• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. KAS tercangkok Anhidrida Maleat 1.Sifat Fisika dan Kimia

4.3.5.2. Thermogravymetric Analysis (TGA)

Thermogram TGA produk reaksi pencangkokan AM pada KAS untuk semua variasi rasio mol St/AM diperlihatkan seperti pada Lampiran 45 sampai 47. Dari thermogram TGA pada Lampiran 45 sampai 47 dapat dilihat bahwa terjadi kecenderungan yang sama untuk semua sampel. Baik sampel KAS tanpa penambahan AM/blanko maupun sampel KAS yang sudah mengalami reaksi pencangkokan dengan penambahan komonomer stirena memperlihatkan perubahan pada kisaran suhu dan kuantitas yang sama. Ditemukan dua fase suhu pengurangan massa sampel yaitu: suhu 100-an sampai 200-an dan suhu 300-an sampai 500-an. Pada suhu 113oC sampai 289oC terjadi pengurangan massa sampel 2,3% sampai 3,4%. Kemudian pada suhu 301oC sampai 532oC terjadi pengurangan massa sampel 95% sampai 96%. Selanjutnya pada suhu 661oC ditemukan sampel sisa (signal value) 2,6% sampai 3,1%.

Pengurangan massa sampel pada suhu 113oC sampai 289oC ini diduga karena terjadi penguapan senyawa-senyawa yang mudah menguap (mosture) yang terdapat bersama sampel. Terdapatnya mosture dalam sampel dimungkinkan karena sampel disimpan dalam wadah yang dapat kontak dengan udara pada saat penyimpanan, setelah dikeringkan dalam oven dan sebelum dilakukan karakterisasi thermal TGA. Kemudian pada suhu 310oC sampai 532oC terjadi pengurangan massa yang drastis pada semua sampel yaitu 95% sampai 96%. Hal ini diduga bahwa semua sampel mengalami dekomposisi. Dan pada suhu 661oC ditemukan sisa sampel sebagai abu

(signal value) untuk semua sampel, masing-masing 2,6% sampai 3,1%.

Secara umum dapat dinyatakan bahwa sifat thermal KAS tercangkok AM tidak berubah secara nyata dibandingkan dengan KAS blanko. Sampel blanko dan yang sudah mengalami reaksi pencangkokan di dalam Pencampur Internal memiliki sifat thermal yang sama, tidak terjadi perubahan sifat thermal dengan adanya reaksi pencangkokan di dalam Pencampur Internal. Demikian juga sampel KAS tercangkok AM dengan penambahan komonomer stirena tidak menunjukkan sifat thermal yang berbeda pada produknya. Rasio mol St/AM yang berbeda tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap sifat thermal KAS tercangkok AM, seperti juga dapat dilihat dalam Gambar 4.20.

4.3.5.3.Differential Scanning Calorimetry (DSC)

Hasil karakterisasi dalam bentuk thermogram DSC sampel KAS tercangkok AM diperlihatkan dalam Lampiran 48 sampai 50. Dari thermogram DSC seperti dalam Lampiran 48 sampai 50 dapat dilihat bahwa KAS tercangkok AM tanpa kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO dengan penambahan komonomer stirena rasio mol 1:2. 1:1 dan 2:1 memiliki suhu transisi gelas (Tg) masing-masing 80,33oC, 81,03oC dan 87,25oC.

Suhu transisi gelas (Tg) memiliki kecendrungan yang meningkat dengan terjadinya pencangkokan AM pada KAS. Suhu transisi gelas produk pencangkokan AM tanpa kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO dengan penambahan komonomer stirena meningkat dibandingkan dengan KAS blanko. Demikian juga semakin banyak komonomer yang ditambahkan semakin tinggi suhu transisi gelas produknya. Semakin banyak gugus maleat yang tercangkok maka produk KAS menjadi lebih bulky atau lebih rigid, polar dan meningkatnya massa molekulnya. Struktur yang bulky dan meningkatnya sifat polar serta bertambahnya massa molekul suatu zat akan meningkatkan suhu transisi gelas zat itu (F.W. Fifield dan D. Kealey, 2000).

