• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Pajak Daerah

2.5.3 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Pajak

Negara dalam membiayai pengeluaran belanja pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya bersumber dari penerimaan pajak.

Hubungan penerimaan pajak dengan pertumbuhan ekonomi dijelaskan teori yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman, yaitu bahwa perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah akan memberikan dampak pada meningkatnya penerimaan pajak sehingga menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat.

Penerimaan pajak daerah yang tinggi akan berdampak positif pada terciptanya perluasan kapasitas fiskal pemerintah daerah yang berujung pada peningkatan belanja atau pengeluaran pemerintah sebagai wujud intervensi pemerintah didalam perekonomian. Oleh sebab itu, pajak daerah harus dikelola secara maksimal dan transparan dalam rangka optimalisasi dan usaha meningkatkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah (Halim, 2010).

20

Sumber : Sudirman, 2014.

Gambar 2.3

Dampak penetapan pajak daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi 2.6 Penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang terkait dan inspirasi bagi penelitian ini terkait dengan variabel-variabel yang diteliti. Untuk mempermudah, penulis menyajikannya dalam bentuk tabel. Adapun penelitian terdahulu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama

Peneliti

Judul Penelitian Variabel Penelitian

Cristian Dragos (2013)

Governmental Expense, Tax Revenue and Total Tax Rate Effects on GDP in Global

22

-BM dan pajak tidak berpengaruh

2.7 Kerangka Konseptual

Berdasarkan kajian literatur di atas, maka kerangka pemikiran yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:

Gambar 2.4 Kerangka Konseptual.

Pertumbuhan ekonomi dapat didorong oleh pengeluaran pemerintah yang bersumber dari pendapatan asli daerah salah satunya adalah pajak daerah yang digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan daerah untuk memajukan perekonomian, dengan cara membangun infrastruktur yang dapat mendorong aktivitas ekonomi. Dalam penelitian ini model analisis yang digunakan adalah model analisis korelasi dengan menggunakan tiga variabel independen terhadap

satu variabel dependen. Gambar 2.4 menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh belanja daerah dan pendapatan asli daerah. Belanja daerah yang terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung. Pendapatan asli daerah yang salah satunya pajak daerah dapat berkontribusi dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.

2.8 Hipotesis

Hipotesis penelitian merupakan proposisi yang akan diuji keberlakuannya, atau merupakan suatu jawaban sementara atas pertanyaan penelitian. Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pemikiran, maka dapat digunakan sebagai dasar untuk menyatakan hipotesis sebagai berikut :

1. Belanja langsung berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016.

2. Belanja tidak langsung berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010- 2016.

3. Pajak daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif yaitu penelitian yang menjelaskan kedudukan antar variabel yang menggunakan analisa data dengan statistik dan ekonometrika. Variabel penelitiannya yaitu Belanja Langsung, Belanja Tidak Langsung, Pajak Daerah, dan Pertumbuhan Ekonomi. Belanja Langsung, Belanja Tidak Langsung, dan Pajak Daerah sebagai variabel independen dan Pertumbuhan Ekonomi sebagai variabel dependen.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian menggunakan sampel sebanyak 33 kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara, yang masing-masing terdiri dari 25 kabupaten dan 8 kota periode tahun 2010-2016. Penelitian dilakukan mulai Januari 2018 sampai dengan selesai.

3.3 Definisi Operasional

1. Pertumbuhan Ekonomi (PE) adalah laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010-2016 dalam satuan persen.

2. Belanja Langsung (BL) adalah realisasi belanja langsung di kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010-2016 dalam satuan rupiah.

24

3. Belanja Tidak Langsung (BTL) adalah realisasi belanja tidak langsung di kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010-2016 dalam satuan rupiah.

4. Pajak Daerah (PD) adalah penerimaan pajak daerah di kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010-2016 dalam satuan rupiah.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan melalui studi literatur baik dari buku, jurnal, penelitian, serta sumber data publikasi instansi terkait. Data yang digunakan merupakan data panel yaitu gabungan antara data runtut waktu (time series) dan data silang (cross section).

Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi yaitu dengan mengambil realisasi belanja tidak langsung, belanja langsung, pajak daerah, dan laju pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan di kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara melalui Sumatera Utara Dalam Angka dan Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara. Periode yang diamati adalah periode 2010 sampai dengan periode 2016.

