• Tidak ada hasil yang ditemukan

(glikogen)n + 3 ADP + Pi (glikogen)n-1 + 3 ATP + 2 piruvat

2 piruvat 2 laktat

5 2 ADP ATP + AMP

6 AMP IMP + NH3

Gambar 3 Perubahan kimia pada proses glikolisis aerob dan anaerob (Anonim 2008b).

Sejumlah besar asam laktat yang terbentuk selama proses glikolisis anaerob tidak dapat hilang dari tubuh sampai oksigen kembali tersedia. Asam laktat dapat diubah menjadi glukosa atau dipakai secara langsung untuk energi (Guyton 1994).

Pada saat penyembelihan ternak, perubahan biokimiawi dan biofisik terhadap konversi otot menjadi daging sudah dimulai (Gambar 4). Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 1994).

Lukman et al. (2007) menambahkan bahwa glikolisis anaerob pada otot merupakan proses yang dominan dalam 36 jam postmortem terutama pada saat prerigor mortis. Asam laktat yang dihasilkan dari glkolisis anaerob akan terakumulasi dalam otot, sehingga nilai pH otot menjadi menurun dari 7.0-7.2 menjadi 5.3-5.7 setelah 24-48 jam postmortem (disebut juga pH akhir).

Glikolisis anaerob tergantung pada jumlah glikogen otot sebagai sumber energi pada saat pemotongan. Sumber energi lainnya, yaitu ATP dan kreatin fosfat, akan tetapi karena setelah pemotongan jumlahnya sangat sedikit maka keduanya tidak mempunyai peranan yang berarti. Glikolisis anaerob meliputi perubahan-perubahan bertahap dalam konversi glukosa dan glikogen menjadi asam laktat yang melibatkan banyak senyawa, reaksi, dan enzim yang mengatalisis reaksi.

10

Hewan mati

Sirkulasi darah terhenti

Pasokan oksigen terhenti

Reaksi oksidasi–reduksi terhenti

Respirasi terhenti Glikolisis anaerobik

Siklus TCA I Hidrolitik II Fosforilitik Produksi ATP

Dekstrin Glukosa-1-fosfat

Konsentrasi ATP turun

(fase awal rigor mortis) Maltosa Glukosa-6-fosfat

Konsentrasi ATP habis Asam laktat (pascarigor) pH turun

pH turun

Akumulasi: - Prekursor Denaturasi Protein

- Metabolit Katepsin bebas

ATP

ATPase Degradasi Protein

(oleh bakteri pembusuk)

ADP Miokinase AMP Deaminase IMP Fosfomonoesterase Inosin Fosforilase Ribosa-1-fosfat

Gambar 4 Perubahan biokimia setelah hewan mati (AMF 1960).

Setelah hewan mati atau dalam keadaan postmortem, oksigen tidak tersedia lagi, sehingga fosforilasi oksidatif tidak terjadi. Kegagalan sistem peredaran darah yang mengikuti penyembelihan ternak mengakibatkan persediaan oksigen di dalam otot yang dapat berikatan dengan mioglobin semakin menurun dan menjadi habis. Hal ini disebabkan oleh persediaan

oksigen di dalam otot menjadi habis, sehingga proses aerob melalui siklus sitrat dan sistem enzim sitokrom berhenti berfungsi, oleh karena itu metabolisme energi, yaitu pemecahan glikogen menjadi asam laktat bertukar menjadi metabolisme anaerob (Soeparno 1994).

Nilai pH Daging

Pada tahun 1909 Sørensen memperkenalkan bentuk pH sebagai cara yang baik untuk menyatakan konsentrasi ion hidrogen. Sørensen mendefinisikan pH sebagai log negatif dari konsentrasi ion hidrogen. pH dengan tegas didefinisikan sebagai logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen atau pH=-log [H+], meskipun dalam prakteknya aktivitasnya hampir sama dengan konsentrasi ion-ion lain kecuali dalam larutan asam kuat. pH merupakan singkatan dari pondus

hydrogenii, yang artinya potensial hidrogen, yaitu kekuatan hidrogen sebagai

penentu asam karena predominan ion-ion hidrogen (H+). Pada mulanya berdasarkan laporan asli Sørensen, pH ditulis ”PH”. Fungsi P diadopsi juga untuk hubungan konsentrasi ion-ion lain. Merujuk pada kesepakatan kamus Oxford

English, pH baru dinotasikan sebagai ”pH” pertama kali pada tahun 1920 oleh

Clark (Senese 2008).

Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Dengan nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya ikat air, dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Pada keadaan postmortem nilai pH mengalami penurunan yang ditentukan oleh akumulasi asam laktat akibat proses glikolisis anaerob. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan. Penimbunan asam laktat akan terhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi tercapai, yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik didalam proses glikolisis anaerob (Lawrie 1979).

Menurut Maribo et al. (1999) konsentrasi glikogen otot pada saat pemotongan merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas daging. Glikogen adalah suatu substrat metabolik dalam glikolisis postmortem (anaerob) yang menghasilkan asam laktat, yang akan menurunkan pH otot. Proses glikolisis dan penurunan pH berlangsung hingga cadangan glikogen habis atau terhentinya proses metabolik terkait terhentinya proses

12 enzimatik akibat pH yang rendah. Akumulasi asam laktat di dalam otot yang menyebabkan nilai pH postmortem menurun dan cadangan glikogen pada otot pada saat pemotongan menentukan nilai pH akhir.

Lawrie (1979) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penurunan pH daging postmortem dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, penanganan ternak sebelum dipotong dan suhu penyimpanan, sedangkan faktor intrinsiknya adalah kandungan glikogen daging dan stres pada ternak. Soeparno (1994) menambahkan faktor intrinsiknya antara lain spesies, tipe otot, dan keragaman di antara ternak.

Nilai pH otot pada saat ternak masih hidup berkisar 7.2-7.4 dan pH akhir daging setelah pemotongan dapat diukur sekurang-kurangnya setelah 24 jam. Pada umumnya pH sapi yang diukur pada jam pertama postmortem adalah 6.74 (Shorthose dan Whytes 1988). Nilai pH otot setelah hewan mati akan menurun dari 7.4 (awal) menjadi 5.6–5.7 pada jam ke-6 sampai jam ke-8, kemudian nilai pH tersebut akan menurun mencapai pH akhir sekitar 5.3–5.7 pada jam ke-24 postmortem (Aberle et al. 2001). Pada saat mulai rigor mortis pH daging menjadi 6.07 dan kemudian mencapai pH akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih setelah 24 jam (Lawrie 1979; Soeparno 1994). Nilai pH akhir daging postmortem adalah sekitar 5.5, yang disesuaikan dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging. Pada umumnya, glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5.4–5.5 (Lawrie 1979).

Penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologi dari otot pada saat pemingsanan dan dapat berhubungan terhadap produksi asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP (Henckel

et al. 2000). Glikogen otot merupakan bahan metabolik utama yang

menyebabkan akumulasi asam laktat dalam otot, sehingga menyebabkan penurunan nilai pH otot (Immonen et al. 2000).

Menurut Aberle et al. (2001) laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

1 Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam waktu 6–8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3–5.7. Pola penurunan pH ini normal.

2 Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5–6.8. Sifat daging yang

dihasilkan gelap, keras, dan kering sehingga disebut daging dark firm dry (DFD).

3 Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.4-5.6. Sifat daging yang dihasilkan pucat, lembek, dan berair, sehingga disebut daging pale soft

exudative (PSE).

Pola penurunan nilai pH di atas digambarkan pada Gambar 5, sedangkan waktu pengujian pH yang dianjurkan untuk penilaian kualitas daging terkait dengan ketiga pola dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 5 Pola penurunan pH postmortem (Aberle et al. 2001).