Gambar 4.20. Thermogram TGA gabungan KAS tercangkok AM tanpa BPO dengan penambahan stirena yaitu: blanko (1), rasio mol St/AM=1:2 (2), 1:1 (3) dan 2:1 (4)

Gambar 4.21. Thermogram DSC KAS tercangkok AM tanpa BPO dengan

penambahan stirena yaitu: blanko (1), rasio mol St/AM=1:2 (2), 1:1 (3) dan 2:1 (4)

Meningkatnya konsentrasi AM terlihat meningkatkan suhu transisi gelas (Tg) produk reaksi pencangkokannya. Hal ini juga menunjukkan bahwa telah terjadi pencangkokan gugus maleat pada KAS. Semakin banyak gugus maleat yang tercangkok maka produk KAS menjadi lebih bulky atau lebih rigid, polar dan meningkatnya massa molekulnya. Struktur yang bulky dan meningkatnya sifat polar serta bertambahnya massa molekul suatu zat akan meningkatkan suhu transisi gelas zat itu. Suhu transisi gelas (Tg) merupakan suhu dimana polimer amorfus melepaskan sifat-sifat gelasnya. Ketika polimer dipanaskan, energi kinetik molekul-molekulnya bertambah, namun geraknya masih dibatasi sampai vibrasi dan rotasi daerah pendek sepanjang polimer terus mampu mempertahankan struktur gelasnya. Jadi Tg merupakan fungsi kebebasan rotasi, apa saja yang membatasi rotasi mesti menaikkan Tg. Semakin meruah/bulky gugus-gugus substituen yang terikat ke rangka polimer, maka kebebasan rotasinya menjadi berkurang dan Tg menjadi lebih tinggi (F.W. Fifield dan D. Kealey, 2000). Gabungan (overlay) thermogram KAS blanko dan produk reaksi pencangkokan AM dapat dilihat seperti pada Gambar 4.21.

4.3.6. Pengaruh penambahan komonomer Stirena, dengan kehadiran Inisiator 4.3.6.1. Fourir Transformed-Infra Red (FT-IR)

Pada penelitian ini juga dipelajari pengaruh kehadiran BPO pada reaksi pencangkokan AM pada KAS dengan penambahan Stirena. Dengan mereaksikan KAS dengan 16 phr AM dan 1% BPO serta stirena. Rasio mol St/AM yang digunakan adalah 1:2, 1:1 dan 2:1. Spektrum FT-IR masing-masing sampel dengan variasi rasio mol St/AM diperlihatkan pada Lampiran 15 sampai 17. Gabungan spektrum-spektrum FT-IR produk yang dihasilkan ditampilkan pada Gambar 4.22.

Gambar 4.22. Spektra FT-IR gabungan KAS tercangkok AM menggunakan BPO dengan penambahan stirena yaitu: blanko (1), rasio mol St/AM= 1:2 (2), 1:1 (3) dan 2:1 (4).

Dari Gambar 4.22. dapat dilihat bahwa telah terbentuk KAS tercangkok AM. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan munculnya pita serapan pada bilangan gelombang pada 1720-1780 cm-1 dan 1854 cm-1 yang merupakan serapan khas gugus krbonil (C=O) dan cincin suksinik dari molekul AM ( Demin dkk., 2000; C. Nakason dkk., 2004 dan Eddiyanto, 2007). Dapat dilihat bahwa semakin banyak stirena yang ditambahkan maka semakin tinggi intensitas serapan pada 1720-1780 cm-1 dan 1854 cm-1. Dapat juga dilihat dengan jelas munculnya serapan pada daerah 706 cm-1 yang

merupakan serapan khas gugus fenil dari stirena (Herve Cartier dkk., 1998; Demin Jia dkk., 2000 dan J. Saelao dkk., 2005).

