• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN NILAI pH POSTMORTEM DAGING SAPI

YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN

RESTRAINING BOX

ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH. Changes of Postmortem pH Value of Beef Meat Slaughtered Using Restraining Box. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN.

This study is aimed to observe the differences of meat quality especially the pH changes of postmortem beef meat slaughtered with and without using of restraining box. Restraining box is an equipment to fix or restrain cattle before slaughtering in order to lay down and handle the cattle safely. This study used 40 beef meat samples (20 samples of restraining and 20 samples of non-restraining) from the slaughterhouse of Bogor City and Bogor District. The samples were stored at room temperature (25–34 °C). The pH value of the samples was measured at 1, 6, 8, and 10 hours (h) after slaughtering. The result of study showed that the pH value of the both treatments decreased gradualy after slaughtering. The pH value avarage of meat samples from restraining was higher than the non-restraining. Nevertheless, the difference between the both treatments was statistically not significant (p>0.05). The pH value average of meat slaughtered using restraining at 1 h postmortem was 6.31±0.22 and reached the lowest value at 8 h postmortem (5.61±0.11). The pH value of meat slaughtered without restraining at 1 h postmortem was 6.17±0.39 and reached the lowest value at 8 h postmortem (5.57±0.13). Furthermore, the pH value average increased at 10 h postmortem becoming 5.66±0.13 for restraining samples (the increase of 0.99% from 8 h postmortem) and 5.62±0.22 for non-restraining samples (the increase of 0.85% from 8 h postmortem).

(3)

ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH. Perubahan Nilai pH Postmortem Daging Sapi yang Dipotong dengan Menggunakan Restraining Box. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kualitas daging, terutama nilai pH daging postmortem dari pemotongan sapi dengan dan tanpa menggunakan restraining box. Restraining box merupakan alat fiksasi sapi sebelum pemotongan agar sapi mudah dirobohkan dan ditangani saat penyembelihan. Penelitian ini menggunakan 40 contoh daging, yang terdiri dari 20 contoh menggunakan restraining box dari Rumah Pemotongan (RPH) Kabupaten Bogor dan 20 contoh tanpa restraining box dari Hewan RPH Kota Bogor. Contoh daging disimpan pada suhu kamar (25–34 °C). Contoh daging diuji nilai pH-nya pada jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah sapi dipotong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH daging pada kedua perlakuan menurun secara bertahap setelah pemotongan. Nilai pH rata-rata pada daging yang menggunakan restraining box relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging tanpa restraining box, namun perbedaannya tidak nyata (p>0.05). Pada daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box, nilai pH rata-rata pada jam pertama postmortem adalah 6.31±0.22 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (5.61±0.11), sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai pH rata-rata pada jam pertama yaitu 6.17±0.39 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 (5.57±0.13). Selanjutnya, nilai pH daging kedua perlakuan mengalami peningkatan pada jam ke-10 yaitu 5.66±0.13 untuk daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box (peningkatannya dari jam ke-8 sebesar 0.99%) dan 5.62±0.22 untuk daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (peningkatannya dari jam ke-8 sebesar 0.85%).

(4)

PERUBAHAN NILAI pH POSTMORTEM DAGING SAPI

YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN

RESTRAINING BOX

ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Menggunakan Restraining Box Nama : Rohiman Aliyana Hermansyah NRP : B04104112

Disetujui

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. Pembimbing

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak November 2007 sampai Januari 2008 ini ialah mengenai daging sapi, dengan judul Perubahan Nilai pH Postmortem Daging Sapi yang Dipotong dengan Menggunakan Restraining Box.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1 Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran, kritik, motivasi, dan pengarahan kepada penulis yang bukan hanya untuk kelancaran selama penelitian sampai penulisan skripsi, melainkan terlebih untuk kemajuan penulis meniti kehidupan di masa yang akan datang.

2 drh. Trioso Purnawarman, MSi sebagai dosen penilai seminar sekaligus penguji sidang skripsi penulis yang telah memberikan banyak masukan demi menuju skripsi yang lebih baik.

3 Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMp sebagai dosen pembimbing akademik dan orang tua tunggal penulis selama menimba ilmu di FKH IPB.

4 Dosen dan staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (Prof. Mirnawati, Dr. Roso, Dr. Winny, Bapak Tedi, dan Bapak Hendra yang telah ikut serta memperlancar proses penelitian dan penyusunan skripsi ini).

5 Bapak drh. Arif Wicaksono, Direktorat Kesmavet Departemen Pertanian, Kepala UPTD RPH Kota Bogor dan Kepala RPH Kabupaten Bogor yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian ini.

6 Bapak drh. Andri Jatikusumah atas bimbingan penulisan skripsi.

7 Mama (almarhumah) yang hendaknya setiap saat ingin penulis temui dan jadi orang pertama yang penulis peluk ketika memperlihatkan skripsi ini.

8 Bapak dan Biang di kampung yang selalu mendukung baik materi dan doa-doa yang selalu mengalir jauh dan jadi kekuatan yang terbesar bagi penulis untuk mengarungi hari-hari tersulit yang selalu dihadapi.

9 Harta-hartaku yang paling berharga dan sebagai sumber motivasi terbesar (Ena, Eni, Elin, Shasha, dan Raffi).

10 Sahabat-sahabat di RUKUN (Fikri, Uwie, Sunu, Arran, Rizki, dan Marwan) dan kawan-kawan di FATKILA.

(7)

12 Kawan-kawan di Asteroidea ’41.

13 Sahabat-sahabat Tim Pameran Pimnas XXI yang telah memberikan semangat baru kepada penulis di akhir masa pendidikan S1.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 4 Juni 1987 dari ayah yang bernama Hermansyah MPd dan Ibu yang bernama Aliyah (almarhumah). Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Cimahi sebagai the Best Student dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memilih Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti berbagai organisasi internal kampus seperti Himpunan Minat Profesi (Himpro) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik, Himpro Ruminansia, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia, Komunitas Seni STERIL, Dewan Keluarga Mushalla An-Nahl, Dewan Keluarga Mesjid Al Huriyyah, Agria Swara, Unit Keluarga Mahasiswa Teater IPB serta organisasi eksernal kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam dan Cat Fancy of

Indonesia. Penulis juga aktif tergabung dalam kepanitian berbagai acara dan

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………...………...… vii

DAFTAR GAMBAR ………... viii

DAFTAR LAMPIRAN ………..………... ix PENDAHULUAN ………. 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Manfaat Penelitian ... 3 Hipotesis ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Definisi Daging ... 4

Struktur dan Komposisi Daging ... 4

Glikolisis Postmortem ... 8

Nilai pH Daging ... 11

Stres pada Hewan ... 14

Pengaruh Proses Pemotongan dengan Menggunakan Restraining Box terhadap Kualitas daging ... 17

METODE PENELITIAN ... 22

Waktu dan Tempat ... 23

Bahan dan Alat ... 23

Contoh Daging ... 23

Metode ... 23

Pengujian Nilai pH ... 25

Analisa Data ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Kondisi Umum Proses Pemotongan Sapi di RPH ... 26

Perubahan Nilai pH Postmortem ... 26

Kenaikan Nilai pH Postmortem dan Pembususkan Daging ... 30

Nilai pH Akhir (pH Ultimat) ... 33

Manfaat Penggunaan Restraining Box terhadap Nilai pH ... 34

SIMPULAN DAN SARAN ... 36

Simpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pola penurunan nilai pH ... 13 2 Nilai rata-rata pH daging hasil pemotongan dengan dan tanpa

(11)

Halaman

1 Otot skeletal beserta struktur miofibril ... 6 2 Penampang melintang otot skeletal ... 6 3 Perubahan kimia dalam otot selama metabolisme aerobik atau

anaerobik ... 9 4 Perubahan biokimia setelah hewan mati ... 10 5 Pola penurunan pH postmortem ... 13 6 Restraining box desain Meat Livestock Australia (MLA) dan posisi sapi

di dalamnya ... 19 7 Restrainer V untuk pemotongan ternak ... 20 8 Restrainer sistem rel ganda untuk sapi dan domba ... 21 9 Posisi pemotongan hewan dan posisi kepala hewan pada pemotongan

menggunakan restrainer sistem rel ganda ……...………… 22 10 Peta daging pada karkas sapi ... 24 11 pH meter yang digunakan dalam penelitian ... 24

12 Penurunan nilai rata-rata pH postmortem pada daging yang berasal

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Nilai pH setiap contoh daging hasil pemotongan dengan menggunakan

restraining box ……… 41

2 Nilai pH setiap contoh daging hasil pemotongan tanpa menggunakan

restraining box ……… 42

3 Data hasil olahan statistika (t-test) untuk nilai pH pada jam ke-1 ……….. 43 4 Data hasil olahan statistika (t-test) untuk nilai pH pada jam ke-6 ... 44 5 Data hasil olahan statistika (t-test) untuk nilai pH pada jam ke-8 ... 45 6 Data hasil olahan statistika (t-test) untuk nilai pH pada jam ke-10 ... 46

(13)

Latar Belakang

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena di dalam daging terkandung nilai protein yang tinggi yang tersusun oleh asam amino esensial yang lengkap dan seimbang yang bermanfaat untuk mengoptimalkan masa pertumbuhan pada anak-anak serta membantu dalam penyusunan jaringan ikat. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan protein nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin. Selain itu, daging juga merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai sangat strategis. Untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia, terutama daging sapi, masih belum dapat dipenuhi dari pasokan dalam negeri, karena laju peningkatan permintaan tidak dapat diimbangi oleh pertambahan populasi dan peningkatan produksi. Harga daging sangat bergantung pada jenis (berdasarkan letak anatomis otot pada tubuh hewan) dan kualitasnya, meskipun di tingkat pasar tradisional konsumen belum memperhatikan jenis daging yang akan dibeli. Namun demikian, secara umum ada sedikit perbedaan harga di antara jenis atau kualitas daging yang dipasarkan.

