• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Keempukan

I. PENDAHULUAN

4.3 Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Keempukan

Secara umum penggunaan restraining box dan non-restraining box di RPH terhadap tingkat keempukan daging sapi yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai keempukan daging pada sapi yang difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 2.98 ± 0.17, sedangkan pada daging sapi yang tidak difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 3.65 ± 0.24. Seperti yang terlihat pada Tabel 4, nilai keempukan daging sapi yang dicerminkan oleh perubahan daya putus Warner Bratzler (WB) pada daging yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box (2.98 ± 0.84) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata daya putus WB yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (3.65 ± 1.21). Daya putus WB yang rendah dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang tinggi dan sebaliknya daya putus WB yang tinggi dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang rendah.

Tabel 4 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan non-restraining box (kg/cm2)

restraining box (kg/cm2)

non-restraining box (kg/cm2)

Keempukan 2.98 ± 0.17* 3.65 ± 0.24* Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan

23   

Daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box memiliki nilai keempukan yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda nyata (p<0.05) dengan daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang tidak menggunakan restraining box. Hal ini dapat dikarenakan sapi yang difiksasi dengan restraining box sebelum dipotong memiliki kemungkinan stres yang lebih kecil daripada sapi yang tidak difiksasi dengan restraining box. Sapi yang mengalami stres biasanya lebih banyak bergerak pada saat pemotongan. Banyaknya gerakan yang dilakukan oleh sapi dapat berpengaruh pada penurunan atau habisnya kadar glikogen otot. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar ATP dan keratin fosfat akibat tidak tersedianya oksigen yang cukup. Hal ini dapat memicu terjadinya rigormortis otot dan berakibat pada kualitas keempukan daging sapi yang dihasilkan.

Menurut Bate-Smith, Bendall (1960), rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak lagi mampu mempergunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen miosin saling menindih dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen. Penurunan kadar ATP ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya regang otot dengan cepat. Hilangnya kemampuan daya regang otot dan pembentukan kompleks aktomiosin menyebabkan kekakuan pada otot. Kekakuan yang terjadi akan diikuti dengan pemendekan otot yang merupakan penyebab utama dari ketidakempukan daging.

Penurunan nilai keempukan pada daging yang dihasilkan dari RPH yang tidak menggunakan restraining box juga dapat dipengaruhi oleh penurunan pH postmortem daging. Keadaan sapi yang mengalami stres sebelum pemotongan dapat memicu penurunan pH postmortem daging yang dihasilkan. Kontraksi otot yang dialami sapi sebelum pemotongan menyebabkan defisiensi glikogen otot yang dapat merangsang tubuh untuk melakukan proses glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang dapat terakumulasi di otot sehingga pH otot menjadi menurun (Lukman et al. 2007). Daya putus WB

mempunyai korelasi linear dengan pH. Sehingga dapat dikatakan, terjadinya penurunan pH pada umumnya dapat menurunkan keempukan daging. (why???)

Besarnya nilai keempukan daging juga dipengaruhi oleh proses penyimpanan dan pemasakan daging. Penyimpanan daging dapat menyebabkan peningkatan keempukan daging yang diindikasikan dengan tidak terjadinya pemendekan otot selama rigormortis. Pemendekan otot memiliki hubungan yang erat dengan kealotan daging. Daging yang telah mengalami proses rigormortis kemudian disimpan dingin pada suhu yang sesuai tidak akan mengalami pemendekan otot. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging (aging, refrigerasi) dapat meningkatkan nilai keempukan daging. Giles (1969) serta Hegarty dan Allen (1975) dalam Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging sapi postrigor yang dimasak pada suhu lebih tinggi dari 60oC akan mengalami kontraksi dan perubahan kualitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soeparno et al. (1987) mengenai pengaruh pelayuan dan perebusan terhadap perubahan pH, retensi cairan, keempukan dan gizi daging sapi peranakan Friesien Holstein (PFH) jantan. Pada umumnya, suhu pemasakan untuk memperoleh tingkat keempukan daging yang maksimum, berbeda diantara otot dan ternak dan terutama berhubungan dengan jumlah serta kekuatan jaringan ikat (Lawrie 1979).

