuk selanjutnya menghasilkan produk.

-38,50 -18,15 6,91 21,72 23,08 26,22 -50 -40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 0 4,25 8,25 12,5 16,75 20,75 konsentrasi sukrosa (g/l) k ema mpua n in h ibi s i (% ) 0 1 2 3 4 5 s u b s e t

Gambar 19. Inhibisi aktivitas invertase oleh kawao pada konsentrasi sukrosa yang berbeda

Inhibisi terhadap aktivitas invertase secara signifikan meningkat mulai dari konsentrasi 0 – 12.5 g/l, sedangkan inhibisi pada konsentrasi substrat 12.5 – 20.75 g/l tidak berbeda secara nyata, seperti ditunjukkan oleh garis penghubung pada Gambar 19. Garis tersebut menunjukkan perbedaan tingkat signifikan perubahan dua titik konsentrasi yang berdekatan, gradien garis menunjukkan bahwa pada rentang yang diapit tersebut terjadi perubahan secara signifikan baik meningkat maupun menurun, sedangkan apabila mendatar menunjukkan tidak adanya perbedaan secara signifikan pada rentang tersebut. Kemampuan inhibisi (%) yang bernilai negatif menunjukan bahwa gula pereduksi yang dihasilkan lebih tinggi pada perlakuan kontrol dibandingkan dengan penambahan kawao, seperti dapat dilihat pada Gambar 18. Penjelasan untuk kondisi tersebut sama halnya dengan kondisi pada saat konsentrasi enzim rendah. Pada kondisi demikian, efek inhibisi yang terjadi belum optimal, proporsi gula pereduksi dalam larutan didominasi dari ekstrak kawao. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 3 bagian C dan Lampiran 3 bagian H.

Substrat yang masih ditingkatkan pada tingkat yang sudah stabil dapat menyebabkan penurunan aktivitas invertase karena substrat akan berubah menjadi inhibitor bagi aktivitas enzim. Somiari dan Bielecki (1995) dalam Filho et al. (1999) menyatakan bahwa invertase dapat

mengkatalisis sukrosa pada konsentrasi di atas 59% (w/v). Peningkatan konsentrasi sukrosa lebih lanjut sampai 80% (w/v) menurunkan aktivitas enzim secara signifikan, mungkin disebabkan oleh konsentrasi air rendah, inhibisi oleh substrat atau agregasi substrat.

Studi lain menyatakan bahwa pada reaksi hidrolisis sukrosa, fruktosa merupakan inhibitor kompetitif bagi invertase, sedangkan glukosa merupakan inhibitor non kompetitif bagi invertase (Hsiao et al., 2002). Lehninger (1988) menambahkan bahwa seiring dengan meningkatnya konsentrasi substrat, kecepatan reaksi akan meningkat. Namun pada akhirnya akan mencapai titik batas di mana dengan bertambahnya konsentrasi substrat kecepatan reaksi hanya meningkat sedemikian kecil. Pada batas ini disebut dengan kecepatan maksimum (Vmaks), enzim menjadi jenuh oleh substratnya, dan tidak dapat berfungsi lebih cepat. 3. Pengaruh pH

Penentuan pengaruh perubahan pH dilakukan dengan melarutkan invertase pada beberapa buffer pH yang berbeda mulai dari buffer pH 3 hingga pH 11, dengan konsentrasi invertase dan sukrosa sama pada setiap taraf, masing-masing 5 mg/l dan 25 g/l, sehingga masing-masing taraf bereaksi pada pH larutan yang berbeda. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa taraf perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan. Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 3 bagian D.

Konsentrasi gula pereduksi paling rendah pada perlakuan kontrol diperlihatkan pada 3 nilai pH terakhir yaitu pH 9, 10, dan 11 dan konsentrasi gula pereduksi tertinggi tercapai pada pH 5, sedangkan pada perlakuan akibat penambahan kawao, gula pereduksi terendah terjadi pada pH 9, dan tertinggi pada pH 4.

Pengaruh perubahan nilai pH terhadap aktivitas invertase dapat dilihat pada Gambar 20. Kedua perlakuan baik kontrol maupun dengan penambahan kawao menunjukkan pola aktivitas yang hampir serupa. Aktivitas invertase tanpa inhibitor (kontrol) meningkat signifikan mulai dari pH 3 hingga titik optimum pada pH 5 dan kemudian aktivitasnya

menurun signifikan seiring dengan penurunan nilai pH hingga pH 8, selanjutnya perubahan nilai pH tidak berpengaruh secara nyata pada pembentukan gula pereduksi.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 0 2 4 6 8 10 12 pH Ko n se n tr a si g lu k o s a +f ru k tosa (u M)