Berbagai jenis hewan telah dikembangkan untuk diambil dagingnya, baik hewan besar (seperti sapi atau kerbau) maupun hewan kecil (seperti domba, kambing, dan babi). Selain itu, beberapa hewan lain seperti ayam juga dapat digunakan sebagai sumber daging untuk konsumsi manusia. Meski demikian, daging yang paling banyak diperjual-belikan adalah daging sapi. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh hewan yang akan dipotong agar diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu hewan harus dalam keadaan sehat (bebas dari berbagai jenis penyakit), hewan harus cukup istirahat, tidak diperlakukan kasar, dan tidak mengalami stres pada saat pemotongan agar kandungan glikogen otot maksimal, penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, serta cara pemotongan harus higienis. Hal di atas merupakan perlakuan yang dilakukan sebagai penerapan aspek kesejahteraan hewan (Anonim 2008b).

Salah satu hal terpenting sebagai penerapan aspek kesejahteraan hewan pada saat pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging sapi adalah penanganan yang baik pada saat proses pemotongan yang dapat berpengaruh

(14)

2 terhadap status fisiologis sapi, terutama menghindari faktor stres menjelang proses pemotongan. Faktor stres ini dapat ditekan risikonya dengan menggunakan restraining box sebagai alat fiksasi sapi sesaat sebelum pemotongan. Penggunaan restraining box untuk memfiksasi hewan sebelum pemotongan merupakan penerapan prinsip kesejahteraan hewan agar hewan tidak terlalu tersiksa saat penanganan sebelum pemotongan.

Restraining box adalah sebuah alat fiksasi pemotongan sapi di rumah

pemotongan hewan (RPH) yang berfungsi mengendalikan sapi sesaat sebelum pemotongan. Dengan adanya restraining box, tingkat stres pada sapi sebelum dipotong dapat dikurangi, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun faktor-faktor lainnya, seperti pengangkutan dan penampungan sementara yang padat. Salah satu restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia merupakan desain yang dikembangkan oleh Meat Livestock Australia (MLA) (Anonim 2006).

Alat ini berfungsi untuk memfiksasi sapi sesaat sebelum penyembelihan untuk mengurangi rontaan atau gerakan-gerakan sapi sebelum dan saat penyembelihan. Dengan demikian, restraining box dapat mengurangi stres pada sapi sebelum pemotongan baik akibat pengaruh lingkungan RPH seperti suhu lingkungan yang terlalu panas dan kandang penampungan sapi sementara yang sempit, serta faktor-faktor lain yang terkait dengan perlakuan yang mempengaruhi kondisi sapi sebelum pemotongan. Proses robohnya sapi saat pintu restraining box dibuka sangatlah perlahan, hal itu mencegah timbulnya memar pada daging, sehingga akan menghasilkan kualitas daging yang baik (Anonim 2006).

Penelitian mengenai penggunaan restraining box di RPH perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana pengaruhnya terhadap kualitas daging yang dihasilkan. Banyak pengujian yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas daging sapi, salah satunya yaitu uji nilai pH daging. Dari nilai pH tersebut dapat diketahui tingkat keempukan, daya ikat air, konsistensinya, dan keadaan-keadaan lain yang menunjukkan kualitas daging (Lukman et al. 2007).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas daging sapi antara hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box, khususnya nilai pH postmortem pada daging sapi bagian knuckle atau daging

(15)

kelapa (Musculus vastus lateralis, M. vastus medialis, M. vastus intermedius, dan

M. rectus femoris).

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk (1) memberikan gambaran kualitas daging khususnya nilai pH postmortem dari pemotongan hewan dengan dan tanpa menggunakan restraining box; serta (2) memberikan gambaran mengenai manfaat restraining box.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah nilai pH daging dari pemotongan yang menggunakan restraining box tidak sama dengan nilai pH daging non-restraining

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Daging

Menurut Lawrie (1979) daging adalah bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Sedangkan menurut Soeparno (1994) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya. Selain itu Brahmantiyo (1996) menyatakan bahwa daging adalah otot garis melintang yang sebagian besar dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan rangka.

Dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian tahun 1992 yang dikutip oleh Hadiwiyoto (1993), daging didefinisikan sebagai bagian-bagian dari hewan yang didapat dengan cara disembelih atau dibunuh yang lazim dimakan oleh manusia berupa karkas, setengah karkas, potongan daging bertulang lainnya, daging tanpa tulang, perutan, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain misalnya pendinginan.

Meyer (1982) mendefinisikan.daging sapi sebagai daging yang berasal dari sapi yang sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas untuk bagian otot yang berserat, tidak termasuk bibir, moncong, telinga dengan atau tanpa lemak yang menyertainya serta bagian-bagian dari tulang, urat syaraf, dan pembuluh darah.

Komponen utama penyusun daging adalah otot. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan syaraf, pembuluh darah, dan lemak. Jadi daging tidak sama dengan otot (Soeparno 1994).

Struktur dan Komposisi Daging

Menurut Cassens (1987), jaringan otot, jaringan lemak, jaringan ikat, tulang, dan tulang rawan merupakan komponen fisik utama dari karkas. Jaringan otot terdiri dari jaringan otot bergaris melintang, jaringan otot licin, dan jaringan otot spesial. Sedangkan jaringan lemak pada daging dibedakan menurut

(17)

lokasinya, yaitu lemak subkutan, lemak intramuskular (marbling), dan lemak intraseluler.

Otot skeletal atau otot bergaris melintang merupakan bagian otot yang membangun komposisi terbanyak dalam karkas, yaitu 35–65% dari berat karkas atau 35–40% dari berat hewan hidup (Lukman et al. 2007).

Jaringan otot diselubungi oleh jaringan ikat yang disebut epimisium dan terdiri dari bundel serabut otot (muscle fibre bundles) atau fasikuli. Epimisium tersebut menyusup di antara bundel serabut otot menjadi perimisium, yang menyelubungi bundel serabut otot. Bundel serabut otot terdiri dari serabut-serabut otot (muscle fibres) atau sel otot (muscle cells). Serabut otot tersebut diselubungi pula oleh jaringan ikat endomisium, yang merupakan penyusupan dari perimisium di antara serabut otot (Lukman et al. 2007). Serabut otot tersusun dari banyak fibril dan disebut miofibril (Gambar 1). Miofibril terusun dari banyak filamen dan disebut miofilamen (Gambar 2). Susunan utama jaringan ikat tersebut adalah kolagen. Berdasarkan urutan ukuran dari yang terbesar sampai dengan yang terkecil, otot tersusun dari jaringan otot, fasikuli, serabut otot, miofibril, dan miofilamen (Soeparno 1994).

Selanjutnya Buckle et al. (1985) menyatakan bahwa dengan pembesaran kira-kira 15000 kali miofibril nampak terdiri dari filamen-filamen tipis dan tebal yang dikenal sebagai miofilamen. Miofilamen tersusun dari dua macam protein, yang tipis disebut aktin, sedangkan yang tebal disebut miosin, kedua filamen ini berperan pada proses kontraksi dan relaksasi otot daging. Bagian filamen diantara dua garis gelap Z yang berdekatan disebut satu sarkomer (Gambar 2).

Sel otot merupakan unit kontraktil seluler dari otot skeletal. Sel otot merupakan sel yang memiliki inti banyak (multinucleated cells) dan memiliki plasma (sarkoplasma) yang diselubungi oleh membran sarkolema. Selain itu sel otot juga memiliki mitokondria dan lisosim. Besar sel otot sangat bervariasi, dengan diameter 10–100 μm (0.01–0.1 mm) dan panjangnya mulai dari beberapa milimeter sampai 30 cm. Besarnya sel otot tersebut dipengaruhi oleh latihan, umur, jenis kelamin, status gizi, bangsa hewan, spesies, dan jenis otot. (Lukman et al. 2007)

Sarkolema adalah sitoplasma serabut-serabut otot yang merupakan substansi kolodial intraseluler yang tersusun dari air, lemak, granula glikogen dalam jumlah yang bervariasi, non-protein nitrogen, dan komponen anorganik (Aberle et al. 2001).

