• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai pH Daging Sapi Brahman Cross yang Dipingsankan Sebelum Penyembelihan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai pH Daging Sapi Brahman Cross yang Dipingsankan Sebelum Penyembelihan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI pH DAGING SAPI

BRAHMAN CROSS

YANG

DIPINGSANKAN SEBELUM PENYEMBELIHAN

TRI HANDOKO LASRIANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai pH Daging Sapi

Brahman Cross yang Dipingsankan Sebelum Penyembelihan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Tri Handoko Lasrianto

(4)

ABSTRAK

TRI HANDOKO LASRIANTO. Nilai pH Daging Sapi Brahman Cross yang Dipingsankan Sebelum Penyembelihan. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN.

Pengukuran pH akhir daging merupakan salah satu nilai referensi yang paling penting untuk menentukan kualitas daging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai pH daging sapi Brahman Cross yang dipingsankan dengan dua alat yang berbeda sebelum penyembelihan. Sampel daging diambil dari 10 ekor sapi yang dipingsankan menggunakan non-penetrating captive bolt stun gun tipe

Cash Magnum Knocker dan 10 ekor sapi yang dipingsankan menggunakan tipe

pneumatic. Pengukuran dilakuan pada saat 1 jam, 24 jam, serta 36 jam setelah penyembelihan dengan menggunakan pH meter. Nilai rata-rata pH akhir daging (jam ke-36 postmortem) dengan pemingsanan menggunakan tipe pneumatic lebih rendah (5.76±0.23) dibandingkan dengan nilai rata-rata pH akhir daging sapi yang mengalami pemingsanan menggunakan Cash Magnum Knocker (6.07±0.19) dengan nilai yang berbeda nyata (p<0.05). Kualitas daging dengan pemingsanan menggunakan tipe pneumatic lebih baik dibandingkan dengan kualitas daging dengan pemingsanan menggunakan tipe Cash Magnum Knocker.

Kata kunci: Brahman Cross, kualitas daging, nilai pH, pemingsanan

ABSTRACT

TRI HANDOKO LASRIANTO. Meat pH Value of Brahman Cross Stunned Before Slaughtering. Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN.

Measurement of meat pH value was important to determine meat quality. The objective of this study was to observe meat pH value of Brahman Cross stunned before slaughtering using non-penetrating captive bolt stun gun with two different type. A total 10 steers stunned by Cash Magnum Knocker type and 10 steers stunned by pneumatic type were studied. The pH value of the samples was measured at 1, 24, and 36 hours (h) after slaughtering. The result of study showed that the ultimate pH value (36 h after slaughtering) of meat samples stunned by pneumatic type lower (5.76±0.23) than meat samples stunned by Cash Magnum Knocker type (6.07±0.19). The difference between the both treatments was statistically significant (p<0.05). Meat samples stunned by pneumatic type had higher quality than meat samples stunned by Cash Magnum Knocker type.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan IPB

NILAI pH DAGING SAPI

BRAHMAN CROSS

YANG

DIPINGSANKAN SEBELUM PENYEMBELIHAN

TRI HANDOKO LASRIANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Nilai pH Daging Sapi Brahman Cross yang Dipingsankan Sebelum Penyembelihan

Nama : Tri Handoko Lasrianto NIM : B04100119

Disetujui oleh

Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan FKH IPB

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 sampai Februari 2014 adalah Nilai pH Daging Sapi Brahman Cross yang Dipingsankan Sebelum Penyembelihan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi selaku pembimbing. Terima kasih pula penulis tujukan untuk Prof Drh Srihadi Agungpriyono, PhD PAVet. (K) selaku pembimbing akademik sekaligus orang tua bagi penulis selama menuntut ilmu di FKH. Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Drh Mirnawati B. Sudarwanto atas bimbingan dan bantuan untuk memperlancar proses penyusunan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, kakak dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Klasifikasi dan Gambaran Umum Sapi Brahman Cross 2

Pemingsanan Sapi Sebelum Penyembelihan 3

Penyembelihan Sapi 6

Kualitas Daging 6

Nilai pH Daging 7

METODE 8

Waktu dan Tempat 8

Bahan 8

Alat 8

Contoh Daging 9

Metode Pengukuran Nilai pH Daging 9

Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Kondisi Umum Pemotongan Sapi di RPH 9

Perubahan Nilai pH Postmortem 10

SIMPULAN DAN SARAN 12

Simpulan 12

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 13

(10)

DAFTAR TABEL

1 Hasil pengukuran pH daging 10

DAFTAR GAMBAR

1 Non-penetrating captive bolt stun gun tipe Cash Magnum Knocker

kaliber 0.25 produksi Accles dan Shelvoke, Ltd 5 2 Non-penetrating captive bolt stun gun tipe pneumatic produksi Jarvis

