Kondisi Umum Proses Pemotongan Sapi di Rumah Pemotongan Hewan
Secara umum, sapi sebelum dipotong di RPH Kota Bogor yang tidak menggunakan restraining box dan RPH Kabupaten Bogor yang menggunakan
restraining box diperlakukan relatif sama yaitu sapi tiba di kandang
penampungan sementara dan diistirahatkan selama 1–2 hari, diberikan minum dan makan yang cukup. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan bobot badan sapi dan mengurangi faktor stres akibat kelelahan yang pada akhirnya bertujuan menjaga kadar glikogen otot tetap tinggi (Eskin et al. 1971; Lawrie 1979; Meyer 1982). Sebelum memasuki restraining box sapi juga diberikan penyiraman dengan air dengan harapan terjadinya penyempitan pembuluh-pembuluh darah perifer (vasokonstriksi) dengan cara pendinginan yang bertujuan mempermudah proses pengeluaran darah pada proses pemotongan.
Beberapa pustaka menyatakan bahwa pengukuran nilai pH ini penting untuk dapat menunjukan kualitas daging secara umum baik terhadap daya ikat air, keempukan, dan daya simpan daging.
Perubahan Nilai pH Postmortem
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai pH pada kedua perlakuan menurun setelah pemotongan. Penurunan nilai pH ini sejalan dengan proses glikolisis anaerob (postmortem) yang pada akhirnya menghasilkan asam laktat sebagai penentu nilai pH daging untuk kedua perlakuan (Tabel 2 dan Gambar 12). Penurunan nilai pH selama delapan jam postmortem pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box relatif lebih intensif dari pada daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box.
Pada daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box nilai pH rata-rata pada jam pertama postmortem adalah 6.31±0.22 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (rata-rata 5.61±0.11), sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box nilai pH rata-rata pada jam pertama yaitu 6.17±0.39 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 (5.57±0.13). Nilai pH daging kedua perlakuan mengalami peningkatan kembali pada jam ke-10 yaitu 5.66±0.13 untuk daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box yang berarti mengalami peningkatan sebesar 0.99% dari jam ke-8 dan 5.62±0.22 untuk daging yang dipotong tanpa
5.2 5.4 5.6 5.8 6 6.2 6.4 1 6 8 10
Waktu (jam ke-)
N
ila
i p
H
Restraining Box Non-Restraining Box
menggunakan restraining box yang berarti mengalami kenaikan sebesar 0.85% dari jam ke-8. Nilai penurunan nilai pH postmortem pada otot pada kedua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 12.
Tabel 2 Nilai rata-rata pH daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box
Jam Ke- Restraining Box Tanpa Restraining Box
1 6.31±0.22* 6.17±0.39*
6 5.74±0.14* 5.72±0.17*
8 5.61±0.11* 5.57±0.13*
10 5.66±0.13* 5.62±0.22*
Keterangan: superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p>0.05).
Gambar 12 Penurunan nilai rata-rata pH postmortem pada daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box.
28 Jika dilihat dari pengukuran jam pertama postmortem, nilai pH daging dengan pemotongan menggunakan restraining box (6.31) lebih tinggi daripada nilai pH daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (6.17). Hal ini terjadi karena daging yang berasal dari sapi yang dipotong tanpa menggunakan
restraining box pada saat pemotongan diperlakukan secara kasar dalam proses
perobohannya sehingga sapi mengalami stres. Stres dapat memicu meningkatnya glikolisis anaerob yang akan menghasilkan asam laktat pada otot sesaat sebelum dipotong sehingga asam laktat tersebut tidak sempat dibawa kembali ke organ hati untuk kemudian diubah kembali menjadi glukosa dikarenakan sirkulasi darah telah terhenti pada saat pemotongan (Lawrie 1979; Buckle et al. 1985). Pada keadaan yang tidak terkendali, penimbunan asam laktat pada otot tidak dapat lagi dinetralisasi oleh sistem bufer otot sehingga dapat menurunkan nilai pH otot pada saat pemotongan dan akan berdampak semakin rendahnya nilai pH daging postmortem (Shorthose & Whytes 1988).
Berdasarkan data yang diperoleh, pola penurunan pH untuk kedua perlakuan seperti yang digambarkan di atas termasuk pola penurunan pH yang normal yaitu mencapai nilai 5.6–5.7 dalam waktu 6–8 jam setelah pemotongan (Aberle et al. 2001). Walaupun nilai pH daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box tidak dapat mencapai nilai pH normal pada jam pertama pada umumnya yaitu 7.2 (Lukman et al. 2007), akan tetapi masih terdapat selisih yang cukup berarti yang menunjukan adanya manfaat dari penggunaan restraining box sebagai alat bantu pemotongan yang memudahkan robohnya sapi sehingga faktor stres pada sapi dapat ditekan.
