• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 PEMBAHASAN

6.1 Pengaruh Relaksasi Spirotif Terhadap Tingkat Kecemasan

Analisis perbandingan efektifitas Relaksasi Spirotif terhadap perubahan skor tingkat kecemasan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol menunjukkan signifikansi yang berarti terdapat pengaruh Relaksasi Spirotif terhadap tingkat kecemasan lansia. Hal ini sesuai dengan penelitian Ranjita & Sarada (2014) bahwa Relaksasi Otot Progresif efektif untuk menurunkan kecemasan pada pria atau wanita, anak muda atau lansia. Pada penelitian Lorent et al. (2016) juga menjelaskan bahwa relaksasi otot progresif secara signifikan mengurangi ketegangan, kecemasan, dan kemarahan. Secara medis juga diketahui bahwa orang yang terbiasa berdzikir mengingat Allah secara otomatis otak akan berespon terhadap pengeluaran endorphine yang mampu menimbulkan perasaan bahagia dan nyaman (Patimah et al. 2015). Pada penelitian Yusuf et al. (2008) juga ditemukan adanya perubahan kesejahteraan psikologis pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi relaksasi religius: dzikir.

Relaksasi Spirotif menggabungkan antara Relaksasi Otot Progresif dan Relaksasi Spiritual:Dzikir. Melalui latihan relaksasi lansia dilatih untuk dapat memunculkan respon relaksasi sehingga dapat mencapai keadaan tenang dan

serat otot rangka yang mengarah kepada sensasi dari tegangan otot. Dalam hal ini, sistem saraf pusat melibatkan sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Beberapa organ dipengaruhi oleh kedua sistem saraf ini. Antara simpatik dan parasimpatik bekerja saling timbal balik. Aktivasi dari sistem saraf parasimpatis disebut juga Trophotropic yang dapat menyebabkan perasaan ingin istirahat, dan perbaikan fisik tubuh. Respon parasimpatik meliputi penurunan denyut nadi dan tekanan darah serta meningkatkan aliran darah serta menekan rasa tegang dan cemas. Oleh sebab itu, melalui latihan relaksasi lansia dilatih untuk dapat memunculkan respon relaksasi sehingga dapat mencapai keadaan tenang dan kecemasan akan menurun. Perasaan rileks diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkanCorticotropin Releasing Factor(CRF).

Pada aspek spiritual, latihan yang bisa dilakukan oleh lansia adalah Relaksasi Spiritual Dzikir. Dzikir lisan memberi stimulus suara yang ditangkap oleh indra pendengaran untuk diteruskan ke lobus temporalis yang selanjutnya ditangkap oleh God spot (circuit of God). Stimulus pada God spot dikirim ke prefrontal korteks untuk dilakukan proses pembelajaran membentk persepsi yang positif, baik secara emosional maupun spiritual. Respon kognisi yang positif akan dikirim oleh amigdala sebagai umpan balik menuju hipokampus. Selanjutnya amigdala akan menstimulus hipotalamus melalui hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) axis untuk mensekresi pengeluaran corticotrophin-releasing factors (CRF).

Kedua hal diatas, penerapan Relaksasi Otot Progresif dan Relaksasi Spritual Dzikir sama-sama menghasilkan keadaan tenang dan nyaman. CRF yang

berasal dari aktivitas dzikir dan relaksasi otot progresif merangsang kelenjar Pituitary untuk meningkatkan Produksi β-Endorphin, Enkefalin dan Serotonin yang pada akhirnya dapat meningkatkn kenyamanan pada klien. Perasaan nyaman dan rileks ini dapat menyebabkan kecemasan menurun.

Pada penelitian ini karakteristik demografi antara kelompok intervensi dan kontrol sudah diuji dengan fisher exact test dan didapatkan hasil bahwa karakteristik kedua kelompok sama sehingga tidak mempengaruhi hasil. Peneliti meyakini bahwa penurunan tingkat kecemasna pada penelitian ini terjadi karena pengaruh Relaksasi Spirotif. Pemberian Relaksasi Spirotif selama 2x seminggu selama 4 minggu dengan durasi 45 menit dapat merangsang kelenjar Pituitari untuk meningkatkan produksi β-Endorphin yang pada akhirnya dapat meningkatkan kenyamanan pada klien. Perasaan nyaman dan rileks ini dapat menyebabkan kecemasan menurun.