Products Corporation 6

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Laju peningkatan jumlah penduduk, yang diikuti dengan perbaikan taraf hidup dan perubahan selera konsumen telah mengubah pola konsumsi yang mengarah pada protein hewani asal ternak seperti daging. Daging sapi merupakan komoditas daging yang disukai konsumen Indonesia selain daging ayam, daging kambing/domba, dan daging dari hewan lainnya. Berdasarkan data Kementan RI (2014), rata-rata konsumsi daging penduduk Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0.261 kg/kapita/tahun. Tingginya kebutuhan masyarakat akan protein hewani khususnya daging sapi menuntut tersedianya daging yang aman dan berkualitas tinggi. Daging sapi adalah salah satu hasil hewan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena di dalam daging terkandung nilai protein yang tinggi yang tersusun oleh asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi yang tinggi seperti daging sapi merupakan masalah penting dalam upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat.

Menurut Prodjodiharjo (2002), daging yang dihasilkan dari rumah potong hewan (RPH) harus memenuhi persyaratan keamanan pangan (food safety), mutu (kualitas), dan khususnya di Indonesia harus pula memenuhi persyaratan kehalalan, yang dikenal dengan konsep aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor-faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe hewan, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), serta stres. Faktor-faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, dan nilai pH karkas (Soeparno 2009). Penanganan hewan sebelum pemotongan berkaitan erat dengan fisiologi tubuh yang mengakibatkan stres pada hewan. Stres merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Menurut Grandin (2001), perlakuan yang kasar dalam penanganan pemotongan hewan akan menyebabkan stres pada hewan dan menghasilkan kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk mempertahankan standar yang berkualitas karena kesejahteraan hewan akan mempengaruhi kualitas daging.

Untuk mengurangi stres saat pemotongan hewan diperlukan penanganan hewan yang baik sebelum dan saat pemotongan, menghindari tersiksanya hewan dari resiko perlakuan kasar dan mengistirahatkan hewan sebelum disembelih. Faktor stres sebelum pemotongan dapat ditekan dengan perlakuan pemingsanan. Pemingsanan dilaksanakan dengan alasan untuk keamanan, menghilangkan rasa sakit pada hewan, memudahkan pelaksanaan penyembelihan serta kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik.

(12)

2

digunakan untuk mengetahui kualitas daging sapi diantaranya uji nilai pH daging.

Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging, khususnya di RPH. Menurut Villarroel et al. (2001), pada tingkat komersial pengukuran pH akhir daging merupakan salah satu nilai referensi yang paling penting untuk mengukur kualitas daging. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukkan, cita rasa, daya ikat air, dan masa simpan (Lukman et al. 2009).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai pH daging sapi Brahman Cross yang dipingsankan dengan menggunakan non-penetrating captive bolt stun gun tipe Cash Magnum Knocker dan tipe pneumatic sebelum penyembelihan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran nilai pH daging sapi

Brahman Cross yang dipingsankan dengan menggunakan non-penetrating captive bolt stun gun tipe Cash Magnum Knocker dan tipe pneumatic sebelum penyembelihan.

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Gambaran Umum Sapi Brahman Cross

Bangsa sapi Brahman menurut (Blakely dan Bade 1998) mempunyai

Sapi Brahman warnanya bervariasi, dari abu-abu muda, merah sampai hitam. Kebanyakan berwarna abu muda dan abu tua. Sapi jantan warnanya lebih tua dari betina dan memiliki warna gelap di daerah leher, bahu dan paha bawah (Gunawan

(13)

3 Sapi Brahman pada awalnya merupakan bangsa sapi Brahman Amerika yang diimpor Australia pada tahun 1933. Mulai dikembangkan di stasiun

CSIRO’s Tropical Cattle Research Centre Rockhampton Australia, dengan materi dasar sapi Brahman, Hereford dan Shorthorn dengan proporsi darah berturut-turut 50%, 25%, dan 25%, sehingga secara fisik bentuk fenotip dan keistimewaan sapi

Brahman Cross cenderung lebih mirip sapi Brahman Amerika karena proporsi darahnya lebih dominan (Turner 1981).

Sapi Brahman Cross mulai diimpor dari Australia sekitar tahun 1973. Sapi

Brahman Cross merupakan silangan sapi Brahman dengan sapi Eropa (Bos taurus), awalnya merupakan bangsa sapi American Brahman yang diimpor ke Australia pada tahun 1933. Tujuan utama dari persilangan ini utamanya adalah menciptakan bangsa sapi potong tropis/subtropis yang mempunyai produktivitas tinggi, namun mempunyai daya tahan terhadap suhu tinggi, caplak, kutu, dan adaptif terhadap lingkungan tropis yang relatif kering (Gunawan et al. 2008).

