• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Resiliensi Organisasi terhadap Budaya Organisasi …. 111

BAB VI. PEMBAHASAN

6.1.5. Pengaruh Resiliensi Organisasi terhadap Budaya Organisasi …. 111

Resiliensi organisasi telah dilaksanakan dengan baik oleh perusahaan industri perhotelan bintang 3 dan setara di Kota Malang dan Batu yang berdampak positif terhadap budaya organisasi yang diimplementasikan perusahaan. Persepsi responden yang paling baik terhadap resiliensi organisasi adalah pada indikator resiliensi organisasi strategik dengan item perusahaan membuat strategi perencanaan untuk selalu siap melakukan perubahan baik ada krisis maupun tidak ada krisis. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan telah melaksanakan resiliensi organisasi strategik (Seville et al., 2008; Somers, 2009; Pasteur, 2011; Välikangas dan Romme, 2012, ResOrg, 2012). Kemudian diikuti dengan persepsi responden pada indikator resiliensi organisasi operasional (Somers, 2009; Pasteur, 2011) pada item perusahaan menguatkan struktur organisasi, mendukung akses sumberdaya yang produktif, meningkatkan akses teknologi maupun keahlian karyawan, serta memastikan kondisi kerja yang

produktif. Namun pada beberapa perusahaan masih memutuskan melakukan aktivitas resiliensi organisasi hanya pada saat terjadi krisis saja, sehingga perusahaan hanya mampu bertahan hidup terhadap krisis yang sedang dihadapi. Perusahaan-perusahaan tersebut perlu memaksimalkan keputusan melakukan aktivitas resiliensi organisasi tidak hanya pada saat terjadinya krisis saja atau melaksanakan resiliensi organisasi operasional, tapi tidak ada krisis sebaiknya juga tetap melakukan aktivitas resiliensi organisasi atau terus menerus melakukan resiliensi organisasi.

Indikator budaya organisasi dari model Denison (2004) yang digunakan dalam studi ini adalah keterlibatan (involvement), konsistensi (consistency), adaptabilitas (adaptability), dan misi (mission). Indikator yang dipersepsikan paling tinggi oleh responden adalah indikator misi dengan item visi masa depan perusahaan dikomunikasikan kepada seluruh karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan telah memiliki visi yang kuat dan dipahami oleh seluruh karyawan. Selanjutnya diikuti dengan indikator adaptabilitas dengan item ditekankan pada pemahaman yang mendalam akan pentingnya kebutuhan customer, yang berarti berusahaan selalu berusaha memahami dan menyesuaikan dengan kebutuhan customer. Kedua indikator tersebut menurut model dari Denison (2004) merupakan fokus eksternal. Sedangkan indikator keterlibatan dan konsistensi merupakan fokus internal, dengan item masing-masing adalah kemampuan sumberdaya terus dikembangkan dengan peningkatan keahlian dan saling berbagi informasi diantara karyawan di tiap departemen. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan berusaha mengembangkan SDM dengan meningkatkan keahlian diantaranya dengan saling berbagi informasi diantara karyawan di tiap departemen (knowledge sharing). Untuk mendapatkan budaya organisasi yang efektif perlu mengintegrasikan indikator dan item eksternal dengan indikator dan item internal. Fokus eksternal perusahaan pada visi perusahaan akan mudah dicapai setelah dikomunikasikan kepada seluruh karyawan dengan memfokuskan aktivitas SDM pada pelayanan yang mementingkan kebutuhan customer. Sedangkan fokus internal perusahaan pada peningkatan kemampuan SDM yang diperkuat dengan saling berbagi informasi diantara karyawan di tiap departemen. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa perusahaan melaksanakan

resiliensi organisasi strategik dan operasional yang berdampak positif pada budaya organisasi yang efektif yang memfokuskan pada pencapaian visi dengan meningkatkan kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan customer.

Dengan ditemukannya fakta empiris tersebut, maka peran budaya organisasi didalam proses aktivitas resiliensi organisasi dapat digunakan sebagai fondasi bagi pemulihan yang efektif, kesuksesan masa depan dan keberlanjutan (Alesi, 2008; Coles dan Buckle, 2004) dalam melaksanakan resiliensi organisasi. Sehingga dapat dinyatakan bahwa penelitian ini mendukung pendapat Alesi (2008) dan juga pendapat dari Coles dan Buckle (2004). Karakteristik responden dengan dengan jenis kelamin laki-laki (60%) dianggap lebih dominan dan kuat dalam melaksanakan aktivitas resiliensi organisasi karena secara fisik dan mental mereka lebih kuat dan tahan dalam menghadapi resistensi dari karyawan dengan adanya perubahan internal terhadap sistem maupun sumberdaya, dan dalam mengatasi berbagai tantangan eksternal yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan, dibandingkan dengan responden perempuan (40%).

Perusahaan-perusahaan saat ini yang telah memahami bahwa budaya organisasi sangat penting dan dapat digunakan sebagai kapabilitas strategik dalam mencapai keunggulan kompetitif, berusaha untuk menciptakan budaya organisasi yang menjadikannya sebagai ciri khas perusahaannya atau dapat dikatakan membentuk identitas perusahaan, yang membedakannya dengan kompetitor. Dan tentunya proses penciptaan budaya organisasi yang terintegrasi menjadi indentitas perusahaan telah melalui proses adaptasi dalam merespon berbagai kebutuhan pelanggan dan juga berbagai tantangan lingkungan eksternal yang muncul. Hasil temuan model hubungan ini juga mendukung pendapat dari Madni dan Jackson (2009) bahwa resiliensi organisasi itu sendiri merupakan adaptabilitas budaya didalam menghadapi berbagai distrupsi eksternal. Temuan ini mendukung penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa resiliensi organisasi dan budaya organisasi adalah sangat mengikat (Parsons, 2010). Bahkan ditekankan resiliensi organisasi muncul dari kombinasi budaya dan sikap, proses dan kerangka kerja (Hiles, 2011 dan Daskon, 2010), dimana nilai-nilai budaya merupakan bagian dari indikator konsistensi, dan diberdayakan berdasarkan kepercayaan dan respek serta kebutuhan menghindari resiko ketidaktahuan (Cheese, 2016), yang merupakan

bagian dari indikator keterlibatan, yang keduanya berfokus pada internal perusahaan dan memiliki index sedikit dibawah nilai index dengan fokus eksternal yaitu visi dan adaptabilitas. Oleh karena itu, diharapkan perusahaan dapat meningkatkan nilai-nilai yang dibentuk jelas dan konsisten dalam mengarahkan cara melakukan bisnis sesuai SOP. Perusahaan diharapkan juga dapat meningkatkan keterlibatan karyawan dalam perencanaan bisnis dan pelaksanaannya dan membiasakan karyawan dengan kerja kelompok. Sehingga perusahaan akan mudah mencapai kesepakatan meskipun dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sulit. Berdasarkan analisis tersebut, maka makna yang dapat diambil dari temuan ini adalah bahwa aktivitas resiliensi organisasi yang tinggi akan menjadikan budaya organisasi semakin baik dan seimbang antara fokus internal dan eksternal.

