• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perjanjian Internasional Terhadap Kedaulatan

BAB IV PENGARUH PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP

C. Pengaruh Perjanjian Internasional Terhadap Kedaulatan

Pada prinsipnya hukum internasional memberikan kekuasaan, jurisdiksi atau hak-hak berdaulat kepada suatu negara untuk mengatur setiap kegiatan di wilayah negaranya. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan ekonomi atau investasi di wilayahnya tersebut. Kewenangan negara tuan rumah untuk mengatur segala kegiatan penanaman modal yang ada di negaranya, baik itu syarat masuk maupun syarat-syarat operasionalnya.

Sehingga lingkup pengaturan penanaman modal negara penerima modal asing meliputi segala aspek penanaman modal, mengingat bahwa kegiatan penanaman modal sangat berkaitan erat dengan kedaulatan suatu negara, yaitu terkait dengan kekayaan alam dan non alam dalam wilayah negara penerima modal asing. Pakar hukum ekonomi internasional Schrijver mengemukakan bahwa, dalam hal kedaulatan negara terhadap kekayaan alamnya, suatu negara memiliki hak-hak sebagai berikut :181

1. Memiliki, menggunakan dan kemerdekaan untuk memanfaatkan kekayaan alamnya.

2. Kebebasan untuk menentukan dan mengawasi potensi, ekslorasi, pembangunan, eksploitasi, pemanfaatan dan pemasaran kekayaan alamnya.

180

Ibid., hlm. 102. 181

3. Pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan alam negara sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional dan lingkungannya.

4. Pengaturan penanaman modal, termasuk pengaturan terhadap masuknya penanaman modal asing dan kegiatan para investor, termasuk aliran keluar penanaman modalnya. dan

5. Hak untuk menasionalisasi atau ekspropriasi harta milik, baik milik warga negaranya atau warga negara asing (dengan memberikan ganti rugi).

Hak-hak tersebut di atas pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan isi Pasal 2 ayat (1) Charter of the Economic Rights and Duties of States (Piagam CERDS)182 yang berbunyi sebagai berikut :

“ every state has and shal freely exercise full permanent sovereignty, including possession, use and disposal over all its wealth, natural resources and economic activities.” 183

Kata full (penuh) dan permanent (tetap atau permanen) dalam Piagam CERDS di atas memiliki arti berbeda. Kata full (penuh) menunjukkan arti bahwa kedaulatan negara terhadap kekayaan alamnya tidak dapat dibatasi oleh adanya fakta bahwa kekayaan tersebut dibutuhkan oleh negara lain. Kata permanent (tetap atau permanen) berarti bahwa suatu negara dapat memanfaatkan kedaulatannya setiap saat.

182

Adalah piagam yang berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomi Negara-negara yang di usulkan oleh presiden meksiko Luis Echeverria Alvarez pada tahun 1972. Latar belakang Alvarez mengusulkan pembentukan piagam ini adalah karena semakin terpuruknya

perekonomian Negara sedang berkembang pada tahun 1960-an. Keadaan perekonomian yang buruk ini bahkan tidak berubah meskipun berbagai upaya telah dilakukan khusunya upaya di bawah forum PBB. Sehingga beliau berpendapat bahwa aktivitas ekonomi internasional harus diatur oleh suatu dasar hukum yang kuat (firm legal footing). Sehingga lahirlah piagam ini.

183

Berdasarkan pendapat sarjana tersebut dan apa yang disebutkan dalam Pasal Piagam CERDS diatas, maka jelas, pengaturan penanaman modal menjadi hak penuh dari negara penerima modal, dimana pengaturan tersebut meliputi segala lingkup dan aspeknya, mulai dari masuknya penanam modal tersebut kedalam suatu negara, bagaimana dia melakukan kegiatan penanaman modal di dalam negeri dan bagaimana keluarnya modal tersebut dari negara penerima modal, seluruh pengaturannya menjadi hak dari negara penerima modal asing.