Perlakuan pH tanpa kawao Perlakuan pH dengan penambahan kawao

Gambar 20. Kurva pengaruh perubahan pH terhadap konsentrasi gula

pereduksi yang dihasilkan

Pada perlakuan akibat penambahan kawao, aktivitas invertase meningkat secara signifikan mulai pH 3 hingga mencapai titik optimum di pH 4, kemudian aktivitasnya menurun signifikan hingga pH 6, selanjutnya peningkatan pH larutan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Pergeseran nilai optimum yang diperoleh dibandingkan kontrol dapat disebabkan karena pengaruh perubahan pH terhadap muatan yang terdapat pada gugus fungsional enzim sebagai protein, denaturasi yang terjadi akibat perubahan pH tersebut, serta perubahan konformasi enzim. Aktivitas dan stabilitas invertase terlihat sangat rendah pada pH yang sangat asam (pH 3) dan basa tinggi (pH 8-11). Hal ini menunjukkan bahwa pada pH yang sangat asam, gugus fungsional pada sisi aktif enzim terganggu oleh adanya ion H+ yang berlebihan, sedangkan pada pH basa tinggi aktivitas invertase rendah karena ion OH- yang berlebihan, selain itu mungkin juga telah terjadi denaturasi enzim.

Aktivitas invertase secara umum telah dipelajari, dan memiliki nilai yang bervariasi tergantung sumber perolehannya. Rahman et al.

(2001) menyatakan bahwa invertase dalam buah mangga memberikan aktivitas maksimal pada pH sekitar 4.5. Nakanishi et al. (1991) dalam

Rahman et al. (2001) menemukan bahwa aktivitas invertase pada anggur adalah 2.5-8, dengan pH optimum adalah 4.0. Rahman et al. (2004) telah meneliti invertase dalam tebu memberikan aktivitas maksimum pada pH 7,2. Chungliang et al. (1999) dalam Rahman et al. (2004) menyatakan bahwa pH optimum invertase dari benih padi adalah 7,0. Aktivitas dan stabilitas invertase turun perlahan pada pH asam, tetapi turun secara cepat pada pH basa. Observasi ini menunjukkan bahwa enzim relatif stabil pada kisaran pH asam hingga pH netral (Rahmanet al., 2004).

Rodwell (1981) menyatakan bahwa perubahan pH yang tidak begitu besar mempengaruhi keadaan ion enzim dan juga ion substrat. Aktivitas optimum juga dinyatakan antara pH 5.0 hingga 9.0. Akan tetapi, beberapa enzim, misalnya pepsin, aktif pada nilai pH diluar batas tersebut. Chaplin (1990) menyatakan bahwa pada larutan basa (pH > 8), kemungkinan terjadi destruksi parsial (denaturasi), sedangkan pada larutan asam (pH < 4) dapat terjadi hidrolisis ikatan peptida yang labil. Stauffer (1989) menyatakan bahwa enzim terdenaturasi di suhu ruang pada pH tinggi atau rendah, sehingga enzim kehilangan aktivitasnya yang bersifat tidak dapat balik (irreversible).

Profil inhibisi yang terjadi akibat penambahan kawao pada perubahan nilai pH dapat dilihat pada Gambar 21. Inhibisi akibat penambahan kawao terjadi mulai pH 4 hingga pH 7. Di luar rentang tersebut, penambahan kawao tidak memberikan respon inhibisi yang baik. Hal tersebut dapat disebabkan karena kondisi lingkungan baik bagi enzim maupun kawao yang tidak mendukung terjadinya inhibisi akibat stabilitasnya terganggu oleh pH ekstrim. Tingginya nilai gula pereduksi pada pH tinggi, untuk perlakuan dengan penambahan kawao dimungkinkan selain karena stabilitasnya yang terganggu juga karena adanya gula pereduksi yang berasal dalam kawao. Hasil uji statistik persentase inhibisi dapat dilihat pada Lampiran 3 bagian I.

63,61 -196,23 -234,96 -131,88 -151,89 -156,60 72,84 51,49 -6,35 -300 -250 -200 -150 -100 -50 0 50 100 3 4 5 6 7 8 9 10 11 pH k em am pu an in hi bis i (% ) 0 1 2 3 4 5 6 sub set

Gambar 21. Inhibisi aktivitas invertase oleh kawao pada pH yang berbeda

4. Pengaruh suhu

Penentuan pengaruh perubahan suhu terhadap aktivitas invertase dilakukan pada suhu inkubasi mulai dari 0° C hingga 90°C selama 5 menit. Konsentrasi enzim dan sukrosa yang digunakan sama seperti pada penentuan pengaruh perubahan pH. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perubahan suhu tersebut berpengaruh nyata terhadap konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan. Hasil uji statistik tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3 bagian E. Pengaruh perubahan suhu pada kondisi normal (kontrol) menghasilkan konsentrasi gula pereduksi tertinggi pada suhu 50°C, sedangkan perlakuan dengan penambahan kawao tercapai pada suhu 60oC. Kurva pengaruh perubahan suhu terhadap aktivitas invertase dapat dilihat pada Gambar 22.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 suhu (oC) Konsentr asi gl ukosa+f ruktosa (u M)