(18)

6

Perimisium

(mengelilingi serabut otot)

Endomisium (mengelilingi miofibril) Nukleus Miofibril Filamen Sarkoplasma Sarkolema Sarkomer Serabut otot (sel)

Serabut otot

Miofibril

Epimisium (mengelilingi otot)

Gambar 1 Struktur otot beserta struktur miofibril (Lukman et al. 2007).

Gambar 2 Penampang melintang otot skeletal (Lukman et al. 2007).

Miofibril Sarkolema Mitokondria Retikulum sarkoplasma Nukleus Ban I Ban A Garis Z Sisterna terminal Tubuli transversal

(19)

Dengan mikroskop cahaya, miofibril tampak bersegmen-segmen. Bagian jalur yang yang terang/kabur disebut ban I (I band) dan bagian yang jelas, tebal, dan lebih luas disebut ban A (A band) (Gambar 2). Susunan ban I dan ban A pada miofibril-miofibril yang longitudinal dan paralel dalam serabut otot menyebabkan serabut otot skeletal tampak bergaris melintang. Di dalam ban A filamen miosin dan aktin saling tumpang tindih (overlap). Ban I hanya tersusun dari filamen aktin. Di tengah ban I tampak suatu jalur tipis gelap yang membagi dua ban I yang disebut garis Z (Z line). Daerah di antara dua garis Z yang berdekatan disebut sarkomer. Sarkomer tersusun dari filamen tebal, filamen tipis, dan garis Z. Panjang sarkomer tergantung keadaan otot. Pada keadaan istirahat (relaksasi), panjang sarkomer kurang lebih 2.6 μm dan sebaliknya pada saat kontraksi panjang sarkomer berkurang. Di bagian tengah setiap ban A terdapat suatu daerah/zona yang kurang tebal disebut zona H (H zone). Di bagian tengah zona H terdapat suatu garis tebal yang disebut garis M (M line) (Lukman et al. 2007).

Otot mengandung sekitar 75% air (68–80%), 19% protein (16-22%), 2.5% lemak (1.5–3.0%), 1.2% karbohidrat (0.5–1.5%), serta 0.65% mineral dan vitamin dalam jumlah yang sangat sedikit (Lukman et al. 2007). Komposisi tersebut tergantung pada bangsa hewan (breed), jenis kelamin, umur, nutrisi, jenis otot, dan letak otot (Lukman et al. 2007).

Menurut Ashbrock (1955) kadar air untuk berbagai jenis dan letak daging bervariasi, biasanya berkisar antara 70–75%. Untuk hewan-hewan muda kadar airnya lebih besar dari hewan-hewan tua.

Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan radikal non-lemak. Berdasarkan asalnya, protein daging dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein jaringan ikat. Protein sarkoplasma dikenal sebagai protein yang larut air, karena dapat terekstrak oleh air atau larutan garam encer. Protein miofibril bersifat larut dalam garam, sedangkan protein jaringan ikat merupakan protein yang tidak dapat larut dalam air. Dalam 100 gram daging segar terdapat 6.0% sarkoplasma, 9.5% miofibril, dan 1.6% jaringan ikat (Buckle et al. 1985).

Komposisi lemak pada daging umumnya berbentuk trigliserida, sedikit fosfolipid, asam lemak bebas, dan sterol. Lemak dalam daging tidak mempunyai rasa, tetapi kandungan lemak ini dapat mempengaruhi cita rasa daging (Adnan 1977).

(20)

8 Karbohidrat pada daging umumnya dalam bentuk glikogen otot, yaitu sebesar 0.8% dari berat daging. Selain itu, ada sebagian kecil glukosa sebanyak 0.1% dan karbohidrat dalam bentuk intermedier dari metabolisme sebanyak 0.1% dari berat daging. Karbohidrat dalam bentuk intermedier tersebut antara lain asam nitrat, asam laktat, formiat, dan gula-gula fosfat (Aberle et al. 2001).

Menurut Cassens (1987) di dalam daging juga terdapat mineral-mineral seperti kalsium, magnesium, kalium, natrium, fosfor, klor, besi, belerang, tembaga, dan mangan. Vitamin yang terdapat pada daging terutama golongan vitamin B (B1, B12, B6, dan B2), vitamin C, A, D, E, dan K. Selain itu, daging juga mengandung pigmen pemberi warna merah (mioglobin). Daging merupakan sumber vitamin B yang baik disamping mengandung vitamin A dan vitamin C dalam jumlah kecil. Daging sapi mengandung 3.79 mg vitamin B tiap 100 mg daging, 2 UI vitamin A tiap 1 gram lemak daging, sedangkan sebagian besar kandungan vitamin C akan hilang dalam proses penanganan daging segar.

Sebanyak 100 gram daging dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap harinya, yang mengandung sekitar 10% kalori, 50% protein, 35% zat besi (Fe), dan 25-60% vitamin B kompleks (Lukman et al. 2007).

Glikolisis Postmortem

Glikolisis merupakan proses mekanisme biokimiawi yang dilakukan oleh tubuh untuk memasok energi. Proses glikolisis terjadi dengan memecah molekul glukosa atau dapat berasal dari glikogen melalui tahap proses glukoneolisis terlebih dahulu. Pada hewan hidup dalam keadaan normal, glikolisis membutuhkan oksigen yang cukup dan dikenal sebagai glikolisis aerob. Namun dalam keadaan tertentu tubuh hewan juga dapat melakukan glikolisis anaerob. Keadaan ini dapat saja terjadi manakala hewan tersebut mengalami hipoksia atau insufisiensi (kekurangan) oksigen, sedangkan tubuh membutuhkan energi yang besar. Glikolisis anaerob dapat terjadi pada jaringan yang masih hidup akibat berbagai faktor, baik karena meningkatnya heat loss (panas yang keluar dari tubuh hewan akibat kehilangan energi), stres, maupun hewan dalam keadaan kelelahan. Hasil akhir dari glikolisis anaerob ini adalah asam laktat (Lukman et al. 2007). Proses glikolisis aerob dan anaerob secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 3.

(21)

1 ATP ADP + Pi

2 Kreatin-P + ADP Kreatin + ATP

3 Di bawah kondisi aerobik:

(glikogen)n + 9 ADP + Pi (glikogen)n-1 + 9 ATP + 2 piruvat 2 piruvat + 30 ADP + 30 ADP + 30 Pi 6 CO2 + 30 ATP

4 Di bawah kondisi anaerobik:

(glikogen)n + 3 ADP + Pi (glikogen)n-1 + 3 ATP + 2 piruvat

2 piruvat 2 laktat

5 2 ADP ATP + AMP

6 AMP IMP + NH3

Gambar 3 Perubahan kimia pada proses glikolisis aerob dan anaerob (Anonim 2008b).

Sejumlah besar asam laktat yang terbentuk selama proses glikolisis anaerob tidak dapat hilang dari tubuh sampai oksigen kembali tersedia. Asam laktat dapat diubah menjadi glukosa atau dipakai secara langsung untuk energi (Guyton 1994).

Pada saat penyembelihan ternak, perubahan biokimiawi dan biofisik terhadap konversi otot menjadi daging sudah dimulai (Gambar 4). Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 1994).

Lukman et al. (2007) menambahkan bahwa glikolisis anaerob pada otot merupakan proses yang dominan dalam 36 jam postmortem terutama pada saat prerigor mortis. Asam laktat yang dihasilkan dari glkolisis anaerob akan terakumulasi dalam otot, sehingga nilai pH otot menjadi menurun dari 7.0-7.2 menjadi 5.3-5.7 setelah 24-48 jam postmortem (disebut juga pH akhir).

Glikolisis anaerob tergantung pada jumlah glikogen otot sebagai sumber energi pada saat pemotongan. Sumber energi lainnya, yaitu ATP dan kreatin fosfat, akan tetapi karena setelah pemotongan jumlahnya sangat sedikit maka keduanya tidak mempunyai peranan yang berarti. Glikolisis anaerob meliputi perubahan-perubahan bertahap dalam konversi glukosa dan glikogen menjadi asam laktat yang melibatkan banyak senyawa, reaksi, dan enzim yang mengatalisis reaksi.

(22)

10

Hewan mati

Sirkulasi darah terhenti

Pasokan oksigen terhenti

Reaksi oksidasi–reduksi terhenti

Respirasi terhenti Glikolisis anaerobik

Siklus TCA I Hidrolitik II Fosforilitik Produksi ATP

Dekstrin Glukosa-1-fosfat

Konsentrasi ATP turun

(fase awal rigor mortis) Maltosa Glukosa-6-fosfat

Konsentrasi ATP habis Asam laktat (pascarigor) pH turun

pH turun

Akumulasi: - Prekursor Denaturasi Protein

- Metabolit Katepsin bebas

ATP

ATPase Degradasi Protein

(oleh bakteri pembusuk)

ADP Miokinase AMP Deaminase IMP Fosfomonoesterase Inosin Fosforilase Ribosa-1-fosfat

Gambar 4 Perubahan biokimia setelah hewan mati (AMF 1960).

