• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan

Hasil analisis pada Gambar 3 menunjukkan kadar C-organik yang dianalisis dengan metode Walkley and Black. Pada tiga minggu pertama, kadar C-organik petak perlakuan kotoran sapi lebih tinggi dibandingkan petak kontrol namun pada minggu ke-4 kadar C-organik petak perlakuan kotoran sapi lebih rendah 0.45%

dari petak kontrol. Memasuki minggu ke-6 dan ke-8 kadar C-organik petak perlakuan kotoran sapi meningkat lagi melebihi kadar C-organik pada petak kontrol, kemudian menurun lagi pada minggu ke-10 dan ke-14, bahkan lebih rendah daripada petak kontrol.

Kadar C-organik baik pada petak kotoran sapi maupun kontrol mencapai kesetimbangan pada minggu ke-14. Perubahan kadar C-organik yang tidak linear ini dapat disebabkan karena terjadi dekomposisi. Proses dekomposisi merupakan proses perombakan bahan organik menjadi CO2, H2O, dan senyawa organik baru lain (Anwar dan Sudadi, 2007). Proses dekomposisi ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, tata udara tanah, dan pH (Hardjowigeno, 2007). Dekomposisi akan cepat terjadi jika suhu tinggi, adanya udara yang cukup dalam tanah, dan dalam pH yang tidak masam. Mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik seperti Actinomycetes dapat berkembang baik pada tanah dengan pH tanah agak masam hingga netral (Hardjowigeno, 2007).

Penambahan bahan organik dapat meningkatkan kandungan C-organik tanah pada minggu ke-1, 2, 3, 6, dan 8. Tetapi pada minggu ke-4, 10, dan 14 kadar organik pada petak kotoran sapi lebih rendah. Rendahnya kadar C-organik pada minggu ke-4, 10, dan 14 ini diduga karena tingginya curah hujan di lapang (data curah hujan disajikan di Tabel Lampiran 2), sehingga kemungkinan gumpalan kotoran sapi pada petak perlakuan kotoran sapi yang belum tercampur sempurna dapat tercuci.

Gambar 3. C-organik pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi di Andisol Lembang selama 14 Minggu.

4.4 Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar Amonium dan Nitrat pada Andisol Lembang.

Data hasil pengukuran N-NH4+ terdapat pada Gambar 4. Berdasarkan kurva Gambar 4 dapat dilihat perbandingan kadar N-NH4+ antara petak kontrol dan petak perlakuan kotoran sapi. Hasil inkubasi selama 14 minggu memperlihatkan bahwa pada petak kotoran sapi memiliki kadar N-NH4+ lebih tinggi dibandingkan petak kontrol. Kadar N-NH4+ yang tinggi pada minggu pertama inkubasi disebabkan karena pemberian kotoran sapi dapat menambah bahan organik dan unsur hara dalam tanah, yang dapat menyebabkan bertambahnya jumlah mikroba yang ada. Bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroba sehingga mereka lebih banyak memiliki sumber energi untuk merombak N-organik menjadi N-tersedia. Proses mineralisasi terjadi sejak minggu pertama inkubasi. Namun pada minggu terakhir terlihat bahwa kadar N-NH4+ pada petak kotoran sapi lebih rendah dari petak kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena bahan organik yang ada telah berkurang keberadaannya sehingga menyebabkan kurang tersedianya N-NH4+.

Gambar 4. N-NH4+ pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi di Andisol Lembang selama 14 Minggu.

Data hasil pengukuran N-NO3- terdapat pada Gambar 5. Kadar N-NO3

-petak kotoran sapi pada tiga minggu pertama lebih rendah daripada -petak kontrol sehingga jika dihitung jumlah bersih N-NO3- yang didapat akan menunjukkan

angka negatif. Menurut Chaves et al., (2004) Angka negatif dapat menjadi indikasi bahwa terjadi proses immobilisasi.

Gambar 5. N-NO3- pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi di Andisol Lembang selama 14 Minggu.

Gambar 6. Perubahan pH Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi Selama 14 Minggu.

Nilai NO3- (Gambar 5) jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai NH4+

(Gambar 4) karena memang pH selama masa inkubasi sangat sesuai untuk terjadi proses nitrifikasi (Funakawa et al., 2009).

Kadar N-NO3- tinggi sejak minggu pertama. Hal ini dapat disebabkan karena proses nitrifikasi telah terjadi sangat cepat sejak minggu pertama. Kadar N-NH4+ sangat jelas menurun mulai minggu ke-3. Hal ini diperkuat oleh meningkatnya kadar N-NO3- mulai minggu ke-3 baik pada petak kontrol maupun petak kotoran sapi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa ternyata pada petak kontrol (tanpa perlakuan) terjadi mineralisasi N. Peningkatan N-NO3- juga dapat dipengaruhi oleh pH, karena proses nitrifikasi dipengaruhi oleh pH. Pada pH lebih dari 5.5 bakteri nitrifikasi dapat berkembang dengan baik (Hardjowigeno, 2007). Nitrifikasi meningkat bersama dengan meningkatnya pH (Bremner dan Blackmer, 1981 dalam Milne, et al., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Burger dan Venterea (2007) juga menunjukkan pola yang sama yaitu penurunan N-NH4+ dan peningkatan N-NO3- pada tanah dengan perlakuan kotoran sapi yang dicampur dengan jerami.

Gambar 7. Grafik Total N-tersedia (N-NH4+ dan N-NO3-) pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi.

Jumlah dari N-NH4+ dan N-NO3- adalah jumlah N-tersedia. Pada Gambar 7 diperlihatkan pada 3 minggu pertama inkubasi jumlah N-tersedia petak kotoran sapi lebih rendah daripada petak kontrol, sedangkan sejak minggu ke-4 jumlah N-tersedia pada petak kotoran sapi lebih tinggi. Penurunan kadar N-N-tersedia pada minggu ke-2 diduga terjadi karena proses immobilisasi ataupun karena diserap

oleh tanaman. Rendahnya jumlah N-tersedia di petak kotoran sapi pada tiga minggu awal diduga karena proses yang terjadi adalah proses immobilisasi, yaitu proses pengikatan nitrogen oleh mikroorganisme dalam bentuk organik sehingga kurang tersedia. Hal ini didukung dengan nilai Nisbah C/N pada kotoran sapi tersebut yaitu sebesar 43.7 (dapat dilihat pada Tabel 2). Nisbah C/N adalah sebuah indikator tingkat perombakan bahan organik. Nilai Nisbah C/N yang lebih besar dari tiga puluh maka terjadi immobilisasi (Syukur dan Harsono, 2008).

4.5. Model Persamaan First Order Kinetic.

Model persamaan first order kinetic digunakan untuk mensimulasikan hasil analisis N-tersedia (N-NH4+ dan N-NO3-) untuk mendapatkan nilai N yang berpotensi termineralisasi dan konstanta kecepatan mineralisasinya. Melalui model persamaan first order kinetic didapatkan persamaan 560 (1-exp(-0.242t)) untuk petak kontrol dan 717 (1-exp(-0.223t)) untuk petak kotoran sapi. Perbandingan nilai Nm dan k dari petak kontrol dan petak kotoran sapi dapat dilihat pada Tabel 2 sedangkan perbandingan plotting angka-angka antara hasil analisis first order kinetic dengan hasil analisis laboratorium di tampilkan pada Gambar 8 dan 9. Untuk pengolahan data first order kinetic dilakukan dengan menggunakan software statistika SPSS 15.0.

Hasil dari model first order kinetic ini menunjukkan bahwa N yang berpotensi untuk termineralisasi lebih besar pada perlakuan kotoran sapi. Hal ini dapat dilihat dari nilai Nm petak kotoran sapi yang lebih besar daripada Nm petak kontrol. Nm kotoran sapi adalah sebesar 717 mg kg-1 dan untuk petak kontrol adalah sebesar 560 mg kg-1.

Nilai k merupakan nilai yang menunjukkan tingkat konstanta kecepatan mineralisasi. Nilai k perlakuan kotoran sapi didapatkan hasil 0.22- minggu-1 sedangkan pada petak kontrol adalah sebesar 0.24- minggu-1. Hal ini menunjukkan bahwa pada petak kotoran sapi kecepatan laju mineralisasi N lebih lambat dibandingkan petak kontrol. Diduga bahwa terjadi immobilisasi pada kotoran sapi tersebut karena kotoran sapi yang diberikan belum matang. Hal ini terbukti dengan nilai nisbah C/N yang tinggi. Dengan persamaan ini dapat

dihitung bahwa N yang dapat termineralisasi akan habis pada minggu ke-30 setelah tanam.

Jumlah N yang berpotensi termineralisasi pada petak kotoran sapi adalah sebesar 717 mg kg-1 sedangkan jumlah total N pada kotoran sapi tersebut adalah sebesar 7400 mg kg-1. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah N yang berpotensi termineralisasi sangat sedikit dari total N yang ada. Sisa dari N yang sulit termineralisasi ini diduga adalah senyawa-senyawa N organik yang sulit termineralisasi atau tidak dapat tersedia bagi tanaman, ataupun N yang hilang.

Gambar 8. Plotting angka-angka N-tersedia dari Persamaan First Order Kinetic dan plotting angka-angka hasil Analisis Laboratorium pada Petak Kontrol.

Gambar 9. Plotting Angka-angka N-tersedia dari Persamaan First Order Kinetic dan Plotting Angka-angka Hasil Analisis Laboratorium pada Petak Kotoran Sapi.

Penelitian yang dilakukan oleh Gale et al., (2006), yang mengestimasi dekomposisi dari bahan organik dengan perlakuan kotoran kelinci pada Mollisol di Washington, Amerika, menghasilkan nilai k sebesar 0.003 hari-1. Jika dibandingkan dengan perlakuan kotoran sapi, maka perlakuan kotoran sapi ini lebih cepat dalam proses mineralisasi N dibandingkan dengan perlakuan kotoran kelinci.

Tabel 2. Perbandingan nilai Nm dan k dari persamaan First Order Kinetic pada Petak Kontrol dan Petak Kotoran Sapi.

Petak k (minggu-1) Nm (mg kg-1) R2

Kontrol 0.242 560 0.51

kotoran sapi 0.223 717 0.72

Nilai R2 adalah nilai koefisien korelasi yang menunjukkan hubungan antara variabel, dalam hal ini adalah jenis perlakuan dan ketersediaan N. Nilai R2 yang tinggi (antara 0.5-1.0) menunjukan terdapat hubungan yang erat antara

variabel yang diukur tersebut. Nilai R2 untuk petak kontrol adalah 0.51 sedangkan R2 untuk petak kotoran sapi sebesar 0.72. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan pemberian kotoran sapi sangat berpengaruh terhadap ketersediaan N dan persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi laju N-tersedia pada minggu ke-t pada tanah Andisol Lembang.

Dokumen terkait