• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Restraining Box Dalam Pemotongan Sapi Di RPH Dan Karakteristik Fisik Daging:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Restraining Box Dalam Pemotongan Sapi Di RPH Dan Karakteristik Fisik Daging:"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

vi   

PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK

FISIK DAGING

ARIF WICAKSONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

vi   

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Jakarta, Mei 2010

(3)

vi   

Slaughtering in Abattoir And Physical Characteristic Of Meat. Under direction of DENNY W LUKMAN dan SRI MUKARTINI.

This study is aimed to observe the differences of meat quality especially the pH, cooking loss and drip loss, and meat tenderness changes of postmortem beef meat slaughtered with and without using of restraining box. Restraining box is an equipment to fix or restrain cattle before slaughtering in order to lay down and handle the cattle safely.

This study used 60 beef meat samples (30 samples of restraining and 30 samples of non-restraining) from the slaughterhouse of Bogor City and Bogor District. This research used the Musculus gluteus medius of Brahman Cross . The pH value of the samples was measured at 1, 6, 8, and 10 hours (h) after slaughtering. The water holding capacity was examined through cooking loss and drip loss which were conducted three times at 6, 8, and 10 hours postmortem and the meat tenderness was measured with Warner Bratzler shear force (WBSF).

The result of study showed that the pH value of the both treatments decreased gradualy after slaughtering. The pH value avarage of meat samples from restraining was higher than the non-restraining. Nevertheless, the difference between the both treatments was statistically not significant (P>0.05). The study showed that the cooking loss of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was lower significantly (p<0.05) than one without restraining at all abservations. Nevertheless, the drip loss of beef meat with restraining box was lower significantly (p<0.05) only at 10 hours postmortem than one without restraining box. The results indicated that the tenderness of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was higher significantly (p<0.05) than one without restraining box

(4)

vi   

RINGKASAN

ARIF WICAKSONO. Penelitian Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging. Dibimbing oleh DENNY W.LUKMAN dan SRI MUKARTINI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas fisik daging dari pemotongan sapi dengan dan tanpa menggunakan restraining box di RPH melalui pengamatan perubahan karakteristik daging yang meliputi nilai pH, daya ikat air (water holding capacity) dan keempukan (tenderness).

Restraning box adalah alat fiksasi sapi menjelang disembelih untuk mempermudah penanganan sapi pada saat dirobohkan dan disembelih. Penelitian ini menggunakan sampel daging sapi dari bagian topside (Musculus gluteus medius) dari jenis sapi Brahman cross. Jumlah contoh sebesar 60 contoh, meliputi 30 contoh dari sapi yang dipotong di RPH Kota Bogor dengan menggunakan restraining box dan 30 contoh dari RPH Kabupaten Bogor yang tidak menggunakan restrainingbox.

Contoh daging diambil di RPH Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian top side (Musculus gluteus ) sebanyak 0.5 kg setiap contoh. Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross (BX) dengan status kelamin steer dengan kisaran umur 1.5 - 2 tahun, yaitu sebanyak 60 contoh dari 60 sapi

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika sebaran t (t-test) dua sampel dengan selang kepercayaan 95% dimana setiap waktu pengamatan dicari rata-rata dan standar deviasinya.

Peubah yang diamati adalah nilai pH, daya ikat air daging melalui uji cooking loss dan drip los, serta keempukan daging. Untuk nilai pH, pengujian dilakukan pada jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah sapi dipotong. Nilai pH daging pada kedua perlakuan menurun secara bertahap setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwanilai pH rata-rata pada daging yang menggunakan restraining box relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging tanpa restraining box, namun perbedaannya tidak nyata (p>0.05).

Untuk daya ikat air, pengamatan terhadap cooking loss dan drip los dilakukan tiga kali yaitu pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nyata antara kedua perlakuan terhadap nilai cooking loss maupun drip loss. Secara umum nilai cooking loss antara daging dengan perlakuan restraining box lebih rendah dibandingkan dari daging tanpa perlakukan restraining box. pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 pemeriksaan postmortem. Sedangkan nilai drip loss daging dengan restraining box nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa restraining box (p<0.05)pada jam ke-10.

(5)

vi   

(6)

vi   

©

Hak cipta IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengkutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk

(7)

vi   

PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK

FISIK DAGING

ARIF WICAKSONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

vi   

Judul : Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging

Nama : Arif Wicaksono NIM : B054050071

Disetujui

Komisi Pembimbing

DR. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si Ketua

Drh. Sri Mukartini, M.App.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. DR. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS

(9)

vi   

Puji dan syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging”.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman,MSi dan drh. Sri Mukartini, M.App.Sc selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing,mengarahkan dan mendorong penulis sejak awal usulan penelitian hingga selesainya tesis ini. Disamping itu penulis sampaikan penghargaan kepada teman-teman di Subdit Higiene Sanitasi, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini.

Terimakasih yang tulus tak lupa penulis sampaikan kepada ibunda terkasih serta seluruh keluarga yang dengan setia memberikan motivasi dan doa tak putus-putusnya bagi penulis dalam mengikuti studi di IPB sampai dengan penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis hanya bisa mengucapakan puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan bagiku untuk berjuang, berkarya dan mencapai keberhasilan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Jakarta, Mei 2010

(10)

vi   

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Sragen Jawa Tengah pada Tanggal 27 Pebruari 1976 sebagai anak ke-4 dari empat bersaudara dari pasangan ayah Alm. Bapak Sunardi dan Ibu Hj. Sri Mulyani. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, lulus Tahun 2000, kemudian melanjutkan ke program profesi dokter hewan pada universitas yang sama dan lulus pada tahun 2002. Pada Tahun 2003 penulis diterima menjadi PNS di Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Suatu niat yang tumbuh dalam benak penulis untuk dapat lebih berkontribusi dalam perumusan kebijakan dan pemikiran yang bermanfaat untuk mewujudkan upaya penjaminan produk pangan asal hewan yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH). Untuk itu penulis memilih program studi S2 Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk lebih memperdalam pemahaman tentang ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner.

(11)

vi   

DAFTAR TABEL ………... xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………. xv

I. PENDAHULUAN ………. 1.1. Latar Belakang ……….. 1.2. Tujuan Penelitian ……….. 1.3. Manfaat Penelitian ………. 1.4. Hipotesis Penelitian ………

1 1 2 2 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….

2.1 Konversi Otot Menjadi Daging ... 2.2 pH Daging ... 2.3 Keempukan (Tenderness) ... 2.4 Daya Ikat Air (Water Holding Capacity/WHC)……….. 2.5 Restraining box ………..

4 4 7 8 9 10

III. BAHAN DAN METODE ………

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian………. 3.2 Materi ……… 3.3 Metode Penelitian ..………... 3.4 Analisa Statistika ……….

12

12

12 13 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..……….

4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap pH daging … 4.2 Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Daya Ikat

Air Daging ……….... 4.3 Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Keempukan

Daging ………

15

15

17

(12)

vi   

V. SIMPULAN DAN SARAN……….. 25

DAFTAR PUSTAKA ………. 27

(13)

vi   

1. Nilai rata-rata pH daging hasil pemotongan dengan dan tanpa

menggunakan restraining box ……….. 15 2. Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan

tanpa menggunakan restraining box ………... 18 3. Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan

tanpa menggunakan restraining box ……… 19 4. Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan

(14)

vi   

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Restraining box yang dipasang di RPH………... 3 2. Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan

disembelih ……….. 5

3. Penurunan nilai rata-rata pH postmortem pada daging yang berasal

dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box …. 16

4. Perbandingan cooking loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box …………………. 18

(15)

vi   

Halaman

1. Analisa data Nilai Rataan, Galat baku dan Hasil uji t-Student 28

2. Hasil Uji T Dan Selang Kepercayaan 95% Selisih rataan

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan protein nabati.

Menurut Lawrie (1968) daging adalah bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Sedangkan menurut Soeparno (1994) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya misalkan meat born illness.

(17)

terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavour dan aroma termasuk bau dan cita rasa, serta jus daging (juiciness). Disamping itu, faktor penting lain yang ikut menentukan kualitas daging adalah lemak intramuskular, susut masak (cooking loss), resistensi cairan, dan pH (Soeparno 2005).

Salah satu peralatan yang saat ini digunakan untuk membantu proses pe-nyembelihan pada sapi adalah restraining box yang berada di beberapa RPH di Indonesia. Restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia merupakan desain yang dikembangkan oleh Meat Livestock Australia (MLA) pada tahun 2003 melalui Asosiasi Pengusaha Feedloter Indonesia (APFINDO). Pada saat ini telah terpasang 72 unit restraining box di 60 RPH yang tersebar di 9 propinsi di Jawa dan Sumatera. Peralatan ini digunakan untuk membantu merobohkan sapi pada saat akan disembelih dengan proses kerja tertentu. Tujuan dari penggunaan restaining box adalah untuk: (1) mempercepat proses penyembelihan di RPH; (2) mempermudah pelaksanaan penyembelihan secara halal; (3) meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan dari RPH; dan (4) mewujudkan penerapan kesejahteraan hewan pada proses penyembelihan hewan di RPH (Anonymus 2007). Berikut ini adalah gambar restraining box yang telah terpasang di Indonesia.

(18)

3  

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan karakteristik fisik antara daging dari sapi yang disembelih dengan menggunakan perlakuan restraining box dengan sapi yang tanpa menggunakan restaining box.

1.3. Manfaat Penelitian (pelaku usaha, pemerintah, konsumen)

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi pelaku usaha penyembelihan hewan namun juga bagi pemerintah dan konsumen dalam bentuk:

a. Memberikan gambaran kualitas fisik daging khususnya nilai pH, daya ikat air (nilai cooking loss dan drip loss) serta nilai keempukan daging postmortem dari pemotongan hewan yang menggunakan restraining box dan tanpa restraining box;

b. Menjadi bahan kebijakan teknis bagi pemerintah dalam penyusunan pe-doman teknis pembangunan RPH terutama persyaratan teknis peralatan re-straining box;

c. Memberikan gambaran kepada pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat mengenai manfaat penggunaan restraining box dalam pemotongan sapi di RPH dalam menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

d. Menjadi bahan acuan bagi pelaku usaha (jagal) dan pekerja RPH agar mengoperasionalkan restrainng box dengan baik dan benar pada proses pemotongan hewan sehingga diperoleh daging yang ASUH.

(19)

1.4. Hipotesis Penelitian

(20)

II. TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. Konversi Otot Menjadi Daging

Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 2005). Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari pe-nyembelihan hewan. Pepe-nyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (Arteri carotis dan Vena jugularis) dengan memperhatikan syariah agama Islam dan kaidah kesejahteraan hewan (SK Mentan. 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan yang sangat kompleks di dalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan ber-hentinya sirkulasi darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) ok-sigen ke jaringan, sehingga menimbulkan konsekuensi perubahan pada, jaringan termasuk otot (Lukman et al. 2007). Secara umum perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :

Sirkulasi darah terhenti

Respirasi terhenti

Tidak ada supply oksigen

Penurunan kadar ATP dan CP

Rigor

mortis Denaturasi Protein

Glikolisis anaerob

Penurunan nilai pH

(21)

Gambar 2 Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih (Lukman et al. 2007)

Pengeluaran darah sebagai akibat penyembelihan ternak menyebabkan persediaan oksigen di dalam otot yang berikatan dengan mioglobin makin menurun dan menjadi habis. Akibatnya sistem enzim dari sitokrom tidak dapat beroperasi dan sintesis ATP tidak dapat diproduksi. Tidak berhasilnya mensintesis kembali ATP melalui proses glikolisis anaerob, maka tidak memungkinkan mempertahankan tingkat ATP, sehingga ikatan aktin miosin yang terkunci yang mengakibatkan otot menjadi keras proses ini dikenal dengan rigor mortis (Lawrie 1979; Swatland 1984).

Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi proses post rigor yang menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan peningkatan keempukan dan cira rasa (flavor)daging. Pada proses ini juga terjadi degradasi protein oleh enzim kalpain dan katepsin. Pelayuan pada daging sapi dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari atau pada temperatur kamar (29 ºC) selama 8 – 12 jam, selama proses tersebut terjadi perubahan secara sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al. 2007).

2.2. pH Daging

(22)

7  

temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum penyembelihan dan stress sebelum penyembelihan.

Menurut Soeparno (2005) sapi yang mengalami stress atau kelelahan sebelum dipotong, maka kandungan glikogen pada otot akan menipis, sehingga konsentrasi asam laktat yang terbentuk tidak bisa membuat pH mencapai angka 5,6, bila pH lebih tinggi misalnya 6,2 maka daging akan terlihat gelap, keras dan kering yang dikenal dengan nama dry, firm, dark (DFD). Warna gelap pada daging ini berhubungan dengan daya ikat air (water holding capacity) yang lebih tinggi dari normal. Dengan tingginya daya ikat air tersebut, menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan lebih banyak cahaya yang diserap dari yang dipantulkan oleh permukaan daging, hal ini yang menyebabkan daging terlihat lebih gelap

Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat (akhir) otot postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat penyembelihan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik didalam proses glikolisis anaerobik. Jadi pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan enzim glikolitik (Pearson 1971; Lawrie 1979). pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Pada umumnya glikogen tidak diketemukan pada pH antara 5,4 – 5,5 (Lawrie 1979).

(23)

2.3. Keempukan (Tenderness)

Pertama kali konsumen menilai keempukan daging pada saat daging dikunyah. Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek (Bratzler 1971; Lawrie 1979) pertama, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging; kedua, mudahnya daging dikunyah menjadi fragmen/potongan-potongan yang lebih kecil, dan ketiga jumlah sisa fragmen/fragmen/potongan-potongan yang tertinggal setelah pengunyahan (Weir 1960; Bratzler 1971). Peningkatan keempukan daging selama proses pelayuan, antara lain disebabkan oleh kerja enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen kontraktil.

Menurut Soeparno (2005) keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama.

Komponen daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, serabut otot, lemak (lemak intramuskular = marbling). Faktor lain yang mempengaruhi keempukan daging adalah umur ternak, jumlah jaringan ikat, cara penanganan daging sebelum dan setelah penyembelihan, serta cara pemasakan daging. Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya (Davey et al. 1967), kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Bouton et al. 1971).

(24)

9  

akan diikuti dengan pemendekan otot yang relatif lebih besar, sehingga daging menjadi kurang empuk dan mempunyai daya ikat air yang rendah (Soeparno 2005). Oleh karena itu, penanganan ternak sebelum penyembelihan perlu untuk diperhatikan karena memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan fisiologis sapi saat menjelang proses penyembelihan. Dalam hal ini, penggunaan alat-alat penyembelihan yang tepat antara lain restraining box sebagai alat fiksasi hewan sebelum penyembelihan, pisau yang tajam untuk menyembelih hewan dan alat penggantung karkas di rumah penyembelihan hewan (RPH) menjadi faktor penting yang mempengaruhinya.

2.4. Daya Ikat Air (Water Holding Capacity/WHC)

Daya ikat air adalah kemampuan protein daging (otot) untuk mengikat air atau air yang ditambahkan. Daya ikat air dipengaruhi oleh faktor nilai pH, rigor mortis dan aging. Daya ikat air mempengaruhi beberapa sifat fisik daging antara lain: warna, citarasa (flavour) dan tekstur. Daya ikat air oleh protein daging ditentukan dengan pemeriksaan susut masak (cooking loss) dan drip loss. Cooking loss adalah berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan. Adapun drip loss adalah cairan atau (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan tekanan dari luar (Lukman et al. 2007). Peningkatan tekanan osmotik, pembebasan ion Na+ dan Ca++ ke dalam sarkoplasma oleh protein-protein otot dan absorbsi ion K+, serta perubahan struktur otot setelah 24 jam pelayuan, berhubungan dengan meningkatnya daya ikat air daging (Arnold et al. 1956; Bratzler et al. 1977; Lawrie 1979)

(25)

peningkatan panjang sarkomer. Besarnya cooking loss dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan cooking loss yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan cooking loss yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.

Penanganan sapi sesaat sebelum penyembelihan akan berpengaruh terhadap kualitas daging postmortem termasuk daya ikat air. Hal tersebut berkaitan dengan jumlah cadangan glikogen otot yang tersisa setelah penyembelihan yang mempengaruhi nilai pH daging dan proses rigor mortis sehingga dapat menentukan tingkat daya ikat air oleh protein daging melalui berbagai perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih. Penurunan pH yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya ikat air protein daging juga menerangkan bahwa penurunan pH akan menyebabkan denaturasi protein sehingga perpindahan air ke ruang ekstraseluler meningkat (Soeparno 2005).

2.5. Restraining Box

(26)

11  

(27)

III.

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November 2008 – Januari 2009. Contoh daging diambil di RPH Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

3.2 Materi dan Metode

3.2.1 Materi

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian top side (Musculus gluteus ) sebanyak 0.5 kg setiap contoh. Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross (BX) dengan status kelamin steer dengan kisaran umur 1.5 - 2 tahun, yaitu sebanyak 60 contoh dari 60 sapi yang berbeda yang telah diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penampungan RPH selama ± satu minggu sebelum dipotong, yang terdiri dari 30 contoh daging dari hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box dan 30 contoh daging dari hasil pemotongan tanpa menggunakan restraining box dengan pengambilan sampel sebelum pelayuan.

3.2.2 Metode Penelitian

3.2.2.1 Pengukuran nilai pH daging

(28)

13   

kemudian dikeringkan dengan kertas tisu secara hati-hati. Pengukuran nilai pH daging dapat dilakukan dengan mempersiapkan daging dengan dihomogenkan terlebih dahulu menggunakan blender (homogenat). Contoh daging yang telah homogen dimasukkan ke dalam kantong plastik dan mulai diukur pH-nya dengan memasukkan elektrode gelas ke dalam homogenat daging. Setelah elektroda pH meter dimasukkan ke dalam contoh, biarkan beberapa waktu sampai nilai pH terbaca konstan.

3.2.2.2 Pemeriksaan Keempukan

Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan menggunakan Warner-Bratzler shear force (WBSF). Contoh daging yang telah didinginkan, 24 jam kemudian dicairkan (thawing) dan direbus sampai suhu dalam daging mencapai angka 80oC, yaitu sekitar 10-15 menit. Kemudian daging tersebut diangkat dan ditiriskan. Daging dicetak dengan menggunakan corer dengan diameter bagian dalam 1.27 cm atau 0.5 inchi sehingga diperoleh potongan daging dengan diameter 1.27 cm dan panjang 4-5 cm. Langkah pengujian selanjutnya adalah pemotongan contoh daging dengan WB blade. Daging diletakkan sedemikian rupa sehingga alat potong pada Warner Bratzler tepat memotong melintang arah serabut otot. Nilai daya putus WB dinyatakan dengan satuan kilogram per sentimeter persegi (kg/cm2)

3.2.2.3 Pemeriksaan Drip Loss

Pengujian drip loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap penyimpanan dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang ± 5 gram (a gram) kemudian contoh daging digantung dengan benang pada kawat lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian diikat dan disimpan dalam lemari es selama 24 jam. Setelah itu daging ditimbang kembali (b gram). Pengujian dilakukan pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Pengukuran nilai drip loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut :

(29)

Keterangan :

a : Berat daging sebelum perlakuan (gram) b : Berat daging setelah perlakuan (gram)

3.2.2.4 Pemeriksaan Cooking Loss

Pengujian cooking loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap pemasakan dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang sebanyak 70-100 gram (a gram) lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas kemudian dipanaskan dalam air suhu 75 °C selama 50 menit selanjutnya daging ditimbang kembali (b gram). Pengujian dilakukan pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Pengukuran nilai cooking loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut :

% cooking loss = a – b x 100% a

Keterangan :

a : Berat daging sebelum perlakuan ( gram) b : Berat daging setelah perlakuan (gram)

3.3 Analisis Statistika

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika sebaran t (t-test) dua sampel dengan selang kepercayaan 95% dimana setiap waktu pengamatan dicari rata-rata dan standar deviasinya.

(30)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap pH daging

[image:30.612.133.512.404.521.2]

Hasil pengujian nilai pH dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai pH rata-rata pada jam pertama postmortem adalah 6.31 + 0.04 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (rata-rata 5.58 + 0.03), sedangkan pada daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box, nilai pH rata-rata pada jam pertama yaitu 6.23 + 0.08 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (5.53 + 0.03). Nilai pH daging kedua perlakuan mengalami peningkatan kembali pada jam ke-10. Untuk daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box pH mencapai nilai 5.69 + 0.03, meningkat sebesar 1.97 % dari jam ke-8. Sementara itu, daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box mencapai nilai 5.58 + 0.04, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 0.85 % dari jam ke-8, seperti pada Tabel 1 dan Gambar 2.

Tabel 1 Nilai rata-rata pH daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box dan tanpa perlakuan restraining box

Jam ke- Restraining box Non-Restraining box

1 6.31 + 0.04tn 6.23 + 0.08tn

6 5.70 + 0.03tn 5.67 + 0.04tn

8 5.58 + 0.03tn 5.53 + 0.03tn

10 5.69 + 0.03* 5.58 + 0.04*

Ket : superscript (tn) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05)

superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(31)

pada saat pemotongan dan akan berdampak semakin rendahnya nilai pH daging postmortem (Shorthose dan Whytes 1988).

Pengamatan nilai pH antara daging dengan dan tanpa perlakuan restraining box pada jam pertama pengukuran postmortem menunjukkan bahwa nilai pH daging dari sapi tanpa perlakuan restraining box (6.23 + 0.08) lebih rendah daripada daging dari sapi dengan perlakuan restraining box (6.31 + 0.04), seperti pada Gambar 2. (mengapa ?)

Gambar 2 Penurunan nilai rata-rata pH postmortem pada daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box.

Berdasarkan data yang diperoleh, pola penurunan pH untuk kedua perlakuan seperti yang digambarkan di atas termasuk pola penurunan pH yang normal yaitu mencapai nilai 5.6 – 5.7 dalam waktu 6 – 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al. 1975 dalam Brahmantiyo 1996).

[image:31.612.130.507.210.478.2]
(32)

17   

penggunaan restraining box karena kurangnya kesadaran pekerja akan tujuan serta manfaat penggunaan restraining box. (? Factor apa saja)

Kondisi stres tersebut mememicu terjadinya glikolisis anaerob. Penguraian glikogen ini sebagai respon positif dari faktor stres yang akan merangsang peningkatan sekresi hormon glukokortikoid (hormon kortisol) yang akan meningkatkan penggunaan glikogen otot dan memobilisasi asam lemak bebas sehingga terbentuk persediaan energi darurat. Keadaan ini sangat berdampak negatif terhadap persediaan glikogen otot postmortem dan mempercepat laju penurunan nilai pH postmortem (sumber pustaka)

Pada jam ke-10 postmortem menunjukkan bahwa nilai pH rata-rata daging dari kedua perlakuan, baik pemotongan dengan menggunakan dan tanpa menggunakan restraining box, mengalami kenaikan (Tabel 1). Kenaikan nilai pH postmortem tersebut disebabkan oleh terhentinya pelepasan kreatin fosfat atau adanya perubahan sistem bufer dalam jaringan otot sehingga penurunan pH daging dihambat (Dogde dan Peters 1960).

4.2 Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Daya Ikat Air Daging

(Water Holding Capacity) (uji statistik utk pengambil keputusan

(deskripsi data hasil didahulukan)

(33)
[image:33.612.130.517.196.301.2]

ke-10 dengan nilai 44.89 + 0.61. Perbandingan rata-rata cooking loss contoh daging yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non-restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 proses pemasakan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 3.

Tabel 2 Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box

Jam ke- Restraining box Non-Restraining box

6 41.61 + 0.24* 43.68 + 0.38*

8 40.98 + 0.27* 42.95 + 0.49*

10 41.54 + 0.36* 44.89 + 0.61*

Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05)

Gambar 3. Perbandingan cooking loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box

[image:33.612.121.512.347.591.2]
(34)

19   

[image:34.612.130.512.332.433.2]

restraining box yang diuji pada jam ke-10 memiliki nilai yang nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa restraining box. Nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.39 + 0.60 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata 5.89 + 0.51, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 6.62 + 0.35, sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.67 + 0.50 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 5.89 + 0.51, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 7.30 + 0.52. Perbandingan rata-rata drip loss contoh yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box

Jam ke- Restraining box Non-Restraining box

6 6.39 + 0.60tn 6.67 + 0.50tn

8 5.89 + 0.51tn 6.76 + 0.44tn

10 6.62 + 0.35* 7.30 + 0.52*

Ket : superscript (tn) pada baris yang sama yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05)

superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05)

(35)

hewan akan meningkatkan mobilisasi energi tubuh yang dibutuhkan untuk aktivitas otot pada hewan hidup (Chambers dan Grandin 2001). Guyton (1994) menerangkan bahwa energi tersebut berasal dari proses glikolisis.

Pada hewan hidup, proses glikolisis aerobik akan berlangsung selama pasokanoksigen masih ada. Lain halnya ketika hewan sudah mati, sirkulasi darah terhenti sehingga secara otomatis pasokan oksigen akan terhenti. Pada kondisi tersebut oksigen tidak tersedia atau insufisiensi sehingga terjadi glikolisis anaerobik. Menurut Voisinet et al. (1997), penanganan pemotongan sapi yang tidak benar akan menyebabkan berontak yang berlebihan sehingga mengakibatkan kondisi daging sapi yang berwarna gelap (dark-cutting beef).

Soeparno (1994) menyatakan bahwa glikolisis anaerobik tergantung pada jumlah glikogen otot yang tersisa setelah dipakai sebagai sumber energi pada saat pemotongan. Pada kondisi stres glikogen otot banyak digunakan dalam proses glikolisis aerobik bahkan dalam kondisi hipoksia saat hewan masih hidup akan mengakibatkan terjadinya proses glikolisis anaerobik sehingga laju glikolisis anaerobik postmortem akan berlangsung lebih cepat. Peningkatan laju glikolisis menyebabkan cadangan glikogen otot menjadi cepat habis akibatnya penimbunan asam laktat akan berhenti sehingga penurunan pH akan semakin cepat (Pearson 1971; Lawrie 1979).

(36)
[image:36.612.159.532.104.325.2]

21   

Gambar 4 Perbandingan drip loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box

Pada saat pemotongan, terhentinya pasokan oksigen menyebabkan respirasi terhenti, sehingga terjadi penurunan kadar ATP dan kreatin fosfat (Guyton 1994). Penurunan kadar ATP berkaitan dengan proses rigor mortis atau kekakuan otot setelah kematian. Pada awal rigor mortis biasanya diikuti dengan penurunan daya ikat air daging. Hal tersebut disebabkan oleh penurunan pH, konsekuensi dari protein otot pada titik isoelektriknya dan denaturasi protein (Lawrie 1979). Pada pH tiitik isoelektrik daging, keadaan protein-protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal dengan nilai pH antara 5.4 – 5.5 (Lawrie 1979). Soeparno (1994) menerangkan bahwa penurunan kadar ATP berkaitan dengan hilangnya daya regang otot akibat pembentukan kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen sehingga daya ikat air daging rendah. Pembentukan kompleks aktomiosin akibat kehabisan ATP akan tetap terjadi walaupun otot masih mempunyai pH yang tinggi (Soeparno 1994).