6.1.6. Pengaruh Kepemimpinan Resilien terhadap Kinerja Organisasi.

Berdasarkan hasil studi ini diketahui bahwa kepemimpinan resilien yang dilakukan oleh pemimpin perusahaan perhotelan bintang 3 dan setara di Kota Malang dan Batu tidak berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Kepemimpinan resilien yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan indikator-indikator berpikir strategik, kecerdasan emosional, kemampuan beradaptasi/berorientasi pada perubahan, pembelajaran/asimilasi, dan kepemimpinan kolektif (Baah, 2015). Indikator kepemimpinan resilien yang dipersepsikan paling baik oleh responden adalah berpikir strategik pada item pimpinan mampu merumuskan strategi perusahaan yang digunakan untuk mencapai visi misi. Selanjutnya diikuti oleh indikator pembelajaran / asimilasi dengan item membangun mentalitas out-of-the box (berbeda dari yang lainnya diluar rutinitas) dalam menyelesaikan masalah serta menyesuaikan dengan kondisi lingkungan internal maupun eksternal. Pemimpin dengan karakteristik tersebut tentu dapat bersikap fleksibel dalam menggunakan berbagai pendekatan kepemimpinan, kemampuan mengembangkan orang lain, berorientasi pada pencapaian tujuan dan perubahan (Clayton, 2012; Faustenhammer dan Gössler, 2011; Patel, 2010; Archibald dan Munn-Venn, 2008). Hal ini mencerminkan karakteristik responden berdasarkan lama bekerja yang mayoritas kurang dari 10 tahun (38,6%) dan diikuti oleh lama bekerja antara 11 – 15 tahun (34,3%), dimana sebagian besar responden termasuk didalam kategori

generasi milenial yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi sehingga mampu membangun mentalitas out-of-the-box dalam menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan eksternal maupun internal. Pemimpin yang resilien akan lebih menekankan perlunya melakukan resiliensi organisasi tidak hanya pada saat terjadinya krisis saja, tetapi juga sebelum terjadinya krisis dan bahkan setelah krisis berlalu (Seville et al., 2008; Somers, 2009; Pasteur, 2011; Välikangas dan Romme, 2012; ResOrg, 2012).

Pemimpin yang resilien pada perusahaan perhotelan bintang 3 dan setara di Kota Malang dan Batu telah mengimplementasikan budaya organisasi (Denison, 2004) yang melekat sebagai kapabilitas sumberdaya manusia yang terdiri dari adaptabilitas, visi, keterlibatan, dan konsistensi yang secara integral diimplementasikan dan sangat mendukung setiap aktivitas pemimpin yang resilien didalam mengarahkan berbagai perubahan dalam proses resiliensi organisasi. Pemimpin yang resilien memiliki kemampuan dalam merumuskan strategi perusahaan untuk mencapai visi misi perusahaan, kemampuan berkomunikasi dengan efektif, kemampuan melakukan perubahan-perubahan dengan cara-cara baru dalam bekerja, membangun mentalitas out-of-the box dalam menyelesaikan masalah dan menyesuaikan dengan kondisi eksternal maupun internal, dan mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab dalam struktur organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu pemimpin yang resilien perlu menciptakan budaya organisasi yang tepat melalui visi dan misi yang dikomunikasikan kepada karyawan, adaptasi terhadap kebutuhan customer, keterlibatan dalam pengembangan keahlian sumberdaya manusia, dan konsistensi dalam berbagi informasi antar karyawan yang akan melekat dalam setiap sumberdaya manusia yang dimiliki sebagai suatu ciri khas perusahaan sehingga mampu menjadi lebih kuat dan bersaing dalam menghadapi berbagai krisis dan gangguan lingkungan eksternal lainnya.

Gaya kepemimpinan resilien memiliki karakteristik tersendiri yang menggambarkan kualitas pemimpin resilien termasuk kecerdasan emosional, pemikiran strategik, kemampuan belajar dari pengalaman sebelumnya, fleksibel dalam menggunakan berbagai pendekatan kepemimpinan, kemampuan mengembangkan orang lain, berorientasi pada pencapaian tujuan dan perubahan

(Clayton, 2012; Faustenhammer dan Gössler, 2011; Patel, 2010; Archibald dan Munn-Venn, 2008). Hasil penelitian yang menguji hubungan antara kepemimpinan resilien dengan kinerja organisasi masih sangat langka. Hal ini dimungkinkan karena teori kepemimpinan resilien muncul karena adanya teori resiliensi organisasi yang faktanya masih sangat terbatas peneliti yang menguji kedua teori baru tersebut.

Dokumen terkait