Karakteristik sapi Brahman Cross berukuran sedang dengan bobot badan jantan dewasa antara 800 kg sampai 1 100 kg, sedang betina 500 kg sampai 700 kg. Bobot badan pedet yang baru lahir antara 30 kg sampai 35 kg, dan dapat tumbuh cepat dengan bobot badan sapih kompetitif dengan jenis sapi lainnya. Persentase karkas 48.6% sampai 54.2%, dan pertambahan bobot badan harian 0.83 kg sampai1.5 kg (Turner 1981). Menurut Suryadi (2006), pemotongan sapi

Brahman Cross paling baik dilakukan pada saat bobotnya sekitar 400 sampai 470 kg, karena akan menghasilkan kualitas daging dan hasil karkas yang relatif lebih baik dari aspek produksi.

Pemingsanan Sapi Sebelum Penyembelihan

Setiap tindakan yang dilakukan sesaat sebelum penyembelihan sangat mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Penanganan pemotongan hewan yang manusiawi menjadi hal yang sangat penting karena dapat mengurangi penderitaan hewan, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas dan nilai daging serta produk sampingan daging lainnya (Chambers dan Grandin 2001). Menurut Soeparno (2009), terdapat beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan hewan, antara lain: (1) hewan harus dinyatakan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan yang berwenang, (2) hewan harus tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan, (3) hewan yang sudah tidak produktif lagi, atau tidak dipergunakan sebagai bibit, serta (4) hewan yang disembelih dalam keadaan darurat.

(14)

4

Pemingsanan sebelum penyembelihan dilakukan dengan tujuan menghilangkan rasa sakit sesedikit mungkin pada hewan dan memudahkan pelaksanaan penyembelihan. Pemingsanan juga bertujuan untuk menghindarkan stres, menghindarkan kerusakan daging, dan menghasilkan kualitas karkas yang baik. Menurut EFSA (2006), pemingsanan sebelum hewan disembelih didefinisikan sebagai proses teknis yang dilakukan pada hewan yang bertujuan untuk menginduksi ketidaksadaran sehingga penyembelihan dapat dilakukan tanpa menimbulkan rasa takut, cemas, sakit, dan penderitaan pada hewan. Pemingsanan awalnya dilakukan sebagai metode imobilisasi hewan untuk memungkinkan manipulasi mudah dan aman dari hewan (Bergeaud-Blackler 2007), khususnya bagi petugas yang menangani hewan besar untuk mencapai pemotongan yang efisien pada pembuluh darah di leher. Dalam beberapa tahun terakhir, proses pemingsanan menjadi penting jika ditinjau dari perspektif kesejahteraan hewan sebagai sarana untuk meminimalkan rasa sakit dan penderitaan yang terkait dengan proses penyembelihan (Fletcher 1999), selain itu kesejahteraan hewan telah menjadi aspek yang penting bagi konsumen dalam memilih daging (Blokhuis et al. 2003)

Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan alat pemingsan knocker, senjata pemingsan (stun gun), pembiusan dan arus listrik. Alat yang sering digunakan di RPH di Indonesia adalah non-penetrating captive bolt stun gun.

Captive bolt stun gun adalah sebuah alat silinder atau yang menyerupai pistol yang berisi selongsong tanpa peluru. Alat ini digunakan untuk memberikan tekanan yang sangat pada kepala sapi dan membuat hewan langsung kehilangan kesadaran secara langsung. Meskipun masih banyak menjadi perdebatan dalam penggunaannya, penggunaan captive bolt lebih aman dibandingkan senapan, baik untuk sapi yang akan disembelih maupun untuk petugas penyembelih. Bila digunakan dengan benar, terutama pada saat menempatkan alat di kepala sapi,

captive bolt dapat menjadi metode yang tepat sebelum penyembelihan tanpa perlu perdarahan (Jubb 2013). Captive bolt menyebabkan trauma mendadak ke tengkorak, otak dan pembuluh darah sekitar kepala, dan sejumlah gejala fisik muncul selanjutnya tergantung ketepatan, kedalaman, kecepatan, dan kekuatan energi kinetik yang dihasilkan pistol saat menembus dahi dan otak ketika ditembakkan. Kematian dapat terjadi disebabkan kerusakan fisik batang otak (Appelt dan Sperry 2007).

(15)

5 Berbeda dengan Cash Magnum Knocker, non-penetrating captive bolt stun gun tipe pneumatic tidak membutuhkan selongsong untuk menghasilkan tekanan dan energi kinetik pada saat ditembakkan untuk memingsankan hewan. Alat ini menghasilkan udara bertekanan tinggi yang kemudian dilepaskan langsung sesaat setelah pemicunya ditarik. Alat ini diklaim paling baik dalam memingsankan hewan dan hasilnya lebih cepat (Jones 2000). Alat ini menghasilkan tekanan udara sebesar 11–12 bar dengan konsumsi udara 41 liter per putaran (Algers dan Atkinson 2007).