Hak pengaturan penuh tersebut tentunya dengan tetap memperhatikan asas-asas hukum internasional dan juga prinsip-prinsip dalam kesepakatan- kesepakatan internasional yang telah disepakati oleh negara penerima modal asing dalam setiap perjanjian internasional yang dibuatnya, karena kedaulatan negara penerima modal asing sangat erat hubungannya dengan perjanjian-perjanjian internasional.

Perjanjian internasional dewasa ini dipandang sebagai sumber hukum paling penting yang digunakan masyarakat internasional untuk memformulasikan aturan-aturan hukum ekonomi internasional. Ia juga digunakan untuk menetapkan hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan internasional, khususnya hubungan di bidang ekonomi yang melintasi batas-batas negara. Perjanjian internasional digunakan pula untuk membentuk lembaga-lembaga ekonomi internasional baik yang bersifat global atau multilateral. (misalnya GATT/WTO, atau yang regional, misalnya Uni Eropa, NAFTA dan AFTA). Pada prinsipnya, perjanjian internasional hanya mengikat para pihak (negara-negara) yang

mengadakannya serta menundukkan dirinya kepadanya. Ia tidak mengikat negara ketiga kecuali dengan kesepakatannya.184

Manakala suatu negara menjadi terikat, maka prinsip hukum umum yang berlaku adalah bahwa negara tersebut harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik (pacta sunt servanda). Sehingga keterikatan suatu negara terhadap perjanjian internasional merupakan konsekuensi hukum dari keinginan dan tindakan berdaulat negara untuk membuat perjanjian. Mahkamah Internasional Permanen (PCIJ) menyatakan bahwa “…the right of entering into international engagements is an attribute of state sovereignty”. Kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam perjanjian merupakan komitmen negara tersebut untuk melaksanakannya dan pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut akan melahirkan pertanggung jawaban internasional kepada negara-negara yang telah sepakat atau menjadi anggota dari suatu perjanjian internasional.185

Keterkaitan suatu negara bukan berarti bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan) negara tersebut menjadi hilang atau tergerogoti. Setiap perjanjian yang membatasi jurisdiksi atau kewenangan suatu negara demi untuk tujuan bersama dengan subyek hukum internasional lainnya berarti membatasi pelaksanaan kedaulatannya. Namun di sini negara tersebut tetap berdaulat. Hanya untuk tindakan-tindakan tertentunya saja yang terkait dengan kesepakatan yang diberikan, negara tersebut terikat untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kesepakatannya. Seorang pekerja yang mengadakan kontrak kerja dengan

184

Ibid, hlm. 234. 185

majikannya tidak berrarti bahwa ia telah “kehilangan” kemerdekaannya sebagai manusia.

Pada prinsipnya dalam suatu perjanjian internasional dan keinginan suatu negara untuk turut serta pada suatu perjanjian internasional terdapat di dalamnya suatu kepentingan negara yang bersangkutan. Kepentingan itu biasanya berupa adanya sesuatu yang ia harapkan atau akan dapatkan. Namun dibalik itu iapun harus “menyerahkan” sesuatu untuk mendapatkannya. Dalam hal ini sesuatu yang hendak didapatkannya itu dapat berupa peluang atau keuntungan ekonomi (yang dituangkan dalam perjanjian atau kesepakatan ekonomi), akses pasar yang lebih terbuka, perlakuan khusus dari negara maju,peluang alih teknologi dan lain-lain. Sesuatu yang harus “diserahkannya” itu dalam hal ini antara lain adalah “kekuasaan” (atau sebagian kedaulatan) negara tersebut terhadap obyek yang diatur dalam kesepakatan.186

Keterkaitan suatu negara terhadap suatu perjanjian internasional mensyaratkan negara tersebut untuk menyesuaikan peraturan hukum nasionalnya. Misalnya, Pasal XXVI (4) perjanjian WTO, yang menyatakan bahwa : “each member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed agreements.”

Kewajiban serupa antara lain tampak juga dalam nasihat hukum PCIJ yang menyatakan : “…a state which has contracted valid international obligations is baound to make in its legislation such modifications as may be necessary to ensure the fulfillment of the obligations undertaken.”

186

Cf., Jhon H. Jackson, Testimony Prepared for the U.S. Senate Committee on Foreign Relations (dalam) Huala Adolf, Ibid, hlm. 236.

Karena itu tidak ada alasan manakala suatu negara menyatakan bahwa ia tidak akan melaksanakan suatu kesepakatan internasional yang ditandatanganinya karena kesepakatan tersebut bertentangan dengan kedaulatannya.187 Konvensi Wina 1969 menyatakan pula bahwa suatu negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenaran untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian. Hal ini termuat dalam Pasal 17 Konvensi Wina yang menyatakan bahwa : “A state may not invoke the provisions of its internal law as a justification for its filure to perform a treaty”.188

Pengaturan penanaman modal merupakan kedaulatan penuh dari negara penerima modal asing, karena kegiatan penanaman modal merupakan kegiatan yang menyangkut pemanfaatan suatu wilayah negara, sehingga hal ini menjadi kedaulatan penuh negara tersebut. Masyarakat internasionalpun sepakat bahwa kedaulatan suatu negara atas wilayah dan kekayaan alamnya merupakan kedaulatan penuh dari negara tersebut, hal ini terbukti dari berbagai kesepakatan internasional yang menyatakan hal tersebut didalam isi kesepakatannya serta pakar-pakar hukum ekonomi yang berpendapat senada. Hal ini membuktikan bahwa hal tersebut memang diakui.

Namun, kedaulatan negara dalam pengaturan tersebut ternyata terbatas, tidak seabsoluut atau sepenuh yang dibayangkan. Kedaulatan negara dalam membuat suatu regulasi atau pengaturan penanaman modal dibatasi diantaranya oleh, prinsip-prinsip perdagangan internasional terkait dengan penanaman modal

187

Dalam sengketa Alabama Claims (1872), Mahkamah Arbitrase dengan tegas menolak alsan inggris untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian karena tidak adanya atau kurangnya sarana-sarana hukum di dalam negeri. Selengkapnya Mahkamah menyatakan : “Whereas the government oh Her Brittanic majesty cannot justify itself for a failure in due diligence on the plea of insufficiency of the legal means of action which it possessed” ( Lord McNair, Treaties and Souvereignty (dalam) Huala Adolf, Ibid, hlm. 237).

188

dan juga perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dengan penanaman modal yang dibuat dan ditanda tangani oleh negara tersebut.

Dalam liberalisasi penanaman modal sektor jasa contohnya, negara masih mempunyai kemampuan untuk mengatur dalam Domestic Regulation, Pasal VI GATS memeberikan kewenangan mengatur kepada negara-negara, khususnya untuk menetapkan persyaratan dan prosedur standar lisensi dan persyaratan perizinan terhadap bidang usaha jasa yang masuk dalam daftar komitmen khusus negara tersebut.189

Jadi negara penerima modal asing tetap berdaulat untuk membuat regulasi penanaman modal, namun kedaulatannya tersebut dibatasi dan harus memperhatikan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang terkait dengan penanaman modal dan juga perjanjian-perjanjian internasional yang di sepakatinya, karena prinsip-prinsip dan juga perjanjian-perjanjian tersebut mengikat para pihak yang menandatanganinya. Selain itu juga, keikutsertaan negara dalam menyepakati suatu kesepakatan multilateral dan juga membuat suatu perjanjian internasional merupakan bentuk tindakan berdaulat suatu negara, oleh karena itu, manakala negara telah melakukan tindakan berdaulatnya, maka tidak ada alasan lagi bagi negara tersebut untuk menyatakan bahwa tindakannya tersebut telah melanggar kedaulatannya.

189

Dokumen terkait