• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Remediasi Air Asam Tambang

KESIMPULAN DAN SARAN 82 DAFTAR PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Air Asam Tambang

2.2. Teknik Remediasi Air Asam Tambang

Cukup banyak teknologi yang telah dikembangkan untuk mengolah air asam tambang. Berdasarkan proses pengolahannya, teknologi pengolahan air asam tambang dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu (1) proses aktif dan (2)

proses pasif, sedang Johnson dan Halberg (2005) mengelompokkan teknologi tersebut berdasarkan pada bahan yang digunakan, yakni remediasi abiotik dan remediasi biologi.

Proses aktif lebih sering kali dimaksudkan sebagai aplikasi penambahan bahan alkalis secara terus menerus untuk menetralkan limbah air asam tambang, sedangkan istilah proses pasif adalah penggunakan ekosistem lahan basah (wetland) baik secara alami maupun buatan. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa kelebihan dari proses pasif adalah biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan lahan basah lebih sedikit dibandingkan proses aktif.

2.2.1. Strategi remediasi abiotik

Berdasarkan prosesnya, strategi remediasi abiotik dapat dikelompokkan menjadi teknologi aktif dan teknologi pasif.

2.2.1.1. Teknologi aktif

Teknologi yang banyak berkembang untuk mengurangi dampak negatif air asam tambang adalah proses pengolahan aktif, termasuk didalamnya penambahan bahan kimia yang dapat menetralisir kemasaman limbah. Penambahan bahan alkalin akan meningkatkan nilai pH, mempercepat laju oksidasi ion fero (Fe2+), serta mengendapkan logam terlarut dalam bentuk hidroksida dan karbonat.

Berbagai bahan penetralisir telah banyak digunakan seperti kalsium oksida, kalsium karbonat, sodium hidroksida, magnesium oksida dan magnesium hidroksida. Efektivitas masing- masing bahan tersebut sangat beragam. Sodium hidroksida (NaOH) jauh lebih efektif tetapi harganya sangat mahal. Penambahan bahan kimia tersebut sangat efektif dalam mengolah air asam tambang, tetapi biaya operasionalnya sangat tinggi, serta meghasilkan lumpur limbah yang sangat banyak, terutama pada penggunaan senyawa kalsium. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan kimia, dan untuk mengurangi limbah yang dihasilkan, beberapa peneliti telah melakukan perbaikan teknik pengendalian limbah air asam tambang. Aube dan Payant (1997) mencoba memperbaiki teknik pengolahan limbah melalui penambahan bahan kimia secara bertahap dan mempertahankan nilai pH, mampu membersihkan beberapa logam seperti arsenik dan molibdenum.

2.2.1.2. Teknologi pasif

Salah satu cara penambahan bahan alkalin pada limbah air asam tambang adalah dengan menggunakan anoxic limestone drains (ALD). Teknik ini dimaksudkan untuk menambahkan bahan alkalin (kapur) dalam kondisi anoksik sehingga dapat mempertahankan ion Fe2+ dalam bentuk tereduksi dan mengendapkan Fe(OH)3 dalam kapur. Penambahan bahan kapur akan meningkatkan nilai pH pada kisaran 6-7 yang akan mendorong pengendapan logam.

Dibandingkan lahan basah kompos buatan (constructed compost wetlands), biaya yang dibutuhkan dalam penerapan teknik ALD jauh lebih sedikit, namun teknik ini tidak dapat diterapkan pada semua limbah air asam tambang. Pada kondisi dimana air asam tambang mengandung ion ferri atau aluminium yang tinggi, penerapan teknik ALD akan memberikan hasil yang cukup baik. Namun dengan adanya endapan hidroksida akan mengurangi permeabilitas drainase, dan hal ini sering terjadi sekitar 6 bulan setelah pembuatan ALD. Oleh karena itu, teknik ALD ini diterapkan dan merupakan bagian dari pengolahan pasif, yang diterapkan bersama-sama dengan lahan basah aerob atau lahan basah kompos. Kleinmann et al. (1998) melaporkan bahwa penambahan ALD pada lahan basah buatan mampu mengolah air asam tambang dengan efektif.

2.2.2. Strategi remediasi biologi 2.2.2.1. Proses biologi

Dasar pengembangan pengolahan air asam tambang secara biologi adalah memanfaatkan kemampuan mikroorganisme menghasilkan alkalinitas dan mengikat logam, sehingga pada dasarnya bioremediasi merupakan reaksi kebalikan dari pembentukan air asam tambang (Johnson dan Hallberg, 2005). Proses mikrobiologi untuk menghasilkan alkalinitas umumnya merupakan proses reduksi dan mencakup beberapa proses biologi seperti denitrifikasi, methanogenesis, reduksi sulfat, serta reduksi Fe dan Mn. Amonifikasi, yakni proses pelepasan ammonium dari senyawa organik mengandung N, juga merupakan proses penghasil alkalin. Namun karena keterbatasan bahan yang

direduksi, seperti nitrat, proses ini tidak banyak berpengaruh terhadap proses pembentukan dan pengolahan air asam tambang.

Mikroorganisme yang mampu melakukan fotosintesis akan memanfaatkan basa lemah (bikarbonat) dan menghasilkan basa kuat (ion hidroksil) seperti persamaan berikut ini,

6HCO3- + 6H2O à C6H12O6 + 6O2 + 6OH-

Reduksi ion Fe3+ yang terlarut tidak menurunkan kemasaman larutan, sedangkan reduksi senyawa Fe3+ dalam bentuk padatan akan mempengaruhi kemasaman larutan, dengan mengikuti persamaan di bawah ini,

Fe(OH)3 + 3H+ + e-à Fe2+ + 3H2O

dimana e- adalah donor elektron yang diperoleh dari bahan organik. Bakteri yang mengkatalisis proses reduksisulfat menjadi sulfida akan menghasilkan kondisi alkalin dengan mengubah asam kuat (H2SO4) menjadi asam yang lebih lemah (H2S) seperti persamaan berikut ini,

SO42- + 2CH2O + 2H+à H2S + 2H2CO3

H2S dan 2H2CO3 yang terbentuk selama proses reduksi SO42- dalam larutan akan berkeseimbangan dengan senyawa H2S, HS-, S2-, CO2, HCO3- dan CO32-. Senyawa tersebut merupakan penyangga sehingga kemasaman larutan menjadi netral atau agak basa.

Peningkatan nilai pH memperbaiki kondisi air asam tambang. Disamping itu, proses reduksi SO42- merupakan mekanisme penting untuk menghilangkan logam dari air asam tambang. Logam- logam tersebut akan bereaksi dengan sulfida membentuk logam sulfida yang tidak larut, seperti persamaan berikut,

Zn2+ + H2S à ZnS + 2H+

Dari semua teknik bioremediasi sistem pasif, lahan basah buatan dan bioreaktor kompos merupakan dua teknik yang telah digunakan dalam sistem pengolahan air asam tambang skala besar. Kelebihan utama dari sistem pengolahan pasif adalah biaya pemeliharaan relatif murah, dan limbah padat dari proses remediasi berupa endapan yang ada dalam sistem lahan basah. Namun demikian sistem ini juga mempunyai kelemahan seperti membutuhk an lahan yang cukup luas dan hasil yang terkadang tidak pasti seperti pada sistem pengolahan secara kimiawi (Johnson dan Hallberg, 2005).

2.2.2.2. Sistem biologi pasif : lahan basah aerob

Pada dasarnya lahan basah aerob adalah buatan manusia yang dibentuk dengan menggali tanah dan mengisinya dengan tanah dan liat sebagai media tumbuh bagi tanaman lahan basah. Air asam tambang kemudian dialirkan dalam lahan basah tersebut.

Laju aliran air asam tambang yang lambat menghasilkan waktu tinggal yang tinggi. Pada proses ini logam akan dihilangkan melalui proses oksidasi dan mengendapkannya dalam bentuk logam oksihidroksida atau logam hidroksida. Sebagai ilustrasi dari reaksi tersebut dapat digambarkan reaksi ion Fe sebagai contoh, seperti pada reaksi di bawah ini,

Fe2+ + 1/4 O2 + H+à Fe3+ + 1/2 H2O Fe3+ + 2H2O à FeOOH + 3H+

4Fe3+ + 12H2O à 4Fe(OH)3 + 12H+

Proses oksidasi Fe masih menjadi perdebatan, apakah oksidasi tersebut murni oksidasi abiotik, atau dipercepat dengan adanya aktivitas mikroorganisme (Johnson dan Hallberg, 2005).

Tanaman lahan basah memberikan kontribusi meningkatkan kandungan bahan organik melalui zat-zat hasil sekresi dan dekomposisi sisa tanaman. Disamping itu, pengurangan konsentrasi logam sebagian terjadi karena proses pengendapan logam dengan adanya reduksi sulfat secara biologi, dan sebagian kecil juga diserap oleh tanaman.

Keuntungan dari sistem ini adalah biaya yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan sistem aktif. Namun demikian sistem ini juga mempunyai kelemahan, diantaranya adalah bahwa sistem ini menurunkan nilai pH karena adanya pelepasan H+ selama proses pengendapan logam. Disamping itu, proses sistem lahan basah sangat lambat dan membutuhkan lahan yang luas.

2.2.2.3. Sistem biologi pasif : Lahan basah anaerob

Seperti juga lahan basah aerob, sistem ini juga dibuat oleh manusia, dimana batu kapur diletakkan pada bagian dasar lahan basah kemudian dilapisi bahan organik, atau dicampur dengan bahan organik (Collins et al., 2004). Batuan kapur akan memberikan kondisi alkalin pada air asam tambang, sedang bahan organik

menjadi media tumbuh bagi tanaman lahan basah dan sumber energi bagi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Bakteri tersebut juga menghasilkan kondisi alkalin melalui proses oksidasi bahan organik dan memanfaatkan energi yang dihasilkan untuk reduksi sulfat. Reaksi pelepasan alkalin oleh bahan kapur dan reduksi sulfat dengan adanya asetat sebagai senyawa organik digambarkan pada persamaan reaksi berikut ini,

CaCO3 + H+à Ca2+ + HCO3-

SO42- + CH3COO-à H2O + CO2 + HCO3- + S2-

Dengan adanya aliran air asam tambang melalui bahan organik menyebabkan kondisi anoksik. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat dan menghasilkan sulfida. Pada kondisi tidak ada oksigen bebas , oksidasi logam akan berjalan lebih lambat sehingga pembentukan logam oksihidroksida juga lambat dibandingkan dengan kondisi aerob. Hilangnya logam terjadi melalui pengendapan dalam bentuk logam sulfida, sebagian diserap oleh tanaman, dijerap dalam bentuk bahan organik dan dalam bentuk logam hidroksida dan logam oksihidroksida (Wouls dan Ngwenya, 2004). Kelemahan dari sistem ini adalah terjadinya pelapisan batu kapur oleh logam hidroksida dan logam oksihidroksida yang mengendap. Disamping itu, sistem ini membutuhkan area yang cukup luas.

2.2.2.4. Sistem biologi pasif : Successive alkalinity producing system

Successive alkalinity producing system (SAPS) merupakan suatu teknik yang mengkombinasikan teknologi lahan basah kompos dengan anoxic limestone drains (ALD). Pada sistem ini batu kapur diletakkan di bagian dasar, sedangkan bahan organik berada di atas batu kapur. Air asam tambang dilewatkan dan keluar dari sistem melalui bagian dasar sistem. Kandungan oksigen dalam air asam tambang akan berkurang dengan adanya bahan organik, yang kemudian akan melewati batu kapur yang bersifat alkalin (Johnson dan Hallberg, 2005).

Dokumen terkait