Gambar 4.23. Indeks serapan karbonil pada pencangkokan AM tanpa BPO (1) dengan BPO (2)

Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 4.23. yang diperoleh dengan analisis spektra FT-IR menggunakan OMNIC software. Pada Gambar 4.23 dapat dilihat bahwa untuk reaksi dengan penambahan stirena rasio mol St/AM=1:2 maka Indeks karbonil meningkat dari 1,2315 menjadi 2,7636. Terjadi peningkatan indeks karbonil sebesar 125%. Kemudian untuk reaksi dengan rasio mol St/AM=1:1 maka Indeks karbonilnya meningkat menjadi 2,937. Sedangkan untuk reaksi dengan rasio mol 2:1 indeks karbonil meningkat menjadi 3,5038. Terjadi peningkatan indeks karbonil masing-masing yaitu 135% dan 185%. Dengan kata lain bahwa dengan penambahan komonomer stirena maka derajat pencangkokan AM pada KAS mengalami peningkatan 125-185%. Pada reaksi polimerisasi cangkok AM pada polietilena (Herve artier dkk., 1998) dan polipropilena (Demin dkk., 2000) juga melaporkan bahwa terjadi peningkatan derajat pencangkokan. Dengan penambahan 0,1 % stirena meningkatkan derajat pencangkokan dua kali lipat.

Gambar 4.24. Indeks serapan fenil stirena (1) dan karbonil (2) pada berbagai rasio mol St/AM, dengan kehadiran BPO

Gambar 4.24 memperlihatkan hubungan antara indeks karbonil dengan rasio mol St/AM yang terdapat dalam reaksi. Semakin tinggi rasio mol St/AM, semakin banyak jumlah St yang ditambahkan dalam reaksi maka semakin tinggi Indeks karbonilnya. Dengan penambahan komonomer stirena maka semakin tinggi derajat pencangkokan AM pada KAS. Semakin tinggi rasio mol St/AM maka semakin tinggi derajat pencangkokan AM pada KAS.

Pada Gambar 4.24 juga dapat dilihat bahwa peningkatan indeks karbonil, yang menujukkan intensitas serapan pada bilangan gelombang pada 1720 cm-1 sebanding dengan peningkatan Indeks fenil. Dari observasi ini dapat dikatakan bahwa jumlah molekul AM yang tercangkok pada KAS sebanding dengan jumlah molekul komonomer Stirena yang terlibat dalam reaksi pencangkokan. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin banyak stirena yang digunakan semakin banyak AM yang tercangkok pada KAS. Sedangkan kehadiran stirena meningkatkan derajat pencangkokan AM pada KAS, semakin banyak stirena yang digunakan makin banyak AM yang tercangkok pada KAS.

Beberapa peneliti terdahulu mengenai modifikasi poliolefin dengan AM menyampaikan bahwa AM memiliki reaktifitas rendah oleh karena kurangnya

densitas elektron ikatan rangkap disertai rintangan sterik yang disebabkan oleh disubstitusi (Herve Cartier dkk., 1998; Demin Jia dkk., 2000 dan J. Saelao dkk., 2005 dan Eddiyanto 2007).

Menurut Eddiyanto (2007), efisiensi pencangkokan AM pada KAS adalah rendah. Stirena telah digunakan sebagai elektron donor untuk mengaktivasi monomer AM pada reaksi polimerisasi cangkok polietilena (Herve Cartier dkk., 1998) dan Polipropilena (Demin dkk., 2000). Stirena memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk berpolimerisasi dibanding AM secara langsung pada rantai PP. Komonomer stirena dapat berperan sebagai medium untuk menjembatani antara makroradikal KAS-St dengan AM, semakin banyak kopolimer KAS-St-AM yang terbentuk.

Jika dibandingkan antara pencangkokan yang menggunakan inisiator BPO dengan yang tanpa inisiator BPO diperoleh derajat pencangkokan yang lebih tinggi jika menggunakan inisiator BPO. Konsentrasi BPO memberikan pengaruh terhadap jumlah AM yang bereaksi dengan KAS. Pada reaksi pencangkokan AM pada PP, peroksida BPO mengalami dekomposisi secara thermal menghasilkan dua radikal yang menarik hidrogen dari rantai PP membentuk makroradikal polimer. Kemudian AM bereaksi dengan makroradikal ( S.H.P. Bettini dan JAM Aquelli, 1999).

Pada kondisi ini makin tinggi konsentrasi peroksida/BPO dalam sistem reaksi makin banyak terbentuk radikal utama, konsekuensinya makin banyak terbentuk makroradikal untuk selanjutnya bereaksi dengan AM, sehingga makin tinggi derajat pencangkokan AM pada makroradikal KAS stirena, [KAS-St].