Tabel 1 Pola penurunan nilai pH dan waktu uji (Lukman et al. 2007)

Kualitas daging Pola penurunan pH pH awal pH akhir Waktu uji

Normal Lambat 7.2 ±5.5 24 jam

postmortem

pale soft exudative

(PSE) Cepat 7.2 <5.8

45 jam postmortem

dark firm dry

(DFD)

Lambat dan tidak

lengkap 7.2 >6.2

24 jam postmortem

Jam setelah pemotongan

5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 1 2 3 4 5 6 24 DFD Normal PSE Nilai pH

14 Nilai pH daging tidak hanya dipengaruhi oleh asam laktat tapi juga oleh asam fosforat dan kekuatan ion-ion tinggi. Pada kenyataannya terdapat perbedaan nilai pH daging antar spesies hewan dengan kandungan asam laktat yang sama. Hal itu disebabkan oleh perbedaan kapasitas bufer otot. Sistem bufer memperpanjang waktu efek aktivitas serat yang dalam arti lain akan memperlambat proses glikolisis anaerob (Puolanne & Kivikari 2000).

Prinsip perbedaan pada kapasitas bufer yaitu tergantung dari perbedaan tipe otot. Pada otot yang berserat putih mempunyai kandungan histidin yang lebih banyak jika dibandingkan dengan serat otot merah. Variasi kapasitas bufer juga dapat ditentukan oleh variasi jumlah dipeptida (Puolanne & Kivikari 2000). Korelasi hubungan antara pH dan kapasitas bufer telah diketahui pada Musculus

longissimus dorsi babi (koefisien korelasi=-0.43) (Van Lack et al. 2001). Di

samping kapasitas bufer daging, nilai pH juga dipengaruhi oleh asam-asam lain, misalnya yang khas adalah asam amino bebas. Total jumlah keseluruhan asam-asam tersebut dapat menyebabkan keasam-asaman daging.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa terdapat hubungan erat antara pH daging dengan warna, tekstur, serta daya ikat air daging (water-holding capacity). Laju penurunan pH daging postmortem yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan: (1) warna daging menjadi pucat; (2) daya ikat protein terhadap cairannya menjadi rendah, dan (3) permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging yang disebut drip atau

weep (Aberle et al. 2001). Sebaliknya, pada pH akhir yang tinggi, daging

berwarna gelap dan permukaan daging menjadi sangat kering karena cairan berwarna gelap dan permukaan potongan daging menjadi sangat kering karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya (Soeparno 1994).

Stres pada Hewan

Stres dapat didefinisikan sebagai respon fisiologis, biokimia, dan tingkah laku ternak terhadap berbagai faktor fisik, kimia, dan lingkungan biologis (Yousef 1985). Stres menunjukkan besarnya pengaruh luar terhadap sistem tubuh yang cenderung menggantikan sistem tersebut dari istirahat atau keadaan basal.

Hewan seperti sapi merupakan salah satu hewan mamalia berdarah hangat yang dapat merasakan sakit serta memiliki emosi atau rasa takut. Rasa takut dan penderitaan atas rasa sakit tersebut merupakan bagian dari sistem otak

hewan yang dapat menyebabkan stres sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas hasil pemotongan (Chambers & Grandin 2001).

Stres adalah kondisi yang mengancam integritas ternak (Buckle et al. 1985), yang disebabkan oleh faktor lingkungan sebelum pemotongan yang berinteraksi dengan faktor biologis, yaitu kemudahan terkena stres atau resistensi terhadap stres (Aberle et al. 2001). Stres timbul melalui reaksi-reaksi yang kompleks dari sistem endokrin (Lawrie 1979; Buckle et al. 1985).

Stres akan menimbulkan dua fase reaksi untuk mempertahankan kondisi homeostasis ternak, yaitu fase reaksi kejutan dan melibatkan dua sistem neurohormonal yaitu hipotalamus-pituitari-adrenal dan hipotalamus-pituitari-tiroid. Stres menstimulasi sistem syaraf dan menyebabkan pembebasan adrenalin dari medula adrenal dalam waktu singkat. Adrenalin menyebabkan penurunan atau habisnya glikogen otot dan kalium. Kemudian hormon pertumbuhan dan glukokortikoid (17-hidroksi-kortikosteron dan 11-deoksikortikosteron) dibebaskan dari korteks adrenal untuk melepaskan energi serta menyebabkan tingkat ekuilibrium dari zat-zat tersebut pada ternak normal (Buckle et al. 1985).

