• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.11 Pengaruh Perilaku Makan Terhadap Status Gizi

Pengaruh perilaku makan terhadap status gizi dapat dilihat pada tabel 4.11. berikut ini:

Tabel 4.11. Pengaruh Perilaku Makan terhadap Status Gizi

No Variabel Status Gizi Eks (B)  Sig 

Di bawah Normal 8,818 0,000

1 Perilaku Makan

Di atas Normal 1,362 0,368

a. The reference category is :  Normal 

Ada pengaruh perilaku makan terhadap status gizi (p= 0,000). Siswi yang memiliki perilaku makan yang tidak baik 8,818 kali memiliki resiko untuk mengalami status gizi dibawah normal dan 1,362 kali untuk mengalami status gizi diatas normal dengan nilai signifikan 0,368.

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Citra Tubuh Terhadap Perilaku Makan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 93,0 % siswi memiliki citra tubuh positif tetapi ada 39,9 % memiliki perilaku makan yang tidak baik.

Citra tubuh atau gambaran remaja tentang tubuhnya memengaruhi perilaku makannya sehari-hari. Remaja yang memiliki citra tubuh positif akan memiliki harga diri yang tinggi, merasa mampu dan berfikir dengan penuh percaya diri. Dengan demikian remaja tersebut memiliki kemampuan untuk memilih perilaku yang tepat untuk dirinya. Sebaliknya, remaja yang memiliki citra tubuh yang negatif akan memilih harga diri yang rendah, merasa tidak seimbang, menganggap dirinya tidak mampu melaksanakan tugas, sehingga remaja tersebut tidak memiliki kemampuan untuk memilih perilaku yang tepat bagi dirinya. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya siswi sering memikirkan untuk mengubah bagian tertentu tubuh mereka (38,8%), banyak yang sering bertanya kepada teman atupun keluarga tentang penampilan mereka (24,8%) dan banyak juga yang selalu khawatir akan berat badan mereka (30,6%)

Remaja yang memiliki citra tubuh yang positif akan merasa bahwa tubuh dan penampilannya menarik. Perasaan ini muncul karena remaja memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Walaupun pada kenyataannya tubuh dan penampilannya kurang menarik, tetapi remaja tersebut tidak diliputi perasaan depresi, gagal atau kebencian

pada diri sendiri karena tubuh dan penampilannya yang menarik bukan merupakan satu-satunya syarat agar mereka memperoleh pengakuan dari lingkungan dan teman sebayanya sehingga tidak menutup kemungkinan mereka akan memiliki perilaku makan yang tidak baik.

Perilaku makan yang tidak baik ini dapat terjadi karena banyak siswi yang tidak memiliki keteraturan dalam hal makan yaitu 9,3 % siswi tidak sarapan, 5,6 % siswi tidak makan malam (5,8%). Beberapa siswi melakukan aktifitas lain ketika makan (6,6%). Tidak jarang siswi makan bukan untuk tujuan memenuhi rasa lapar (4,7%),bukan karena lapar tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosialisasi masing-masing sebesar 8,5 % dan 4,3%. Begitu juga halnya untuk jenis makanan yang dimakan ada yang tidak seimbang yaitu 9,3% dan yang paling mengkhawatirkan adalah ada 9,7 % siswi yang jumlah kalori dalam makanan tidak cukup.

Jadi meskipun remaja memiliki citra tubuh positif belum tentu memiliki perilaku makan yang baik.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswi yang memiliki citra tubuh positif ada 42,5 % yang memiliki perilaku makan yang buruk. Hal ini dapat disebabkan karena remaja cenderung ingin mengubah tubuh mereka untuk menjadi lebih kurus atau lebih gemuk sehingga menyebabkan remaja enggan untuk sarapan pagi ataupun makan malam, mengonsumsi makanan kaya lemak namun miskin serat, kebiasaan makan sanbil melakukan aktifitas ataupun menonton televisi sehingga asupan makanan menjadi tidak terkontrol.

Jadi meskipun remaja memiliki citra tubuh yang positif, namun tidak menutup kemungkinan remaja memiliki perilaku makan yang tidak baik sehingga pada ahirnya memiliki status gizi yang tidak normal.

Hasil penelitian serupa dengan yang dilakukan Stefanie, dkk (2007) yang menyatakan bahwa masalah gizi pada remaja lebih banyak disebabkan oleh perilaku makan masyarakat perkotaan yaitu perilaku makan yang banyak mengonsumsi makanan cepat saji, sedikit mengonsumsi sayur dan buah-buahan.