Perlakuan suhu tanpa kawao Perlakuan suhu dengan penambahan kawao Gambar 22. Kurva pengaruh perubahan suhu terhadap konsentrasi gula

pereduksi yang dihasilkan

Aktivitas invertase berdasarkan gambar di atas terlihat semakin meningkat seiring dengan kenaikan suhu hingga mencapai titik maksimum. Peningkatan suhu lebih lanjut setelah titik maksimum menyebabkan penurunan aktivitas invertase dalam menghidrolisis sukrosa. Kedua perlakuan terhadap invertase, baik kontrol maupun dengan penambahan kawao menunjukkan pola yang serupa. Webb (1963) menyatakan bahwa suhu pada saat aktivitas enzim maksimum disebut dengan suhu optimum.

Meningkatnya aktivitas invertase pada awal peningkatan suhu terjadi karena peningkatan suhu menyebabkan peningkatan energi kinetik pada molekul enzim dan substrat. Peningkatan energi kinetik memungkinkan terjadinya tumbukan antara molekul tersebut semakin besar, sehingga berpeluang membentuk kompleks enzim-substrat secara optimal. Lehninger (1988) menyatakan bahwa kenaikan suhu akan mempercepat gerak termal molekul, dan laju reaksi akan mengalami peningkatan hingga kira-kira 2 kali setiap kenaikan suhu 10oC. Demikian pula Rodwell (1981) menambahkan, suhu merupakan faktor yang mempengaruhi reaksi kimia, termasuk reaksi katalisis enzim.

Rahman et al (2004) menyatakan suhu optimum invertase pada tanaman tebu adalah 60° C, sedangkan Rahman et al (2001) menemukan suhu optimum invertase pada buah mangga adalah 75°C, sama seperti

pada buah anggur (Nakanishi et al., 1991), sedangkan menurut Wang (2002) aktivitas invertase maksimum dicapai pada saat suhu sekitar 55oC.

Rodwell (1981) menjelaskan bahwa suhu optimum kebanyakan enzim adalah suhu sel atau di atas suhu sel tempat enzim-enzim berada. Kenaikan kecepatan aktivitas enzim di bawah suhu optimum disebabkan oleh kenaikan energi kinetik molekul-molekul yang bereaksi. Akan tetapi apabila suhu tetap dinaikkan, energi kinetik molekul-molekul enzim menjadi demikian besar sehingga melampaui penghalang energi untuk memecahkan ikatan sekunder. Ikatan sekunder tersebut berfungsi untuk mempertahankan enzim dalam keadaan katalitik enzim aktif. Jika ikatan sekunder enzim tersebut pecah, struktur sekunder dan tersier hilang disertai hilangnya aktivitas biologis. Aktivitas invertase pada penelitian ini mengalami penurunan secara siginifikan setelah suhu optimum dan kemudian mengalami inaktivasi pada suhu yang lebih tinggi.

12,44 3,64 8,00 11,92 25,20 40,96 43,96 -3,52 -6,16 -12,72 -20 -10 0 10 20 30 40 50 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 suhu (oC) k em am puan in h ib isi (%) 0 1 2 3 4 5 6 s ub s et

Gambar 23. Inhibisi aktivitas invertase oleh kawao pada suhu yang berbeda

Kawao menunjukkan inhibisi terhadap aktivitas invertase pada hampir di setiap selang suhu, kecuali di atas suhu 65oC, seperti terlihat pada Gambar 23. Pada suhu tersebut, stabilitas kawao menurun sehingga kemungkinan kandungan kawao telah rusak, hal tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya kandungan gula pereduksi yang dihasilkan. Peningkatan inhibisi secara signifikan terjadi pada rentang suhu 20 – 40oC,

pada rentang suhu 40 – 50oC secara statistik tidak berbeda nyata, kemudian di atas suhu 50oC terjadi penurunan inhibisi secara signifikan dan melandai pada suhu di atas 70oC. Webb (1963) menyatakan bahwa suhu dapat mempengaruhi perubahan konfigurasi dari sisi aktif enzim. Jika sisi aktif enzim mudah mengalami perubahan struktur, fleksibilitas enzim akan berubah sehingga menyebabkan inhibitor lebih mudah atau lebih sulit untuk mengikat enzim.

Perlakuan perubahan suhu menunjukkan inhibisi meningkat seiring dengan kenaikan suhu hingga mencapai optimum di suhu 50oC. Terlihat pula bahwa suhu optimum aktivitas enzim bergeser, yang semula di suhu

Dokumen terkait