Pada kelompok kontrol sebagian besar responden tidak mengalami penurunan tingkat kecemasan. Hal ini dikarenakan responden pada kelompok kontrol hanya mendapat plasebo berupa duduk di kursi yang sama dengan kelompok intervensi kemudian diajak berbicara. Tidak adanya intervensi yang dapat meningkatkan kenyamanan menyebabkan kecemasan pada sebagian besar lansia kelompok kontrol tidak menurun.

Nilai pre-test tingkat kecemasan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebagian besar lansia berada pada tingkat kecemasan sedang. Hasil post test pada kelompok perlakuan dan kontrol, sebagian besar lansia masih berada

masih berada pada tingkat kecemasan sedang, tetapi jika dilihat dari nilai mentahnya, terdapat penurunan nilai tingkat kecemasan. Hal ini dikarenakan kondisi psikologis pada tiap lansia tentunya tidak selalu sama, beberapa faktor yang menyebabkan lansia tersebut masih berada pada kondisi kecemasan sedang setelah pemberian intervensi selama empat minggu karena objek yang menyebabkan kecemasan itu yang berbeda. Perubahan psikologis yang mengakibatkan kecemasan pada lansia antara lain, perasaan frustasi merasa tidak berguna, kehilangan dan kesepian sehingga lansia cenderung menyendiri (Maryam et al. 2008).

Penelitian ini menggunakan alat ukur Geriatric Anxiety Inventory (GAI) dengan parameter aspek psikologis, fisiologis, dan sosiokultural. Sebagian besar perubahan tingkat kecemasan yang terjadi pada responden tersebut adalah pada parameter aspek psikologis. Hal ini didukung dengan menurunnya jumlah responden yang mencentang pilihan “kekhawatiranku seringkali terasa berlebihan” dan “saya sering marah-marah”. Relaksasi Spirotif dapat menurunkan aspek psikologis lansia dengan cara fisik dan spiritual.

Kenyamanan merupakan sebuah konsep yang mempunyai hubungan yang kuat dalam keperawatan. Kenyamanan diartikan sebagai suatu keadaan yang dialami oleh penerima yang dapat didefinisikan sebagai suatu pengalaman immediate yang menjadi sebuah kekuatan melalui kebutuhan akan pengurangan relief (keluhan pasien/keadaan seorang pasien yang menemukan kebutuhan spesifiknya), ease (keadaan senang dan tenang), dan transcendence (keadaan dimana seorang individu mencapai diatas masalahnya). Bila dikaitkan dengan

kondisi lansia yang mengalami kecemasan, keadaan relief (keluhan terkait kecemasan dan penurunan kualitas tidur), keadaan ease (pemberian intervensi terkait keluhan kecemasan dan penurunan kualitas tidur) dan keadaan transcendence (pasien berpikir apakah keluhan ini akan terus berlanjut?). Terdapat empat konteks kenyamanan berdasarkan asuhan yang diberikan yaitu konteks fisik (menyangkut sensasi dari tubuh), psikospiritual (menyangkut kesadaran diri internal), sosiokultural (menyangkut hubungan interpersonal, keluarga/sosial/masyarakat) dan lingkungan (menyangkut latar belakang eksternal, kondisi dan pengaruhnya kepada manusia). Pada Relaksasi Spirotif dapat memenuhi 4 konteks kenyamanan, pada aspek fisik dengan penerapan Relaksasi Otot Progresif, aspek psikospiritual dengan penerapan Relaksasi Spiritual, aspek sosiokultural dengan penerapan komunikasi yang akrab antara lansia dengan peneliti, dan aspek lingkungan dengan pemberian ruangan yang tenang, sirkulasi udara baik dan penerangan yang cukup (nyalakan lampu). Tentunya hal ini secara tidak langsung dapat meningkatkan kenyamanan secara fisik, psikospiritual, sosiokultural maupun lingkungan. Bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi kenyamanan pasien.

Dokumen terkait