Tiroksin meningkatkan sensitivitasnya terhadap adrenalin dan ikut membantu tubuh mengatasi stres yang potensial. Katekolamin membantu pembebasan glukosa dari glikogen sehingga otak mampu memelihara pasokan energi yang diperlukan untuk mengatasi stres. Pembebasan hormon glukokortikoid diatur oleh ACTH (adrenocorticotropic

hormone=adreno-corticotrophin=corticotrophin) yang disekresikan oleh kelenjar pituitari (Lawrie

1979; Buckle et al. 1985). Produksi ACTH diatur oleh faktor yaitu hormon pembebas yang diproduksi di hipotalamus (Buckle et al. 1985).

Intensitas stres pada hewan dipengaruhi oleh jarak dan lama perjalanan, tingkah laku, bentuk pengangkutan, tingkat kepadatan waktu pengangkutan, keadaan iklim, penanganan pada saat perjalanan, penanganan sebelum pemotongan, keefektifan istirahat setelah perjalanan atau sifat kerentanan terhadap stres (Fernandez et al. 1996). Shorthose dan Whytes (1988) menyatakan bahwa apabila stres yang dialami hanya sebentar, dan tidak berkepanjangan, sebagian besar ternak dapat menyesuaikan diri, dan sebaliknya apabila stres pada ternak berlangsung lama dan berkepanjangan, maka ternak tersebut menjadi kelelahan dan dapat mengakibatkan ternak kehilangan nafsu makan, serta penyusutan bobot badan.

16 Mas’ud (1999) melaporkan bahwa sapi Bali jantan yang mengalami pengangkutan selama lebih kurang 48 jam dengan jarak tempuh lebih kurang 1200 km, mengalami penurunan bobot badan sebesar 8.33–12.00% per ekor dengan rata-rata 9.77% per ekor. Penurunan berat badan sapi Bali jantan setelah pengangkutan terutama disebabkan oleh terjadinya urinasi dan defekasi selama pejalanan, sehingga isi saluran pencernaan dan kantung kemih berkurang, serta kehilangan cairan tubuh melalui pernapasan dan keringat.

Semua penyebab stres yang digertak oleh manajemen pada ternak adalah ekspose, pemindahan, pengangkutan, dan penanganan yang dianggap sebagai penyebab yang paling potensial (Eichinger et al. 1991). Secara ekonomi, faktor stres pada ternak perlu diperhatikan karena dapat menurunkan kualitas daging dan meningkatkan susut karkas akibat penurunan daya ikat air (Shorthose & Whytes 1988).

Oleh karena itu, perlu adanya penanganan hewan supaya terhindar dari stres. Grandin (2001) mengemukakan prinsip utama penanganan hewan adalah untuk menghindarkan hewan dari ketidak-tenangan. Hewan membutuhkan waktu 30 menit untuk kembali ke kondisi fisiologis tubuh dan detak jantung yang normal setelah pengendalian yang kasar. Penanganan hewan di tempat penampungan sementara sebelum pemotongan dan di tempat pemotongan dapat meningkatkan kadar kortisol, sehingga menjadi pertimbangan meningkatnya fisiologi stres. Hewan menjadi berontak pada masa penanganan karena mengalami ketakutan.

Grandin juga meneliti kadar kortisol saat penanganan di kandang dan di tempat pemotongan yaitu berkisar 24 ng/ml sampai 63 ng/ml. Pengendalian hewan secara kasar, pembaringan di lantai, dan kejutan listrik akan menghasilkan kadar kortisol lebih tinggi dari 63 ng/ml, rata-rata tertinggi yang tercatat di tempat pemotongan adalah 93 ng/ml. Hewan akan berontak pada waktu 103 detik setelah dikendalikan sebelum pemotongan (Grandin 2001).

Grandin (2001) menyatakan rancangan perangkat pengendali hewan untuk pemotongan biasa dengan prinsip kebiasaan pengendali stres harus mengikuti hal-hal sebagai berikut:

1 Hewan jangan dibiarkan terlalu lama di dalam perangkat pengendali (restraining box). Proses pemotongan dilakukan segera setelah hewan masuk.

2 Hewan harus masuk ke restraining box dengan mudah. Jika menolak, alihkan ke keadaan semula dan gunakan lampu pada pintu masuk sebagai penerangan secara tidak langsung.

3 Tutup pandangan hewan, dengan begitu hewan tidak dapat melihat manusia atau tiba-tiba mengalihkan objek.

Kadar glikogen otot pada saat pemotongan akan tetap tinggi jika hewan diberi ransum yang baik (Lawrie 1979; Meyer 1982), istirahat yang cukup sebelum pemotongan (Eskin et al. 1971), penanganan yang baik sebelum dan pada saat pemotongan, misalnya pengurangan rotaan pada saat pemotongan dengan anastesi atau pembiusan (Lukman 1987). Kadar glikogen otot akan berkurang jika hewan mengalami stres akibat suhu panas, perjalanan, sakit atau kesakitan, kurang oksigen, banyak meronta, pemberian ransum yang kurang (Lawrie 1979), puasa 24-48 jam sebelum pemotongan (Meyer 1982), penyuntikan insulin, adrenalin, tuberkulin, dan tremorin, serta pemberian epinefrin enam jam sebelum pemotongan (Lawrie 1979).

Pengaruh Proses Pemotongan dengan Menggunakan Restraining Box terhadap Kualitas Daging

Penanganan yang baik dan memenuhi kaidah-kaidah kesejahteraan hewan sebelum dan sesaat hewan hendak disembelih merupakan hal yang terpenting yang harus dipertimbangkan mengingat akan berpengaruh terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan. Penanganan ini dilakukan untuk memudahkan penanganan hewan dan mengurangi rontaan saat pemotongan, maka sebaiknya hewan dipingsankan atau difiksasi menggunakan restraining box.

Restraining box adalah sebuah alat fiksasi pemotongan sapi di rumah

pemotongan hewan (RPH) yang berfungsi mengendalikan sapi sesaat sebelum pemotongan. Dengan adanya restraining box, tingkat stres pada sapi sebelum dipotong dapat dikurangi, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun faktor-faktor lainnya seperti pengangkutan dan penampungan sementara yang padat. Desain restraining box yang digunakan di sebagian besar RPH di Indonesia merupakan desian dari Meat Livestock Australia (MLA) (Gambar 6).

Istirahat dan pemberian nutrisi yang cukup pada sapi akan tetap menjaga sapi dalam keadaan sehat dan menurunkan tingkat stres. Proses robohnya sapi saat pintu restraining box dibuka sangatlah perlahan-lahan, sehingga tidak akan

18 menimbulkan memar pada daging dan akan menghasilkan kualitas daging yang sempurna, segar, dan higienis (Anonim 2006).

Selain restraining box yang didesain oleh MLA, ada juga jenis-jenis alat fiksasi lain yang digunakan di RPH yang tujuan utamanya sama dengan

restraining box MLA yaitu untuk mengurangi tingkat stres pada ternak pada saat

pemotongan. Selama delapan belas tahun sebuah rumah pemotongan sapi besar menggunakan sistem restrainer V (Gambar 7) untuk menangani hewan selama pemingsanan dan pengekangan. Restrainer V merupakan perangkat yang aman dan manusiawi dibandingkan dengan knocking box tipe lama (old

style). Meskipun demikian masih terdapat kekurangan dengan perangkat ini

yaitu ternak harus dimasukkan secara paksa dan petugas pemingsanan kesulitan untuk menjangkau ternak supaya stunner mengenai bagian depan kepala ternak (Anonim 2008a).

Peneliti dari Universitas Connecticut membangun laboratorium pemotongan hewan dengan restrainer rel ganda (Gambar 8) untuk sapi dan domba. Perangkat ini telah diuji baik mempunyai metode yaitu memperkecil tingkat stres. Grandin (1988) memodifikasi alat tersebut untuk mempermudah masuknya ternak ke restrainer dan mengatur ukurannya untuk hewan yang akan masuk ke dalamnya yaitu dengan menggunakan sistem rel ganda. Ternak berjalan pada jalur yang malandai menuju pintu masuk restrainer dengan dada disangga diantara dua kakinya di rel ganda. Sistem ini digunakan secara komersial untuk pemotongan sapi dan domba yang kini digunakan di Amerika Utara (Grandin 1991).

