• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Penerapan Komunikasi Terapeutik

Berdasarkan hasil uji statistik regresi berganda, diketahui variabel pengetahuan tentang komunikasi terapeutik (dasar, tujuan, manfaat dan proses) berpengaruh terhadap penerapan komunikasi terapeutik oleh perawat di RSU Swadana Tarutung.

5.1.1. Pengaruh Pengetahuan tentang Dasar Komunikasi Terapeutik terhadap Penerapan Komunikasi Terapeutik

Hasil uji multivariat dengan uji statistik regresi berganda menunjukkan variabel pengetahuan tentang dasar komunikasi terapeutik berpengaruh (p<0,05) terhadap penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan keperawatan kepada pasien. Mengacu kepada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa perawat yang kurang pengetahuan tentang pengertian, ciri dan prinsip dasar komunikasi terapeutik menyebabkan tidak mampu menerapkannya dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

Sesuai penelitian Asmarani (2006), tentang identifikasi tingkat pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik (Studi Kasus di Ruang A, D, E, RSD Kab. Malang), menyatakan bahwa masih adanya perawat dengan pengetahuan kurang dan tidak baik kemungkinan disebabkan oleh faktor pendidikan, pengalaman, umur, lama bekerja dan informasi atau media massa. Sehingga kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah bahwa tingkat pengetahuan perawat kurang baik.

Tidak sesuai dengan penelitian Roatib et al (2007), bahwa perawat yang berpendidikan SPK maupun Akademi kurang memahami mengintegrasikan antara komunikasi dengan tindakan keperawatan, khususnya pada fase kerja. Hal ini diakibatkan rendahnya pemahaman komunikasi terapeutik.

Pengetahuan, dinamika komunikasi, penghayatan, dan kepekaan perawat dalam penerapan komunikasi terapeutik tidak terlepas dari karakteristik dari perawat yang bekerja di rumah sakit, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, lama kerja serta status perkawinan.

Tingkat pendidikan perawat di RSUD Swadana Tarutung sebagian besar D.III Keperawatan (67,3%), namun masih ada 9,1% yang berpendidikan SPK. Apabila penelitian ini bersilogisme positif dengan penelitian Armarani maka perawat yang berpendidikan SPK merupakan kelompok yang memiliki pengetahuan yang rendah tentang dasar komunikasi terapeutik.

Perawat di RSUD Swadana Tarutung umumnya pada kelompok umur 31-40 tahun sebesar 50,9% menunjukkan sebagian besar perawat di RSUD Swadana Tarutung pada kelompok umur produktif sehingga diharapkan dapat menerapkan komunikasi terapeutik secara optimal. Demikian juga jenis kelamin sebagian sebasar perempuan (78,2%), sehingga dianggap lebih peka dan lebih menghayati perannya sebagai perawat.

Lama kerja perawat di RSUD Swadana Tarutung umumnya 6-10 tahun sebesar 58,2%. Dengan lama kerja tersebut tentunya perawat telah berpengalaman

dalam melaksanakan komunikasi terapeutik terhadap pasien dengan beragam latar belakang dan berbagai jenis penyakit.

Perawat di RSUD Swadana Tarutung umumnya dengan status kawin sebesar 76,6%. Dampak dari status perkawinan terhadap pekerjaan perawat adalah tingkat kesibukan mengurus rumah tangga, sehingga kemungkinan pada pelaksanaan komunikasi terapeutik di rumah sakit juga terhambat akibat kesibukan tersebut.

Perkembangan keperawatan menuju keperawatan profesi dipengaruhi oleh sebagai perkembangan keperawatan profesional seperti: adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. Oleh sebab itu jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari tenaga keperawatan yang profesional. Dalam konsep profesi terkait erat tiga nilai sosial yaitu: pengetahuan yang mendalam dan sistematis, keterampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan yang lama dan teliti, dan pelayanan/angsuran kepada yang memerlukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi serta konsep-konsep dalam berkomunikasi.