Menurut Atkinson dan Algers (2007), hewan dinyatakan pingsan dengan baik apabila tidak ada rotasi bola mata, pupil mengalami dilatasi, tidak ada refleks kornea, reaksi menendang minimal saat disentuh. Gregory dan Shaw (2000) menambahkan, proses pemingsanan telah dilakukan dengan benar jika hewan tidak merasakan sakit dan langsung pingsan.

(16)

6

Gambar 2 Non-penetrating captive bolt stun gun tipe pneumatic produksi Jarvis Products Corporation (Jarvis 2014)

Penyembelihan Sapi

Penyembelihan adalah salah satu bagian dari proses penanganan hewan di RPH. Pada proses tersebut sapi disembelih pada bagian leher dengan memotong

Arteri carotis, Vena jugularis, trachea, dan oesophagus (Soeparno 2009). Berdasarkan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) maka dikenali ada empat titik kendali kritis selama proses penyembelihan di RPH yaitu pelepasan kulit, pengeluaran jeroan, pemisahan tulang dan pendinginan (Bolton et al. 2001). Titik kendali kritis ini harus dapat dikendalikan untuk menekan pencemaran mikroba pada daging. Prinsip penyembelihan hewan adalah bahwa hewan harus disembelih secepat mungkin dan rasa sakit diusahakan seminimal mungkin untuk menghindari stres (tekanan) dan pengurangan cadangan glikogen. Selama proses penyembelihan di RPH disarankan para pekerja menggunakan dua pisau dengan cara bergantian salah satu pisau direndam dalam air panas >82 oC untuk menghindari pencemaran silang.

Hewan yang telah selesai diproses hingga berbentuk karkas selanjutnya dilakukan pemeriksaan postmortem, yaitu pemeriksaan hewan setelah disembelih untuk memastikan kelayakan karkas dan jeroan yang dihasilkan aman dan layak diedarkan untuk dikonsumsi masyarakat. Karkas dan jeroan yang telah diperiksa dan dinyatakan sehat/layak konsumsi akan diberi tanda/cap oleh petugas pengawas kesehatan di RPH. Pemeriksaan antemortem dan postmortem

merupakan prosedur wajib yang harus dilakukan dalam rangka menjamin keamanan daging dan kesehatan masyarakat.

Kualitas Daging

(17)

7 yang mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 3932:2008 disebutkan daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku (BSN 2008).

Beragamnya kondisi hewan, cara pemeliharaan dan umur potong dari hewan tersebut menyebabkan kualitas dari daging yang dihasilkan menjadi beragam. Kualitas daging didefinisikan sebagai karakteristik yang diinginkan (lebih disukai) konsumen yang meliputi ciri visual dan sensorik, serta rasa kepercayaan terhadap keamanan, kesehatan, dan kebersihan daging (Becker 2000 ).

Penilaian kualitas fisik daging antara lain adalah nilai pH, daya ikat air,

cooking loss, dan tekstur daging, sedangkan kualitas kimia daging dapat ditentukan berdasarkan perubahan komponen-komponen kimianya seperti kadar air, protein, lemak dan abu. Kualitas fisik dan kimia daging dipengaruhi oleh proses sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe hewan, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral) dan keadaan stres. Menurut Sanudo et al. (1998), diantara berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging, stres sebelum penyembelihan memiliki pengaruh yang paling besar terhadap kualitas daging.

Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi pH daging, metode penyimpanan, metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, jenis otot daging dan lokasi suatu otot daging (Soeparno 2009), sedangkan Kadim et al. (2008) kualitas daging dipengaruhi nilai pH akhir daging, penurunan glikogen dan akumulasi asam laktat pada saat sebelum dan sesudah pemotongan. Menurut Devine et al. (1993), pemingsanan mempengaruhi kualitas daging karena dipengaruhi oleh faktor stres yang dapat menurunkan cadangan glikogen otot, sehingga pH akhir daging tinggi.

Nilai pH Daging

Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging, khususnya di RPH. Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Proses biokimiawi yang sangat kompleks akan terjadi di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya pada hewan yang telah mati setelah disembelih sebagai konsekuensi tidak adanya aliran darah ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Nilai pH pada keadaan postmortem

akan mengalami penurunan yang ditentukan oleh akumulasi asam laktat akibat proses glikolisis anaerob. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH akhir otot

(18)

8

menghasilkan daging yang kurang berkualitas, bahkan mendapatkan daging yang berkualitas jelek.