3.6 Pengolahan Data

Dalam penelitian skripsi ini, data diolah menggunakan program aplikasi E- views 8.0.

26

3.7 Model Analisis

Model analisis ekonometrik yang digunakan adalah sebagai berikut : PEit = α + β1BLit+ β2BTLit+ β3PDit+ eit

Dimana :

PE = Pertumbuhan Ekonomi BL = Belanja Langsung BTL = Belanja Tidak Langsung PD = Pajak Daerah

e = Variabel Gangguan (error term) i = Kabupaten/Kota

t = Tahun

3.8 Metode Analisis Data

Metode dalam penelitian ini yaitu Metode Generalized Least Square (GLS) dengan menggunakan data panel, yang artinya adalah gabungan antara data silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Penggunaan metode GLS dipilih karena metode ini dianggap lebih efisien dan konsisten dibandingkan menggunakan metode OLS (Gujarati, 2003). Dengan analisis ini pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen yang telah diteliti dapat diketahui.

Penggunaan metode GLS dilakukan dengan dua model pendekatan, yaitu : 1. Fixed Effect Model (FEM)

Model FEM didasarkan pada adanya perbedaan intercept antar individu namun interceptnya sama antar waktu. Model ini mengasumsikan bahwa slope (koefisien regresi) tetap antar individu dan antar waktu.

2. Random Effect Model (REM)

Pada REM, perbedaan karakteristik individu (i) dan waktu (t) diakomodir pada error term dari model tersebut. Model REM mengansumsikan

bahwa variabel gangguan (error term) berbeda-beda antar individu tetapi tetap sama antar waktu.

Untuk menentukan model terbaik yang akan digunakan dalam persamaan ekonometrika, maka dilakukan Hausman test (uji Hausman). Uji Hausman digunakan untuk memilih model Fixed effect atau Random effect. Statistik uji Hausman ini mengikuti distribusi statistik Chi-Square dengan degree of freedom sebanyak k, dimana k adalah jumlah variabel independen. Jika nilai statistik Hausman lebih besar dari nilai kritisnya maka model yang tepat adalah model fixed effect. Sedangkan sebaliknya bila nilai statistik Hausman lebih kecil dari

nilai kritisnya maka model yang tepat adalah model random effect.

Dasar pengambilan keputusan menggunakan uji Hausman apakah FEM atau REM yang dipilih yaitu : (Gujarati, 2003)

a. Apabila nilai Chi Square statistik pada Uji Hausman signifikan (H0

ditolak), berarti model dapat diestimasi dengan model Fixed Effect Model (FEM).

b. Apabila nilai Chi Square statistik pada Uji Hausman tidak signifikan (H0

diterima), berarti peneliti dapat menggunakan model Random Effect Model (REM) atau Fixed Effect Model (FEM) karena tidak berbeda

secara substansi.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

4.1.1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016

Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur perkembangan perekonomian suatu daerah yang didorong oleh pembangunan yang terencana dan berkesinambungan. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu indikator terpenting untuk melihat keberhasilan pembangunan dalam bidang ekonomi. Bagi daerah, indikator ini sangatlah penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai untuk menentukan arah pembangunan pada masa yang akan datang.

Pertumbuhan ekonomi dapat didorong dengan adanya infrastruktur yang memadai sehingga dapat membantu aktivitas perekonomian yang menghasilkan output yang tinggi. Kondisi perekonomian di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat dari perkembangan tingkat pertumbuhan ekonomi yang diukur dari indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara selama tujuh tahun mengalami tren yang menurun namun pada tahun terakhir yaitu 2016, perekonomian dapat meningkat kembali. Pertumbuhan tersebut terjadi pada semua lapangan usaha ekonomi. Pertumbuhan tertinggi pada lapangan usaha Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar 11,90 persen dan Pengadaan Air 10,26 persen, diikuti Informasi dan Komunikasi 8,95 persen.