Proyek lain mengenai perangkat restrainer Kosher (sistem Yahudi) telah dimodifikasi desainnya demi meningkatkan aspek kemanusiawian, perangkat ini dipatenkan oleh Marshall et al. pada tahun 1963 (Grandin 1991). Modifikasi utama dilakukan untuk menurunkan tekanan terhadap ternak yaitu dengan menutup seluruh bagian perangkat restrainer dengan tujuan untuk menutup pandangan ternak terhadap lingkungan sekitarnya.

(a)

(b)

Gambar 6 (a) restraining box desain Meat Livestock Australia (MLA) dan (b) posisi sapi di dalamnya (Anonim 2006).

20

22

(a)

(b)

Gambar 9 Posisi pemotongan hewan (a) dan posisi kepala hewan (b) pada pemotongan menggunakan restrainer sistem rel ganda (Grandin 1988).

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari November 2007 sampai Januari 2008. Contoh daging diambil di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian knuckle atau daging kelapa (Musculus vastus lateralis, M. vastus medialis, M. vastus

intermedius, dan M. rectus femoris) sebanyak 500 gram setiap contoh (Gambar

10). Untuk pengujian nilai pH, bahan yang digunakan adalah akuades, larutan standar dengan pH 4.01 dan 6.86 untuk kalibrasi.

Alat-alat yang digunakan antara lain pH meter (Gambar 11), pisau, gunting, pinset, erlenmeyer, gelas piala, neraca, kertas tisu, dan blender.

Contoh Daging

Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross dengan status kelamin

steer dengan kisaran umur 1.5-2 tahun, yaitu sebanyak 40 contoh dari 40 sapi

yang berbeda yang telah diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penampungan RPH selama1-2 hari sebelum dipotong, yang terdiri dari 20 contoh daging dari hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box dan 20 contoh daging dari hasil pemotongan tanpa menggunakan restraining box. Keseluruhan contoh daging setelah pemotongan diberikan perlakuan yang sama yaitu tanpa pelayuan, pendinginan, ataupun pengolahan lebih lanjut.

Metode

Contoh daging dari kedua perlakuan disimpan dalam kantong plastik pada suhu kamar (25–34 °C). Pengukuran nilai pH dilakukan empat kali pengukuran, yaitu jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah pemotongan.

24

Gambar 10 Peta daging pada karkas sapi (Anonim 2008d).

Pengujian Nilai pH

Persiapan pengujian pH meter. Sebelum pengujian, pH meter selalu

dikalibrasi menggunakan larutan standar pada suhu 25 °C. Pertama, pH meter dikalibrasi dengan larutan standar ber-pH 4.01, kemudian dikalibrasi dengan larutan ber-pH 6.86. Setiap selesai pencelupan atau pengukuran pada contoh, elektrode gelas harus selalu dibilas secara seksama dan hati-hati dengan akuades, kemudian dikeringkan dengan kertas tisu secara hati-hati.

Persiapan contoh. Pengukuran nilai pH daging dapat dilakukan dengan

mempersiapkan daging dengan dihomogenkan terlebih dahulu menggunakan

blender (homogenat). Contoh daging yang telah homogen dimasukkan ke dalam

kantong plastik dan mulai diukur pH-nya dengan memasukkan elektrode gelas ke dalam homogenat daging.

Pengukuran nilai pH. Setelah elektroda pH meter dimasukkan ke dalam

contoh, biarkan beberapa waktu sampai nilai pH terbaca konstan.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika sebaran t (t-test) untuk contoh dua populasi dengan selang kepercayaan 95%, yang sebelumnya dicari rata-rata dan simpangan baku untuk masing-masing populasi setiap waktu pengamatannya.

Dokumen terkait