Setelah hewan mati atau dalam keadaan postmortem, oksigen tidak tersedia lagi, sehingga fosforilasi oksidatif tidak terjadi. Kegagalan sistem peredaran darah yang mengikuti penyembelihan ternak mengakibatkan persediaan oksigen di dalam otot yang dapat berikatan dengan mioglobin semakin menurun dan menjadi habis. Hal ini disebabkan oleh persediaan

(23)

oksigen di dalam otot menjadi habis, sehingga proses aerob melalui siklus sitrat dan sistem enzim sitokrom berhenti berfungsi, oleh karena itu metabolisme energi, yaitu pemecahan glikogen menjadi asam laktat bertukar menjadi metabolisme anaerob (Soeparno 1994).

Nilai pH Daging

Pada tahun 1909 Sørensen memperkenalkan bentuk pH sebagai cara yang baik untuk menyatakan konsentrasi ion hidrogen. Sørensen mendefinisikan pH sebagai log negatif dari konsentrasi ion hidrogen. pH dengan tegas didefinisikan sebagai logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen atau pH=-log [H+], meskipun dalam prakteknya aktivitasnya hampir sama dengan konsentrasi ion-ion lain kecuali dalam larutan asam kuat. pH merupakan singkatan dari pondus

hydrogenii, yang artinya potensial hidrogen, yaitu kekuatan hidrogen sebagai

penentu asam karena predominan ion-ion hidrogen (H+). Pada mulanya berdasarkan laporan asli Sørensen, pH ditulis ”PH”. Fungsi P diadopsi juga untuk

hubungan konsentrasi ion-ion lain. Merujuk pada kesepakatan kamus Oxford

English, pH baru dinotasikan sebagai ”pH” pertama kali pada tahun 1920 oleh

Clark (Senese 2008).

Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Dengan nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya ikat air, dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Pada keadaan postmortem nilai pH mengalami penurunan yang ditentukan oleh akumulasi asam laktat akibat proses glikolisis anaerob. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan. Penimbunan asam laktat akan terhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi tercapai, yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik didalam proses glikolisis anaerob (Lawrie 1979).

Menurut Maribo et al. (1999) konsentrasi glikogen otot pada saat pemotongan merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas daging. Glikogen adalah suatu substrat metabolik dalam glikolisis postmortem (anaerob) yang menghasilkan asam laktat, yang akan menurunkan pH otot. Proses glikolisis dan penurunan pH berlangsung hingga cadangan glikogen habis atau terhentinya proses metabolik terkait terhentinya proses

(24)

12 enzimatik akibat pH yang rendah. Akumulasi asam laktat di dalam otot yang menyebabkan nilai pH postmortem menurun dan cadangan glikogen pada otot pada saat pemotongan menentukan nilai pH akhir.

Lawrie (1979) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penurunan pH daging postmortem dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, penanganan ternak sebelum dipotong dan suhu penyimpanan, sedangkan faktor intrinsiknya adalah kandungan glikogen daging dan stres pada ternak. Soeparno (1994) menambahkan faktor intrinsiknya antara lain spesies, tipe otot, dan keragaman di antara ternak.

Nilai pH otot pada saat ternak masih hidup berkisar 7.2-7.4 dan pH akhir daging setelah pemotongan dapat diukur sekurang-kurangnya setelah 24 jam. Pada umumnya pH sapi yang diukur pada jam pertama postmortem adalah 6.74 (Shorthose dan Whytes 1988). Nilai pH otot setelah hewan mati akan menurun dari 7.4 (awal) menjadi 5.6–5.7 pada jam ke-6 sampai jam ke-8, kemudian nilai pH tersebut akan menurun mencapai pH akhir sekitar 5.3–5.7 pada jam ke-24 postmortem (Aberle et al. 2001). Pada saat mulai rigor mortis pH daging menjadi 6.07 dan kemudian mencapai pH akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih setelah 24 jam (Lawrie 1979; Soeparno 1994). Nilai pH akhir daging postmortem adalah sekitar 5.5, yang disesuaikan dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging. Pada umumnya, glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5.4–5.5 (Lawrie 1979).

Penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologi dari otot pada saat pemingsanan dan dapat berhubungan terhadap produksi asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP (Henckel

et al. 2000). Glikogen otot merupakan bahan metabolik utama yang

menyebabkan akumulasi asam laktat dalam otot, sehingga menyebabkan penurunan nilai pH otot (Immonen et al. 2000).

Menurut Aberle et al. (2001) laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

1 Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam waktu 6–8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3–5.7. Pola penurunan pH ini normal.

2 Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5–6.8. Sifat daging yang

(25)

dihasilkan gelap, keras, dan kering sehingga disebut daging dark firm dry (DFD).

3 Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.4-5.6. Sifat daging yang dihasilkan pucat, lembek, dan berair, sehingga disebut daging pale soft

exudative (PSE).

Pola penurunan nilai pH di atas digambarkan pada Gambar 5, sedangkan waktu pengujian pH yang dianjurkan untuk penilaian kualitas daging terkait dengan ketiga pola dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 5 Pola penurunan pH postmortem (Aberle et al. 2001).

Tabel 1 Pola penurunan nilai pH dan waktu uji (Lukman et al. 2007)

Kualitas daging Pola penurunan pH pH awal pH akhir Waktu uji

Normal Lambat 7.2 ±5.5 24 jam

postmortem

pale soft exudative

(PSE) Cepat 7.2 <5.8

45 jam postmortem

dark firm dry

(DFD)

Lambat dan tidak

lengkap 7.2 >6.2

24 jam postmortem

Jam setelah pemotongan

5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 1 2 3 4 5 6 24 DFD Normal PSE Nilai pH

(26)

14 Nilai pH daging tidak hanya dipengaruhi oleh asam laktat tapi juga oleh asam fosforat dan kekuatan ion-ion tinggi. Pada kenyataannya terdapat perbedaan nilai pH daging antar spesies hewan dengan kandungan asam laktat yang sama. Hal itu disebabkan oleh perbedaan kapasitas bufer otot. Sistem bufer memperpanjang waktu efek aktivitas serat yang dalam arti lain akan memperlambat proses glikolisis anaerob (Puolanne & Kivikari 2000).

Prinsip perbedaan pada kapasitas bufer yaitu tergantung dari perbedaan tipe otot. Pada otot yang berserat putih mempunyai kandungan histidin yang lebih banyak jika dibandingkan dengan serat otot merah. Variasi kapasitas bufer juga dapat ditentukan oleh variasi jumlah dipeptida (Puolanne & Kivikari 2000). Korelasi hubungan antara pH dan kapasitas bufer telah diketahui pada Musculus

longissimus dorsi babi (koefisien korelasi=-0.43) (Van Lack et al. 2001). Di

samping kapasitas bufer daging, nilai pH juga dipengaruhi oleh asam-asam lain, misalnya yang khas adalah asam amino bebas. Total jumlah keseluruhan asam-asam tersebut dapat menyebabkan keasam-asaman daging.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa terdapat hubungan erat antara pH daging dengan warna, tekstur, serta daya ikat air daging (water-holding capacity). Laju penurunan pH daging postmortem yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan: (1) warna daging menjadi pucat; (2) daya ikat protein terhadap cairannya menjadi rendah, dan (3) permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging yang disebut drip atau

weep (Aberle et al. 2001). Sebaliknya, pada pH akhir yang tinggi, daging

berwarna gelap dan permukaan daging menjadi sangat kering karena cairan berwarna gelap dan permukaan potongan daging menjadi sangat kering karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya (Soeparno 1994).

Stres pada Hewan

Stres dapat didefinisikan sebagai respon fisiologis, biokimia, dan tingkah laku ternak terhadap berbagai faktor fisik, kimia, dan lingkungan biologis (Yousef 1985). Stres menunjukkan besarnya pengaruh luar terhadap sistem tubuh yang cenderung menggantikan sistem tersebut dari istirahat atau keadaan basal.

Hewan seperti sapi merupakan salah satu hewan mamalia berdarah hangat yang dapat merasakan sakit serta memiliki emosi atau rasa takut. Rasa takut dan penderitaan atas rasa sakit tersebut merupakan bagian dari sistem otak

(27)

hewan yang dapat menyebabkan stres sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas hasil pemotongan (Chambers & Grandin 2001).

Stres adalah kondisi yang mengancam integritas ternak (Buckle et al. 1985), yang disebabkan oleh faktor lingkungan sebelum pemotongan yang berinteraksi dengan faktor biologis, yaitu kemudahan terkena stres atau resistensi terhadap stres (Aberle et al. 2001). Stres timbul melalui reaksi-reaksi yang kompleks dari sistem endokrin (Lawrie 1979; Buckle et al. 1985).