28

7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00

rata2 PE kab/kota

Rata2 PE Prov Sumut 6,42 6,66 6,45 6,08 5,23 5,1 5,18

Sementara itu berdasarkan pendekatan produksi, tiga lapangan usaha yang memberikan peranan dominan terhadap PDRB yaitu pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 22,36 persen, industri pengolahan sebesar 19,92 persen, serta perdagangan besar dan eceran sebesar 17,62 persen. Komponen konsumsi pemerintah memberikan kontribusi sesebsar 7,04 persen. Pada Gambar 4.1 dibawah ini menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010 sampai 2016.

0,00 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

5,78 5,86 6,02 6,15 5,48 5,25 5,24

Sumber : BPS Sumut, 2017.

Gambar 4.1

Perbandingan Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016 (Persen)

Berdasarkan gambar 4.1 diatas, terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara selalu dapat mengikuti pertumbuhan ekonomi provinsi, bahkan pada tahun 2013-2016, pertumbuhannya dapat sedikit lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan ekonomi provinsi Sumatera Utara. Laju pertumbuhan ekonomi provinsi Sumatera Utara sangat berfluktuatif.

30

Pada tahun 2011 terjadi peningkatan sebesar 0,24 persen dari 6,42% pada tahun 2010 menjadi 6,66% pada tahun 2011. Penurunan pertumbuhan ekonomi mulai terjadi pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2015. Pada tahun 2012 terjadi penurunan sebesar 0,37 persen dari 6,45% menjadi 6,08% pada tahun 2013.

Selanjutnya penurunan yang cukup signifikan terus terjadi dari tahun 2014 menjadi 5,23% sampai pada tahun 2015 sebesar 5,10%. Setelah terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan selama 4 tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara kembali membaik pada tahun 2016 yaitu meningkat sebesar 0,08 persen dari tahun 2015 menjadi 5,18

Selanjutnya pada gambar 4.2 menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi sampai terendah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi diduduki oleh Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu sebesar 7,47%. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Tapanuli Selatan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 mengalami peningkatan cukup signifikan setiap tahunnya mencapai 17,43% pada tahun 2013 dan mengalami penurunan pada tahun 2014, namun kembali membaik pada dua tahun terakhir.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi selanjutnya disusul oleh Kota Medan sebesar 6,58%. Kota Medan sebagai ibukota provinsi Sumatera Utara, mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat fluktuatif, sempat mengalami peningkatan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2011, dimana tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Kota Medan mencapai sebesar 7,79%, peningkatan selanjutnya terjadi dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014. Sedangkan, penurunan laju pertumbuhan ekonomi terjadi pada tahun 2012 sampai dengan 2013, dan begitupun pada tahun

2015, namun Kota Medan dapat memperbaiki kondisi perekonomiannya pada tahun 2016 menjadi 6,26%.

Pertumbuhan ekonomi terendah diduduki oleh Kabupaten Nias Selatan yang merupakan salah satu kabupaten yang baru dibentuk setelah terjadinya pemekaran wilayah di provinsi Sumatera Utara. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nias Selatan pada tahun 2010-2016 juga peningkatan tetapi tidak begitu besar seperti kabupaten/kota yang lain, dan mengalami penurunan sebesar 0,34% pada tahun 2013-2014 namun kembali membaik pada tahun 2016. Kabupaten Nias Selatan merupakan daerah yang laju pertumbuhan ekonominya paling rendah karena dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara yaitu hanya sebesar 4,5%. Urutan pertumbuhan ekonomi terendah setelah Kabupaten Nias Selatan adalah Kabupaten Batubara yaitu sebesar 4,62%. Kabupaten Batubara sempat mengalami pertumbuhan yang tinggi sebesar 5,72% pada tahun 2012, namun setelah itu mengalami perlambatan dimana terus terjadi penurunan yang cukup drastis yaitu hanya 4,14% pada tahun 2016, oleh sebab itu Kabupaten Batubara menempati posisi kedua terendah pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

32

Sumber : BPS Sumut, 2017.

Gambar 4.2

Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi sampai Terendah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara 2010-2016 (Persen).

6,11

4.1.2 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016.