5.1.2. Pengaruh Pengetahuan tentang Tujuan Komunikasi Terapeutik terhadap Penerapan Komunikasi Terapeutik

Hasil uji multivariat dengan uji statistik regresi berganda menunjukkan variabel pengetahuan tentang tujuan komunikasi terapeutik berpengaruh (p<0,05) terhadap penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan keperawatan kepada pasien. Mengacu kepada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa: meningkatkan

tingkat kemandirian klien melalui proses realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat terhadap diri sendiri, identitas diri yang jelas dan rasa integritas yang tinggi, kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling tergantung dan mencintai, meningkatkan kesejahteraan pasien dengan peningkatan fungsi dan kemampuan memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan personal yang realistik sebagai tujuan komunikasi terapeutik seharusnya benar-benar dimengerti dan dipahami oleh perawat untuk dapat menerapkan menerapkan komunikasi terapeutik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

Sesuai pendapat Purwanto (1994), bahwa dalam penerapan komunikasi

terapeutik, setiap perawat harus menyusun rencana tujuan sehingga mampu: (a) membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan sendiri, (b) membantu pasien agar

dapat menerima pengalaman yang pernah dirasakan, (c) meningkatkan harga diri pasien, (d) memberikan support karena adanya perubahan lingkungan, serta perawat dan pasien sepakat untuk berkomunikasi secara lebih terbuka.

Tidak sesuai dengan penelitian Dedah (2009) tentang hubungan karakteristik dan tingkat pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik pengan pelaksanaannya dalam asuhan keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Karawang yang menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan tidak berhubungan dengan pelaksanaan komunikasi terapeutik

Untuk mencapai tujuan komunikasi terapeutik, berbagai aspek kehidupan pasien akan diekspresikan selama berhubungan dengan perawat. Perawat akan mendorong pasien untuk mengekspresikan perasaan, pikiran dan persepsi serta

dihubungkan dengan perilaku yang tampak (hasil observasi dan laporan). Area yang diidentifikasi sebagai konflik dan kecemasan perlu diklarifikasi. Penting bagi perawat untuk mengidentifikasi kemampuan pasien dan mengoptimalkan kemampuan melakukan hubungan sosial dan keluarga. Komunikasi akan menjadi baik dan perilaku maladaptif akan berubah jika pasien sudah mencoba pola perilaku dan koping baru yang konstruktif.

Status pasien dalam hubungan terapeutik perawat-pasien sudah berubah dari dependen menjadi interdependen. Pada waktu yang lalu, perawat mengambil keputusan untuk pasien, saat ini perawat memberi alternatif dan membantu pasien dalam proses pemecahan masalah (Cook dan Fontaine, 1987). Di dalam hubungan terapeutik perawat-pasien, perawat memakai dirinya secara terapeutik dalam membantu pasien, perlu mengenal dirinya, termasuk perilaku, perasaan, pikiran dan nilai agar asuhan yang diberikan tetap berkualitas dan menguntungkan pasien. Seorang perawat dituntut harus mampu meningkatkan kesadaran diri agar berkembang kualitasnya dalam memberikan asuhan keperawatan yang mencakup uraian tentang tahap hubungan perawat-pasien, sifat hubungan dan teknik komunikasi dalam berhubungan.

5.1.3. Pengaruh Pengetahuan tentang Manfaat Komunikasi Terapeutik terhadap Penerapan Komunikasi Terapeutik

Hasil uji multivariat dengan uji statistik regresi berganda menunjukkan variabel pengetahuan tentang manfaat komunikasi terapeutik berpengaruh (p<0,05) terhadap penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan keperawatan kepada

pasien. Mengacu kepada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa perlu perhatian mengenai tingkat pengetahuan serta sejauhmana pemahaman perawat tentang manfaat yang dapat dirasakan pasien dengan penerapan komunikasi terapeutik yang baik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

Sesuai studi Manggala (2008) tentang hubungan persepsi dan pengetahuan perawat dengan pelaksanaan komunikasi terapeutik di Ruang Rawat Inap RSU Dr Kardinah Tegal, menyimpulkan bahwa perawat diruang rawat inap melaksanakan komunikasi terapeutik dengan baik, dan persepsi perawat dengan pelaksanaan komunikasi terapeutik pun ada korelasi yang kuat, dan pengetahuan perawat dengan pelaksanaan komunikasi terapeutik ada korelasi atau hubungan tetapi nilainya sangat lemah.

Sesuai pendapat Kariyoso (1994), bahwa salah satu faktor penghambat dalam komunikasi terapeutik adalah kurang pengetahuan serta kurang memahami sistem sosial pada pasien. Dampak dari kurangnya pengetahuan perawat tentang manfaat komunikasi terapeutik adalah pesan yang disampaikan kurang mengandung isi yang bermanfaat bagi pasien. Hasil komunikasi akan lebih baik jika isi pesan besar manfaatnya bagi kepentingan pasien, karena kesesuaian dengan kepentingan sasaran (context) terdapat dan berperan pada pesan. Pesan yang disampaikan harus berhubungan dengan kepentingan sasaran.