Nilai pH akhir daging postmortem adalah sekitar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging. Umumnya glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5.4-5.5 (Lawrie 2006). Penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentuan oleh kondisi fisiologis otot pada saat pemingsanan dan dapat berhubungan terhadap produksi asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP (Henckel et al. 2000). Menurut Soeparno (2009), penurunan pH daging setelah penyembelihan juga berkaitan dengan suhu lingkungan (penyimpanan). Suhu yang tinggi dapat meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan suhu yang rendah dapat menghambat laju penurunan pH.

Menurut Aberle et al. (2001) laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6-5.7 dalam waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.7. Pola penurunan pH ini adalah normal.

2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5-6.8. Sifat daging yang dihasilkan adalah gelap, keras dan kering atau dark firm dry

(DFD).

3. Nilai pH turun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.4-5.6. Sifat daging yang dihasilkan adalah pucat, lembek, dan berair atau disebut pale soft exudatif (PSE).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai Februari 2014. Pengambilan contoh daging dilakukan di dua rumah potong hewan ruminansia (RPH-R) yang berbeda di wilayah Tangerang, Banten. Pengujian contoh daging dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Pengukuran nilai pH menggunakan bahan antara lain contoh daging has dalam (longisimus dorsi), aquades, larutan bufer dengan pH 4.01 dan 7.0 untuk kalibrasi, kertas tisu, plastik dan stiker (kode untuk sampel).

Alat

(19)

9 kedua perlakuan disimpan menggunakan kantong plastik di dalam boks pendingin (cooler box).

Metode Pengukuran Nilai pH Daging

Alat pH meter dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan larutan standar pada suhu 25 oC dalam larutan bufer dengan pH 4.01 lalu dengan larutan bufer dengan pH 7.0 sebelum dilakukan pengujian. Setiap selesai pencelupan atau pengukuran pada daging, elektroda selalu dibilas dengan akuades, kemudian dikeringkan dengan kertas tisu secara hati-hati. Pengukuran dilakukan dengan cara bagian daging dipotong atau disayat terlebih dahulu lalu elektroda dimasukkan ke dalam daging sampai nilai pH terbaca konstan. Nilai pengukuran diperoleh dari rata-rata hasil pengukuran yang dilakukan sebanyak tiga kali di tempat yang berbeda pada setiap sampel daging. Pengukuran dilakukan pada saat 1 jam, 24 jam, dan 36 jam setelah penyembelihan.

Analisis Data

Hasil pengukuran nilai pH pada setiap waktu pemeriksaan dianalisis dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam (Analysis of Variance/ANOVA) dan uji lanjut Duncan dengan selang kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Pemotongan Sapi di RPH

(20)

10

yang optimal, dan mempermudah proses pengeluaran jeroan. Sapi yang dinyatakan sehat kemudian digiring dalam jalur (gang way) menuju restraining box.

Sapi yang telah masuk ke dalam restraining box dipingsankan terlebih dahulu sebelum disembelih. Metode pemingsanan di RPH-R 1 menggunakan non-penetrating captive bolt stun gun tipe Cash Magnum Knocker sedangkan RPH-R 2 menggunakan tipe pneumatic.

Perubahan Nilai pH Postmortem

Proses biokimiawi yang sangat kompleks akan terjadi di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya pada hewan yang telah mati setelah disembelih sebagai konsekuensi tidak adanya aliran darah ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang dominan terjadi dalam jaringan otot setelah kematian (36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain dihasilkan energi (ATP) juga dihasilkan asam laktat. Asam laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH jaringan otot (Lukman et al. 2009). Nilai pH yang tercapai setelah glikogen otot habis dan enzim glikolitik tidak aktif pada pH rendah disebut pH akhir daging. Pengukuran nilai pH umumnya dilakukan sebanyak dua kali, yaitu 1 jam setelah pemotongan dan 24 atau 36 jam setelah pemotongan yang disebut pH akhir. Pengukuran nilai pH setelah 36 jam tidak lagi bermanfaat untuk menilai kualitas daging dan tidak dapat dipakai untuk menentukan kualitas daging dan dianggap sebagai daging busuk (apalagi tidak diketahui waktu setelah kematian) atau daging bangkai (Lukman 2010).

Gambaran nilai pH daging ditunjukkan dalam Tabel 1 dan Gambar 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai pH pada kedua perlakuan menurun setelah pemotongan. Penurunan nilai pH ini sejalan dengan proses glikolisis anaerob (postmortem) yang pada akhirnya menghasilkan asam laktat sebagai penentu nilai pH daging untuk kedua perlakuan. Hasil pengukuran nilai pH daging sapi Brahman Cross yang dipingsankan menggunakan Cash Magnum Knocker

memiliki nilai pH rata-rata 6.64±0.32 pada jam pertama postmortem dan mencapai nilai terendah pada jam ke-36 postmortem dengan rata-rata 6.07±0.19. Hasil pengukuran nilai pH daging sapi yang dipingsankan menggunakan tipe

pneumatic pada jam pertama memiliki nilai rata-rata 7.30±0.16 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-36 postmortem yaitu 5.76±0.23.