4.1.2.1 Perkembangan Belanja Langsung

Belanja langsung merupakan salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang dipengaruhi dengan adanya program atau kegiatan yang direncanakan, yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Belanja langsung biasanya digunakan untuk memperbaiki infrastruktur atau fasilitas publik. Infrastruktur yang baik maka diharapkan dapat memperlancar aktivitas perekonomian di Provinsi Sumatera Utara sehingga secara langsung akan meningkatkan persentase pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Sumatera Utara. Perkembangan proporsi belanja langsung di Provinsi Sumatera Utara selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dari sisi belanja langsung, persentase belanja barang dan jasa merupakan penyumbang paling besar sebesar 52,00%

terhadap belanja langsung, dan 13,9% terhadap total belanja daerah. Jika belanja daerah diutamakan untuk layanan publik dan digunakan secara efektif, target- target pembangunan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan.

Gambar 4.3 menunjukkan rata-rata realisasi belanja langsung paling tinggi diduduki oleh Kota Medan sebesar Rp 1.695.445.636. Selanjutnya rata-rata tertinggi kedua adalah Kabupaten Deli Serdang yaitu sebesar Rp 1.244.359.865 disebabkan penerimaan di Kabupaten Deli Serdang cukup berkembang pesat dan tinggi setiap tahunnya.

34

Sumber : BPS Sumut, 2017.

Gambar 4.3

Rata-Rata Tertinggi Belanja Langsung di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016 (Juta Rupiah)

Selanjutnya, rata-rata tertinggi ketiga adalah Kabupaten Simalungun sebesar Rp 1.052.288.669, disusul urutan keempat dan kelima yaitu Kabupaten Langkat dan Kabupaten Asahan masing-masing sebesar Rp 974.865.716 dan Rp 710.387.970. Belanja langsung tersebar digunakan untuk belanja modal, belanja barang dan jasa, serta belanja pegawai. Belanja modal adalah yang paling besar kontribusinya terhadap belanja langsung. Tahun 2016 tercatat 47,78% dari total belanja langsung atau 21,68% terhadap total belanja daerah.

710.387.970 974.865.716

Rata-Rata (Rp)

Kab. Asahan kab. Langkat

kab.

Simalungun 1.695.445.630 1.244.359.860

kab. Deli serdang kota Medan

800.000.000

600.000.000

400.000.000

200.000.000

4.1.2.2 Perkembangan Pertumbuhan Belanja Tidak Langsung

Pengeluaran pemerintah selain dilihat dari sisi belanja langsung, juga dapat dilihat dari belanja tidak langsung yang juga merupakan anggaran belanja daerah yang dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang. Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Anggaran belanja tidak langsung memegang peranan penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintah serta upaya peningkatan efisiensi dan produktifitas agar tepat sasaran dan mencapai tujuan tahap pembangunan.

Realisasi belanja tidak langsung Provinsi Sumatera Utara dari tahun ke tahun menunjukkan pertumbuhan yang positif. Karena provinsi Sumatera Utara sedang merencanakan beberapa pembangunan yang bertujuan dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang serta menunjang kesejahteraan masyarakat. Dari sisi belanja tidak langsung, persentase belanja hibah merupakan penyumbang paling besar yaitu 42,77% terhadap belanja tidak langsung, dan 31,76% terhadap total belanja daerah pada tahun 2016.

36

Sumber : BPS Sumut, 2017.

Gambar 4.4

Realisasi Belanja Tidak Langsung di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010- 2016 (000 Rupiah)

Pada Gambar 4.4 menunjukkan realisasi belanja tidak langsung dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2016 menunjukkan pertumbuhan yang positif. Karena provinsi Sumatera Utara sedang merencanakan berbagai pembangunan yang bertujuan agar dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang serta menunjang kesejahteraan masyarakatnya. Proporsi rata-rata penggunaan anggaran belanja tidak langsung terhadap jumlah anggaran belanja daerah sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai, yang masih merupakan pengeluaran terbesar seperti pada tahun 2016 sebesar 17.001,39 milyar rupiah atau 77,20% dari total belanja tidak langsung, sedangkan kontribusinya terhadap total belanja daerah tahun 2016 sebesar 42,18%.