(37)

air yang terikat oleh daging semakin baik kualitasnya. Daya ikat air dapat dipengaruhi oleh pH dan rigormortis sehingga faktor penanganan sebelum pemotongan merupakan hal yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap daya ikat air daging. Penanganan yang buruk sebelum pemotongan akan mengakibatkan stres sehingga cadangan glikogen otot akan berkurang.

Dilihat dari segi ekonomi dan kesehatan masyarakat, penurunan daya ikat air pada daging dapat merugikan konsumen karena daging tersebut berat dan kandungan nutrisinya berkurang sehingga tanpa disadari kepuasan konsumen terhadap kualitas daging yang diharapkan tidak terpenuhi.

4.3 Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Keempukan Daging (tendernes)

[image:37.612.136.514.629.681.2]

Secara umum penggunaan restraining box dan non-restraining box di RPH terhadap tingkat keempukan daging sapi yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai keempukan daging pada sapi yang difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 2.98 ± 0.17, sedangkan pada daging sapi yang tidak difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 3.65 ± 0.24. Seperti yang terlihat pada Tabel 4, nilai keempukan daging sapi yang dicerminkan oleh perubahan daya putus Warner Bratzler (WB) pada daging yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box (2.98 ± 0.84) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata daya putus WB yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (3.65 ± 1.21). Daya putus WB yang rendah dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang tinggi dan sebaliknya daya putus WB yang tinggi dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang rendah.

Tabel 4 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan non-restraining box (kg/cm2)

restraining box (kg/cm2)

non-restraining box (kg/cm2)

Keempukan 2.98 ± 0.17* 3.65 ± 0.24*

(38)

23   

Daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box memiliki nilai keempukan yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda nyata (p<0.05) dengan daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang tidak menggunakan restraining box. Hal ini dapat dikarenakan sapi yang difiksasi dengan restraining box sebelum dipotong memiliki kemungkinan stres yang lebih kecil daripada sapi yang tidak difiksasi dengan restraining box. Sapi yang mengalami stres biasanya lebih banyak bergerak pada saat pemotongan. Banyaknya gerakan yang dilakukan oleh sapi dapat berpengaruh pada penurunan atau habisnya kadar glikogen otot. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar ATP dan keratin fosfat akibat tidak tersedianya oksigen yang cukup. Hal ini dapat memicu terjadinya rigormortis otot dan berakibat pada kualitas keempukan daging sapi yang dihasilkan.

Menurut Bate-Smith, Bendall (1960), rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak lagi mampu mempergunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen miosin saling menindih dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen. Penurunan kadar ATP ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya regang otot dengan cepat. Hilangnya kemampuan daya regang otot dan pembentukan kompleks aktomiosin menyebabkan kekakuan pada otot. Kekakuan yang terjadi akan diikuti dengan pemendekan otot yang merupakan penyebab utama dari ketidakempukan daging.

(39)

mempunyai korelasi linear dengan pH. Sehingga dapat dikatakan, terjadinya

penurunan pH pada umumnya dapat menurunkan keempukan daging. (why???)

Besarnya nilai keempukan daging juga dipengaruhi oleh proses penyimpanan dan pemasakan daging. Penyimpanan daging dapat menyebabkan peningkatan keempukan daging yang diindikasikan dengan tidak terjadinya pemendekan otot selama rigormortis. Pemendekan otot memiliki hubungan yang erat dengan kealotan daging. Daging yang telah mengalami proses rigormortis kemudian disimpan dingin pada suhu yang sesuai tidak akan mengalami pemendekan otot. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging (aging, refrigerasi) dapat meningkatkan nilai keempukan daging. Giles (1969) serta Hegarty dan Allen (1975) dalam Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging sapi postrigor yang dimasak pada suhu lebih tinggi dari 60oC akan mengalami kontraksi dan perubahan kualitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soeparno et al. (1987) mengenai pengaruh pelayuan dan perebusan terhadap perubahan pH, retensi cairan, keempukan dan gizi daging sapi peranakan Friesien Holstein (PFH) jantan. Pada umumnya, suhu pemasakan untuk memperoleh tingkat keempukan daging yang maksimum, berbeda diantara otot dan ternak dan terutama berhubungan dengan jumlah serta kekuatan jaringan ikat (Lawrie 1979).

(40)

V. SIMPULAN

DAN

SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box mempunyai pH rata-rata relatif lebih tinggi dari pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box. Namun perbedaan tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dan masih dalam kondisi normal yang dikarenakan sapi yang potong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut sedikit lebih lama dibandingkan sapi yang dipotong menggunakan restraining box.

2. Daya ikat air pada daging yang menggunakan restraining box dengan pengujian cooking loss dan drip loss mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat yang menyebabkan denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging

3. Daging yang dihasilkan dari RPH yang menggunakan restraining box lebih empuk dibandingkan dengan daging dari RPH yang tidak menggunakan restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat yang menyebabkan denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging sehingga daging menjadi keras.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, disarankan :

(41)

maupun stakeholder yang lain dalam pembangunan restraining box di RPH.

2. Perlu adanya standard operating procedures (SOPs) yang baku mengenai penggunaan restraining box di RPH, sehingga pekerja memahami dengan baik penggunaan restraining box dengan baik dan benar.

3. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek kualitas daging lainnya seperti kualitas sensorik dan masa simpan daging dari sapi yang dipotong dengan menggunakan restraining box di RPH.

(42)

29   

DAFTAR PUSTAKA

Anonymus, 2007. Manual Report Restraining Box Project Apfindo: MLA and Livestock Press

Bouton PE. Harris PV, Shorthose WR. 1971. J. Food Sci. 36, 435.

Bratzler LJ. 1971. The Science of Meat and Meat Products.2nd ed. W.H. Freeman and Co., San Francisco.

Davey CL, Kutiel H and Gilbert KV. 1967.J. Fd.Tecnol.2,53

Departemen Pertanian. 1992. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya; Deptan;1992.

Dodge JW. Peters FE. 1960. Temperature and pH change in poultry breast muscle at slaughter. Poultry Sci. 39: 765-768.

Forrest JC. Aberle ED, Hendrick HB, Judge MD dan Merkel RA. 1975. Principles of Meat Science. San Fransisco: WH Freeman and Company. Grandin 1991. Double Restrainer for Handling Beef Cattle. USA : American

Society Agricultural Engineering.

Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging; Kepmentan;2010.

Lawrie RA. 1979. Meat Science. 3rd ed. Edinburgh: Pergamon Pr.