Pada penelitian ini, jika dibandingkan antara dengan penambahan komonomer stirena dan tanpa penambahan komonomer stirena maka diperoleh derajat pencangkokan yang lebih tinggi pada penambahan komonomer stirena, seperti terlihat pada Gambar 4.26. Kemudian pada penambahan komonomer stirena, tanpa dan kehadiran inisiator peroksida BPO diperoleh derajat pencangkokan yang lebih tinggi dengan kehadiran inisiator peroksida BPO, seperti diperlihatkan pada Gambar 4.26.

Gambar 4.25. Indeks serapan karbonil dengan penambahan AM dan stirena tanpa BPO (1) dan dengan BPO (2)

Pada Gambar 4.26 dapat dilihat pengaruh keberadaan BPO terhadap intensitas serapan pada daerah 1720-1780 cm-1 dan 1854 cm-1. Dengan analisis spektra FT-IR menggunakan OMNIC software seperti diperlihatkan pada Lampiran 24, dengan keberadaan BPO maka dengan rasio mol 2:1 terjadi peningkatan indeks karbonil dari 1,2805 menjadi 2,7636. Dengan rasio mol 1:1 peningkatan indeks karbonil dari 1,7283 menjadi 2,9373. Kemudian dengan rasio mol 1:2 terjadi peningkatan indeks karbonil dari 2,6523 menjadi 3,5038.

Pada penelitian ini juga dilakukan pemurnian produk reaksi pencangkokan AM pada KAS. Gambar 4.27 memperlihatkan spektra FT-IR produk sebelum dan sesudah pemurnian. Dari Gambar 4.27 dapat dilihat bahwa intensitas serapan pada daerah 1720-1780 cm-1 berkurang setelah pemurnian. Hal ini diduga bahwa pada produk sebelum dimurnikan juga terdapat produk lain kecuali KAS tercangkok AM (KAS-g-AM) yang menyebabkan serapan sekitar 1720-1780 cm-1 dan 1854 cm-1 lebih tinggi. Kemungkinan terbesar adalah terbentuknya produk polimer AM. Pada proses pemurnian juga ditemukan endapan yang tidak larut dalam toluena, yang

diduga sebagai produk samping akibat terjadinya reaksi ikat silang (cross linking) selama proses reaksi pencangkokan.

Gambar 4.26. Spektra FT-IR produk reaksi pencangkokan AM pada KAS dengan kehadiran BPO yaitu: blanko (1), tanpa stirena (2) dan dengan stirena (3)

Gambar 4.27. Spektra FT-IR gabungan produk reaksi pencangkokan AM pada KAS dengan penambahan stirena yaitu tanpa BPO (1) dan dengan BPO (2)

Gambar 4.28. Spektra FT-IR produk pencangkokan AM pada KAS dengan penambahan Stirena sebelum dimurnikan (1) dan yang sudah dimurnikan (2)

p q

H

Karet Alam Siklis (KAS)

+ Inisiator p q

Makro radikal KAS

H C CH2 O O O p q H C CH2 O O O St AM KAS-St-AM

Gambar 4.29. Reaksi pencangkokan AM pada KAS dengan penambahan komonomer stirena

4.3.6.2.Thermogravimetric Analysis (TGA)

Thermogram TGA produk reaksi pencangkokan AM pada KAS untuk semua variasi rasio mol AM/St dengan kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO diperlihatkan seperti pada Lampiran 51 sampai 53. Dari thermogram TGA pada Lampiran 51 sampai 53 dapat dilihat bahwa terjadi kecenderungan yang sama untuk semua sampel. Baik sampel KAS tanpa penambahan AM/blanko maupun sampel KAS yang sudah mengalami reaksi pencangkokan dengan penambahan komonomer stirena dengan kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO memperlihatkan perubahan pada kisaran suhu dan kuantitas yang sama. Ditemukan dua fase suhu pengurangan massa sampel yaitu: suhu 100-an sampai 200-an dan suhu 300-an sampai 500-an. Pada suhu 132oC sampai 282oC terjadi pengurangan massa sampel 1,4% sampai 3,0%. Kemudian pada suhu 280oC sampai 582oC terjadi pengurangan massa sampel 92% sampai 96%. Selanjutnya pada suhu 661oC ditemukan sampel sisa

(signal value) 3,3% sampai 4,9%.