Hal lain yang penting diperhatikan sehingga komunikasi terapeutik memberikan manfaat bagi pasien adalah kesinambungan dan konsistensi (continuity and consistency) terdapat pada pesan. Pesan yang akan disampaikan harus

konsistensi dan berkesinambungan. Juga penting adalah kapabilitas sasaran (capability of the audience) terdapat pada komunikan. Dalam menyampaikan pesan, komunikator harus memperhitungkan kemampuan sasaran dalam menerima pesan.

Komunikasi terapeutik perawat akan lebih kelihatan dan lebih bermutu jika pengetahuan perawat lebih ditonjolkan akan komunikasi terapeutik dengan pasien. pasien tahu dan akan lebih percaya kepada perawat jika mereka memiliki itu semua dengan aturan-aturan yang ditentukan sehingga untuk proses selanjutnya akan lebih bermutu perawat melakukan komunikasi berdasar kebiasaan/rutinitas kerja sehari-hari dan belum sepenuhnya memperhatikan tehnik dan tahapan baku komunikasi dengan baik dan benar.

5.1.4. Pengaruh Pengetahuan tentang Proses Komunikasi Terapeutik terhadap Penerapan Komunikasi Terapeutik

Hasil uji multivariat dengan uji statistik regresi berganda menunjukkan variabel pengetahuan tentang teknik komunikasi terapeutik berpengaruh (p<0,05) terhadap penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan keperawatan kepada pasien. Mengacu kepada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa seorang perawat harus dituntut mengetahui cara atau teknik berkomunikasi secara terapeutik sehingga mampu melaksanakan atau menerapkan komunikasi terapeutik secara optimal.

Hal ini digambarkan dari jawaban responden tentang proses komunikasi terapeutik bahwa 72,7 % tidak mendengarkan pasien dengan penuh perhatian, 58,2% tidak memberikan inisiatif kepada pasien untuk bertanya, 74,5% memberikan respon terhadap apa yang baru saja dikatakan pasien, 78,2% menerima informasi dari pasien

dengan tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan, 90,9% tidak mencoba memahami situasi yang digambarkan pasien, 80,0% responden tidak memberi respon pada perasaan pasien terhadap isi pembicaraan agar pasien mengetahui dan menerima perasaannya, 72,7% responden tidak meyakinkan dan mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai hak pasien, 69,1% tidak memilih topik yang penting atau yang telah dipilih dengan menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yang lebih spesifik pada pasien, 80,0% tidak meminta pendapat pasien tentang hal-hal yang dirasakan dan dipikirkan pasien, 76,4% tidak meningkatkan pengertian dan eksplorasi masalah yang penting pada pasien, 72,7% responden tidak bersedia untuk menunggu respon dari pasien, 70,9% responden tidak menyediakan tambahan informasi dengan tujuan untuk mendapatkan respon lebih lanjut dari pasien merupakan teknik komunikasi terapeutik, 67,3% tidak memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dengan pasien, 67,3% responden tidak memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah pasien.

Sesuai studi Ainusi (2008) tentang hubungan pengetahuan dengan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia pra sekolah di Ruang Anak RSUD Kota Semarang, menyimpulkan bahwa persentase pengetahuan perawat 52.8% baik dan 47.2% kurang. Analisis hubungan antar variabel menunjukkan ada hubungan pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah yang dirawat diruang anak RSUD kota Semarang.

Kaitan penerapan komunikasi dengan kepuasan pasien di rumah sakit ditunjukkan oleh studi Anggraini (2009) tentang hubungan komunikasi terapeutik perawat dalam tindakan keperawatan dengan tingkat kepuasan klien di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kulon Progo-Yogyakarta 2008, manyimpulkan bahwa ada hubungan komunikasi terapeutik perawat dalam tindakan keperawatan dengan kepuasan klien di ruang rawat inap RSUD Wates, Kulon Progo, Yogyakarta dengan nilai koefisien kontingensi 0,394 dan taraf signifikansi p=0,01.

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang mempunyai efek penyembuhan. Karena komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi yang akurat dan membina hubungan saling percaya terhadap pasien, sehingga pasien akan merasa puas dengan pelayanan yang diterimanya. Apabila perawat dalam berinteraksi dengan klien tidak memperhatikan teknik dan tahapan baku komunikasi terapeutik dengan benar dan tidak berusaha untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat menfasilitasi komunikasi terapeutik, maka hubungan yang baik antara perawat dan pasienpun akan sulit terbina.

5.2. Pengaruh Dinamika Komunikasi, Penghayatan dan Kepekaan Perawat

Dokumen terkait