Lukman DW et al. 2008. Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Bogor : Kesmavet FKH IPB

Lukman DW et al. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Prodjodiharjo S. 2002. Pengelolaan Daging. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian

Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey

Soeparno 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Weir CE. 1960. The Science of Meat and Meat Product. Ed. Amer.Meat Inst.Found. Reinhold Publishing Co. .New York

(43)

Perlakuan N

Mean

Error

Mean

Uji

t-Student

pH jam ke-1

Restraining Box

30

6.31

0.04

tn

Non Restraining Box

30

6.23

0.08

pH jam ke-6

Restraining Box

30

5.69

0.03

tn

Non Restraining Box

30

5.67

0.04

pH jam ke-8

Restraining Box

30

5.58

0.02

tn

Non Restraining Box

30

5.53

0.03

pH jam ke-10

Restraining Box

30

5.69

0.03

*

Non Restraining Box

30

5.58

0.04

Drip loss jam ke-6

Restraining Box

30

6.39

0.60

tn

Non Restraining Box

30

6.67

0.50

Drip loss jam ke-8

Restraining Box

30

5.89

0.51

tn

Non Restraining Box

30

6.75

0.43

Drip loss jam ke-10

Restraining Box

30

6.62

0.35

tn

Non Restraining Box

30

7.30

0.52

Cooking loss jam ke-6

Restraining Box

30

41.61

0.24

*

Non Restraining Box

30

43.68

0.38

Cooking loss jam ke-8

Restraining Box

30

40.98

0.27

*

Non Restraining Box

30

42.95

0.49

Cooking loss jam

ke-10

Restraining Box

30

41.54

0.36

*

Non Restraining Box

30

44.89

0.61

Keempukan

Restraining Box

30

2.98

0.17

*

Non Restraining Box

30

3.65

0.24

Keterangan:

tn

: Tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan restraining box dan non restraining box pada

α

=0.05

(44)

 

Lampiran II. Hasil Uji T Dan Selang Kepercayaan 95% Selisih Rataan Antara Perlakuan

Restraining Box Dan Non Restraining Box

t

derajat

bebas

Sig.

(2-tailed)

Selisih nilai

tengah*)

Galat baku

selisih

nilai

tengah

Selang kepercayan

95% selisih dua nilai

tengah

batas

bawah

Batas

atas

pH jam ke-1

0.90

48

0.38

0.08

0.09

-0.10

0.25

pH jam ke-6

0.55

48

0.59

0.03

0.05

-0.07

0.12

pH jam ke-8

1.23

48

0.22

0.05

0.04

-0.03

0.13

pH jam ke-10

2.07

48

0.04

0.11

0.05

0.00

0.22

Drip loss jam ke-6

-0.35

48

0.73

-0.28

0.78

-1.85

1.30

Drip loss jam ke-8

-1.28

48

0.21

-0.86

0.67

-2.22

0.49

Drip loss jam ke-10

-1.07

48

0.29

-0.67

0.63

-1.94

0.59

Keempukan -2.27

48

0.03

-0.67

0.30

-1.26

-0.08

Cooking loss jam ke-6

-4.58

38

0.00

-2.07

0.45

-2.98

-1.15

Cooking loss jam ke-8

-3.52

38

0.00

-1.97

0.56

-3.12

-0.84

Cooking loss jam ke-10

-4.75

38

0.00

-3.35

0.71

-4.78

-1.92

Keterangan :

*)Selisih antara rataan perlakuan

restraining box

dan

non restraining box

Jika nilai selisih nilai tengah dan selang kepercayaan 95%-nya bernilai negatif, artinya perlakuan

non restraining box menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan restraining box.

(45)

vi   

Slaughtering in Abattoir And Physical Characteristic Of Meat. Under direction of DENNY W LUKMAN dan SRI MUKARTINI.

This study is aimed to observe the differences of meat quality especially the pH, cooking loss and drip loss, and meat tenderness changes of postmortem beef meat slaughtered with and without using of restraining box. Restraining box is an equipment to fix or restrain cattle before slaughtering in order to lay down and handle the cattle safely.

This study used 60 beef meat samples (30 samples of restraining and 30 samples of non-restraining) from the slaughterhouse of Bogor City and Bogor District. This research used the Musculus gluteus medius of Brahman Cross . The pH value of the samples was measured at 1, 6, 8, and 10 hours (h) after slaughtering. The water holding capacity was examined through cooking loss and drip loss which were conducted three times at 6, 8, and 10 hours postmortem and the meat tenderness was measured with Warner Bratzler shear force (WBSF).

The result of study showed that the pH value of the both treatments decreased gradualy after slaughtering. The pH value avarage of meat samples from restraining was higher than the non-restraining. Nevertheless, the difference between the both treatments was statistically not significant (P>0.05). The study showed that the cooking loss of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was lower significantly (p<0.05) than one without restraining at all abservations. Nevertheless, the drip loss of beef meat with restraining box was lower significantly (p<0.05) only at 10 hours postmortem than one without restraining box. The results indicated that the tenderness of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was higher significantly (p<0.05) than one without restraining box

(46)

vi   

RINGKASAN

ARIF WICAKSONO. Penelitian Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging. Dibimbing oleh DENNY W.LUKMAN dan SRI MUKARTINI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas fisik daging dari pemotongan sapi dengan dan tanpa menggunakan restraining box di RPH melalui pengamatan perubahan karakteristik daging yang meliputi nilai pH, daya ikat air (water holding capacity) dan keempukan (tenderness).

Restraning box adalah alat fiksasi sapi menjelang disembelih untuk mempermudah penanganan sapi pada saat dirobohkan dan disembelih. Penelitian ini menggunakan sampel daging sapi dari bagian topside (Musculus gluteus medius) dari jenis sapi Brahman cross. Jumlah contoh sebesar 60 contoh, meliputi 30 contoh dari sapi yang dipotong di RPH Kota Bogor dengan menggunakan restraining box dan 30 contoh dari RPH Kabupaten Bogor yang tidak menggunakan restrainingbox.

Contoh daging diambil di RPH Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian top side (Musculus gluteus ) sebanyak 0.5 kg setiap contoh. Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross (BX) dengan status kelamin steer dengan kisaran umur 1.5 - 2 tahun, yaitu sebanyak 60 contoh dari 60 sapi

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika sebaran t (t-test) dua sampel dengan selang kepercayaan 95% dimana setiap waktu pengamatan dicari rata-rata dan standar deviasinya.

Peubah yang diamati adalah nilai pH, daya ikat air daging melalui uji cooking loss dan drip los, serta keempukan daging. Untuk nilai pH, pengujian dilakukan pada jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah sapi dipotong. Nilai pH daging pada kedua perlakuan menurun secara bertahap setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwanilai pH rata-rata pada daging yang menggunakan restraining box relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging tanpa restraining box, namun perbedaannya tidak nyata (p>0.05).

Untuk daya ikat air, pengamatan terhadap cooking loss dan drip los dilakukan tiga kali yaitu pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nyata antara kedua perlakuan terhadap nilai cooking loss maupun drip loss. Secara umum nilai cooking loss antara daging dengan perlakuan restraining box lebih rendah dibandingkan dari daging tanpa perlakukan restraining box. pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 pemeriksaan postmortem. Sedangkan nilai drip loss daging dengan restraining box nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa restraining box (p<0.05)pada jam ke-10.

(47)

vi   

(48)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan protein nabati.

Menurut Lawrie (1968) daging adalah bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Sedangkan menurut Soeparno (1994) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya misalkan meat born illness.