Stres akan menimbulkan dua fase reaksi untuk mempertahankan kondisi homeostasis ternak, yaitu fase reaksi kejutan dan melibatkan dua sistem neurohormonal yaitu hipotalamus-pituitari-adrenal dan hipotalamus-pituitari-tiroid. Stres menstimulasi sistem syaraf dan menyebabkan pembebasan adrenalin dari medula adrenal dalam waktu singkat. Adrenalin menyebabkan penurunan atau habisnya glikogen otot dan kalium. Kemudian hormon pertumbuhan dan glukokortikoid (17-hidroksi-kortikosteron dan 11-deoksikortikosteron) dibebaskan dari korteks adrenal untuk melepaskan energi serta menyebabkan tingkat ekuilibrium dari zat-zat tersebut pada ternak normal (Buckle et al. 1985).

Tiroksin meningkatkan sensitivitasnya terhadap adrenalin dan ikut membantu tubuh mengatasi stres yang potensial. Katekolamin membantu pembebasan glukosa dari glikogen sehingga otak mampu memelihara pasokan energi yang diperlukan untuk mengatasi stres. Pembebasan hormon glukokortikoid diatur oleh ACTH (adrenocorticotropic

hormone=adreno-corticotrophin=corticotrophin) yang disekresikan oleh kelenjar pituitari (Lawrie

1979; Buckle et al. 1985). Produksi ACTH diatur oleh faktor yaitu hormon pembebas yang diproduksi di hipotalamus (Buckle et al. 1985).

Intensitas stres pada hewan dipengaruhi oleh jarak dan lama perjalanan, tingkah laku, bentuk pengangkutan, tingkat kepadatan waktu pengangkutan, keadaan iklim, penanganan pada saat perjalanan, penanganan sebelum pemotongan, keefektifan istirahat setelah perjalanan atau sifat kerentanan terhadap stres (Fernandez et al. 1996). Shorthose dan Whytes (1988) menyatakan bahwa apabila stres yang dialami hanya sebentar, dan tidak berkepanjangan, sebagian besar ternak dapat menyesuaikan diri, dan sebaliknya apabila stres pada ternak berlangsung lama dan berkepanjangan, maka ternak tersebut menjadi kelelahan dan dapat mengakibatkan ternak kehilangan nafsu makan, serta penyusutan bobot badan.

(28)

16 Mas’ud (1999) melaporkan bahwa sapi Bali jantan yang mengalami pengangkutan selama lebih kurang 48 jam dengan jarak tempuh lebih kurang 1200 km, mengalami penurunan bobot badan sebesar 8.33–12.00% per ekor dengan rata-rata 9.77% per ekor. Penurunan berat badan sapi Bali jantan setelah pengangkutan terutama disebabkan oleh terjadinya urinasi dan defekasi selama pejalanan, sehingga isi saluran pencernaan dan kantung kemih berkurang, serta kehilangan cairan tubuh melalui pernapasan dan keringat.

Semua penyebab stres yang digertak oleh manajemen pada ternak adalah ekspose, pemindahan, pengangkutan, dan penanganan yang dianggap sebagai penyebab yang paling potensial (Eichinger et al. 1991). Secara ekonomi, faktor stres pada ternak perlu diperhatikan karena dapat menurunkan kualitas daging dan meningkatkan susut karkas akibat penurunan daya ikat air (Shorthose & Whytes 1988).

Oleh karena itu, perlu adanya penanganan hewan supaya terhindar dari stres. Grandin (2001) mengemukakan prinsip utama penanganan hewan adalah untuk menghindarkan hewan dari ketidak-tenangan. Hewan membutuhkan waktu 30 menit untuk kembali ke kondisi fisiologis tubuh dan detak jantung yang normal setelah pengendalian yang kasar. Penanganan hewan di tempat penampungan sementara sebelum pemotongan dan di tempat pemotongan dapat meningkatkan kadar kortisol, sehingga menjadi pertimbangan meningkatnya fisiologi stres. Hewan menjadi berontak pada masa penanganan karena mengalami ketakutan.

Grandin juga meneliti kadar kortisol saat penanganan di kandang dan di tempat pemotongan yaitu berkisar 24 ng/ml sampai 63 ng/ml. Pengendalian hewan secara kasar, pembaringan di lantai, dan kejutan listrik akan menghasilkan kadar kortisol lebih tinggi dari 63 ng/ml, rata-rata tertinggi yang tercatat di tempat pemotongan adalah 93 ng/ml. Hewan akan berontak pada waktu 103 detik setelah dikendalikan sebelum pemotongan (Grandin 2001).

Grandin (2001) menyatakan rancangan perangkat pengendali hewan untuk pemotongan biasa dengan prinsip kebiasaan pengendali stres harus mengikuti hal-hal sebagai berikut:

1 Hewan jangan dibiarkan terlalu lama di dalam perangkat pengendali (restraining box). Proses pemotongan dilakukan segera setelah hewan masuk.

(29)

2 Hewan harus masuk ke restraining box dengan mudah. Jika menolak, alihkan ke keadaan semula dan gunakan lampu pada pintu masuk sebagai penerangan secara tidak langsung.

3 Tutup pandangan hewan, dengan begitu hewan tidak dapat melihat manusia atau tiba-tiba mengalihkan objek.

Kadar glikogen otot pada saat pemotongan akan tetap tinggi jika hewan diberi ransum yang baik (Lawrie 1979; Meyer 1982), istirahat yang cukup sebelum pemotongan (Eskin et al. 1971), penanganan yang baik sebelum dan pada saat pemotongan, misalnya pengurangan rotaan pada saat pemotongan dengan anastesi atau pembiusan (Lukman 1987). Kadar glikogen otot akan berkurang jika hewan mengalami stres akibat suhu panas, perjalanan, sakit atau kesakitan, kurang oksigen, banyak meronta, pemberian ransum yang kurang (Lawrie 1979), puasa 24-48 jam sebelum pemotongan (Meyer 1982), penyuntikan insulin, adrenalin, tuberkulin, dan tremorin, serta pemberian epinefrin enam jam sebelum pemotongan (Lawrie 1979).

Pengaruh Proses Pemotongan dengan Menggunakan Restraining Box terhadap Kualitas Daging

Penanganan yang baik dan memenuhi kaidah-kaidah kesejahteraan hewan sebelum dan sesaat hewan hendak disembelih merupakan hal yang terpenting yang harus dipertimbangkan mengingat akan berpengaruh terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan. Penanganan ini dilakukan untuk memudahkan penanganan hewan dan mengurangi rontaan saat pemotongan, maka sebaiknya hewan dipingsankan atau difiksasi menggunakan restraining box.

Restraining box adalah sebuah alat fiksasi pemotongan sapi di rumah

pemotongan hewan (RPH) yang berfungsi mengendalikan sapi sesaat sebelum pemotongan. Dengan adanya restraining box, tingkat stres pada sapi sebelum dipotong dapat dikurangi, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun faktor-faktor lainnya seperti pengangkutan dan penampungan sementara yang padat. Desain restraining box yang digunakan di sebagian besar RPH di Indonesia merupakan desian dari Meat Livestock Australia (MLA) (Gambar 6).

Istirahat dan pemberian nutrisi yang cukup pada sapi akan tetap menjaga sapi dalam keadaan sehat dan menurunkan tingkat stres. Proses robohnya sapi saat pintu restraining box dibuka sangatlah perlahan-lahan, sehingga tidak akan

(30)

18 menimbulkan memar pada daging dan akan menghasilkan kualitas daging yang sempurna, segar, dan higienis (Anonim 2006).

Selain restraining box yang didesain oleh MLA, ada juga jenis-jenis alat fiksasi lain yang digunakan di RPH yang tujuan utamanya sama dengan

restraining box MLA yaitu untuk mengurangi tingkat stres pada ternak pada saat

pemotongan. Selama delapan belas tahun sebuah rumah pemotongan sapi besar menggunakan sistem restrainer V (Gambar 7) untuk menangani hewan selama pemingsanan dan pengekangan. Restrainer V merupakan perangkat yang aman dan manusiawi dibandingkan dengan knocking box tipe lama (old

style). Meskipun demikian masih terdapat kekurangan dengan perangkat ini

yaitu ternak harus dimasukkan secara paksa dan petugas pemingsanan kesulitan untuk menjangkau ternak supaya stunner mengenai bagian depan kepala ternak (Anonim 2008a).

Peneliti dari Universitas Connecticut membangun laboratorium pemotongan hewan dengan restrainer rel ganda (Gambar 8) untuk sapi dan domba. Perangkat ini telah diuji baik mempunyai metode yaitu memperkecil tingkat stres. Grandin (1988) memodifikasi alat tersebut untuk mempermudah masuknya ternak ke restrainer dan mengatur ukurannya untuk hewan yang akan masuk ke dalamnya yaitu dengan menggunakan sistem rel ganda. Ternak berjalan pada jalur yang malandai menuju pintu masuk restrainer dengan dada disangga diantara dua kakinya di rel ganda. Sistem ini digunakan secara komersial untuk pemotongan sapi dan domba yang kini digunakan di Amerika Utara (Grandin 1991).

Proyek lain mengenai perangkat restrainer Kosher (sistem Yahudi) telah dimodifikasi desainnya demi meningkatkan aspek kemanusiawian, perangkat ini dipatenkan oleh Marshall et al. pada tahun 1963 (Grandin 1991). Modifikasi utama dilakukan untuk menurunkan tekanan terhadap ternak yaitu dengan menutup seluruh bagian perangkat restrainer dengan tujuan untuk menutup pandangan ternak terhadap lingkungan sekitarnya.

(31)

(a)

(b)

Gambar 6 (a) restraining box desain Meat Livestock Australia (MLA) dan (b) posisi sapi di dalamnya (Anonim 2006).

(32)

20

(33)
(34)

22

(a)

(b)

Gambar 9 Posisi pemotongan hewan (a) dan posisi kepala hewan (b) pada pemotongan menggunakan restrainer sistem rel ganda (Grandin 1988).

(35)

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari November 2007 sampai Januari 2008. Contoh daging diambil di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian knuckle atau daging kelapa (Musculus vastus lateralis, M. vastus medialis, M. vastus

intermedius, dan M. rectus femoris) sebanyak 500 gram setiap contoh (Gambar

10). Untuk pengujian nilai pH, bahan yang digunakan adalah akuades, larutan standar dengan pH 4.01 dan 6.86 untuk kalibrasi.

Alat-alat yang digunakan antara lain pH meter (Gambar 11), pisau, gunting, pinset, erlenmeyer, gelas piala, neraca, kertas tisu, dan blender.

Contoh Daging

Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross dengan status kelamin

steer dengan kisaran umur 1.5-2 tahun, yaitu sebanyak 40 contoh dari 40 sapi

yang berbeda yang telah diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penampungan RPH selama1-2 hari sebelum dipotong, yang terdiri dari 20 contoh daging dari hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box dan 20 contoh daging dari hasil pemotongan tanpa menggunakan restraining box. Keseluruhan contoh daging setelah pemotongan diberikan perlakuan yang sama yaitu tanpa pelayuan, pendinginan, ataupun pengolahan lebih lanjut.

Metode

Contoh daging dari kedua perlakuan disimpan dalam kantong plastik pada suhu kamar (25–34 °C). Pengukuran nilai pH dilakukan empat kali pengukuran, yaitu jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah pemotongan.

(36)

24

Gambar 10 Peta daging pada karkas sapi (Anonim 2008d).

(37)

Pengujian Nilai pH

Persiapan pengujian pH meter. Sebelum pengujian, pH meter selalu

dikalibrasi menggunakan larutan standar pada suhu 25 °C. Pertama, pH meter dikalibrasi dengan larutan standar ber-pH 4.01, kemudian dikalibrasi dengan larutan ber-pH 6.86. Setiap selesai pencelupan atau pengukuran pada contoh, elektrode gelas harus selalu dibilas secara seksama dan hati-hati dengan akuades, kemudian dikeringkan dengan kertas tisu secara hati-hati.

Persiapan contoh. Pengukuran nilai pH daging dapat dilakukan dengan

mempersiapkan daging dengan dihomogenkan terlebih dahulu menggunakan

blender (homogenat). Contoh daging yang telah homogen dimasukkan ke dalam

kantong plastik dan mulai diukur pH-nya dengan memasukkan elektrode gelas ke dalam homogenat daging.

Pengukuran nilai pH. Setelah elektroda pH meter dimasukkan ke dalam

contoh, biarkan beberapa waktu sampai nilai pH terbaca konstan.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika sebaran t (t-test) untuk contoh dua populasi dengan selang kepercayaan 95%, yang sebelumnya dicari rata-rata dan simpangan baku untuk masing-masing populasi setiap waktu pengamatannya.

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Proses Pemotongan Sapi di Rumah Pemotongan Hewan

Secara umum, sapi sebelum dipotong di RPH Kota Bogor yang tidak menggunakan restraining box dan RPH Kabupaten Bogor yang menggunakan

restraining box diperlakukan relatif sama yaitu sapi tiba di kandang

penampungan sementara dan diistirahatkan selama 1–2 hari, diberikan minum dan makan yang cukup. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan bobot badan sapi dan mengurangi faktor stres akibat kelelahan yang pada akhirnya bertujuan menjaga kadar glikogen otot tetap tinggi (Eskin et al. 1971; Lawrie 1979; Meyer 1982). Sebelum memasuki restraining box sapi juga diberikan penyiraman dengan air dengan harapan terjadinya penyempitan pembuluh-pembuluh darah perifer (vasokonstriksi) dengan cara pendinginan yang bertujuan mempermudah proses pengeluaran darah pada proses pemotongan.

Beberapa pustaka menyatakan bahwa pengukuran nilai pH ini penting untuk dapat menunjukan kualitas daging secara umum baik terhadap daya ikat air, keempukan, dan daya simpan daging.

Perubahan Nilai pH Postmortem

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai pH pada kedua perlakuan menurun setelah pemotongan. Penurunan nilai pH ini sejalan dengan proses glikolisis anaerob (postmortem) yang pada akhirnya menghasilkan asam laktat sebagai penentu nilai pH daging untuk kedua perlakuan (Tabel 2 dan Gambar 12). Penurunan nilai pH selama delapan jam postmortem pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box relatif lebih intensif dari pada daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box.

Pada daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box nilai pH rata-rata pada jam pertama postmortem adalah 6.31±0.22 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (rata-rata 5.61±0.11), sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box nilai pH rata-rata pada jam pertama yaitu 6.17±0.39 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 (5.57±0.13). Nilai pH daging kedua perlakuan mengalami peningkatan kembali pada jam ke-10 yaitu 5.66±0.13 untuk daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box yang berarti mengalami peningkatan sebesar 0.99% dari jam ke-8 dan 5.62±0.22 untuk daging yang dipotong tanpa

(39)

5.2 5.4 5.6 5.8 6 6.2 6.4 1 6 8 10

Waktu (jam ke-)

N

ila

i p

H

Restraining Box Non-Restraining Box

menggunakan restraining box yang berarti mengalami kenaikan sebesar 0.85% dari jam ke-8. Nilai penurunan nilai pH postmortem pada otot pada kedua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 12.

Tabel 2 Nilai rata-rata pH daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box

Jam Ke- Restraining Box Tanpa Restraining Box

1 6.31±0.22* 6.17±0.39*

6 5.74±0.14* 5.72±0.17*

8 5.61±0.11* 5.57±0.13*

10 5.66±0.13* 5.62±0.22*

Keterangan: superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0.05).

Gambar 12 Penurunan nilai rata-rata pH postmortem pada daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box.

(40)

28 Jika dilihat dari pengukuran jam pertama postmortem, nilai pH daging dengan pemotongan menggunakan restraining box (6.31) lebih tinggi daripada nilai pH daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (6.17). Hal ini terjadi karena daging yang berasal dari sapi yang dipotong tanpa menggunakan

restraining box pada saat pemotongan diperlakukan secara kasar dalam proses

perobohannya sehingga sapi mengalami stres. Stres dapat memicu meningkatnya glikolisis anaerob yang akan menghasilkan asam laktat pada otot sesaat sebelum dipotong sehingga asam laktat tersebut tidak sempat dibawa kembali ke organ hati untuk kemudian diubah kembali menjadi glukosa dikarenakan sirkulasi darah telah terhenti pada saat pemotongan (Lawrie 1979; Buckle et al. 1985). Pada keadaan yang tidak terkendali, penimbunan asam laktat pada otot tidak dapat lagi dinetralisasi oleh sistem bufer otot sehingga dapat menurunkan nilai pH otot pada saat pemotongan dan akan berdampak semakin rendahnya nilai pH daging postmortem (Shorthose & Whytes 1988).

Berdasarkan data yang diperoleh, pola penurunan pH untuk kedua perlakuan seperti yang digambarkan di atas termasuk pola penurunan pH yang normal yaitu mencapai nilai 5.6–5.7 dalam waktu 6–8 jam setelah pemotongan (Aberle et al. 2001). Walaupun nilai pH daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box tidak dapat mencapai nilai pH normal pada jam pertama pada umumnya yaitu 7.2 (Lukman et al. 2007), akan tetapi masih terdapat selisih yang cukup berarti yang menunjukan adanya manfaat dari penggunaan restraining box sebagai alat bantu pemotongan yang memudahkan robohnya sapi sehingga faktor stres pada sapi dapat ditekan.

Nilai pH rata-rata pada daging yang dipotong tanpa menggunakan

restraining box relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging yang dipotong

menggunakan restraining box, namun perbedaan nilai tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor jumlah contoh yang diambil maupun faktor teknis di lapang terkait dengan praktek yang menyimpang dalam penggunaan restraining box dan kurangnya kesadaran pekerja akan tujuan serta manfaat penggunaan restraining box.