Tabel 1 Hasil pengukuran pH daging

Tipe alat Waktu (Jam)

1 24 36

Cash Magnum Knocker 6.64±0.32ax 6.23±0.19bx 6.07±0.19bx

Pneumatic 7.30±0.16ay 6.01±0.20bx 5.76±0.23cy

(21)

11 Nilai pH daging postmortem dengan pemingsanan menggunakan tipe

pneumatic pada jam pertama (7.30±0.15) lebih tinggi daripada nilai pH daging yang dipingsankan dengan menggunakan tipe Cash Magnum Knocker (6.63±0.31). Perbedaan ini berbeda nyata (p<0.05). Nilai pH daging awal sesaat setelah penyembelihan menurut Lukman et al. (2009) adalah 7.2. Nilai pH yang lebih rendah dari normal pada jam-jam pertama setelah pemotongan pada daging yang berasal dari sapi yang dipingsankan dengan menggunakan Cash Magnum Knocker

dapat disebabkan oleh stres yang dialami sapi pada saat penampungan maupun sesaat sebelum dipingsankan sehingga kadar glukosa dalam darah dimetabolisme menjadi asam laktat. Algers dan Atkinson (2007) menunjukkan bahwa pemingsanan dengan menggunakan tipe pneumatic jauh lebih efektif dibandingkan dengan Cash Magnum Knocker. Studi yang dilakukan Ferguson dan Warner (2008) menunjukkan bahwa stres akut (15 menit) sebelum sapi disembelih menghasilkan daging dengan pH lebih rendah pada jam pertama postmortem.

Nilai pH rata-rata daging pada jam ke-24 postmortem sama-sama menunjukkan penurunan pada kedua perlakuan. Nilai pH daging yang berasal dari sapi yang dipingsankan dengan menggunakan tipe pneumatic (6.01±0.20) lebih rendah dibandingkan daging yang berasal dari sapi yang dipingsankan dengan menggunakan tipe Cash Magnum Knocker (6.23±0.19). Nilai keduanya tidak berbeda nyata (p>0.05). Nilai pH rata-rata kedua daging lebih tinggi dari pH daging normal pada jam ke-24 postmortem. Menurut Neath et al. (2007), nilai pH daging normal pada jam ke-24 postmortem adalah 5.4.

Pemeriksaan pH pada jam ke-36 (pH akhir) menunjukkan nilai rata-rata kedua sampel daging sama-sama mengalami penurunan. Nilai pH rata-rata daging dengan pemingsanan menggunakan tipe pneumatic (5.76±0.23), lebih rendah dibandingkan nilai pH rata-rata daging dengan pemingsanan menggunakan Cash Magnum Knocker (6.07±0.19). Nilai keduanya berbeda nyata (p<0.05). Nilai pH rata-rata kedua daging lebih tinggi dari pH akhir daging normal yaitu 5.4 menurut Neath et al. (2007), namun keduanya tidak dapat dikategorikan sebagai daging DFD. Thompson (2002) menyatakan bahwa daging sapi dikategorikan sebagai daging DFD menurut Meat Standard Australia (MSA) jika pH akhir daging lebih besar dari 5.7, sedangkan Lukman (2010) menyatakan bahwa daging dikategorikan DFD apabila memiliki pH akhir 6.2.

(22)

12

Gambar 3 Grafik perubahan nilai pH postmortem

Nilai pH akhir daging yang masih tinggi juga dapat disebabkan masih tingginya stres yang terjadi pada sapi sebelum disembelih. Menurut Nakyinsige et al. (2013) ketidaktepatan posisi gun pada saat proses pemingsanan, kesalahan pemilihan cartridge, dan kurangnya tekanan udara pada tipe pneumatic juga dapat menyebabkan stres pada hewan sesaat sebelum dipingsankan. Ferguson dan Warner (2008) menyatakan bahwa ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa stres sebelum penyembelihan memiliki efek merugikan yang signifikan terhadap sifat kualitas daging baik daging sapi dan domba yang mempengaruhi nilai pH akhir. Daging DFD dihasilkan akibat ternak kelelahan setelah mengalami transportasi yang jauh, sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik, kimia maupun sensori (Wulf et al. 2002).