(49)

terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavour dan aroma termasuk bau dan cita rasa, serta jus daging (juiciness). Disamping itu, faktor penting lain yang ikut menentukan kualitas daging adalah lemak intramuskular, susut masak (cooking loss), resistensi cairan, dan pH (Soeparno 2005).

[image:49.612.125.511.443.630.2]

Salah satu peralatan yang saat ini digunakan untuk membantu proses pe-nyembelihan pada sapi adalah restraining box yang berada di beberapa RPH di Indonesia. Restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia merupakan desain yang dikembangkan oleh Meat Livestock Australia (MLA) pada tahun 2003 melalui Asosiasi Pengusaha Feedloter Indonesia (APFINDO). Pada saat ini telah terpasang 72 unit restraining box di 60 RPH yang tersebar di 9 propinsi di Jawa dan Sumatera. Peralatan ini digunakan untuk membantu merobohkan sapi pada saat akan disembelih dengan proses kerja tertentu. Tujuan dari penggunaan restaining box adalah untuk: (1) mempercepat proses penyembelihan di RPH; (2) mempermudah pelaksanaan penyembelihan secara halal; (3) meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan dari RPH; dan (4) mewujudkan penerapan kesejahteraan hewan pada proses penyembelihan hewan di RPH (Anonymus 2007). Berikut ini adalah gambar restraining box yang telah terpasang di Indonesia.

(50)

3  

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan karakteristik fisik antara daging dari sapi yang disembelih dengan menggunakan perlakuan restraining box dengan sapi yang tanpa menggunakan restaining box.

1.3. Manfaat Penelitian (pelaku usaha, pemerintah, konsumen)

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi pelaku usaha penyembelihan hewan namun juga bagi pemerintah dan konsumen dalam bentuk:

a. Memberikan gambaran kualitas fisik daging khususnya nilai pH, daya ikat air (nilai cooking loss dan drip loss) serta nilai keempukan daging postmortem dari pemotongan hewan yang menggunakan restraining box dan tanpa restraining box;

b. Menjadi bahan kebijakan teknis bagi pemerintah dalam penyusunan pe-doman teknis pembangunan RPH terutama persyaratan teknis peralatan re-straining box;

c. Memberikan gambaran kepada pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat mengenai manfaat penggunaan restraining box dalam pemotongan sapi di RPH dalam menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

d. Menjadi bahan acuan bagi pelaku usaha (jagal) dan pekerja RPH agar mengoperasionalkan restrainng box dengan baik dan benar pada proses pemotongan hewan sehingga diperoleh daging yang ASUH.

(51)

1.4. Hipotesis Penelitian

(52)

II. TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. Konversi Otot Menjadi Daging

Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 2005). Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari pe-nyembelihan hewan. Pepe-nyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (Arteri carotis dan Vena jugularis) dengan memperhatikan syariah agama Islam dan kaidah kesejahteraan hewan (SK Mentan. 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan yang sangat kompleks di dalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan ber-hentinya sirkulasi darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) ok-sigen ke jaringan, sehingga menimbulkan konsekuensi perubahan pada, jaringan termasuk otot (Lukman et al. 2007). Secara umum perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :

Sirkulasi darah terhenti

Respirasi terhenti

Tidak ada supply oksigen

Penurunan kadar ATP dan CP

Rigor

mortis Denaturasi Protein

Glikolisis anaerob

Penurunan nilai pH

(53)

Gambar 2 Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih (Lukman et al. 2007)

Pengeluaran darah sebagai akibat penyembelihan ternak menyebabkan persediaan oksigen di dalam otot yang berikatan dengan mioglobin makin menurun dan menjadi habis. Akibatnya sistem enzim dari sitokrom tidak dapat beroperasi dan sintesis ATP tidak dapat diproduksi. Tidak berhasilnya mensintesis kembali ATP melalui proses glikolisis anaerob, maka tidak memungkinkan mempertahankan tingkat ATP, sehingga ikatan aktin miosin yang terkunci yang mengakibatkan otot menjadi keras proses ini dikenal dengan rigor mortis (Lawrie 1979; Swatland 1984).

Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi proses post rigor yang menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan peningkatan keempukan dan cira rasa (flavor)daging. Pada proses ini juga terjadi degradasi protein oleh enzim kalpain dan katepsin. Pelayuan pada daging sapi dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari atau pada temperatur kamar (29 ºC) selama 8 – 12 jam, selama proses tersebut terjadi perubahan secara sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al. 2007).

2.2. pH Daging

(54)

7  

temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum penyembelihan dan stress sebelum penyembelihan.

Menurut Soeparno (2005) sapi yang mengalami stress atau kelelahan sebelum dipotong, maka kandungan glikogen pada otot akan menipis, sehingga konsentrasi asam laktat yang terbentuk tidak bisa membuat pH mencapai angka 5,6, bila pH lebih tinggi misalnya 6,2 maka daging akan terlihat gelap, keras dan kering yang dikenal dengan nama dry, firm, dark (DFD). Warna gelap pada daging ini berhubungan dengan daya ikat air (water holding capacity) yang lebih tinggi dari normal. Dengan tingginya daya ikat air tersebut, menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan lebih banyak cahaya yang diserap dari yang dipantulkan oleh permukaan daging, hal ini yang menyebabkan daging terlihat lebih gelap

Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat (akhir) otot postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat penyembelihan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik didalam proses glikolisis anaerobik. Jadi pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan enzim glikolitik (Pearson 1971; Lawrie 1979). pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Pada umumnya glikogen tidak diketemukan pada pH antara 5,4 – 5,5 (Lawrie 1979).

(55)

2.3. Keempukan (Tenderness)

Pertama kali konsumen menilai keempukan daging pada saat daging dikunyah. Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek (Bratzler 1971; Lawrie 1979) pertama, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging; kedua, mudahnya daging dikunyah menjadi fragmen/potongan-potongan yang lebih kecil, dan ketiga jumlah sisa fragmen/fragmen/potongan-potongan yang tertinggal setelah pengunyahan (Weir 1960; Bratzler 1971). Peningkatan keempukan daging selama proses pelayuan, antara lain disebabkan oleh kerja enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen kontraktil.

Menurut Soeparno (2005) keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama.

Komponen daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, serabut otot, lemak (lemak intramuskular = marbling). Faktor lain yang mempengaruhi keempukan daging adalah umur ternak, jumlah jaringan ikat, cara penanganan daging sebelum dan setelah penyembelihan, serta cara pemasakan daging. Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya (Davey et al. 1967), kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Bouton et al. 1971).

(56)

9  

akan diikuti dengan pemendekan otot yang relatif lebih besar, sehingga daging menjadi kurang empuk dan mempunyai daya ikat air yang rendah (Soeparno 2005). Oleh karena itu, penanganan ternak sebelum penyembelihan perlu untuk diperhatikan karena memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan fisiologis sapi saat menjelang proses penyembelihan. Dalam hal ini, penggunaan alat-alat penyembelihan yang tepat antara lain restraining box sebagai alat fiksasi hewan sebelum penyembelihan, pisau yang tajam untuk menyembelih hewan dan alat penggantung karkas di rumah penyembelihan hewan (RPH) menjadi faktor penting yang mempengaruhinya.

