• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pH terhadap Pertumbuhan Bakteri Pereduksi Sulfat

KESIMPULAN DAN SARAN 82 DAFTAR PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Eksplorasi dan Identifikasi Bakteri Pereduksi Sulfat

4.2.1. Pengaruh pH terhadap Pertumbuhan Bakteri Pereduksi Sulfat

Pada tahap penelitian ini digunakan enam isolat bakteri pereduksi sulfat, yaitu ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8818, ICBB 8819 dan ICBB 8825. Keenam isolat ini dipilih karena mampu tumbuh pada pH 3 dan mempunyai kemampuan reduksi sulfat tinggi.

Kondisi kemasaman media secara nyata mempengaruhi kecepatan tumbuh (Tabel 9 dan Gambar 11) dan pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat (Gambar 12). Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat semakin cepat dengan kenaikan pH. Pada pH rendah waktu awal pertumbuhan bakteri lebih dari 8 hari setelah inkubasi, tetapi membutuhkan waktu lebih cepat pada pH tinggi. Isolat ICBB 8813 membutuhkan waktu 12 hari untuk tumbuh pada pH 3, tetapi hanya butuh waktu 3 hari untuk tumbuh pada pH 7. Dua isolat, yaitu ICBB 8819 dan ICBB 8825,

bahkan tidak tumbuh pada pH 3, tetapi pada pH netral kedua isolat tersebut tumbuh lebih cepat, yakni antara 1-3 hari. Pada pH di atas 5, ICBB 8818 mampu tumbuh 3 hari setelah inkubasi. ICBB 8818 tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan ketiga isolat bakteri pereduksi sulfat lainnya.

Tabel 9. Pengaruh pH media terhadap waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat, konsentrasi sulfat 1000 mg/L Isolat pH 3 pH 4 pH 5 pH 6 pH 7 hari ICBB 8813 12 5 4 4 3 ICBB 8815 11 6 3 3 3 ICBB 8816 10 5 4 3 3 ICBB 8818 8 4 3 1 1 ICBB 8819 tt 5 3 2 2 ICBB 8825 tt 7 5 5 5

Catatan : tt = tidak tumbuh

0 2 4 6 8 10 12 14

ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Isolat

Waktu tumbuh (hari)

pH3 pH4 pH5 pH6 pH7

Gambar 11. Pengaruh pH terhadap kecepatan tumbuh beberapa isolat bakteri pereduksi sulfat

Pertumbuhan dan aktivitas bakteri pereduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh pH lingkungan. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri dapat melalui dua cara, yakni melalui (1) fungsi sistem enzimatis dalam sel bakteri dan (2) pembentukan energi dalam sel. Perubahan pH secara langsung mempengaruhi

struktur enzim dan protein lain dalam sel, karena aktivitas fisiologis intraselular selalu berada dalam kondisi mendekati netral. Oleh karena itu, sel bakteri perlu melakukan penyesuaian apabila kondisi lingkungan di luar sel terlalu masam atau terlalu basa.

Kemasaman lingkungan juga mempengaruhi pembentukan energi dalam sel. Kondisi pH yang terlalu masam atau terlalu basa akan menghambat pembentukan ATP, sedangkan kondisi pH netral pembentukan ATP berjalan lebih cepat (Garland, 1977; Mitchell, 1961). ATP adalah protein penghasil energi yang dipergunakan dalam pertumbuhan sel. Kondisi demikian yang menyebabkan pada pH rendah waktu tumbuh bakteri lebih lama dibandingkan dengan pH mendekati netral (Tabel 9). Hal ini sejalan dengan hasil beberapa penelitian lain (Elliot et al., 1998; Johnson et al., 1993; Kolmert dan Johnson, 2001). Untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik bakteri membutuhkan kond isi kemasaman media yang optimum. Umumnya bakteri pereduksi sulfat membutuhkan kemasaman optimum pada pH 5-6 (Elliot et al., 1998; Bratcova et al., 2002). Dikemukakan pula bahwa pada kondisi kemasaman di bawah atau di atas nilai pH tersebut pertumbuhan dan aktivitas bakteri pereduksi sulfat akan terhambat. Pada tingkat kemasaman yang terlalu tinggi, beberapa isolat bakteri bahkan tidak mampu tumbuh. Pada penelitian ini, dua isolat, yaitu ICBB 8819 dan ICBB 8825, tidak dapat tumbuh pada pH 3.

Respon masing- masing isolat bakteri pereduksi sulfat terhadap kondisi kemasaman lingkungan berbeda. Sebagai contoh, isolat ICBB 8819 tidak mampu tumbuh pada pH 3, tetapi pada pH optimum (pH antara 5-7) mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan isolat ICBB 8813, ICBB 8816 dan ICBB 8818. Pada suhu optimum isolat ICBB 8819 tumbuh 2-3 hari setelah inokulasi, sedangkan isolat ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818 tumbuh 3-4 hari setelah inkubasi.