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box mempunyai pH rata-rata relatif lebih tinggi dari pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box. Namun perbedaan tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dan masih dalam kondisi normal yang dikarenakan sapi yang potong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut sedikit lebih lama dibandingkan sapi yang dipotong menggunakan restraining box.

2. Daya ikat air pada daging yang menggunakan restraining box dengan pengujian cooking loss dan drip loss mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat yang menyebabkan denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging

3. Daging yang dihasilkan dari RPH yang menggunakan restraining box lebih empuk dibandingkan dengan daging dari RPH yang tidak menggunakan restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat yang menyebabkan denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging sehingga daging menjadi keras.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, disarankan :

1. Dalam pembangunan restraining box perlu diperhatikan desain dan ukuran yang disesuaikan dengan besarnya sapi yang akan dipotong, sehingga ini dapat dijadikan sebagai saran/masukan bagi pemerintah

maupun stakeholder yang lain dalam pembangunan restraining box di RPH.

2. Perlu adanya standard operating procedures (SOPs) yang baku mengenai penggunaan restraining box di RPH, sehingga pekerja memahami dengan baik penggunaan restraining box dengan baik dan benar.

3. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek kualitas daging lainnya seperti kualitas sensorik dan masa simpan daging dari sapi yang dipotong dengan menggunakan restraining box di RPH.

4. Penggunaan restraining box di RPH dinilai sangat penting agar hewan yang akan dipotong mudah ditangani dan dirobohkan supaya tidak mengalami stres yang berdampak pada kualitas daging dan keamanan pekerja

29   

DAFTAR PUSTAKA

Anonymus, 2007. Manual Report Restraining Box Project Apfindo: MLA and Livestock Press

Bouton PE. Harris PV, Shorthose WR. 1971. J. Food Sci. 36, 435.

Bratzler LJ. 1971. The Science of Meat and Meat Products.2nd ed. W.H. Freeman and Co., San Francisco.

Davey CL, Kutiel H and Gilbert KV. 1967.J. Fd.Tecnol.2,53

Departemen Pertanian. 1992. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya; Deptan;1992.

Dodge JW. Peters FE. 1960. Temperature and pH change in poultry breast muscle at slaughter. Poultry Sci. 39: 765-768.

Forrest JC. Aberle ED, Hendrick HB, Judge MD dan Merkel RA. 1975. Principles of Meat Science. San Fransisco: WH Freeman and Company. Grandin 1991. Double Restrainer for Handling Beef Cattle. USA : American

Society Agricultural Engineering.

Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging; Kepmentan;2010.

Lawrie RA. 1979. Meat Science. 3rd ed. Edinburgh: Pergamon Pr.

Lukman DW et al. 2008. Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Bogor : Kesmavet FKH IPB

Lukman DW et al. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Prodjodiharjo S. 2002. Pengelolaan Daging. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian

Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey

Soeparno 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Weir CE. 1960. The Science of Meat and Meat Product. Ed. Amer.Meat Inst.Found. Reinhold Publishing Co. .New York

Perlakuan N Mean

Error

Mean

Uji

t-Student

pH jam ke-1 Restraining Box 30 6.31 0.04 tn

Non Restraining Box 30 6.23 0.08

pH jam ke-6 Restraining Box 30 5.69 0.03 tn

Non Restraining Box 30 5.67 0.04

pH jam ke-8 Restraining Box 30 5.58 0.02 tn

Non Restraining Box 30 5.53 0.03

pH jam ke-10 Restraining Box 30 5.69 0.03 *

Non Restraining Box 30 5.58 0.04

Drip loss jam ke-6 Restraining Box 30 6.39 0.60 tn

Non Restraining Box 30 6.67 0.50

Drip loss jam ke-8 Restraining Box 30 5.89 0.51 tn

Non Restraining Box 30 6.75 0.43

Drip loss jam ke-10 Restraining Box 30 6.62 0.35 tn

Non Restraining Box 30 7.30 0.52

Cooking loss jam ke-6 Restraining Box 30 41.61 0.24 *

Non Restraining Box 30 43.68 0.38

Cooking loss jam ke-8 Restraining Box 30 40.98 0.27 *

Non Restraining Box 30 42.95 0.49

Cooking loss jam

ke-10

Restraining Box 30 41.54 0.36

*

Non Restraining Box 30 44.89 0.61

Keempukan Restraining Box 30 2.98 0.17 *

Non Restraining Box 30 3.65 0.24

Keterangan:

tn : Tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan restraining box dan non restraining box pada

α=0.05

* : Terdapat perbedaan nyata antara perlakuan restraining box dan non restraining box pada

α=0.05

 

Lampiran II. Hasil Uji T Dan Selang Kepercayaan 95% Selisih Rataan Antara Perlakuan

Restraining Box Dan Non Restraining Box

t derajat

bebas

Sig.