Dalam praktek penggunaan restraining box di RPH, banyaknya jumlah sapi yang akan dipotong dalam waktu yang relatif singkat mendorong pekerja harus bekerja lebih cepat. Salah satu praktek menyimpang yang diamati di RPH adalah menusukkan ujung pisau/golok ke bagian rusuk dan perut sapi yang bertujuan mempermudah proses robohnya sapi, namun hal tersebut membuat

(41)

sapi berontak kesakitan dan menyebabkan stres yang kemudian cadangan glikogen otot semakin banyak digunakan sebelum sapi dipotong. Hal tersebut tentu saja bertolak belakang dengan tujuan digunakannya restraining box. Keadaan seperti ini memicu terjadinya glikolisis anaerob yang penyebab utamanya yaitu akibat sapi mengalami stres yang kemudian menyebabkan kelelahan yang sehingga sapi mengalami kesulitan bernafas dan sebagai dampaknya sapi kekurangan pasokan oksigen.

Beberapa pustaka menyatakan bahwa pengambilan glikogen sebagai respon positif dari faktor stres yang akan merangsang peningkatan sekresi hormon glukokortikoid (hormon kortisol) yang akan meningkatkan penggunaan glikogen otot dan memobilisasi asam lemak bebas sehingga terbentuk persediaan energi darurat. Keadaan ini sangat berdampak negatif terhadap persediaan cadangan glikogen otot postmortem dan mempercepat laju penurunan nilai pH postmortem.

Stres akan menimbulkan dua fase reaksi untuk mempertahankan kondisi homeostasis hewan, yaitu fase reaksi kejutan yang melibatkan dua sistem neurohormonal yaitu hipotalamus-pituitari-adrenal dan hipotalamus-pituitari-tiroid (Buckle et al. 1985).

Stres menstimulasi sistem syaraf dan menyebabkan pembebasan adrenalin dari medula adrenal dalam waktu singkat. Adrenalin menyebabkan penurunan atau habisnya glikogen otot dan potassium. Kemudian hormon pertumbuhan dan glukokortikoid (17-hidroksi-kortikosteron dan 11-deoksikortiko-steron), masing-masing dibebaskan dari korteks adrenal untuk melepaskan energi dan menyebabkan aras ekuilibrium dari substansi-substansi tersebut pada hewan normal. Tiroksin meningkat sensitivitasnya terhadap adrenalin dan ikut membantu tubuh mengatasi stres yang potensial. Katekolamin membantu pembebasan glukosa dari glikogen sehingga otak mampu memelihara pasokan energi yang diperlukan untuk mengatasi stres. Pembebasan hormon glukokortikoid diatur oleh ACTH (adrenocorticotropic

hormone=adrenocortico-trophin=corticotrophin) yang disekresikan oleh kelenjar pituitary (Lawrie 1979;

Buckle et al. 1985). Produksi ACTH diatur oleh faktor yaitu hormon pembebas yang diproduksi di hipotalamus (Buckle et al. 1985).

Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 2), nilai pH rata-rata terendah daging dicapai pada jam ke-8. Keadaaan ini lebih cepat jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari University of

(42)

30

Veterinary and Pharmaceutical Science Brno Republik Czech (Anonim 2008a)

tentang perubahan nilai pH dan penimbunan asam laktat postmortem. Penelitiannya menunjukkan bahwa nilai pH postmortem terendah dicapai pada jam ke-24 dan ke-48 postmortem dalam keadaan normal. Hal ini menunjukkan bahwa faktor stres masih berdampak negatif terhadap pH daging baik perlakuan pemotongan dengan atau tanpa menggunakan restraining box.

Asam laktat yang dihasilkan dari glikolisis anaerob akan terkumpul dalam otot dan akan menurunkan nilai pH otot (Lukman 1987). Menurut Meyer (1982) asam laktat dari glikolisis anaerob mula-mula masih dapat dinetralkan oleh bufer-bufer dalam otot, tetapi akibat produksinya yang terus menerus menyebabkan nilai pH otot mulai menurun. Bufer tersebut meliputi antara lain protein-protein, senyawa fosfat, karnosin, dan anserin (Ressang 1982).

Cepatnya laju penurunan pH juga didukung oleh semakin meningkatnya suhu, baik pada daging maupun lingkungan sekitarnya. Pada kenyataannya, setelah penyembelihan akan dihasilkan panas yang menyebabkan kenaikan suhu daging (Meyer 1982). Produksi panas dalam karkas tersebut dikenal sebagai animal heat dan terus berlangsung walaupun karkas didinginkan (Lawrie 1979; Eskin et al. 1971; Meyer 1982). Menurut Eskin et al. (1971) dan Buckle et

al. (1985) produksi panas dalam karkas diakibatkan proses glikolisis postmortem.

Proses glikolisis tersebut bersifat anaerob dan merupakan proses eksotermik (Buckle et al. 1985).

Penelitian yang dilakukan Lee et al. (1976) menyimpulkan bahwa stres akan mempercepat laju glikolisis pada dua jam pertama setelah pemotongan. Penelitian tersebut mendukung bahwa faktor suhu baik daging maupun lingkungan sekitar daging postmortem berpengaruh terhadap persediaan glikogen postmortem dan laju penurunan nilai pH.

Jumlah asam laktat yang terkumpul dan penurunan nilai pH postmortem terutama dipengaruhi oleh kadar glikogen dalam jaringan pada saat pemotongan (Meyer 1982). Faktor penentu kadar glikogen saat pemotongan dan laju glikolisis postmortem telah banyak dipelajari yang salah satunya adalah faktor stres pada saat pemotongan.

Kenaikan Nilai pH Postmortem dan Pembusukan Daging

Pada jam ke-10 postmortem menunjukkan bahwa nilai pH rata-rata daging dari kedua perlakuan, baik pemotongan dengan maupun tanpa menggunakan

(43)

restraining box, mengalami kenaikan (Tabel 2). Kenaikan nilai pH postmortem

tersebut disebabkan oleh terhentinya pelepasan kreatin fosfat atau adanya perubahan sistem bufer dalam jaringan otot (Dodge & Peters 1960). Hasil penelitian Lukman (1987) menambahkan bahwa kenaikan pH tersebut juga diakibatkan oleh aktivitas bakteri, kelembaban, dan meningkatnya kadar air yang menggenangi daging dalam kotak penyimpanan akibat peningkatan suhu lingkungan sehingga terbentuk uap air. Pada kenyataan yang diamati, ketiga penyebab tersebut terjadi akibat daging dikemas di kotak penyimpanan yang tidak dijaga suhunya, sehingga suhu daging menyesuaikan dengan suhu lingkungannya (rata-rata pukul 00.00–10.00 WIB) yang semakin meningkat.

Hal yang paling berpengaruh terhadap peningkatan pH adalah akibat adanya aktivitas bakteri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain zat gizi (terutama protein), nilai pH, suhu, waktu, ketersidaan oksigen, dan aktivitas air (Lukman et al. 2007).

Peningkatan suhu akan mendukung hidup dan berkembangnya bakteri pembusuk yang akan mendorong berlangsungnya proses enzimatik dan menghasilkan senyawa-senyawa NH3 yang bersifat basa (Lukman 1987).

Menurut McMeekin dan Thomas (1979) laju pembusukan daging dipengaruhi faktor suhu. Suhu yang semakin tinggi akan mempercepat proses glikolisis anaerob daging sehingga pH akhir postmortem akan lebih cepat tercapai, selain itu peningkatan suhu akan mendukung pertumbuhan bakteri pembusuk dan mempercepat kerja enzim-enzim serta reaksi kimia yang dapat menyebabkan kerusakan dan pembusukan daging (Hultin 1985).

Menurut Adnan (1977) kerusakan/pembusukan bahan pangan merupakan proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, atau bahkan kombinasi antara ketiganya. Menurut Ressang (1982) akibat proses enzimatik yang berlangsung terus-menerus pada daging (postmortem) akan mengundang kehadiran mikroorganisme sehingga menyebabkan pembusukan daging.

Aktivitas mikroorganisme pembusuk daging dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan aerob dan anaerob, penyebabnya dapat bakteri, kamir atau kapang. Diantara ketiga mikroorganisme tersebut, bakteri merupakan penyebab kebusukan terbesar pada daging posmortem yang akan berakibat terhadap meningkatnya nilai pH.

Bebarapa pustaka menyatakan bahwa pembusukan aerob terjadi jika daging dikemas tidak hampa atau dibiarkan terbuka dan berkontak dengan udara

(44)

32 di luar (oksigen) sehingga bakteri aerob obligat atau bakteri anaerob fakultatif dapat melakukan metabolisme dan biasanya ditandai dengan pembentukan lendir pada permukaan (surface slime). Sedangkan pembusukan anaerob terjadi jika daging dikemas vakum (hampa udara) dan tidak terkontak dengan udara luar, yang biasanya menyebabkan pembusukan asam yang dikenal sebagai

souring dan putrefection (Lukman et al. 2007). Pembusukan seperti ini biasa

dilakukan oleh bakteri anaerob atau bakteri aerob fakultatif.