Demikian juga yang di kemukakan oleh Pearson dkk, (2008) menyatakan bahwa melakukan aktifitas lain ketika makan berupa berdiskusi maupun menonton televisi lebih dari 2 jam perhari dapat menyebabkan remaja banyak mengonsumsi makanan ringan, sedikit mengonsumsi sayur dan buah. Mereka juga mengasosiasikan bahwa makanan yang terdapat pada iklan makanan ringan adalah makanan yang mampu mencukupi kebutuhan gizi mereka.

Pada uji chi square menunjukkan terdapat hubungan antara citra tubuh dengan perilaku makan (P= 0,001). Citra tubuh atau gambaran remaja tentang tubuhnya memengaruhi perilaku makannya sehari-hari. Remaja yang memiliki citra tubuh positif akan memiliki harga diri yang tinggi, merasa mampu dan berfikir dengan penuh percaya diri. Dengan demikian remaja tersebut memiliki kemampuan untuk memilih perilaku yang tepat untuk dirinya. Sebaliknya, remaja yang memiliki citra tubuh yang negatif akan memilih harga diri yang rendah, merasa tidak seimbang, menganggap dirinya tidak mampu melaksanakan tugas, sehingga remaja tersebut tidak memiliki kemampuan untuk memilih perilaku yang tepat bagi dirinya.

Contohnya, remaja yang memiliki citra tubuh yang positif akan merasa bahwa tubuh dan penampilannya menarik. Perasaan yang menyenangkan ini muncul karena remaja memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Walaupun pada kenyataannya tubuh dan penampilannya kurang menarik, tetapi individu tersebut tidak diliputi perasaan depresi, gagal atau kebencian pada diri sendiri karena tubuh dan penampilannya yang menarik bukan merupakan satu-satunya syarat agar mereka memperoleh pengakuan dari lingkungan dan teman sebayanya.

5.2. Pengaruh Citra Tubuh Terhadap Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Eks (B) untuk status gizi di bawah normal sebesar 1,165E-9 sedangkan nilai sig adalah 0,000. Hal ini berarti ada pengaruh antara citra tubuh dengan status gizi, siswi yang memiliki citra tubuh negatif 1,165E-9 kali memiliki resiko untuk mengalami status gizi di bawah normal. Sedangkan nilai Eks (B) untuk status gizi di atas normal adalah 1,093 dan nilai sig sebesar 0,866, yang berarti siswi yang memiliki citra tubuh negatif memiliki resiko 1,093 kali untuk mengalami status gizi di atas normal.

Citra tubuh adalah persepsi atau pandangan individu terhadap tubuhnya sendiri. Persepsi ini dapat terbentuk karena ideologi yang dimiliki remaja, feminity

harga diri, perbandingan dengan orang lain ataupun karena tuntutan lingkungan sosial. Citra tubuh tersebut dapat positif namun dapat pula negatif. Citra tubuh yang negatif akan mengakibatkan remaja tidak puas akan bentuk tubuhnya, merasa terlalu gemuk atau terlalu kurus dari ukuran yang sebenarnya dan cenderung ingin

mengubah bentuk tubuhnya melalui pengaturan asupan makanan. Citra tubuh negatif yang dipertahankan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan masalah gizi. Dampak jangka pendeknya adalah remaja akan kekurangan energi sedangkan dampak jangka panjang dapat menyebabkan remaja mengalami kekurangan massa otot, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, dan juga berdampak pada system reproduksi remaja.

Penelitian yang dilakukan Wang, dkk (2008), menemukan melalui perilaku makan ada pengaruh antara citra tubuh dengan status gizi remaja. Remaja merasa bahwa kurus dapat menyebabkan remaja tampil lebih feminin dan percaya bahwa kelebihan berat badan dapat menyebabkan tersisih dari teman sebaya, cenderung membatasi asupan makanannya dan berahir pada masalah gizi remaja tersebut. Remaja cenderung tidak terlalu memikirkan akan pentingnya kesehatan, namun lebih memikirkan bagaimana cara memperoleh bentuk tubuh yang mereka inginkan.

Remaja yang memiliki citra tubuh negatif dapat mengalami masalah gizi baik itu status gizi di bawah normal ataupun di atas normal. Hal ini dapat terjadi karena remaja tidak selektif dalam memilih jenis makanan yang dikonsumsi. Remaja tidak terlalu memperhitungkan jumlah kalori dalam makanan.