Nilai pH rata-rata pada daging yang dipotong tanpa menggunakan
restraining box relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging yang dipotong
menggunakan restraining box, namun perbedaan nilai tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor jumlah contoh yang diambil maupun faktor teknis di lapang terkait dengan praktek yang menyimpang dalam penggunaan restraining box dan kurangnya kesadaran pekerja akan tujuan serta manfaat penggunaan restraining box.
Dalam praktek penggunaan restraining box di RPH, banyaknya jumlah sapi yang akan dipotong dalam waktu yang relatif singkat mendorong pekerja harus bekerja lebih cepat. Salah satu praktek menyimpang yang diamati di RPH adalah menusukkan ujung pisau/golok ke bagian rusuk dan perut sapi yang bertujuan mempermudah proses robohnya sapi, namun hal tersebut membuat
sapi berontak kesakitan dan menyebabkan stres yang kemudian cadangan glikogen otot semakin banyak digunakan sebelum sapi dipotong. Hal tersebut tentu saja bertolak belakang dengan tujuan digunakannya restraining box. Keadaan seperti ini memicu terjadinya glikolisis anaerob yang penyebab utamanya yaitu akibat sapi mengalami stres yang kemudian menyebabkan kelelahan yang sehingga sapi mengalami kesulitan bernafas dan sebagai dampaknya sapi kekurangan pasokan oksigen.
Beberapa pustaka menyatakan bahwa pengambilan glikogen sebagai respon positif dari faktor stres yang akan merangsang peningkatan sekresi hormon glukokortikoid (hormon kortisol) yang akan meningkatkan penggunaan glikogen otot dan memobilisasi asam lemak bebas sehingga terbentuk persediaan energi darurat. Keadaan ini sangat berdampak negatif terhadap persediaan cadangan glikogen otot postmortem dan mempercepat laju penurunan nilai pH postmortem.
Stres akan menimbulkan dua fase reaksi untuk mempertahankan kondisi homeostasis hewan, yaitu fase reaksi kejutan yang melibatkan dua sistem neurohormonal yaitu hipotalamus-pituitari-adrenal dan hipotalamus-pituitari-tiroid (Buckle et al. 1985).
Stres menstimulasi sistem syaraf dan menyebabkan pembebasan adrenalin dari medula adrenal dalam waktu singkat. Adrenalin menyebabkan penurunan atau habisnya glikogen otot dan potassium. Kemudian hormon pertumbuhan dan glukokortikoid (17-hidroksi-kortikosteron dan 11-deoksikortiko-steron), masing-masing dibebaskan dari korteks adrenal untuk melepaskan energi dan menyebabkan aras ekuilibrium dari substansi-substansi tersebut pada hewan normal. Tiroksin meningkat sensitivitasnya terhadap adrenalin dan ikut membantu tubuh mengatasi stres yang potensial. Katekolamin membantu pembebasan glukosa dari glikogen sehingga otak mampu memelihara pasokan energi yang diperlukan untuk mengatasi stres. Pembebasan hormon glukokortikoid diatur oleh ACTH (adrenocorticotropic
hormone=adrenocortico-trophin=corticotrophin) yang disekresikan oleh kelenjar pituitary (Lawrie 1979;
Buckle et al. 1985). Produksi ACTH diatur oleh faktor yaitu hormon pembebas yang diproduksi di hipotalamus (Buckle et al. 1985).
Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 2), nilai pH rata-rata terendah daging dicapai pada jam ke-8. Keadaaan ini lebih cepat jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari University of
30
Veterinary and Pharmaceutical Science Brno Republik Czech (Anonim 2008a)
tentang perubahan nilai pH dan penimbunan asam laktat postmortem. Penelitiannya menunjukkan bahwa nilai pH postmortem terendah dicapai pada jam ke-24 dan ke-48 postmortem dalam keadaan normal. Hal ini menunjukkan bahwa faktor stres masih berdampak negatif terhadap pH daging baik perlakuan pemotongan dengan atau tanpa menggunakan restraining box.
Asam laktat yang dihasilkan dari glikolisis anaerob akan terkumpul dalam otot dan akan menurunkan nilai pH otot (Lukman 1987). Menurut Meyer (1982) asam laktat dari glikolisis anaerob mula-mula masih dapat dinetralkan oleh bufer-bufer dalam otot, tetapi akibat produksinya yang terus menerus menyebabkan nilai pH otot mulai menurun. Bufer tersebut meliputi antara lain protein-protein, senyawa fosfat, karnosin, dan anserin (Ressang 1982).
Cepatnya laju penurunan pH juga didukung oleh semakin meningkatnya suhu, baik pada daging maupun lingkungan sekitarnya. Pada kenyataannya, setelah penyembelihan akan dihasilkan panas yang menyebabkan kenaikan suhu daging (Meyer 1982). Produksi panas dalam karkas tersebut dikenal sebagai animal heat dan terus berlangsung walaupun karkas didinginkan (Lawrie 1979; Eskin et al. 1971; Meyer 1982). Menurut Eskin et al. (1971) dan Buckle et
al. (1985) produksi panas dalam karkas diakibatkan proses glikolisis postmortem.
Proses glikolisis tersebut bersifat anaerob dan merupakan proses eksotermik (Buckle et al. 1985).
Penelitian yang dilakukan Lee et al. (1976) menyimpulkan bahwa stres akan mempercepat laju glikolisis pada dua jam pertama setelah pemotongan. Penelitian tersebut mendukung bahwa faktor suhu baik daging maupun lingkungan sekitar daging postmortem berpengaruh terhadap persediaan glikogen postmortem dan laju penurunan nilai pH.
Jumlah asam laktat yang terkumpul dan penurunan nilai pH postmortem terutama dipengaruhi oleh kadar glikogen dalam jaringan pada saat pemotongan (Meyer 1982). Faktor penentu kadar glikogen saat pemotongan dan laju glikolisis postmortem telah banyak dipelajari yang salah satunya adalah faktor stres pada saat pemotongan.
Kenaikan Nilai pH Postmortem dan Pembusukan Daging
Pada jam ke-10 postmortem menunjukkan bahwa nilai pH rata-rata daging dari kedua perlakuan, baik pemotongan dengan maupun tanpa menggunakan
restraining box, mengalami kenaikan (Tabel 2). Kenaikan nilai pH postmortem
tersebut disebabkan oleh terhentinya pelepasan kreatin fosfat atau adanya perubahan sistem bufer dalam jaringan otot (Dodge & Peters 1960). Hasil penelitian Lukman (1987) menambahkan bahwa kenaikan pH tersebut juga diakibatkan oleh aktivitas bakteri, kelembaban, dan meningkatnya kadar air yang menggenangi daging dalam kotak penyimpanan akibat peningkatan suhu lingkungan sehingga terbentuk uap air. Pada kenyataan yang diamati, ketiga penyebab tersebut terjadi akibat daging dikemas di kotak penyimpanan yang tidak dijaga suhunya, sehingga suhu daging menyesuaikan dengan suhu lingkungannya (rata-rata pukul 00.00–10.00 WIB) yang semakin meningkat.
Hal yang paling berpengaruh terhadap peningkatan pH adalah akibat adanya aktivitas bakteri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain zat gizi (terutama protein), nilai pH, suhu, waktu, ketersidaan oksigen, dan aktivitas air (Lukman et al. 2007).
Peningkatan suhu akan mendukung hidup dan berkembangnya bakteri pembusuk yang akan mendorong berlangsungnya proses enzimatik dan menghasilkan senyawa-senyawa NH3 yang bersifat basa (Lukman 1987). Menurut McMeekin dan Thomas (1979) laju pembusukan daging dipengaruhi faktor suhu. Suhu yang semakin tinggi akan mempercepat proses glikolisis anaerob daging sehingga pH akhir postmortem akan lebih cepat tercapai, selain itu peningkatan suhu akan mendukung pertumbuhan bakteri pembusuk dan mempercepat kerja enzim-enzim serta reaksi kimia yang dapat menyebabkan kerusakan dan pembusukan daging (Hultin 1985).
Menurut Adnan (1977) kerusakan/pembusukan bahan pangan merupakan proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, atau bahkan kombinasi antara ketiganya. Menurut Ressang (1982) akibat proses enzimatik yang berlangsung terus-menerus pada daging (postmortem) akan mengundang kehadiran mikroorganisme sehingga menyebabkan pembusukan daging.