Kondisi kemasaman lingkungan juga menentukan pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Secara kualitatif pertumbuhan biomassa bakteri ditunj ukkan dengan kerapatan optik (Gambar 12). Metode ini merupakan cara yang baik untuk melihat pertumbuhan bakteri tanpa harus mengganggu kultur bakteri (Black, 2005). Pada penelitian ini kerapatan optik diukur 21 hari setelah inkubasi.

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80

ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Isolat

Kerapatan Optik (Abs 620 nm)

pH3 pH4 pH5 pH6 pH7

Gambar 12. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan empat isolat bakteri pereduksi sulfat

Dari Gambar 12 terlihat bahwa empat isolat yang diuji mampu tumbuh pada pH 3, tetapi pertumbuhannya agak terhambat, yang ditunjukkan dengan nilai kerapatan optik lebih kecil dari 0,61. Pada pH 4 dan pH 5 pertumbuhan bakteri meningkat, dimana kerapatan optik berkisar antara 0,75-0,81, tetapi menurun pada pH 6 dan pH 7. Pada pH 7 kerapatan optik sekitar 0,65.

Penurunan biomassa bakteri pada pH 6 dan pH 7 berkaitan dengan pembentukan sulfida. Pada pH 6 dan pH 7 bakteri mulai tumbuh pada hari 1-3 setelah inkubasi, sedangkan pada pH rendah bakteri mulai tumbuh pada hari 8-12 setelah inkubasi, sehingga pada hari ke 21 jumlah sulfida yang terbentuk pada pH 6 dan pH 7 lebih banyak diband ingkan dengan pada pH lebih rendah. Sulfida merupakan faktor yang dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri dan kematian bakteri. Postgate (1984) melaporkan bahwa sulfida terserap ke dalam sel dan merusak protein sehingga sel tersebut tidak aktif. Barathi et al. (1990) mengemukakan bahwa yang lebih berperan dalam aktivitas sel bakteri pereduksi sulfat adalah dalam bentuk logam sulfida, sedangkan O’Flaherty dan Colleran (1998) melaporkan bahwa pertumbuhan bakteri dipengaruhi baik oleh H2S maupun sulfida total, tergantung pada pH . Pada pH di bawah 7,2, pengaruh H2S akan lebih dominan, sedangkan apabila nilai pH di atas 7,2, pertumbuhan bakteri lebih dipengaruhi oleh sulfida total.

Faktor lain yang menyebabkan penurunan biomassa bakteri adalah adanya asam asetat sebagai hasil proses oksidasi laktat. Desulfovibrio sp. merupakan kelompok bakteri yang mengoksidasi sumber karbon secara tidak sempurna menjadi asetat dan CO2 (Colleran, et al., 1995). Dalam proses reduksi sulfat, bakteri pereduksi sulfat membutuhkan energi yang diperoleh dari proses oksidasi laktat, seperti reaksi berikut,

2 C3H5O3- + SO42- à 2 CH3COO- + 2 CO2 + 2 H2O + S2-

dimana dalam reaksi tersebut 2 mol laktat dibutuhkan untuk mengoksidasi 1 mol sulfat, dan menghasilkan 2 mol asetat. Pembentukan asetat tersebut mempengaruhi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Rzeczycka dan Blaszczyk (2005) melaporkan bahwa bakteri pereduksi sulfat sangat sensitif pada asam asetat. Adanya akumulasi produksi asetat tersebut akan menghambat pertumbuhan bakteri.

Perbedaan pertumbuhan sel bakteri pada masing- masing nilai pH berdampak langsung pada kemampuan bakteri mereduksi sulfat dan jumlah sulfat yang tereduksi (Gambar 13). Pada media dengan pH awal 4, efisiensi bakteri dalam mereduksi sulfat adalah 82,16%, 87,78%, 87,38% dan 88,99%, berturut-turut untuk ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818, sedang pada pH 7 reduksi sulfat mencapai 88,99%, 89,59%, 89,39% dan 90,80% (Tabel 10). Isolat ICBB 8818 memperlihatkan kemampuan mereduksi sulfat yang paling menonjol dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya.

Kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat meningkat dengan meningkatnya pH media (Tabel 10 dan Gambar 13). Tabel 10 memperlihatkan bahwa isolat ICBB 8818 mampu mereduksi sulfat sebesar 85,17% pada pH 4, meningkat menjadi 90,19% pada pH 5. Pada pH 6 dan pH 7 persentase sulfat yang tereduksi sama, yakni 90,80%. Pola kemampuan reduksi sulfat yang sama juga ditemukan isolat ICBB 8813, ICBB 8815 dan ICBB 8816, perbedaan persentase reduksi antara pH 6 dan pH 7 sebesar 0,20%; 0,51% dan 0,48%, berturut-turut untuk ICBB 8813, ICBB 8815 dan ICBB 8816.

Tabel 10. Pengaruh pH terhadap efisiensi bakteri dalam mereduksi sulfat

pH awal

Isolat

ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Dokumen terkait