(2-tailed)

Selisih nilai

tengah*)

Galat baku

selisih

nilai

tengah

Selang kepercayan

95% selisih dua nilai

tengah

batas

bawah

Batas

atas

pH jam ke-1 0.90 48 0.38 0.08 0.09 -0.10 0.25

pH jam ke-6 0.55 48 0.59 0.03 0.05 -0.07 0.12

pH jam ke-8 1.23 48 0.22 0.05 0.04 -0.03 0.13

pH jam ke-10 2.07 48 0.04 0.11 0.05 0.00 0.22

Drip loss jam ke-6 -0.35 48 0.73 -0.28 0.78 -1.85 1.30

Drip loss jam ke-8 -1.28 48 0.21 -0.86 0.67 -2.22 0.49

Drip loss jam ke-10 -1.07 48 0.29 -0.67 0.63 -1.94 0.59

Keempukan -2.27 48 0.03 -0.67 0.30 -1.26 -0.08

Cooking loss jam ke-6 -4.58 38 0.00 -2.07 0.45 -2.98 -1.15

Cooking loss jam ke-8 -3.52 38 0.00 -1.97 0.56 -3.12 -0.84

Cooking loss jam ke-10 -4.75 38 0.00 -3.35 0.71 -4.78 -1.92

Keterangan :

*)Selisih antara rataan perlakuan restraining box dan non restraining box

Jika nilai selisih nilai tengah dan selang kepercayaan 95%-nya bernilai negatif, artinya perlakuan

non restraining box menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan restraining box.

             

vi   

Slaughtering in Abattoir And Physical Characteristic Of Meat. Under direction of DENNY W LUKMAN dan SRI MUKARTINI.

This study is aimed to observe the differences of meat quality especially the pH, cooking loss and drip loss, and meat tenderness changes of postmortem beef meat slaughtered with and without using of restraining box. Restraining box is an equipment to fix or restrain cattle before slaughtering in order to lay down and handle the cattle safely.

This study used 60 beef meat samples (30 samples of restraining and 30 samples of non-restraining) from the slaughterhouse of Bogor City and Bogor District. This research used the Musculus gluteus medius of Brahman Cross . The pH value of the samples was measured at 1, 6, 8, and 10 hours (h) after slaughtering. The water holding capacity was examined through cooking loss and drip loss which were conducted three times at 6, 8, and 10 hours postmortem and the meat tenderness was measured with Warner Bratzler shear force (WBSF).

The result of study showed that the pH value of the both treatments decreased gradualy after slaughtering. The pH value avarage of meat samples from restraining was higher than the non-restraining. Nevertheless, the difference between the both treatments was statistically not significant (P>0.05). The study showed that the cooking loss of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was lower significantly (p<0.05) than one without restraining at all abservations. Nevertheless, the drip loss of beef meat with restraining box was lower significantly (p<0.05) only at 10 hours postmortem than one without restraining box. The results indicated that the tenderness of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was higher significantly (p<0.05) than one without restraining box

Key words : restraining box, beef meat, pH value, cooking loss, drip loss, tenderness

vi   

RINGKASAN

ARIF WICAKSONO. Penelitian Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging. Dibimbing oleh DENNY W.LUKMAN dan SRI MUKARTINI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas fisik daging dari pemotongan sapi dengan dan tanpa menggunakan restraining box di RPH melalui pengamatan perubahan karakteristik daging yang meliputi nilai pH, daya ikat air (water holding capacity) dan keempukan (tenderness).

Restraning box adalah alat fiksasi sapi menjelang disembelih untuk mempermudah penanganan sapi pada saat dirobohkan dan disembelih. Penelitian ini menggunakan sampel daging sapi dari bagian topside (Musculus gluteus medius) dari jenis sapi Brahman cross. Jumlah contoh sebesar 60 contoh, meliputi 30 contoh dari sapi yang dipotong di RPH Kota Bogor dengan menggunakan restraining box dan 30 contoh dari RPH Kabupaten Bogor yang tidak menggunakan restrainingbox.

Contoh daging diambil di RPH Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian top side (Musculus gluteus ) sebanyak 0.5 kg setiap contoh. Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross (BX) dengan status kelamin steer dengan kisaran umur 1.5 - 2 tahun, yaitu sebanyak 60 contoh dari 60 sapi

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika sebaran t (t-test) dua sampel dengan selang kepercayaan 95% dimana setiap waktu pengamatan dicari rata-rata dan standar deviasinya.

Peubah yang diamati adalah nilai pH, daya ikat air daging melalui uji cooking loss dan drip los, serta keempukan daging. Untuk nilai pH, pengujian dilakukan pada jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah sapi dipotong. Nilai pH daging pada kedua perlakuan menurun secara bertahap setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwanilai pH rata-rata pada daging yang menggunakan restraining box relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging tanpa restraining box, namun perbedaannya tidak nyata (p>0.05).

Untuk daya ikat air, pengamatan terhadap cooking loss dan drip los dilakukan tiga kali yaitu pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nyata antara kedua perlakuan terhadap nilai cooking loss maupun drip loss. Secara umum nilai cooking loss antara daging dengan perlakuan restraining box lebih rendah dibandingkan dari daging tanpa perlakukan restraining box. pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 pemeriksaan postmortem. Sedangkan nilai drip loss daging dengan restraining box nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa restraining box (p<0.05)pada jam ke-10.

Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan dengan menggunakan Warner Bratzler Shear Force (WBSF). Hasil penelitian menunjukkan adanya

vi   

Kata kunci : restraining box, daging sapi, nilai pH, cooking loss, drip loss, keempukan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan protein nabati.

Menurut Lawrie (1968) daging adalah bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Sedangkan menurut Soeparno (1994) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya misalkan meat born illness.

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan lokasi transformasi dari ternak hidup menjadi produk pangan bernilai gizi tinggi yaitu daging. Daging yang dihasilkan dari RPH harus memenuhi persyaratan keamanan pangan (food safety), mutu (kualitas), dan khususnya di Indonesia harus pula memenuhi persyaratan kehalalan, yang dikenal dengan konsep Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) (Prodjodiharjo 2002). Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah penyembelihan. Menurut Swatland (1984), untuk memperoleh kualitas karkas yang baik, maka penyembelihan di RPH harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) ternak tidak diperlakukan dengan kasar sebelum penyembelihan, (2) ternak tidak mengalami stres, (3) proses penyembelihan dan pengeluran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, dan (5) cara penyembelihan harus higienis, ekonomis dan aman bagi para pekerja. Faktor sebelum penyembelihan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah: genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan faktor stres yang terkait erat dengan cara penanganan ternak pada saat akan disembelih. Sedangkan faktor penentu kualitas daging yang dikonsumsi

terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavour dan aroma termasuk bau dan cita rasa, serta jus daging (juiciness). Disamping itu, faktor penting lain yang ikut menentukan kualitas daging adalah lemak intramuskular, susut masak (cooking loss), resistensi cairan, dan pH (Soeparno 2005).

Salah satu peralatan yang saat ini digunakan untuk membantu proses pe-nyembelihan pada sapi adalah restraining box yang berada di beberapa RPH di Indonesia. Restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia merupakan desain yang dikembangkan oleh Meat Livestock Australia (MLA) pada tahun 2003 melalui Asosiasi Pengusaha Feedloter Indonesia (APFINDO). Pada saat ini telah terpasang 72 unit restraining box di 60 RPH yang tersebar di 9 propinsi di Jawa dan Sumatera. Peralatan ini digunakan untuk membantu merobohkan sapi pada saat akan disembelih dengan proses kerja tertentu. Tujuan dari penggunaan restaining box adalah untuk: (1) mempercepat proses penyembelihan di RPH; (2) mempermudah pelaksanaan penyembelihan secara halal; (3) meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan dari RPH; dan (4) mewujudkan penerapan kesejahteraan hewan pada proses penyembelihan hewan di RPH (Anonymus 2007). Berikut ini adalah gambar restraining box yang telah terpasang di Indonesia.