2.4. Daya Ikat Air (Water Holding Capacity/WHC)

Daya ikat air adalah kemampuan protein daging (otot) untuk mengikat air atau air yang ditambahkan. Daya ikat air dipengaruhi oleh faktor nilai pH, rigor mortis dan aging. Daya ikat air mempengaruhi beberapa sifat fisik daging antara lain: warna, citarasa (flavour) dan tekstur. Daya ikat air oleh protein daging ditentukan dengan pemeriksaan susut masak (cooking loss) dan drip loss. Cooking loss adalah berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan. Adapun drip loss adalah cairan atau (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan tekanan dari luar (Lukman et al. 2007). Peningkatan tekanan osmotik, pembebasan ion Na+ dan Ca++ ke dalam sarkoplasma oleh protein-protein otot dan absorbsi ion K+, serta perubahan struktur otot setelah 24 jam pelayuan, berhubungan dengan meningkatnya daya ikat air daging (Arnold et al. 1956; Bratzler et al. 1977; Lawrie 1979)

(57)

peningkatan panjang sarkomer. Besarnya cooking loss dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan cooking loss yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan cooking loss yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.

Penanganan sapi sesaat sebelum penyembelihan akan berpengaruh terhadap kualitas daging postmortem termasuk daya ikat air. Hal tersebut berkaitan dengan jumlah cadangan glikogen otot yang tersisa setelah penyembelihan yang mempengaruhi nilai pH daging dan proses rigor mortis sehingga dapat menentukan tingkat daya ikat air oleh protein daging melalui berbagai perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih. Penurunan pH yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya ikat air protein daging juga menerangkan bahwa penurunan pH akan menyebabkan denaturasi protein sehingga perpindahan air ke ruang ekstraseluler meningkat (Soeparno 2005).

2.5. Restraining Box

(58)

11  

(59)

III.

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November 2008 – Januari 2009. Contoh daging diambil di RPH Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

3.2 Materi dan Metode

3.2.1 Materi

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian top side (Musculus gluteus ) sebanyak 0.5 kg setiap contoh. Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross (BX) dengan status kelamin steer dengan kisaran umur 1.5 - 2 tahun, yaitu sebanyak 60 contoh dari 60 sapi yang berbeda yang telah diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penampungan RPH selama ± satu minggu sebelum dipotong, yang terdiri dari 30 contoh daging dari hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box dan 30 contoh daging dari hasil pemotongan tanpa menggunakan restraining box dengan pengambilan sampel sebelum pelayuan.

3.2.2 Metode Penelitian

3.2.2.1 Pengukuran nilai pH daging

(60)

13   

kemudian dikeringkan dengan kertas tisu secara hati-hati. Pengukuran nilai pH daging dapat dilakukan dengan mempersiapkan daging dengan dihomogenkan terlebih dahulu menggunakan blender (homogenat). Contoh daging yang telah homogen dimasukkan ke dalam kantong plastik dan mulai diukur pH-nya dengan memasukkan elektrode gelas ke dalam homogenat daging. Setelah elektroda pH meter dimasukkan ke dalam contoh, biarkan beberapa waktu sampai nilai pH terbaca konstan.

3.2.2.2 Pemeriksaan Keempukan

Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan menggunakan Warner-Bratzler shear force (WBSF). Contoh daging yang telah didinginkan, 24 jam kemudian dicairkan (thawing) dan direbus sampai suhu dalam daging mencapai angka 80oC, yaitu sekitar 10-15 menit. Kemudian daging tersebut diangkat dan ditiriskan. Daging dicetak dengan menggunakan corer dengan diameter bagian dalam 1.27 cm atau 0.5 inchi sehingga diperoleh potongan daging dengan diameter 1.27 cm dan panjang 4-5 cm. Langkah pengujian selanjutnya adalah pemotongan contoh daging dengan WB blade. Daging diletakkan sedemikian rupa sehingga alat potong pada Warner Bratzler tepat memotong melintang arah serabut otot. Nilai daya putus WB dinyatakan dengan satuan kilogram per sentimeter persegi (kg/cm2)

3.2.2.3 Pemeriksaan Drip Loss

Pengujian drip loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap penyimpanan dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang ± 5 gram (a gram) kemudian contoh daging digantung dengan benang pada kawat lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian diikat dan disimpan dalam lemari es selama 24 jam. Setelah itu daging ditimbang kembali (b gram). Pengujian dilakukan pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Pengukuran nilai drip loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut :

(61)

Keterangan :

a : Berat daging sebelum perlakuan (gram) b : Berat daging setelah perlakuan (gram)

3.2.2.4 Pemeriksaan Cooking Loss

Pengujian cooking loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap pemasakan dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang sebanyak 70-100 gram (a gram) lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas kemudian dipanaskan dalam air suhu 75 °C selama 50 menit selanjutnya daging ditimbang kembali (b gram). Pengujian dilakukan pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Pengukuran nilai cooking loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut :

% cooking loss = a – b x 100% a

Keterangan :

a : Berat daging sebelum perlakuan ( gram) b : Bera

Gambar

Gambar 1 gambar restraining box yang telah terpasang di beberapa RPH di Indo-nesia.
Tabel 1  Nilai rata-rata pH daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box dan tanpa perlakuan restraining box
Gambar 2 Penurunan nilai rata-rata pH postmortem pada daging yang berasal
Tabel 2 Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa    menggunakan restraining box
+7

Referensi

Dokumen terkait

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pH daging seperti yang dikemukakan oleh Smith dkk., (1978) dan Judge dkk., (1989) yaitu stres sebelum pemotongan, iklim, tingkah laku

Sifat fisik daging sapi dara Brahman Cross yang meliputi nilai pH, keempukan, susut masak, daya mengikat air, skor marbling dan warna daging berada pada kisaran

Nilai pH berhubungan dengan kemampuan suatu produk untuk mengikat air, kesan jus daging, keempukan juga berhubungan dengan produk rataan nilai pH, Jumlah

Hasil penelitian menunjukan bahwa pH, daya ikat air dan keempukan daging sapi yang diberi perlakuan rendaman air kelapa tidak berbeda nyata dengan

Sedangkan pada daging matang yang diberikan perlakuan penambahan dan pengganti secara signifikan menunjukan nilai expressible drip yang rendah atau memiliki daya ikat air

Nilai pH akhir daging dari kedua perlakuan tersebut tidak dapat ditentukan karena dimungkinkan masing-masing nilai pH kedua perlakuan masih dapat turun mengingat nilai terendah

Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan sifat fisik (pH, daya mengikat air, keempukan, dan susut masak) daging sapi, kerbau dan domba pada lama

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik daya ikat air, tingkat keasaman, dan susut masak daging sapi bali dan wagyu yang