Pengurangan massa sampel pada suhu 132oC sampai 282oC ini diduga karena terjadi penguapan senyawa-senyawa yang mudah menguap (mosture) yang terdapat bersama sampel. Terdapatnya mosture dalam sampel dimungkinkan karena sampel disimpan dalam wadah yang dapat kontak dengan udara pada saat penyimpanan, setelah dikeringkan dalam oven dan sebelum dilakukan karakterisasi thermal TGA.

Kemudian pada suhu 280oC sampai 582oC terjadi pengurangan massa yang drastis pada semua sampel yaitu 92% sampai 96%. Hal ini diduga bahwa semua sampel mengalami dekomposisi. Dan pada suhu 661oC ditemukan sisa sampel sebagai abu (signal value) untuk semua sampel, masing-masing 3,3% sampai 4,9%.

Secara umum dapat dinyatakan bahwa sifat thermal KAS tercangkok AM tidak berubah secara nyata dibandingkan dengan KAS blanko. Sampel blanko dan yang sudah mengalami reaksi pencangkokan di dalam pencampur internal memiliki sifat thermal yang sama, tidak terjadi perubahan sifat thermal dengan adanya reaksi pencangkokan di dalam pencampur internal. Demikian juga sampel KAS tercangkok

AM dengan penambahan komonomer stirena dengan kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO tidak menunjukkan sifat thermal yang berbeda pada produknya. Rasio mol AM/St yang berbeda dengan kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO tidak memberikan pengaruh nyata terhadap sifat thermal KAS tercangkok AM, seperti juga dapat dilihat dalam Gambar 4.30.

Gambar 4.30. Thermogram TGA KAS tercangkok AM menggunakan BPO dengan penambahan stirena yaitu: blanko (1), rasio mol St/AM= 1:2 (2), 1:1 (3) dan 2:1 (4).

Gambar 4.31. Thermogram TGA produk reaksi pencangkokan AM pada KAS tanpa BPO yaitu: blanko (1), tanpa Stirena (2) dan dengan stirena (3).

Gambar 4.32. Thermogram TGA produk reaksi pencangkokan AM pada KAS dengan kehadiran BPO yaitu: blanko (1), tanpa Stirena (2) dan dengan stirena (3).

4.3.6.3.Differential Scanning Calorimetry (DSC)

Hasil karakterisasi dalam bentuk thermogram DSC sampel KAS tercangkok AM diperlihatkan dalam Lampiran 54 sampai 56. Dari thermogram DSC seperti dalam Lampiran 54 sampai 56 dapat dilihat bahwa KAS tercangkok AM dengan kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO dengan penambahan komonomer stirena rasio mol 2:1. 1:1 dan 1:2 memiliki suhu transisi gelas (Tg) masing-masing 81,31oC, 81,34oC dan 81,12oC.

Suhu transisi gelas (Tg) memiliki kecendrungan yang hampir sama pada produk pencangkokan AM pada KAS dengan kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO. Suhu transisi gelas produk pencangkokan AM dengan kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO dengan penambahan komonomer stirena meningkat dibandingkan dengan KAS blanko. Tetapi dengan variasi rasio mol AM/St yang meningkat tidak memberikan perbedaan nyata pada suhu transisi gelas produknya.

Hal ini juga menunjukkan bahwa telah terjadi pencangkokan gugus maleat pada KAS. Namun jika dibandingkan sesama produk pencangkokan dengan penambahan stirena dan dengan kehadiran inisiator peroksida benzoil peroksida, BPO tidak menyebabkan sifat thermalnya berubah nyata. Menurut F.W. Fifield dan D. Kealey, 2000 bahwa Tg dipengaruhi oleh struktur senyawa yang bulky atau rigid, polar dan massa molekul. Namun dalam hal ini struktur KAS tercangkok AM tidak cukup mempengaruhi suhu transisi gelasnya. Gabungan (overlay) thermogram KAS blanko dan produk reaksi pencangkokan AM dapat dilihat seperti pada Gambar 4.33.

Gambar 4.33. Thermogram DSC KAS tercangkok AM menggunakan BPO dengan penambahan stirena yaitu: blanko (1), rasio mol St/AM= 1:2 (2), 1:1 (3) dan 2:1 (4)

Dokumen terkait