Pembusukan daging akibat aktivitas bakteri pembusuk (spoilage bacteria) dalam keadaan anaerob ditandai dengan timbulnya bau (off-odors) akibat autolisis (oleh enzim-enzim dalam daging) dan proteolisis oleh mikroorganisme, hilangnya citarasa (off flavours), terbentuknya lendir pada permukaan daging, ketengikan akibat pemecahan lemak dan terjadi perubahan warna daging. Pembusukan seperti ini juga dapat terjadi akibat proses enzimatik daging itu sendiri atau autolisis (Frazier & Westhoff 1988).

Pembusukan yang utama yang terjadi pada daging yang diamati adalah pembusukan yang bersifat aerob, karena pada proses penelitian daging tidak dikemas vakum. Jay (1970) dan Shelef (1978) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme akan mempengaruhi struktur dan komposisi daging serta meningkatkan nilai pH dan kapasitas mengikat air.

Bakteri penyebab pembusukan pada daging baik pada suhu kamar maupun suhu pendinginan menggunakan senyawa-senyawa dengan berat molekul kecil yaitu nitrogen non-protein (asam amino dan peptida) sebagai sumber energi. Daging pangan yang mudah rusak (perishable food) dan berpotensi mengandung bahaya (potentially hazardous foods) karena disukai oleh mikroorganisme (bakteri) jika salah satunya karena memiliki nilai pH 5.3–6.2 (Lukman et al. 2007).

Hasil metabolisme bakteri-bakteri pembusuk mempengaruhi bau yang timbul pada pembusukan daging seperti NH3 berasal dari deaminasi asam

amino, H2S berasal dari asam amino yang mengandung sulfur (sistein, sistin),

serta indol dari triptofan (Jay 1970; Shelef 1978). Menurut Aberle et al. (2001) bau seperti sulfida disebabkan degradasi asam amino yang mengandung sulfur seperti metionin dan sistein. Oleh karena itu, salah satu uji pembusukan daging dilihat berdasarkan produksi NH3 dari daging. Akibat diproduksinya senyawa

(45)

Menurut Frazier dan Westhoff (1988) bakteri yang biasa sp mengontaminasi daging adalah Pseudomonas, Streptococcus sp., Bacillus,

Micrococcus sp., dan Lactobacillus sp., sedangkan kapang dan khamir yang

dapat ditemukan, seperti Thamnidium elegant, Sporotrichum carnis, dan

Chosporon sp. serta adapun bakteri patogen yang merupakan kontaminan utama

tehadap daging segar antara lain Salmonella, Staphylococcus aureus,

Clostridium perfringens, dan Clostridium botulinum.

Mikroorganisme yang terdapat pada daging dapat berasal dari hewan ketika hidup dan terkontaminasi selama proses pemotongan (Lawrie 1979). Invasi bakteri pada daging tersebut sendiri berdasarkan penelitian yang dilakukan disebabkan oleh beberapa faktor pendukung yaitu kurang higienis dalam proses pemotongan yang terlalu dekat dengan lantai RPH yang kurang bersih, terlebih di RPH yang tidak menggunakan restraining box pemotongan dan perlakuan setelah pemotongan (pengulitan, pengeluaran jerohan, dan pembersihan karkas) dilakukan pada lantai tempat pemotongan, sehingga mikroorganisme yang terdapat pada lantai tersebut dimungkinkan menempel pada karkas dan tumbuh kemudian berkembang pada daging.

Bakteri pada usus ketika hewan hidup tidak dapat menembus jaringan otot, setelah kematian dimungkinkan bakteri bisa bermigrasi ke jaringan-jaringan di luar usus tersebut, oleh karena itu bakteri usus juga dapat sebagai sumber invasi dari bakteri yang mencemari daging. Faktor lain yang mendukung adalah penyimpanan daging contoh pada suhu kamar yang semakin meningkat setiap jam pengamatannya.

Nilai pH Akhir (pH Ultimat)

Nilai pH akhir daging dari kedua perlakuan tersebut tidak dapat ditentukan karena dimungkinkan masing-masing nilai pH kedua perlakuan masih dapat turun mengingat nilai terendah yang teramati adalah 5.61 untuk daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box dan 5.57 untuk daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, sedangkan enzim-enzim glikolisis masih dapat bekerja menghasilkan asam laktat pada nilai pH tersebut. Enzim-enzim glikolisis tersebut akan berhenti kerjanya pada nilai pH daging di bawah 5.3.

(46)

34

Manfaat Penggunaan Restraining Box terhadap Nilai pH

Faktor yang mempengaruhi kualitas daging postmortem pada penelitian ini adalah perlakuan pemotongan sapi dengan dan tanpa menggunakan restraining

box. Hal ini sangat ditekankan untuk melihat pengaruh penggunaan alat restraining box sebagai alat mengendalikan dan fiksasi hewan sesaat sebelum

hewan dipotong untuk mengurangi faktor stres serta derajat memar daging akibat pembantingan yang berpengaruh terhadap nilai pH postmortem serta laju penurunnya.

Keadaan stres pada sapi sangat jelas terlihat saat sapi yang dirobohkan tanpa menggunakan restraining box. Dengan menggunakan restraining box, proses robohnya sapi saat pintu restraining box dibuka sangatlah perlahan-lahan, hal ini tidak akan menimbulkan memar pada daging hasil pemotongan dan akan menghasilkan kualitas daging yang sempurna, segar, dan higienis (Anonim 2006). Daging memar akibat pembantingan pada saat merobohkan sapi akan berdampak terhadap kerusakan daging yaitu mempercepat proses pembusukan daging akibat rusaknya protein-protein yang menyusun didalamnya, hal ini menjadi dampak yang sangat buruk dilihat dari aspek ekonomi (Westervelt et al. 1976). Restraining box juga dapat menghalangi pandangan sapi terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya di RPH yang akan menambah faktor stres (Grandin 2001).

Laju penurunan nilai pH daging akan semakin cepat jika dipengaruhi beberapa faktor yang diantaranya adalah faktor stres dan suhu lingkungan (penyimpanan). Pada dasarnya suhu yang tinggi akan meningkatkan laju penurunan pH. Pengaruh suhu terhadap perubahan pH postmortem ini adalah sebagai pengaruh langsung suhu terhadap laju glikolisis (Lawrie 1979).

Kegunaan restraining box telah banyak dibahas dalam penjelasan-penjelasan sebelumnya, akan tetapi masih terdapat kekurangan dari penggunaan alat tersebut terutama dilihat dari aspek kesejahteraan hewan (animal welfare) yaitu hewan masih mengalami rasa sakit, rasa takut, dan ketidak-nyamanan dalam proses pemotongan. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan pemotongan tanpa menggunakan restraining box, pemotongan dengan menggunakan restraining box ini memiliki keunggulan dari aspek teknis, efektivitas waktu, dan aspek kualitas daging yang dihasilkan.

Pada daging yang dihasilkan dari sapi yang dipotong tanpa menggunakan

(47)

paha, gluteus, dan lateral kaki depan. Keadaan memar tersebut diakibatkan oleh pembantingan yang sangat kasar ketika sapi dirobohkan. Sebanyak 48% daging yang berasal dari steer dan heifer mengalami memar pada karkas karena pada status kelamin tersebut tingkat stres lebih tinggi daripada status kelamin lainnya sehingga akan mengakibatkan sapi pada status kelamin tersebut lebih berontak pada saat pemotongan dan 2.2% dari memar tersebut merusak sebagian besar struktur karkas (Anonim 2008b). Hal ini menunjukkan pentingnya penggunaan

restraining box selain untuk menjaga sapi supaya tidak mengalami stres yang

akan berdampak terhadap persediaan glikogen saat pemotongan dan berdampak terhadap nilai pH postmortem, alat ini juga dapat mencegah memar pada daging yang dihasilkan.

Gambar

Gambar 2  Penampang melintang otot skeletal (Lukman et al. 2007).
Gambar 3  Perubahan kimia pada proses glikolisis aerob dan anaerob (Anonim  2008b).
Gambar 4  Perubahan biokimia setelah hewan mati (AMF 1960).
Gambar 5  Pola penurunan pH postmortem (Aberle et al. 2001).
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perendaman daging sapi dalam asap cair dari cangkang kelapa sawit dan dari tempurung kelapa terhadap nilai pH, daya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perendaman daging sapi dalam larutan kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) terhadap nilai pH, total koloni bakteri,

Berdasarkan uraian hasil perhitungan menggunakan model Arrhenius terhada nilai TVB dan pH daging sapi, maka suhu refrigerasi dapat memperpanjang masa simpan daging

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji total koloni bakteri, nilai pH dan kadar air daging sapi di berbagai grade pasar tradisional di wilayah Kabupaten

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji total koloni bakteri, nilai pH dan kadar air daging sapi di berbagai grade pasar tradisional di wilayah Kabupaten

Penambahan ekstrak buah mangga dengan konsentrasi berbeda (0, 1, 3 dan 5%) pada drink yoghurt memberikan hasil yang berbeda nyata (P&lt;0,05) terhadap nilai pH dan tekstur

Median untuk nilai H (Hue) untuk masing- masing jenis daging dapat dilihat pada gambar 8, dari data tersebut terlihat bahwa median nilai tertinggi terdapat pada jenis