Aktivitas mikroorganisme pembusuk daging dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan aerob dan anaerob, penyebabnya dapat bakteri, kamir atau kapang. Diantara ketiga mikroorganisme tersebut, bakteri merupakan penyebab kebusukan terbesar pada daging posmortem yang akan berakibat terhadap meningkatnya nilai pH.
Bebarapa pustaka menyatakan bahwa pembusukan aerob terjadi jika daging dikemas tidak hampa atau dibiarkan terbuka dan berkontak dengan udara
32 di luar (oksigen) sehingga bakteri aerob obligat atau bakteri anaerob fakultatif dapat melakukan metabolisme dan biasanya ditandai dengan pembentukan lendir pada permukaan (surface slime). Sedangkan pembusukan anaerob terjadi jika daging dikemas vakum (hampa udara) dan tidak terkontak dengan udara luar, yang biasanya menyebabkan pembusukan asam yang dikenal sebagai
souring dan putrefection (Lukman et al. 2007). Pembusukan seperti ini biasa
dilakukan oleh bakteri anaerob atau bakteri aerob fakultatif.
Pembusukan daging akibat aktivitas bakteri pembusuk (spoilage bacteria) dalam keadaan anaerob ditandai dengan timbulnya bau (off-odors) akibat autolisis (oleh enzim-enzim dalam daging) dan proteolisis oleh mikroorganisme, hilangnya citarasa (off flavours), terbentuknya lendir pada permukaan daging, ketengikan akibat pemecahan lemak dan terjadi perubahan warna daging. Pembusukan seperti ini juga dapat terjadi akibat proses enzimatik daging itu sendiri atau autolisis (Frazier & Westhoff 1988).
Pembusukan yang utama yang terjadi pada daging yang diamati adalah pembusukan yang bersifat aerob, karena pada proses penelitian daging tidak dikemas vakum. Jay (1970) dan Shelef (1978) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme akan mempengaruhi struktur dan komposisi daging serta meningkatkan nilai pH dan kapasitas mengikat air.
Bakteri penyebab pembusukan pada daging baik pada suhu kamar maupun suhu pendinginan menggunakan senyawa-senyawa dengan berat molekul kecil yaitu nitrogen non-protein (asam amino dan peptida) sebagai sumber energi. Daging pangan yang mudah rusak (perishable food) dan berpotensi mengandung bahaya (potentially hazardous foods) karena disukai oleh mikroorganisme (bakteri) jika salah satunya karena memiliki nilai pH 5.3–6.2 (Lukman et al. 2007).
Hasil metabolisme bakteri-bakteri pembusuk mempengaruhi bau yang timbul pada pembusukan daging seperti NH3 berasal dari deaminasi asam amino, H2S berasal dari asam amino yang mengandung sulfur (sistein, sistin), serta indol dari triptofan (Jay 1970; Shelef 1978). Menurut Aberle et al. (2001) bau seperti sulfida disebabkan degradasi asam amino yang mengandung sulfur seperti metionin dan sistein. Oleh karena itu, salah satu uji pembusukan daging dilihat berdasarkan produksi NH3 dari daging. Akibat diproduksinya senyawa amin dan amonia, maka pH daging akan meningkat (Jay 1970; Shelef 1978).
Menurut Frazier dan Westhoff (1988) bakteri yang biasa sp mengontaminasi daging adalah Pseudomonas, Streptococcus sp., Bacillus,
Micrococcus sp., dan Lactobacillus sp., sedangkan kapang dan khamir yang
dapat ditemukan, seperti Thamnidium elegant, Sporotrichum carnis, dan
Chosporon sp. serta adapun bakteri patogen yang merupakan kontaminan utama
tehadap daging segar antara lain Salmonella, Staphylococcus aureus,
Clostridium perfringens, dan Clostridium botulinum.
Mikroorganisme yang terdapat pada daging dapat berasal dari hewan ketika hidup dan terkontaminasi selama proses pemotongan (Lawrie 1979). Invasi bakteri pada daging tersebut sendiri berdasarkan penelitian yang dilakukan disebabkan oleh beberapa faktor pendukung yaitu kurang higienis dalam proses pemotongan yang terlalu dekat dengan lantai RPH yang kurang bersih, terlebih di RPH yang tidak menggunakan restraining box pemotongan dan perlakuan setelah pemotongan (pengulitan, pengeluaran jerohan, dan pembersihan karkas) dilakukan pada lantai tempat pemotongan, sehingga mikroorganisme yang terdapat pada lantai tersebut dimungkinkan menempel pada karkas dan tumbuh kemudian berkembang pada daging.