Menurut Nakyinsige et al. (2013), pada dasarnya semua metode penyembelihan dapat menyebabkan stres pada hewan, oleh karena itu penting bahwa semua operator yang terlibat dengan pemingsanan dan penyembelihan adalah orang yang berkompeten, terlatih dan memiliki sikap positif terhadap kesejahteraan hewan. Grandin (2001) menyatakan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk meminimalisir stres sebelum penyembelihan adalah untuk memastikan bahwa tempat pemotongan hewan memiliki fasilitas penanganan hewan yang memadai serta setiap petugas penyembelih telah memahami prinsip-prinsip penanganan hewan yang baik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Nilai pH akhir daging dengan pemingsanan menggunakan tipe pneumatic

lebih rendah (5.76±0.23) dibandingkan dengan menggunakan tipe Cash Magnum

(23)

13

Knocker (6.07±0.19). Kualitas daging dengan pemingsanan menggunakan tipe

pneumatic lebih baik dibandingkan dengan kualitas daging dengan pemingsanan menggunakan tipe Cash Magnum Knocker.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kualitas daging sapi (organoleptik, pH, drip loss, dan cooking loss) yang dipingsankan dan tidak dipingsankan sebelum penyembelihan.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle ED, Forrest JC, Hendrick HB, Judge MD, Merkel RA. 2001. Principles of Meat Science. San Fransisco (US): Freeman and Co.

Accles, Shelvoke. 2014. Cash Magnum Knocker Product Data Sheet [Internet]. [diunduh 2014 Okt 7]. Tersedia pada: http://acclesandshelvoke.co.uk/

cash_magnum_knocker.htm.

Algers B, Atkinson S. 2007. Stun Quality in Relation to Cattle Size, Gun Type and Brain Haemorrhages. Di dalam: Aland A, editor. Animal health, animal welfare and biosecurity. The 13th International Congress in Animal Hygiene; 2007 Jun 17-21; Tartu, Estonia. Tartu (EE): Estonian Univ of Life Sciences. hlm 1028-1031.

Appelt M, Sperry J. 2007 Stunning and killing cattle humanely and reliably in emergency situations: a comparison between a stunning-only and a stunning and pithing protocol. The Canadian Vet J 48:529-534.

Atkinson S, Algers B. 2007. The development of a stun quality audit for cattle and pigs at slaughter. Di dalam: Aland A, editor. Animal health, animal welfare and biosecurity. The 13th International Congress in Animal Hygiene; 2007 Jun 17-21; Tartu, Estonia. Tartu (EE): Estonian Univ of Life Sciences. hlm 1023-1027.

Becker T. 2000. Consumer perception of fresh meat quality: a framework for analysis. British Food J 3(102):158-176.

Bergeaud-Blackler F. 2007. New challenges for Islamic ritual slaughter: A European perspective. Ethnic and Migration Studies J 33(6):965-980. Blakely J, Bade DH. 1998. Ilmu Peternakan. Srigandono B, penerjemah.

Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.

Blokhuis HJ, Jones RB, Geers R, Miele M, Veissier I. 2003. Measuring and monitoring animal welfare: transparency in the food product quality chain. J Anim Welfare 12(4):445-455.

Bolton DJ, Doherty AM, Sherudda JJ. 2001. Beef HACCP: Intervention and non-intervention systems. Int J Food Microbiol 66:119-129.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Mutu Karkas dan Daging Sapi [Internet]. [diunduh 2014 Sep 12]. Tersedia pada: http://sisni.bsn.go.id/

index.php?/sni_main/sni/detail_sni/7783.

(24)

14

Srisovan T, editor. Denpasar (ID): Yudhistira. Terjemahan dari: Guidelines for Humane Handling, Transport, and Slaughter of Livestock.

Devine CE, Graafhuis AE, Muir PD, Chrystall BB. 1993. The effect of growth rate ultimate pH on meat quality of lambs. Meat Sci 35:63-77.

[EFSA] European Food Safety Authority. 2006. The welfare aspects of the main systems of stunning and killing applied to commercially farmed deer, goats, rabbits, ostriches, ducks and geese and quail. EFSA J 326:1-18.

Ferguson DM, Warner RD. 2008. Have we underestimated the impact of pre-slaughter stress on meat quality in ruminants?. Meat Sci 80:12-19.

Fletcher DL. 1999. Recent advances in poultry slaughter technology. Poultry Science J 78:277-281.

Grandin T. 2001. Antemortem Handling and Welfare. Hui YH, editor. New York (US): Marcel Dekker.

Gunawan, Abubakar, Tri Pambudi G, Karim K, Nista D, Purwadi A, Putro PP. 2008. Petunjuk Pemeliharaan Sapi Brahman Cross. BPTU Sapi Dwiguna dan Ayam Sembawa. Palembang (ID): Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Gregory N, Shaw FG. 2000. Penetrating captive bolt stunning and exsanguinations of cattle in abattoirs. J Appl Anim Welf Sci 3:215-230. Henckel P, Karlsson A, Oksbjerg N, Petersen JS. 2000. Control of postmortem pH

decrease in pig muscle: experimental design and testing of animal models.

Meat Sci. 55:131-138.