5.3. Pengaruh Perilaku Makan Terhadap Status Gizi

Dalam penelitian ini diperoleh hasil ada 155 siswi (60,1% ) yang memiliki perilaku makan yang baik namun masih banyak yang memiliki status gizi di bawah normal (26,4%) dan 23,3 % memiliki status gizi di atas normal.

Penelitian yang dilakukan di Medan, menemukan banyak remaja memilih pusat-pusat perbelanjaan sebagai tempat makan bersama teman sebaya, mereka makan karena alasan kebersamaan kelompok. Sering sekali mereka juga tidak selektif dalam memilih jenis makanan yang baik bagi mereka dan tidak memperhitungkan kandungan gizi makanan yang mereka konsumsi. Jenis makanan yang sering mereka konsumsi merupakan makanan cepat saji yaitu western fast food seperti Fried chicken, pizza, hamburger, sandwich, dunkin donut, ice cream, dan soft drink. Sedangkan jenis fast food lokal seperti bakso, mi ayam, mi goreng, soto, sate, martabak dan jagung manis.

Jenis makanan yang dikonsumsi tersebut menyebabkan remaja mengalami kekurangan ataupun kelebihan energi di dalam tubuh. Jenis makanan tersebut juga dapat menyebabkan remaja mengalami kekurangan zat gizi mikro yang tergambar pada rendahnya hemoglobin darah ataupun anemia pada remaja.

Remaja potensial mengalami status gizi kurang maupun obesitas yang disebabkan kebiasaan mengonsumsi makanan olahan/ cepat saji dalam jumlah yang berlebihan. Junk food sangat sedikit mengandung kalsium, besi, asam folat, vitamin A dan C sementara kandungan lemak jenuh,kolesterol dan natrium tinggi.

Remaja yang melakukan diet dengan mengurangi jumlah konsumsi makanan dari yang seharusnya dan tidak bervariasi akan berdampak pada status gizi dan kesehatan remaja, seperti pertumbuhan remaja terganggu, gangguan pencernaan dan reproduksi. Meski asupan kalori dan protein sudah tercukupi, namun elemen lain seperti besi, kalsium, dan beberapa vitamin ternyata masih kurang. Sebanyak 44%

wanita di negara berkembang (10 negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia) mengalami anemia kekurangan besi, sementara wanita hamil lebih besar lagi, yaitu 55%, hal ini sebabkan perilaku makan remaja yang tidak baik.

Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah gizi pada remaja ataupun anak sekolah tersebut adalah melalui program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS), sedangkan upaya yang dilakukan oleh pihak sekolah sendiri dapat berupa program pemberian makan siang disekolah dan dengan upaya promotif yaitu pendidikan kesehatan termasuk juga tentang gizi pada remaja yang dilakukan oleh badan sekolah yaitu bidang Bimbingan dan Penyuluhan (BP) maupun oleh guru bidang studi lain seperti guru Olah Raga ataupun guru Biologi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nilai Eks (B) untuk status gizi dibawah normal sebesar 8,818 sedangkan nilai sig adalah 0,000. Hal ini berarti ada pengaruh antara perilaku makan dengan status gizi, siswi yang memiliki perilaku makan yang tidak baik 8,818 kali memiliki resiko untuk mengalami status gizi di bawah normal. Sedangkan nilai Eks (B) untuk status gizi di atas normal adalah 1,362 dan nilai sig sebesar 0,368 yang berarti siswi yang memiliki perilaku makan yang tidak baik memiliki resiko 1,362 kali untuk mengalami status gizi di atas normal.

Perilaku makan adalah faktor langsung yang memengaruhi asupan makanan. Perilaku makan dalam hal ini meliputi frekuensi makan, jenis makanan yang dikonsumsi, kebiasaan pada saat makan, dan juga rata-rata banyaknya makanan yang dikonsumsi setiap hari. Perilaku makan yang baik maupun tidak baik akan memengaruhi status gizi individu.

Apabila remaja memiliki perilaku makan yang baik, yang meliputi tidak melewati satu waktu makan, tidak melakukan aktifitas lain ketika makan, tujuan makan adalah untuk ,memenuhi rasa lapar, mengonsumsi makanan yang seimbang sesuai dengan umur dan aktifitas, maka remaja akan memiliki status gizi yang normal.

Schroeder (2001), menyatakan bahwa salah satu faktor langsung yang memengaruhi status gizi individu adalah cukup atau tidaknya asupan makanan. Hal ini juga sesuai dengan konsep masalah gizi yang dikemukakan UNICEF (2005) bahwa penyebab langsung terjadinya masalah gizi adalah asupan makanan dan penyakit infeksi. (Gibney, 2009).

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait