• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Batu Bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar

Sikap tubuh dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, susunan dan penempatan peralatan serta perlengkapan kerja (Suma’mur, 2009).

Sikap kerja yang tidak alamiah dan cara kerja yang tidak ergonomis dalam bekerja harus dihindarkan karena dapat menyebabkan nyeri otot pada daerah-daerah tubuh tertentu (Ramandhani, 2008).

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergelangan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula terjadinya keluhan musculoskeletal. Di Indonesia, sikap kerja yang tidak alamiah lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja (Tarwaka, 2010).

Berdasarkan observasi dan penilaian analisa kondisi kerja dengan menggunakan metode OWAS diketahui bahwa sikap kerja seluruh perajin di bagian pencetakan batu bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar pada saat mengambil bahan baku dan meletakkan hasil cetakan menunjukkan sikap kerja yang tidak baik (tidak alamiah) karena perajin selalu melakukan gerakan membungkuk akibat tidak

tersedianya fasilitas kerja yang memadai. Sikap kerja perajin sebelum intervensi dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 5.1 Sikap Kerja saat Mengambil Gambar 5.2 Sikap Kerja saat Bahan Baku Sebelum Mencetak Batu Bata Intervensi Sebelum Intervensi

Gambar 5.3 Sikap Kerja saat Meletakkan Hasil Cetakan Sebelum Intervensi

Sikap kerja membungkuk merupakan salah satu sikap kerja yang tidak nyaman untuk diterapkan dalam melakukan pekerjaan karena dapat menyebabkan

ketidakstabilan tubuh. Kondisi ketidakstabilan ini dapat memberikan tekanan berlebih pada syaraf-syaraf di sekitar tulang belakang terutama pada L5 dan S1 sehingga menyebabkan terjadinya kenyerian umum akibat dari ketegangan otot dan ligamen pada masing-masing vertebrae tersebut. Kenyerian ini terjadi pada saat tulang belakang membungkuk satu arah terlalu jauh, membungkuk secara berulang atau membungkuk dengan membawa beban (Tarwaka, 2010). Kenyerian yang terjadi secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan cedera atau penyakit pada tulang belakang. Penyakit tulang belakang yang paling sering dijumpai yaitu hernia pada discus intervertebralis yaitu keluarnya inti intervertebral yang disebabkan oleh rusaknya lapisan pembungkus pada intervertebral disk.

Dari hasil observasi pada perajin di bagian pencetakan batu bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar, diketahui bahwa sebagian besar perajin yaitu 69,0% merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang, tingkat keluhan berat 19,0% dan tingkat keluhan ringan dirasakan oleh 11,9% perajin. Keluhan tersebut dirasakan pada otot-otot di seluruh tubuh dan keluhan yang paling berat dirasakan yaitu pada otot bahu, lengan, tangan, punggung dan pinggang.

Pada penelitian ini dilakukan intervensi dengan pemberian fasilitas kerja yang ergonomis berupa meja kerja dan tempat meletakkan hasil cetakan. Pemberian fasilitas kerja ini dimaksudkan untuk memperbaiki sikap kerja perajin menjadi lebih baik. Untuk melihat perbandingan tingkat keluhan maka perajin dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol tidak ada perubahan sikap kerja karena tidak diberikan fasilitas kerja baru, sedangkan

pada kelompok perlakuan terjadi perubahan sikap kerja karena diberikan fasilitas kerja baru.

Sebelum intervensi diketahui bahwa tidak terlihat adanya perbedaan tingkat keluhan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Sebagian besar perajin (69%) baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang. Dengan uji t-independent (tidak berpasangan), didapat nilai p sebesar 0,895 (> 0,05) atau p > α, sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, tidak terdapat perbedaan yang signifikan tingkat keluhan muskuloskeletal antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum intervensi.

Sesudah intervensi dengan penerapan fasilitas kerja yang ergonomis selama ±1 bulan, terdapat 2 (dua) kelompok perajin yang menunjukkan 2 (dua) sikap kerja yang berbeda yaitu sikap kerja baik dan tidak baik. Pada kelompok perlakuan, sikap kerja perajin menjadi lebih baik. Perajin melakukan pekerjaan dengan sikap kerja berdiri pada saat mengambil bahan baku, mencetak batu bata dan meletakkan hasil cetakan. Sikap kerja berdiri yang baik yaitu bila tulang belakang tetap dalam keadaan netral seperti lumbar lordosis sehingga tekanan pada disk vertebral akan didistribusikan secara merata dan ketegangan pada ligament tulang belakang dapat diminimalkan (Tarwaka, 2010). Sikap kerja perajin pada kelompok perlakuan sesudah intervensi dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 5.4 Sikap Kerja saat Mengambil Bahan Baku Sesudah Intervensi

Gambar 5.5 Sikap Kerja saat Mencetak Batu Bata Sesudah Intervensi

Gambar 5.6 Sikap Kerja saat Meletakkan Hasil Cetakan Sesudah Intervensi

Pada kelompok perlakuan dengan perbaikan sikap kerja, jumlah rata-rata batu bata yang dapat dicetak oleh seorang perajin setiap harinya bertambah. Sebelum intervensi, jumlah rata-rata batu bata dalam kisaran 600-800 buah, sedangkan sesudah intervensi sebagian besar perajin dapat mencetak >800 batu bata setiap harinya.Hal ini menunjukkan ada peningkatan produktivitas perajin dalam mencetak batu bata. Suma’mur (2009) mengatakan bahwa perbaikan sikap badan saat kerja dan/atau cara bekerja sehingga pekerjaan dilakukan lebih ergonomis ternyata mampu menaikkan produktivitas sebesar 10%, bahkan suatu penelitian melaporkan kenaikan produktivitas yang diukur dari peningkatan hasil kerja adalah sebesar 20%.

Sesudah intervensi diketahui bahwa ada perbedaan tingkat keluhan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol, sebagian besar perajin (71,4%) masih merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan

sedang, sedangkan pada kelompok perlakuan sebagian besar perajin (52,4%) merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan ringan, tingkat keluhan sedang menurun sebesar 33,3%, dan tingkat keluhan berat menurun sebesar 9,5%. Hasil uji statistik dengan uji t-independent (tidak berpasangan) didapatkan nilai p

adalah 0,000 (< α 0,05) yang berarti bahwa pada α 5% terdapat perbedaan yang

signifikan tingkat keluhan muskuloskeletal antara perajin yang sikap kerjanya baik (kelompok perlakuan) dengan perajin yang sikap kerjanya tidak baik (kelompok kontrol). Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh sikap kerja terhadap tingkat keluhan muskuloskeletal.

Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sukmawati (2007) dalam penelitiannya yang mengatakan bahwa perbaikan kursi kerja dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal sebesar 42,22% dan meningkatkan produktivitas kerja sebesar 38,54% pada perajin destar di Desa Gerih.

Hal serupa juga didapat oleh Masrah (2009) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa setelah diberikan alat bantu kerja berupa kereta beroda sederhana, terjadi perbaikan postur kerja dan penurunan tingkat keluhan muskuloskeletal pada pekerja industri pencetakan batu bata di desa Paya Lombang Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Begadai.

Selain itu, Suma’mur (2009) juga menyatakan bahwa bekerja pada kondisi yang tidak ergonomis dapat menimbulkan berbagai masalah antara lain nyeri, kelelahan bahkan kecelakaan. Perbaikan sikap badan saat kerja atau cara bekerja

sehingga pekerjaan dilakukan lebih ergonomis ternyata mampu mengurangi tingkat keluhan muskuloskeletal pada pekerja.

Dokumen terkait