2016 2015

2014 2013

2012 2011

2010

Rp22.020.098.45 Rp19.338.312.525

Rp16.072.189.698 Rp14.476.072.333

Rp13.163.875.631 Rp12.091.140.416

Rp10.746.734.485

Belanja tidak langsung ini merupakan belanja yang tidak secara langsung terkait dengan produktivitas atau tujuan organisasi, contohnya seperti kegiatan pembuatan jalan, kegiatan pengadaan kendaraan dinas operasional, dan lain sebagainya. Dengan adanya beberapa hal tersebut menandakan bahwa kebutuhan daerah pada tiap tahunnya mengalami peningkatan. Pengeluaran pemerintah untuk belanja tidak langsung dampaknya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, karena proses pengeluaran pemerintah untuk belanja tidak langsung ini kepada masyarakat dilakukan melalui pelayanan publik yang dilakukan oleh pegawai pemerintah.

Pada Gambar 4.5 dibawah menunjukkan bahwa rata-rata realisasi belanja tidak langsung yang tertinggi diduduki oleh Kota Medan yaitu sebesar Rp 1.695.445.636, disusul oleh Kabupaten Deli Serdang sebesar Rp 1.244.359.865.

Rata-rata tertinggi yang ketiga diduduki oleh Kabupaten Simalungun sebesar Rp 974.865.716. Sedangkan realisasi belanja tidak langsung yang terendah yaitu Kabupaten Nias Barat hanya sebesar Rp 126.122.437 dan Kabupaten Nias Utara sebesar Rp 155.469.443, hal ini disebabkan karena lambatnya penyerapan anggaran pada dua kabupaten yang termasuk baru dibentuk pada saat pemekaran wilayah provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008.

38

Sumber : BPS Sumut, 2017.

Gambar 4.5

Rata-Rata Realisasi Belanja Tidak Langsung Tertinggi sampai Terendah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016 (000 Rupiah)

Rata-Rata BTL

500.000.000 1.000.000.000 1.500.000.000 2.000.000.000 Rp 1.695.445.636

4.1.3 Perkembangan Penerimaan Pajak Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016.

Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan sumber dana terbesar penerimaan daerah Provinsi Sumatera Utara. PAD merupakan salah satu sumber penerimaan yang harus dipacu pertumbuhannya secara berkesinambungan. Agar hal ini dapat dicapai, tentunya komponen-komponen yang berkaitan harus ditindaklanjuti.

Misalnya memberikan pelayanan yang baik dan perbaikan-perbaikan fasilitas umum bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat turut merasakan manfaat pajak yang dibayarkan. Pajak daerah merupakan komponen penyumbang terbesar dalam PAD, yaitu 90,64% dari total PAD tahun 2015 dan 89,74% dari PAD tahun 2016.

Jumlah penerimaan pajak daerah ini meningkat 0,43% dari tahun sebelumnya.

Jumlah kontribusi ini akan sangat berperan dalam peningkatan kemandirian pemerintah daerah agar tidak selalu bergantung kepada bantuan dari pemerintah pusat, sehingga dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bertujuan untuk pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

40

Sumber : BPS Sumut, 2017.

Gambar 4.6

Laju Perkembangan Penerimaan Pajak Daerah di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016 (000 Rupiah)

Pada gambar 4.6 laju perkembangan penerimaan pajak daerah provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010 sampai tahun 2014 pertumbuhannya signifikan.

Namun pada tahun 2015 mengalami pertumbuhan yang menurun, pada tahun 2016 kembali mengalami pertumbuhan yang meningkat menjadi Rp 2.127.186.986. Beberapa daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara telah menggali penerimaan pajak daerah dengan baik sehingga tren pertumbuhannya cukup baik.

2016 2015

2014 2013

2012 2011

2010 Rp 549.889.151

Rp 1.017.379.305

Rp 1.521.291.460 Rp 1.394.439.089

Rp 1.888.270.391 Rp 1.920.935.240

Rp 2.127.186.98

Berikutnya pada gambar 4.7 dibawah dapat dilihat rata-rata penerimaan pajak daerah tertinggi sampai terendah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Sumber : BPS Sumut, 2017.

Gambar 4.7

Perkembangan Rata-Rata Penerimaan Pajak Daerah Tertinggi sampai Terendah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun

2010-2016 (000 Rupiah)

42

Berdasarkan gambar 4.7 penerimaan pajak daerah tertinggi di Provinsi Sumatera Utara diduduki oleh Kota Medan dengan rata-rata penerimaan pajak mencapai 855 juta rupiah. Hal ini dikarenakan pengeluaran pemerintah di Kota Medan sebagai ibukota provinsi juga sangat tinggi sehingga pemerintah banyak melakukan investasi dengan mendirikan instansi-instansi serta banyaknya industri di Kota Medan. Hal ini dapat dibuktikan dengan sektor industri di Medan yang merupakan salah satu sektor penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajaknya dari tahun ke tahun. Selanjutnya posisi kedua tertinggi adalah Kabupaten Deli Serdang, disebabkan semakin banyaknya penerimaan pajak dari segala jasa kegiatan perekonomian yang telah berkembang di kabupaten Deli Serdang, baik itu hotel, restoran, dan terlebih lagi sudah adanya Bandar Udara Internasional Kualanamu.

Kabupaten Simalungun yang menjadi posisi ketiga penerimaan pajak daerah terbesar yaitu mencapai Rp35.806.644, dimana Kabupaten Simalungun merupakan salah satu tempat wisata di Sumatera Utara secara otomatis juga meningkatkan pendapatan daerah dari penerimaan pajak sisi sektor usaha yang bersangkutan dengan kepariwisataan. Sementara itu, penerimaan pajak daerah terendah diduduki oleh Kabupaten Nias Utara yaitu hanya sebesar Rp 1.554.495 dan setelah itu Kabupaten Pakpak Bharat hanya sebesar Rp 1.722.149, mengingat di kabupaten-kabupaten tersebut, anggaran belanja pemerintah juga hanya sedikit dan belum terdapat banyak jasa yang dapat menunjang kegiatan perekonomian seperti restoran, hotel, maupun gedung-gedung yang dapat meningkatkan penerimaan pajak daerahnya.

4.2 Hasil Estimasi dengan Generalized Least Square (GLS)

Untuk melihat seberapa besar pengaruh Belanja Langsung, Belanja Tidak Langsung, dan Pajak Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara, maka dilakukan estimasi dengan metode Generalized Least Square (GLS) untuk data panel selama kurun waktu 2010-2016. Gujarati (2003) mengatakan bahwa metode ini lebih baik dan konsisten. Hal ini dikarenakan metode GLS dapat dianalisis dengan Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM), sehingga dapat diketahui mana model yang terbaik. Berikut hasil estimasi dari kedua model dari kedua model tersebut dengan metode GLS seperti berikut ini.

Tabel 4.1

Hasil Estimasi Metode GLS (FEM dan REM)

Variabel Terikat : Pertumbuhan Ekonomi Periode 2010-2016 Variabel Bebas Random Effect Prob. Fixed Effect Prob.

C 20.45052 0.0000 19.46183 0.0000

BL 0.300579 0.0076 0.340800 0.0067

BTL -0.631090 0.0013 -0.515134 0.0005

PD 0.467649 0.0000 0.190934 0.0100

R2 0.134652 0.697665

Durbin-Watson 1.577777 1.599643

Sumber : Hasil Olahan Data Eviews, Lampiran 5 & 6

Berdasarkan hasil estimasi diatas model Fixed Effect Model (FEM) menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan Random Effect Model (REM).

Hal ini dapat dilihat dari nilai R-square (R2) dan nilai Durbin-Watson yang lebih baik pada Fixed Effect Model (FEM) dibandingkan Random Effect Model (REM).

Setelah dilakukan estimasi diatas, maka langkah selanjutnya yaitu pemilihan model terbaik dengan Hausman test (Gujarati, 2003). Untuk penelitian ini, Hausman test diestimasi dengan program Eviews 8 sehingga diperoleh nilai Chi-

44

Squarenya. Ketentuan dari Hausman test adalah apabila null hypothesis (Ho)

diterima, maka model terbaik yang digunakan adalah Random Effect Model (REM) dan sebaliknya apabila null hypothesis (Ho) ditolak, maka model yang akan digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM).

4.2.1 Uji Hausman

Uji ini dilakukan untuk memilih model terbaik antara Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM) dalam metode Generalized Least Square (GLS) dan diperoleh hasil estimasi seperti pada tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2

Hasil Uji Hausman untuk Fixed Effect dan Random Effect

Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: DPANEL

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 16.400820 3 0.0367

Sumber : Hasil Olahan Data Eviews, Lampiran 7

Sumber : Hasil Olahan Data Eviews, Lampiran 7

Dokumen terkait