Jarvis. 2014. Non-Penetrating Pneumatic Stunner Model USSS-2 and USSS-2A [Internet]. [diunduh 2014 Okt 7]. Tersedia pada:

http://www.jarvisproducts.com.

Jones A, penemu; Jarvis Products Corporation. 2000 Okt 24. Pneumatic animal stunner. Amerika Serikat US 6135871.

Jubb T. 2013. How to Use a Penetrating Captive Bolt Gun [Internet]. [diunduh 2014 Sep 13]. Tersedia pada: http://www.livestockhealthsystems.com/files

/Jubb_How_to_use_a_captive_bolt_gun_21_1_13.pdf.

Kadim IT, Mahgoub O, Purchas RW. 2008. A review of the growth, and of the carcass and meat quality characteristics of the one-humped camel (Camelus dromedaries). Meat Sci 80:555-569.

[Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2014. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga per Kapita di Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Sep 12]. Tersedia pada: http://aplikasi2.pertanian.go.id/konsumsi/tampil_

susenas2.php.

Kenny FJ, Tarrant PV. 1987. The reaction of young bulls to short-haul road transport. Appl Anim Behav Sci 17:209-227.

Lawrie RA. 2006. Meat Science. Ed ke-7. Cambridge (GB): Woodhead.

(25)

15 Nakyinsige K, Che Man YB, Aghwan ZA, Zulkifli I, Goh YM, Abu Bakar F,

Al-Kahtani HA, Sazili AQ. 2013. Stunning and animal welfare from Islamic and scientific perspectives. Meat Sci 95:352-361.

Neath KE, Del Barrio AN, Lapitan RM, Herrera JRV, Cruz LC, Fujihara T, Muroya S, Chikuni K, Hirabayashi M, Kanai Y. 2007. Difference in tenderness and pH decline between water buffalo meat and beef during postmortem aging. Meat Sci 75:499-505.

Prodjodiharjo S. 2002. Pengelolaan Daging. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Sanudo C, Sanchez A, Alfonso M. 1998. Small ruminant production systems and factors affecting lamb meat quality. Meat Sci 49(1):29-64.

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Ed ke-5. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.

Suryadi U. 2006. Pengaruh bobot potong terhadap kualitas dan hasil karkas sapi

Brahman Cross. J Indon Trop Anim Agric 31(1):21-27.

Thompson J. 2002. Managing meat tenderness. Meat Sci 62(3):295-308. Turner HN. 1981. Animal genetic resources. Int Goat and Sheep Res. 1(4):243. Wulf DM, Emnett RS, Leheska JM, Moeller SJ. 2002. Relationships among

glycolytic potential, dark cutting (dark, firm, and dry) beef, and cooked beef palatability. J Animal Sci 80:1895-1903.

(26)

16

RIWAYAT HIDUP

Tri Handoko Lasrianto dilahirkan di Fak-Fak, Papua pada tanggal 1 Maret 1992 dari pasangan La Simuna dan Sri Rahayuningsih. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar di SDN 1 Purworejo pada tahun 1998 kemudian lulus dari SDN 1 Purworejo pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Purworejo dan lulus pada tahun 2007. Jenjang pendidikan berikutnya penulis tempuh di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Purworejo dan lulus pada tahun 2010. Selepas SMA penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun yang sama.

Gambar

Gambar 2  Non-penetrating captive bolt stun gun tipe pneumatic
Gambar 3  Grafik perubahan nilai pH postmortem

Referensi

Dokumen terkait

Rekapitulasi hasil penelitian penggunaan pelepah daun kelapa sawit yang diamoniasi terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi pakan dan konversi pakan sapi Brahman cross..

Hasil penelitian diperoleh bahwa hasil analisa pengujian diperoleh persamaan regresi, korelasi serta determinasi didapatkan hasil kelompok sapi Brahman Cross, Sapi Aceh dan Sapi

&#34; Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross ( Studi Kasus di Wilayah Transmigrasi Sebamban, Kalimantan Selatan )&#34;.. KATA

Penelitian ini bertujuan untuk rnengetahui sifat fisik dan kirnia daging tiga bangsa sapi asal Australia (Brahman Cross, Angus dan Murray Grey) yang digemukkan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelaj ari penampilan bobot badan, pertambahan bobot badan dan karkas sapi Brahman Cross Heifer dengan pemberian konsentrat yang berbeda,

Korelasi antara ukuran-ukuran tubuh dengan bobot badan pada sapi Simbal dan sapi Brahman Cross baik jantan maupun betina yang tertinggi adalah lingkar dada

Sapi Brahman Cross mempunyai tubuh yang besar , sehingga kebutuhan pakannya juga banyak, sehingga sebelum didatangkan sapi bibit perlu disediakan tanaman pakan ternak

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Inseminasi Buatan yang dilakukan pada sapi Brahman Cross dengan interval waktu 0-4 jam memiliki nilai