Bakteri pada usus ketika hewan hidup tidak dapat menembus jaringan otot, setelah kematian dimungkinkan bakteri bisa bermigrasi ke jaringan-jaringan di luar usus tersebut, oleh karena itu bakteri usus juga dapat sebagai sumber invasi dari bakteri yang mencemari daging. Faktor lain yang mendukung adalah penyimpanan daging contoh pada suhu kamar yang semakin meningkat setiap jam pengamatannya.
Nilai pH Akhir (pH Ultimat)
Nilai pH akhir daging dari kedua perlakuan tersebut tidak dapat ditentukan karena dimungkinkan masing-masing nilai pH kedua perlakuan masih dapat turun mengingat nilai terendah yang teramati adalah 5.61 untuk daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box dan 5.57 untuk daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, sedangkan enzim-enzim glikolisis masih dapat bekerja menghasilkan asam laktat pada nilai pH tersebut. Enzim-enzim glikolisis tersebut akan berhenti kerjanya pada nilai pH daging di bawah 5.3.
34
Manfaat Penggunaan Restraining Box terhadap Nilai pH
Faktor yang mempengaruhi kualitas daging postmortem pada penelitian ini adalah perlakuan pemotongan sapi dengan dan tanpa menggunakan restraining
box. Hal ini sangat ditekankan untuk melihat pengaruh penggunaan alat restraining box sebagai alat mengendalikan dan fiksasi hewan sesaat sebelum
hewan dipotong untuk mengurangi faktor stres serta derajat memar daging akibat pembantingan yang berpengaruh terhadap nilai pH postmortem serta laju penurunnya.
Keadaan stres pada sapi sangat jelas terlihat saat sapi yang dirobohkan tanpa menggunakan restraining box. Dengan menggunakan restraining box, proses robohnya sapi saat pintu restraining box dibuka sangatlah perlahan-lahan, hal ini tidak akan menimbulkan memar pada daging hasil pemotongan dan akan menghasilkan kualitas daging yang sempurna, segar, dan higienis (Anonim 2006). Daging memar akibat pembantingan pada saat merobohkan sapi akan berdampak terhadap kerusakan daging yaitu mempercepat proses pembusukan daging akibat rusaknya protein-protein yang menyusun didalamnya, hal ini menjadi dampak yang sangat buruk dilihat dari aspek ekonomi (Westervelt et al. 1976). Restraining box juga dapat menghalangi pandangan sapi terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya di RPH yang akan menambah faktor stres (Grandin 2001).
Laju penurunan nilai pH daging akan semakin cepat jika dipengaruhi beberapa faktor yang diantaranya adalah faktor stres dan suhu lingkungan (penyimpanan). Pada dasarnya suhu yang tinggi akan meningkatkan laju penurunan pH. Pengaruh suhu terhadap perubahan pH postmortem ini adalah sebagai pengaruh langsung suhu terhadap laju glikolisis (Lawrie 1979).
Kegunaan restraining box telah banyak dibahas dalam penjelasan-penjelasan sebelumnya, akan tetapi masih terdapat kekurangan dari penggunaan alat tersebut terutama dilihat dari aspek kesejahteraan hewan (animal welfare) yaitu hewan masih mengalami rasa sakit, rasa takut, dan ketidak-nyamanan dalam proses pemotongan. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan pemotongan tanpa menggunakan restraining box, pemotongan dengan menggunakan restraining box ini memiliki keunggulan dari aspek teknis, efektivitas waktu, dan aspek kualitas daging yang dihasilkan.
Pada daging yang dihasilkan dari sapi yang dipotong tanpa menggunakan
paha, gluteus, dan lateral kaki depan. Keadaan memar tersebut diakibatkan oleh pembantingan yang sangat kasar ketika sapi dirobohkan. Sebanyak 48% daging yang berasal dari steer dan heifer mengalami memar pada karkas karena pada status kelamin tersebut tingkat stres lebih tinggi daripada status kelamin lainnya sehingga akan mengakibatkan sapi pada status kelamin tersebut lebih berontak pada saat pemotongan dan 2.2% dari memar tersebut merusak sebagian besar struktur karkas (Anonim 2008b). Hal ini menunjukkan pentingnya penggunaan
restraining box selain untuk menjaga sapi supaya tidak mengalami stres yang
akan berdampak terhadap persediaan glikogen saat pemotongan dan berdampak terhadap nilai pH postmortem, alat ini juga dapat mencegah memar pada daging yang dihasilkan.