Gambar 1 gambar restraining box yang telah terpasang di beberapa RPH di Indo-nesia.

3  

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan karakteristik fisik antara daging dari sapi yang disembelih dengan menggunakan perlakuan restraining box dengan sapi yang tanpa menggunakan restaining box.

1.3. Manfaat Penelitian (pelaku usaha, pemerintah, konsumen)

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi pelaku usaha penyembelihan hewan namun juga bagi pemerintah dan konsumen dalam bentuk:

a. Memberikan gambaran kualitas fisik daging khususnya nilai pH, daya ikat air (nilai cooking loss dan drip loss) serta nilai keempukan daging postmortem dari pemotongan hewan yang menggunakan restraining box dan tanpa restraining box;

b. Menjadi bahan kebijakan teknis bagi pemerintah dalam penyusunan pe-doman teknis pembangunan RPH terutama persyaratan teknis peralatan re-straining box;

c. Memberikan gambaran kepada pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat mengenai manfaat penggunaan restraining box dalam pemotongan sapi di RPH dalam menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

d. Menjadi bahan acuan bagi pelaku usaha (jagal) dan pekerja RPH agar mengoperasionalkan restrainng box dengan baik dan benar pada proses pemotongan hewan sehingga diperoleh daging yang ASUH.

e. Meningkatkan jaminan keamanan dan kualitas daging yang dihasilkan di RPH.

1.4. Hipotesis Penelitian

Karakteristik fisik daging sapi, khususnya nilai pH, cooking loss dan drip loss, serta keempukan daging dipengaruhi oleh perlakuan restraining box.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konversi Otot Menjadi Daging

Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 2005). Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari pe-nyembelihan hewan. Pepe-nyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (Arteri carotis dan Vena jugularis) dengan memperhatikan syariah agama Islam dan kaidah kesejahteraan hewan (SK Mentan. 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan yang sangat kompleks di dalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan ber-hentinya sirkulasi darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) ok-sigen ke jaringan, sehingga menimbulkan konsekuensi perubahan pada, jaringan termasuk otot (Lukman et al. 2007). Secara umum perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :

Sirkulasi darah terhenti

Respirasi terhenti

Tidak ada supply oksigen

Penurunan kadar ATP dan CP Rigor mortis Denaturasi Protein Glikolisis anaerob Penurunan nilai pH Pembebasan dan aktivasi enzim

Gambar 2 Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih (Lukman et al. 2007)

Pengeluaran darah sebagai akibat penyembelihan ternak menyebabkan persediaan oksigen di dalam otot yang berikatan dengan mioglobin makin menurun dan menjadi habis. Akibatnya sistem enzim dari sitokrom tidak dapat beroperasi dan sintesis ATP tidak dapat diproduksi. Tidak berhasilnya mensintesis kembali ATP melalui proses glikolisis anaerob, maka tidak memungkinkan mempertahankan tingkat ATP, sehingga ikatan aktin miosin yang terkunci yang mengakibatkan otot menjadi keras proses ini dikenal dengan rigor mortis (Lawrie 1979; Swatland 1984).

Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi proses post rigor yang menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan peningkatan keempukan dan cira rasa (flavor)daging. Pada proses ini juga terjadi degradasi protein oleh enzim kalpain dan katepsin. Pelayuan pada daging sapi dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari atau pada temperatur kamar (29 ºC) selama 8 – 12 jam, selama proses tersebut terjadi perubahan secara sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al. 2007).

2.2. pH Daging

Pada umumnya nilai pH daging sapi yang diukur pada jam pertama postmortem adalah 7.0 – 7.2. Pada saat mulai rigor mortis, nilai pH daging menjadi 5.90 dan kemudian mencapai pH akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih setelah 24 jam (Soeparno 2005). Nilai pH daging setelah hewan mati (nilai pH postmortem) akan menurun mencapai pH akhir. Penurunan nilai pH tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi laju glikolisis. Nilai pH daging tidak akan pernah kurang dari 5.3, karena pada pH dibawah 5.3 enzim-enzim yang berperan dalam proses glikolisis tidak aktif (Lawrie 1979). Menurut Soeparno (2005) Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH

Dokumen terkait